Cinta Penawar Kutukan

By chinggu313

1.3K 1.1K 390

Genre fantasi namun mengandung unsur romansa. Inilah kisah tiga anak remaja dengan kutukan masing-masing. Men... More

♧Prolog♧
♧Chapter1♧
♧Chapter2♧
♧Chapter3♧
♧Chapter4♧
♧Chapter5♧
♧Chapter6♧
♧Chapter7♧
♧Chapter8♧
♧Chapter9♧
♧Chapter10♧
♧Chapter11♧
♧Chapter12♧
♧Chapter13♧
♧Chapter14♧
♧Chapter15♧
♧Chapter16♧
♧Chapter17♧
♧Chapter18♧
♧Chapter19♧
♧Chapter20♧
♧Chapter21♧
♧Chapter22♧
♧Chapter23♧
♧Chapter24♧
♧Chapter25♧
♧Chapter26♧
♧Chapter27♧
♧Chapter28♧
♧Chapter30♧
♧Chapter31♧
♧Chapter32♧
♧Chapter33♧

♧Chapter29♧

13 11 0
By chinggu313

Siang ini tidak seterik biasanya. Awan sedikit gelap namun sepertinya tidak akan turun hujan. Matahari tampak malu-malu untuk keluar, apakah matahari benar-benar malu atau justru merasa takut? Takut melawan takdir dan berusaha untuk melaksanakan sesuai dengan tugasnya. Angin pun turut berhembus, seakan-akan menari dan ikut dalam permainan takdir. Apakah ini takdir? Yah, itu benar. Namun, apakah takdir bisa diubah?

Pertanyaan itu menjadi satu dari sekian banyak pertanyaan yang terus terlintas di benak seorang gadis yang tengah berdiri sambil terdiam di tepi pembatas rooftop. Rambutnya yang pendek tanpa ragu bergerak mengikuti tarian angin. Roknya pun tampak malu-malu untuk ikut bergerak meski sedikit. Sorot matanya menyiratkan keputus-asaan. Matanya bengkak, dan dia terlalu lelah hanya untuk melanjutkan tangisannya. Bahkan wajah bagian pipinya tampak sedikit mengeras bekas lelehan air mata. Tidak ada siapa-siapa di sini, sekiranya itu yang membuatnya merasa aman sekarang.

Tempat ini masih di tempat yang sama di saat dirinya mulai benar-benar putus asa dengan dunia. Kutukan, cacian, benci, dendam, kecewa, perasaan, dan juga fitnah. Perpaduan kata itu bila dipasangkan dengan beberapa kata-kata lain mungkin akan terdengar miris. Itulah yang terjadi pada gadis itu. Ingin pulang ke rumah, namun nyatanya rumah yang dulunya tempat untuk melepas penat setelah pulang sekolah kini menjadi awal dari munculnya masalah. Ingin pergi dari sini namun nyatanya masalah mungkin akan bertambah ketika dirinya terlihat berjalan di jalanan dengan pakaian seragam di waktu peroperasian sekolah masih berlanjut. Hanya satu yang menjadi pilihannya, tetap bertahan. Namun sampai kapan? Sampai dirinya bertemu dengan murid lain dan kembali mengolok-olok dirinya seperti kejadian dua jam yang lalu?

Itu benar-benar pengalaman terburuk bagi Winter. Mungkin kejadian tadi dapat menguji kuat mentalnya. Namun ini benar-benar kejam, dirinya bahkan dipermalukan dan harga dirinya seperti diinjak-injak. Dia benci pembullyan, namun kini dirinyalah yang merasakannya. Ingin melawan? Nyatanya kalimat perlawanan yang sering dia ajukan untuk pemain drama terbully yang sering dia tonton tak dapat dia praktekan. Tidak semudah itu. Hanya dengan mendengarkan cacian mereka, hati akan langsung terangsang. Sakit sekali, hingga kau pun lupa caranya perlawanan untuk diri sendiri itu seperti apa. Yang terpikir hanya cara untuk segera hilang dan menghindari mereka.

"Apa ini hukuman? Gak cukup kutukan gue yang jadi kesialan hidup? Gue capek," gumamnya pelan. Kepalanya menunduk dan kini dia mulai kembali terisak. Tak lama kemudian kepalanya kembali mendongak. Mata sayunya berubah menjadi sorot mata terkejut dan panik.

Kepalanya kembali menengok ke arah belakang tepatnya ke arah pintu rooftop dan beruntung dia sempat menguncinya. Setidaknya dirinya aman untuk sekarang. Tidak tahu apakah rasa aman yang dia rasakan akan bertahan sampai tiga sampai lima jam ke depan. Yang terpenting, dirinya harus tetap tinggal di sini. Meski kegiatannya hanya berdiri sambil memandangi lapangan outdoor sekolah di bawah sana, itu tak apa bagi Winter.

Dugh... Dugh... Dugh...!

"Winter, buka pintunya! Gue mohon tenangin pikiran lo. Jangan berbuat macam-macam. Jalan hidup lo masih panjang! Masalah gak akan selesai hanya dengan cara menghilangkan nyawa lo sendiri!"

Itu suara Asahi. Gadis itu terlampau kaget sampai tidak sadar hampir terjatuh jika saja tangannya tidak dengan cepat berpegangan pada pagar pembatas di belakangnya. Kalimat yang dilontarkan oleh laki-laki itu, apakah Asahi berpikir kalau Winter akan bunuh diri? Begitu miris. Winter tersenyum miring setelahnya. "Kumohon, jangan menyerukan hal lain yang bikin gue lupa sadar, Asahi. Bunuh diri ya? Bukankah itu terlalu kejam? Namun agaknya tidak begitu buruk. Terima kasih! Ide itu akan gue tampung sampai di waktu gue benar-benar siap!" serunya.

Terdengar suara dobrakan pintu itu kini kian mengeras, seolah-olah Asahi sangat memaksa agar pintu itu terbuka. Namun sang gadis yang menjadi alasan laki-laki itu berbuat demikian nampak tidak peduli. Merasa terganggu pun tidak, meski sempat terbesit cela rasa kasihan kepada laki-laki itu.

"Percuma. Mau sekeras apapun lo tendang pintu itu, gak akan bisaㅡ"

Brakhh!!

Oh tidak! Gadis itu terkejut dan refleks membalikkan badannya. Tak menyangka laki-laki yang berdiri di depan sana dapat mendobrak pintu rooftop yang telah dia kunci. Bagaimana bisa? Sekuat apa laki-laki itu hingga mampu merusak engsel kunci pintu kayu tebal itu?

"Loㅡ"

"Tidak! Jangan melangkah! Gue gak mau lo benci sama gue, Asahi. Gue gak mau!" Teriakan itu terdengar begitu miris. Sang laki-laki sempat terkejut hingga turut mengikuti perintah gadis itu. Asahi dengan perlahan menegakkan badannya sambil terus berusaha untuk mengatur nafasnya yang tampak ngos-ngosan. Gadis di depannya agak asing, namun dia tetap mengetahuinya. Berusaha untuk tetap bersikap normal meski Winter tau kalau Asahi telah melihat dirinya yang lain, yakni Winter dengan tubuh kurusnya.

Berbohong? Mengelak? Alasan apa lagi yang harus dia lontarkan pada laki-laki itu. Sudah jelas kutukannya sudah terbongkar. Mungkin sebentar lagi dunia akan mengasingkannya, menganggap dirinya sebagai monster. Tidak! Winter tidak ingin itu terjadi. Berusaha menggeleng keras untuk menghilangkan pemikiran buruknya.

Tanpa sadar Asahi sudah tampak berjalan dengan raut wajah panik mendekatinya. "Winter! Lo kenapa? Hei, ayok tenang. Duduk dulu," ucapnya berusaha menenangkan gadis di depannya. Bukan hanya Asahi yang panik, bahkan gadis itu tampak berkali-kali lipat merasa panik dibanding laki-laki itu. Pegangan tangan Asahi pada kedua bahunya membuat kepalanya mendongak. Menatap lekat sang laki-laki di depannya. Hanya berjarak beberapa senti, tidak ada perasaan canggung atau semacamnya. Entahlah, Asahi bahkan tidak tahu kenapa dia sepanik tadi melihat Winter yang tampak berantakan.

"Gue monster, Sa. Biarin gue pergi. Gue gak mau denger kalimat ejekan lo. Gue emang aneh. Gue punya kutukan, dan gue mungkin akan bawa kesialan di hidup lo".

"Enggak! Lo bukan monster dan juga lo gak aneh. Lo gak bakal bikin gue sial, Ter! Ini takdir! Jangan sebut lo sendiri sebagai monster please. Yang hanya bisa lo lakuin adalah bagaimana caranya agar lo bisa jalanin hidup lo dengan normal dan baik-baik saja." Ada apa ini? Kata-kata Asahi mampu membuat otak Winter loading seketika. Asahi tau sesuatu. Ah, tidak! Jangan karena hanya kata-kata tadi, mampu membuat Winter jadi salah paham pada Asahi. Tapi bagaimana cara dirinya hidup normal setelah kejadian ini? Dirinya bahkan dimusuhi hampir satu sekolah. Tidak berani pulang dan kini takut untuk menampakkan dirinya pada dunia luar.

"Gue tau lo panik. Jangan jadikan kutukan lo ini sebagai kekurangan, anggap sebagai kelebihan lo. Lihat! Lo jadi tambah cantik sekarang. Bukan lagi Winter si tubuh gemuk dan berwajah chubby. Lo bisa jadi pusat perhatian sekarang. Lo suka cowok-cowok tampan kan? Lo bisa deketin mereka dengan mudah Ter. Lo bukan monster".

Benar. Yang dikatakan Asahi memang benar. Tapi percuma untuk sekarang. Tampil dengan keadaan sekarang hanya akan membuat orang-orang kebingungan. Usahanya untuk tetap menyembunyikan raga lainnya bukan semata-mata karena malas. Tetapi rasa takut akan pendapat orang-orang dan bagaimana dirinya menjawab berbagai pertanyaan yang dilontarkan oleh mereka untuk dirinya. Sungguh, Winter memang si gadis bar-bar, namun gadis itu tak kalah penakut dan rapuh hanya untuk menghadapi masalah. Keinginannya hanya lari dari masalah dan menghilang tanpa jejak.

"Jadi lo gak benci gue?" Pertanyaan itu dibalas oleh gelengan keras oleh Asahi. Perlahan senyum lebar laki-laki itu pancarkan yang ternyata dapat menular kepada gadis itu. Winter senang, akhirnya masih ada orang yang berada di pihaknya. Tidak apa-apa, semua akan kembali menjadi normal kembali. Dirinya hanya akan mencoba untuk menyelesaikan masalahnya. Yah, semoga saja.

.

.

.

.

.

"Mau langsung pulang atau mau ke suatu tempat dulu?" Laki-laki itu bertanya setelah puas menatap gadis yang sedang makan di depannya. Gadis itu mendongak hanya sesaat lalu setelah itu kembali menyendok kuah ramyeon miliknya.

"Aku gak mawu puwang (aku gak mau pulang)," jawab gadis itu sambil menyeruput kuah terakhir ramyeon yang kini sudah dia angkat tempatnya. Oh! Sudah habis. Sebenarnya Winter tidak begitu menyukai makanan seperti ramyeon yang tadi di makan olehnya, namun karena itu adalah traktiran dari Asahi jadinya Winter tidak segan-segan untuk langsung memakannya, bahkan sampai habis. Lumayan juga. Lagipula dirinya tidak punya uang saat ini. Masih untung ada Asahi yang saat ini bersamanya. Kalau tidak, mungkin saja Winter akan kelaparan sambil luntang-lantung dijalanan. Uangnya tadi pagi sudah habis duluan hanya untuk membayar ongkos bus pada saat ke sekolah.

"Belepotan," ujar Asahi sambil menggerakkan tangannya mengusap sisa noda kuah ramyeon di sudut bibir Winter. Gadis itu mematung sesaat namun berusaha untuk tetap bersikap biasa-biasa saja. Sesaat kemudian jantungnya berdetak dua kali lipat dari kinerja sebelumnya ketika Asahi dengan lancangnya malah mencubit kedua pipinya. "Lucunya," ucapnya sambil tersenyum lebar di hadapan Winter. Tidak tau saja kalau jantung Winter sudah seperti acara konser di dalam sana. Terlebih lagi ketika melihat Asahi di jarak sedekat ini, oh tidak! Winter dengan cepat mendorong bahu laki-laki itu lalu memasang raut wajah pura-pura kesalnya.

"Sakit tau!" sinisnya kepada laki-laki itu. Bukannya berhenti, Asahi malah tampak terus menggoda Winter. Meski terlihat kesal, jauh dilubuk hati gadis itu merasa sangat senang. Momen dimana dirinya bisa menikmati waktu berdua dengan Asahi, mendengar suaranya yang bercerita panjang lebar serta melihat senyum manis laki-laki itu. Apakah ini yang namanya dampak? Efek dari semua masalah yang ada, terdapat Asahi yang saat ini mulai perhatian kepadanya. Atau hanya berlaku untuk hari ini? Entahlah. Meskipun Asahi melakukannya hanya karena rasa kasihan pun Winter tak apa.

"Lo gak apa-apa kalau bolos bareng gue hari ini?" Winter bertanya setelah puas menatap senyum laki-laki di depannya. Di geser nya sedikit kaleng minuman beserta cup ramyeon bekasnya lalu kembali melihat Asahi. Laki-laki itu menggeleng keras dan juga turut menatapnya. Meski agak salah tingkah, gadis itu tetap bersikap biasa-biasa saja. Winter membasahi bibir bagian bawahnya lalu berdehem pelan. Ada suatu hal yang ingin dia tanyakan kepada laki-laki di depannya.

"Sejak kapan lo pakai softlens?" Ah, pertanyaan itu. Meski awalnya Asahi nampak panik, namun sebisa mungkin laki-laki itu merubah raut wajah tegangnya. "Kenapa? Suka ya?" tanyanya kembali kepada gadis di depannya.

Winter tersenyum tipis, dan nampak kentara bahwa gadis itu sedang mati-matian menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya. Wajahnya terasa panas sekarang. Cuaca yang lumayan cerah tidak mampu menyembunyikan rona merah diwajahnya.

Lagi-lagi Asahi terkekeh melihat tingkah gadis di depannya. Kini dengan terang-terangan menatap Winter tanpa mengindahkan kalimat protes dari gadis itu.

"Kalau gue punya sesuatu yang sama kayak lo, apa lo bakal percaya?" Pertanyaan Asahi tidak langsung dijawab oleh Winter. Gadis itu tampak berpikir sejenak kemudian mengangguk yakin. Meski raut wajah penasaran menjadi respon awalnya ketika mendengar kalimat pertanyaan itu. Memangnya apa yang dimilikinya dan juga dimiliki oleh Asahi?

"Apa itu?" tanyanya penasaran. Asahi memajukan wajahnya lebih mendekat dengan Winter.

Awalnya gadis itu refleks memundurkan wajahnya karena terkejut, namun pergerakan tangan Asahi yang langsung menggenggam tangannya yang berada di atas meja seketika membuat kepalanya tertahan di posisi semula. Kini pandangan gadis itu sudah terpaku sepenuhnya dengan Asahi. Seolah-olah laki-laki itu mampu mengunci semua pergerakan Winter.

"Gue punya ini." Tangan Asahi yang kembali bergerak untuk menunjuk area kelopak matanya membuat Winter tidak dapat merespon lebih. Bola mata laki-laki itu masih berwarna biru cerah. Seolah-olah terdapat sihir dan cahaya di dalamnya. Tiba-tiba aura disekelilingnya juga berubah. Langit yang tadinya berawan kini terlihat mendung. Gadis itu juga mulai merasakan angin berhembus kencang disekelilingnya. Apa yang terjadi? Apa maksud dari laki-laki itu? Sekali lagi kita tekankan, gadis itu memiliki kapasitas otak tingkat jaringan rendah. Sangat lambat untuk melakukan proses berfikir. Namun tak apa. Laki-laki itu malah berterima kasih karena Winter tidak bertanya yang macam-macam lagi kepadanya. Ya setidaknya untuk saat ini.

Tbc.....

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 82.3K 41
(BELUM DI REVISI) Aline Putri Savira adalah seorang gadis biasa biasa saja, pecinta cogan dan maniak novel. Bagaimana jadi nya jika ia bertransmigra...
239K 634 21
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya
886K 76.8K 33
Ini adalah kisah seorang wanita karir yang hidup selalu serba kecukupan, Veranzha Angelidya. Vera sudah berumur 28 tahun dan belum menikah, Vera buk...
1.2M 106K 52
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...