Entah kenapa penampilan Papa nya lebih buruk dari terakhir ia lihat. Kurus, matanya memiliki lingkar hitam, pipinya cekung, dia tidak mencukur kumis nya, dan wajahnya terlihat tidak bersemangat, ia seperti seseorang yang kehilangan tujuan hidup nya tapi, Papa memang kehilangan tujuan hidupnya yaitu Mama.
Seingatnya ketika perceraian penampilan Papa Gellan tidak se-mengerikan ini.
"Ares!"
Nice timing Dokter Eben! Batin Gellan.
Ia langsung berlari kabur, namun Vier menangkap tubuh kecilnya.
"Lepasin," Gellan menggeram kesal, entah kenapa dia terlihat seperti anak kucing liar sekarang.
"Apa yang kamu lakukan pada putraku?"
Eh?
Putraku katanya?
Bukankah dia tidak pernah memperlakukan Gellan seperti putra selama ini?
Bagi Vier seorang CEO perusahaan terkenal di Asia keluarga bukanlah hal penting, baginya uang adalah segalanya. Dia didik sejak kecil sebagai pria yang otoriter, tegas, disiplin, dan menyembunyikan sifat asli di balik banyak topeng.
Sepertinya sifat itu menurun pada Gellan.
"Ares tidak melakukan apa-apa, hehehe." Dia digendong seperti anak kucing, kakinya bergelantungan.
Vier masih menatapnya tajam.
Gawat, apa yang harus Gellan lakukan.
"Ka-kak Ares ada di ruangan sebelah, maaf kalau Ares salah masuk ruangan." Wah! Papanya sangat menyeramkan! Sekarang Gellan tahu kenapa anak-anak selalu menangis ketika melihat wajah Papanya.
Di kepala kecilnya sudah terbayang kisah Hansel and Gretel.
"Dimana wali mu?"
"Ares." Suara Dokter Eben terdengar.
"Tuh..." Gellan menunjuk luar pintu.
Vier melepaskannya.
Gellan langsung mundur seribu langkah. "Terima kasih dan maaf, semoga hari anda menyenangkan." Dia berlari secepat mungkin.
Vier menatap kepergian Gellan dengan perasaan nostalgia, ia menatap telapak tangannya.
"Dia mirip Gellan kecil," senyum tipis terukir di wajah garangnya.
Pria itu mengusap wajahnya yang lelah, meletakkan Bunga yang ia bawa di atas nakas dan duduk di kursi tepat disamping Hospital Bed putranya.
"Mama kamu belum bisa jenguk, maaf tapi akan Papa minta untuk dia datang."
Suara monitor jantung itu sangat mengerikan, itu seperti bom waktu, tinggal menunggu kapan semuanya akan berakhir.
"Maafin Papa Gellan." Air matanya mengalir, pria dingin itu diselimuti perasaan menyesal. "Kembali lah dan Papa janji akan mengubah semuanya."
Gellan mengigit bibirnya dalam diam, air matanya jatuh satu persatu, dia menghapusnya dengan tangan kirinya, tangan kanannya menggenggam jemari Elona di samping kasur.
Tidak menyangka ia akan mendengar kata-kata seperti itu dari satu-satunya pria tanpa hati di hidupnya.
Selama ini Gellan mengira kalau Papanya tidak pernah menyayanginya. Vier tidak pernah datang di hari ulang tahunnya, tidak pernah memberikan selamat untuk kerja kerasnya, tidak pernah berbicara baik-baik dan selalu menggunakan nada tinggi ketika bersamanya.
Seakan-akan dia menjauhkan Gellan dari dirinya agar ia tidak terluka.
Apa benar seperti itu.
Pria itu adalah Papanya, tempat teraman di dunia, bagaimana Papa bisa menyakitinya.
Gellan benci kedua orang tuanya, namun cintanya lebih besar dari kebencian itu, seberapa banyak rasa sakit yang mereka berdua berikan, Gellan tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Dia hanya kurang memahami Papa selama ini, jika saja Gellan lebih memahaminya.
Duduk berdua ditemani cemilan, teh, dan berkas-berkas bisnis untuk rencana masa depan.
Apakah di masa yang akan datang mereka bisa melakukan hal itu?
"Pergi kalian."
Tubuh Gellan menegang, dia memfokuskan pendengarannya.
Dengan siapa Papa berbicara? Kenapa nada suaranya dingin sekali?
Syukurlah Dokter Eben masih sibuk, setelah menghampiri Gellan tadi ia kembali pergi.
"Om, kami..."
"Pergi."
Hery dan Zian, mereka kembali.
Kenapa Papa menyuruh mereka pergi?
"Kalian yang membuat putraku menjadi seperti ini."
Eh?
Apa maksudnya?
***
Elona sadar keesokan harinya.
Senyum yang cerah kembali menyambut pagi Gellan.
"Kamu udah makan?"
Kenapa selalu pertanyaan itu yang ia ucapkan?
"Udah, Dokter Eben beliin Ares roti." Gellan naik ke atas kasur, ia memanjat dengan susah payah.
Elona tertawa geli, ia berniat membantunya.
"Jangan, Ares bisa sendiri." Dia mendorong bokong semok itu dengan kuat hingga akhirnya sampai dengan damai.
Gellan menghela nafas lega.
"Kamu kenyang makan roti doang?"
Gellan mengangguk, ia tiduran di samping Elona, mengambil tangan gadis itu dan meletakkan di atas kepalanya. "Ares sedih." Gellan lagi sedih.
"Kenapa?" Elona mengelus dengan lembut.
"Kakak sakit." Karena Papa, yah meksipun ada karena Elona, dikit aja, kecil, kayak sel.
"Kakak baik-baik aja." Elona sudah dikeluarkan dari ICU tepat setelah Vier mengusir Zian dan Hery.
Gellan berpikir, apa maksud dari kata-kata Papanya itu.
"Tidur Ares engga nyenyak, kayak Ayam."
Elona tertawa kecil. "Mau tidur di pelukan kakak?" Dia merentangkan kedua tangannya.
Gellan langsung masuk, ia menyandarkan kepalanya di atas lengan gadis itu.
Meksipun Elona kurus setidaknya ada beberapa daging yang bisa dijadikan bantal.
"Sepertinya kita terlalu merepotkan Dokter Eben."
"Hm," gumam Gellan, ia merasa sangat nyaman.
Elona meringis kecil, bekas operasi di perutnya sekarang terasa nyata. "Ares maafin kakak yah."
"Untuk apa?" tanya Gellan.
Elona mengecup dahinya, membuat nafas Gellan tercekat. "Kakak ternyata belum cukup kuat untuk bahagiain kamu." Dia sangat lemah, sangat.
Dia tidak memiliki apapun untuk melindungi keluarga terakhirnya.
"Kakak capek Ares..."
Gellan terdiam.
Membiarkan gadis itu memeluknya.
Elona lelah.
Rasanya ingin menyerah.
Dia tidak mau melakukan apapun lagi.
Percuma.
Sekeras apapun ia mencoba keadaan tidak akan berubah.
Gellan duduk, ia melepaskan diri dari pelukan Elona.
Elona menatapnya, mata gadis itu tidak memiliki binar.
Redup.
"Kakak kalau capek istirahat, jangan menyerah."
"Memang melelahkan, usaha tidak akan mengkhianati hasil, memang usaha itu belum terlihat untuk sekarang, tapi kita tidak tahu kedepannya, masa depan masih panjang dan tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kehidupan kita jika kita menyerah." Dia ngomong apaan sih. "Hidup adalah penderitaan, jika bukan namanya bukan hidup."
Sok bijak banget.
Elona mengerjapkan matanya kemudian ia tertawa.
"Kamu benar-benar sudah besar yah." Dia mengacak-acak rambut adiknya itu, mengambil wajahnya dan menghujaninya dengan ciuman.
Gellan sudah terbiasa, terima saja.
"Kamu tahu Ares," Elona mengelus kedua pipinya. "Kalau engga ada kamu semua usaha itu akan jadi sia-sia, tunggu yah, tunggu kakak, sampai waktunya tiba kita akan mencari ginjal baru untuk kamu, yang cocok sama kamu, dan bisa menyembuhkan penyakit kamu."
Gellan ragu tentang hal itu.
Tidak mungkin ia selamanya akan terjebak di tubuh bocah ini kan?
"Kakak untuk sekarang istirahat aja, lukanya belum kering kan." Pengaruh tubuh ini atau bukan untuk sekarang Gellan hanya ingin gadis ini cepat sembuh. "Orang jahat pasti mendapatkan karma."
Elona terdiam kemudian tersenyum lembut. "Hm," adiknya benar-benar sudah besar.
"Kakak lepas dulu," Gellan tiba-tiba bergerak gelisah.
"Kenapa?" Elona melepaskan pelukannya.
"Ares mau Bab!" Ia melompat turun dan ngacir ke toilet.
Elona termenung sejenak lalu tertawa. "Perlu kakak bantuin gak?"
"Engga usah!" seru Gellan.
***
Yey update!
Terima kasih sudah membaca.
Kalau ada typo tandai aja yah.
Thanks a lot guys udah menemani aku sampai cerita ketiga ini.
Seee u