Over The Destiny | Ateez Seon...

By Yozora_MK

3.5K 562 399

Kepergian Hongjoong adalah satu hal yang tak akan pernah bisa Seonghwa terima. Dia tidak mengerti mengapa Hon... More

#0. Prologue
#01. After Last
#02. Chance
#03. Vivid Dream
#04. One Step Closer
#05. Live In Utopia
#06. Hollow
#07. Alive A Life
#08. People With Love
#10. Twist of Fate
#11. Drown in The Dark
#12. Dreamy Day (Last + Epilogue)

#09. Attempted

204 34 5
By Yozora_MK

🌟 Seongjoong 🌟

. . .

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Hongjoong telah mempersiapkan diri untuk momen ini—bertemu dengan ibunya lagi dalam situasi yang sama sekali tak hangat. Ini adalah pertemuan formal, demikian yang selalu dikatakan pada dirinya sendiri sebagai pengingat. Dia bukan akan menemui seseorang yang melahirkannya, melainkan wanita yang menjabat sebagai salah satu atasan di perusahaan rekaman tempatnya mengikat kontrak.

Mereka bahkan tak akan bertemu empat mata. Mestinya Hongjoong bisa menjaga dirinya untuk tetap profesional.

Masalahnya, Hongjoong tidak menemukan cara untuk membuat hatinya mengerti. Perasaannya tak bisa diajaknya bekerja sama sebab, begitu sosok sang ibu ada di depan matanya, rasa rindu lagi-lagi menyeruak dalam dadanya.

Ini terjadi lagi kala Hongjoong melihat wajah sang ibu.

Tentu saja. Bertahun-tahun Hongjoong memendam perasaan rindu ini sehingga mustahil baginya untuk menyembuhkannya tanpa obat. Dia membutuhkan waktu lebih—dan tak pernah mendapatkannya.

Pada akhirnya segala yang dibahas pada hari itu tak benar-benar masuk ke dalam kepala Hongjoong. Hanya beberapa poin yang diingat Hongjoong, seperti film apa yang akan menggunakan lagunya sebagai soundtrack, siapa yang menyanyikannya, serta kapan perilisannya—yang harusnya semua sudah diketahui Hongjoong.

Hal terpenting baru disampaikan saat Hongjoong telah menyadari bahwa dirinya memang tak bisa benar-benar fokus dengan adanya sang ibu di sekitarnya.

“Aku berniat mengikat kontrak yang lebih panjang denganmu, bukan hanya dengan lagumu.”

Pernyataan sang Presdir tersebut praktis tak bisa langsung dicerna oleh otak Hongjoong.

“Maaf, bisa tolong jelaskan dengan lebih rinci apa maksudnya itu?” Hongjoong perlu sedikit usaha untuk memahaminya.

Seohyun pun berkata, “Presdir ingin kau menjadi produser resmi di sini, Kim Hongjoong—yang itu artinya kau hanya akan membuat lagu untuk label rekaman kami, dan hanya kau serta perusahaan ini yang berhak atas hal klaim lagu-lagumu.”

“Lalu, bagaimana dengan kontrak yang sebelumnya?”

“Itu akan diperbarui,” jawab Seohyun. “Atau, kalau kau merasa keberatan, kita akan menunggu sampai kontrak itu berakhir. Di sana dikatakan kerjasama akan berakhir setelah masa promo film selesai, dan setelah kau mendapatkan royalti, maka kita bisa mulai membicarakan tentang kontrak baru yang dikatakan Presdir.”

“Aku ...” Hongjoong terlihat bimbang.

Pria yang menjabat sebagai Presdir itu pun segera berkata, “Pikirkan ini baik-baik, Kim Hongjoong. Kau akan sukses bersama kami—dan bahkan kalau kau mau, kau bisa memulai pelatihan di sini.”

“Pelatihan?” Hongjoong mengernyit.

“Trainee. Menjadi soloist,” ujar Seohyun.

“Tapi, aku tidak ingin menjadi idol. Aku datang ke sini hanya untuk memberikan laguku—sebagai produser, bukan penyanyi.”

Andai mereka tahu, tujuan Hongjoong sejak awal hanyalah memperdengarkan lagunya kepada dunia dengan harapan itu akan sampai pada sang ibu. Sedangkan sekarang itu pun tidak lagi penting.

“Tidakkah singer-songwriter akan lebih menjanjikan?” sang Presdir masih membujuk. “Kau punya bakat alami di dunia hiburan, Kim Hongjoong. Bukankah kau juga merekam suaramu sendiri dalam demo yang kau kirimkan? Ke depannya, suaramu bukan hanya akan ada di dalam CD demo, tapi album yang kau rilis sendiri—kau bisa jadi bintang besar!”

Sang Presdir mengatakannya dengan penuh ambisi, Seohyun di sebelahnya pun turut mengangguk sambil tersenyum.

Akan tetapi itu semua tak membuat Hongjoong bersemangat ataupun gembira sedikit pun. Sesuatu masih terasa mengganjal di dadanya, dan dia tidak tahu pasti apa penyebabnya.

Mungkin, alasannya karena ini tak pernah sekali pun terlintas dalam angannya. Menjadi bintang di atas panggung rasanya terdengar berlebihan untuk Hongjoong. Ini memang kesempatan besar dan langka, tak semua orang seberuntung dirinya. Namun, meski demikian, tetap saja ini bukan yang diharapkan Hongjoong.

Jadi pada akhirnya Hongjoong hanya menyampaikan apa yang ada dalam hatinya.

“Aku sangat berterima kasih atas tawaran ini, tapi aku tidak bisa menerimanya.” Hongjoong berdiri dari duduknya sehingga membuat sang Presdir menatapnya kecewa. “Aku benar-benar minta maaf,” pemuda tersebut berkata, lalu membungkukkan badannya.

Hongjoong berpamitan dan melangkah keluar ruangan.

“Kim Hongjoong, tunggu!” Presdir KQ berdiri dan mengangkat tangan, hendak mencegah kepergian Hongjoong—barangkali masih ingin membujuk.

Akan tetapi Seohyun kemudian menghentikannya. “Biar aku yang tangani ini, Presdir,” Seohyun berkata sebelum kemudian buru-buru melangkah keluar menyusul Hongjoong.

“Hongjoong, tunggu sebentar!” Seohyun berseru selagi berbelok di ujung koridor dan melihat Hongjoong telah berada di depan lift.

Hongjoong yang baru saja memencet tombol lift mau tak mau memutar badan. Seohyun pun sekali lagi berdiri di hadapannya. “Jangan terlalu cepat membuat keputusan,” wanita itu berkata. “Kau punya banyak waktu untuk mempertimbangkannya, tidak masalah berapa lama. Paling tidak, pikirkan dulu sisi positifnya untuk masa depanmu.”

Sejenak Hongjoong memandang sang ibu lekat-lekat. Sorot matanya perlahan berubah tanpa disadari Seohyun.

“Apa Anda memperlakukan semua kolega Anda seperti ini?”

Diam-diam Seohyun terkesiap.

“Saat ini, Anda berbicara denganku sebagai Manajer di sini atau sebagai Han Seohyun?”

“Hongjoong, kenapa kau bicara seperti itu?”

“Manajer Han—” panggilan ini membuat tenggorokan Hongjoong terasa tercekat, “—Anda melakukan ini hanya karena perintah dari Presdir, kan?”

“Apa—? Tidak,” Seohyun menjawab.

“Kalau begitu Anda melakukan ini benar-benar karena Anda menghargai karyaku? Atau ... karena ini aku?

Karena aku putramu?

Seohyun menyadari ada sedikit penekanan pada cara Hongjoong mengucap kata terakhir.

Hongjoong bahkan tak berani lagi mengaku sebagai seorang putra atau menyebut wanita di hadapannya tersebut sebagai ibunya. Dia tidak pernah ingin menjadi anak yang durhaka, tapi ibunya meminta hal ini darinya.

“Hongjoong, aku melakukan ini untuk kebaikanmu.”

“Tolong jangan lakukan itu,” ucap Hongjoong.

Sekali lagi Seohyun dibuat terkesiap.

“Kalau Anda hanya ingin berbisnis denganku, maka lakukan sepenuhnya seperti itu sampai akhir,” Hongjoong berbicara saat sekejap Seohyun terdiam. “Anda bilang Anda punya keluarga dan karier yang harus dijaga—dan karena itu Anda tidak ingin aku muncul sebagai putra Anda, bukan? Aku mengerti itu—aku akan melakukannya. Karena itu ... tolong hentikan ini semua.”

“Hongjoong, setidaknya biarkan aku melakukan ini,”—untukmu.

“Tidak.” Hongjoong menggeleng. Sorot matanya tampak nanar menatap sang ibu. “Jangan lakukan,” ucapnya. “Itu hanya akan membuatku merasa semakin buruk.”

Eomma minta maaf, Seohyun ingin mengucapkan ini, tapi menyangkut di ujung lidahnya.

Pada detik ini Hongjoong tahu ibunya terluka, tapi dia berharap wanita tersebut menyadari bahwa putranya ini juga merasakan hal yang sama. Perasaan Hongjoong masih sakit, dan hingga saat ini dia belum berhasil menyembuhkan dirinya. Bagaimanapun situasinya, kehadiran sang ibu di depan matanya akan selalu terasa seperti garam di atas luka batinnya.

“Aku tidak bisa selamanya berpura-pura. Orang yang melahirkanku ada di depan mataku, tapi aku harus bersikap seperti tidak pernah mengenalnya—itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.”

Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Hongjoong, dan tepat saat itu lift di belakangnya berdenting. Pintu lift terbuka. Hongjoong pun membalikkan badannya dan melangkah cepat masuk ke dalam lift. Tanpa memandang sang ibu lagi dia menutup pintu dan memencet tombol lantai dasar.

Sesudah pintu lift menutup pandangan, Hongjoong tak bisa menahan air matanya lebih lama lagi. Tetes demi tetes air mata mulai luput dan lama kelamaan membasahi wajahnya. Dia berharap semoga tak ada orang lain yang masuk sampai lift mengantarnya ke parkiran bawah tanah.

Sementara itu, Seohyun masih berdiam di depan pintu lift yang tertutup. Dia tak segera pergi karena kata-kata Hongjoong masih menggema di kepalanya.

“Anda tidak ingin aku muncul sebagai putra Anda, bukan? Aku mengerti itu—aku akan melakukannya.”

Seohyun yang membuat Hongjoong mengatakan itu.

“Orang yang melahirkanku ada di depan mataku, tapi aku harus bersikap seperti tidak pernah mengenalnya—”

Dan itu juga.

Jika mendengarkannya saja terasa sesakit ini, maka seberapa sakit bagi Hongjoong saat mengatakan itu semua? Seohyun tak bisa berhenti mempertanyakan ini dalam benaknya.

Di saat yang sama, kata-kata Seonghwa yang kemarin disampaikan pun turut serta melintas kembali di pikiran Seohyun.

“Aku mohon ... tolong jangan suruh Hongjoong untuk pura-pura tidak mengenal ibunya sendiri.”

Memang terlambat, tapi kini Seohyun akhirnya menyadari betapa jahat yang sudah dilakukannya—kepada banyak orang, dan terlebih-lebih pada Hongjoong. Padahal, pemuda tersebut adalah putranya, darah dagingnya sendiri.

Sesaat berselang Seohyun menghela napas dan mengusap keningnya. Dia akhirnya berbalik untuk kembali menemui Presdir.

Namun, saat melangkah di belokan koridor, dia menemukan Jongho telah berdiri di sana menyandar ke tembok sambil memegang ponsel. “Jongho?” dia memanggil dengan nada terkejut sekaligus bertanya-tanya. Sekejap dia sempat panik. “Sejak kapan kau di sini?” dia bertanya. Dilihatnya Jongho melepas sepasang airpod dari kedua telinganya. Jadi dia bertanya lagi, “Apa kau mendengarnya?”

Seohyun ketar-ketir sendiri, cemas kalau-kalau Jongho mendengar percakapannya dengan Hongjoong.

Sementara itu Jongho tampak memandang dengan kening berkerut. “Dengar apa?” dia bertanya. “Sesuatu yang rahasia, ya?”

Seohyun merasa gugup, tapi diam-diam juga lega. “Bukan apa-apa,” dia menjawab. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau tidak sekolah?”

“Aku mencari Eomma, tapi Paman Jung bilang Eomma sedang rapat dengan Presdir, jadi aku menunggu di sini. Rapatnya sudah selesai sekarang?”

Eomma sudah selesai, tapi Eomma masih harus mengurus beberapa hal lagi. Apa kau butuh sesuatu?”

“Tidak—tidak apa, nanti saja. Kalau kalau Eomma masih sibuk, aku akan menunggu di kantin sampai jam istirahat Eomma.”

Jongho memasukkan ponselnya ke saku seragam dan berjalan meninggalkan sang ibu.

Selama beberapa saat Seohyun masih memandang punggung sang putra yang selangkah demi selangkah menjauh darinya. Dalam hati dia masih merasa cemas.

Dan pada kenyataannya, kecemasan Seohyun tak salah.

Beberapa waktu lalu Jongho memang mendengar semua yang dibicarakan Seohyun dan Hongjoong. Semuanya. Tak terkecuali satu pun. Karena itu pula kini Jongho merasa perlu sejenak menjauh dari sang ibu demi mencernanya baik-baik. Situasi ini sungguh-sungguh di luar rencana. Tujuan Jongho datang menemui sang ibu di tempat kerja bukanlah untuk mendapatkan kejutan seperti ini.

Segala yang didengar masih berputar di kepala Jongho.

“—karena itu Anda tidak ingin aku muncul sebagai putra Anda, bukan?”

“Orang yang melahirkanku ada di depan mataku, tapi aku harus bersikap seperti tidak pernah mengenalnya—itu bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.”

Semua perkataan itu, Jongho masih mencoba memahami apa maksudnya. Dia berharap yang beberapa menit lalu didengarnya hanyalah sebuah kesalahpahaman—semoga telinganya salah mendengar dan otaknya salah menangkap—dan yang paling penting, dia berharap sosok yang dilihatnya bersama sang ibu bukanlah Kim Hongjoong yang dikenalnya.

Kenapa Hongjoong mengatakan itu semua?

Pasti ada sedikit kesalahpahaman di sini.

Sebab, ini terasa gila. Terlalu banyak yang harus dicerna.

.

.

.

Pada jam istirahat makan siang, Seonghwa meninggalkan mejanya lebih cepat dari rekannya yang lain. Hari ini pun dia tak berkumpul bersama-sama teman-teman satu divisinya di kantin. Keluar dari pintu lobi, dia berjalan menuju sebuah kafe yang letaknya tak begitu jauh.

Di sana, di salah satu meja outdoor kafe, Hongjoong telah menunggu dengan manisnya.

“Kau belum pesan?” Seonghwa bertanya sembari menarik kursi di hadapan Hongjoong.

Untuk sesaat Hongjoong berjengit sebab tak menyadari kehadiran Seonghwa, tapi dia menyembunyikan ekspresinya dengan baik. Sambil tersenyum dia menggelengkan kepala. “Aku menunggumu,” jawabnya.

Seonghwa pun memanggil pelayan untuk memesan. Selagi pemuda tersebut berbicara dengan si pelayan, Hongjoong tak mengatakan apa-apa dan menyerahkan saja urusan tersebut kepada sang kekasih.

Saat ini Hongjoong sedang tak ingin membuat keputusan apa pun. Alhasil, saat Seonghwa bertanya apa yang ingin dipesannya, Hongjoong hanya menjawab, “Samakan saja denganmu.”

Tak mempertanyakannya, Seonghwa menuruti apa yang diinginkan Hongjoong.

Sesudah pelayan pergi, Seonghwa menatap Hongjoong. “Jadi, bagaimana rapatnya hari ini?” dia bertanya.

“Baik.” Hongjoong mengulas senyum simpul.

Jawabannya kelewat simpel. Seonghwa akhirnya menyadari Hongjoong tak ingin membahas lebih jauh. Itu artinya sesuatu mungkin berjalan tak sesuai keinginan pacarnya tersebut.

“Terima kasih sudah mengizinkanku membawa mobilmu, Seonghwa,” Hongjoong berkata, dan Seonghwa pun tersenyum.

“Kau bisa menggunakannya kapan saja,” jawab Seonghwa. “Kau akan ke stasiun radio setelah ini?”

Hongjoong mengangguk. “Aku akan tinggalkan mobilnya di tempat parkir kantor.”

“Kau bisa membawanya lagi, Hongjoong.”

“Kalau begitu pulang nanti aku akan menjemputmu.”

“Tidak apa, kau bisa langsung pulang.”

“Tidak, Seonghwa.” Hongjoong menggeleng. “Biarkan aku melakukannya—aku ingin.”

Hongjoong menarik senyum lagi, dan untuk suatu alasan Seonghwa merasa ada yang tak biasa dari senyum itu. Bahkan, ada yang tak biasa dari Hongjoong sedari tadi. Seonghwa berasumsi bahwa pertemuan dengan orang KQ hari ini bukan hanya tak berjalan dengan baik. Sesuatu mungkin membuat perasaan Hongjoong memburuk.

Seonghwa menahan diri untuk tidak menanyakannya sebelum Hongjoong berinisiatif membagi dengannya. Dia mengusahakan sebisa mungkin, bahkan selama belasan menit yang selanjutnya mereka habiskan bersama. Akan tetapi dia ingin memastikan bahwa kepeduliannya sampai pada Hongjoong.

Jadi saat berjalan meninggalkan kafe, Seonghwa serta-merta berkata pada Hongjoong, “Kau mau aku memelukmu?”

Kedua kaki Hongjoong spontan terhenti mendengar pertanyaan dadakan tersebut. Dia menoleh pada Seonghwa dan mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba?”

“Karena kau terlihat membutuhkannya,” Seonghwa berkata.

“Apa yang kau bicarakan?” Hongjoong bertanya, tapi pada detik berikutnya Seonghwa sudah maju dan meraihnya.

Seonghwa tak menunggu jawaban Hongjoong lagi. Dia berinisiatif saja memeluk. “Kalau ada yang bisa kulakukan untuk membuatmu merasa lebih baik, katakan saja, Hongjoong,” dia berkata.

“Seonghwa, kau ini bicara apa? Aku tidak—”

Kata-kata Hongjoong terpotong karena Seonghwa menyela, “Aku tahu, Hongjoong. Apa kau pikir aku tidak menyadarinya? Menurutmu sudah berapa lama kita ini saling mengenal?”

Hongjoong terdiam. Benar, dia memang tak bisa terus berpura-pura di hadapan Seonghwa. Lelaki tersebut pasti akan tahu juga walau bagaimanapun. Hongjoong tidak bisa berbohong karena Seonghwa kelewat baik mengenalnya.

“Tidak apa kalau kau tidak mau membicarakannya, tapi paling tidak jangan menyembunyikannya dariku, Hongjoong. Biarkan aku menghiburmu,” Seonghwa berkata selagi Hongjoong masih diam dalam pelukannya.

Saat ini Hongjoong tidak tahu bagaimana harus menyampaikan keluh kesahnya. Dia tidak berniat menyembunyikan diri dari Seonghwa, tapi membicarakan apa yang membebani hatinya memang menjadi hal terakhir yang ingin dilakukannya kala bersama sang kekasih. Sejujurnya dia malah berharap keberadaan Seonghwa bisa membuatnya lupa.

Selagi belum ada kata-kata yang didengarnya, Seonghwa merasakan tangan Hongjoong terangkat dan melingkar di pinggangnya. Pemuda itu mulai menenggelamkan wajah ke bahunya.

“Hongjoong ...”

“Aku cuma ingin ini darimu, Seonghwa,” Hongjoong berkata nan lirih.

Hongjoong hanya ingin Seonghwa bersamanya—Seonghwa seorang, tanpa perlu lelaki tersebut melakukan apa-apa. Sebab, keberadaan Seonghwa sendiri sudah mampu membuat Hongjoong bertahan.

Hari ini terasa berat bagi Hongjoong. Setiap kali dia memikirkan ibunya, bertemu dan bertatap muka, tidak ada yang dirasakan Hongjoong kecuali rasa sakit. Rasanya seperti dia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain momen saat sang ibu menyuruhnya pergi pada hari pertama mereka bertemu. Dengan semua rasa sakit itu, hanya Seonghwa yang mampu memberikan obat bagi batin Hongjoong.

“Sebentar saja tak apa,” Hongjoong kembali berkata. Suaranya teredam di bahu Seonghwa. “Aku cuma ingin memelukmu seperti ini.”

Seonghwa pun tak mengatakan apa-apa lagi. Sembari mengusap punggung Hongjoong nan lembut, dibiarkannya lelaki tersebut tenggelam dalam dekapannya.

Mereka berpelukan cukup lama pada waktu itu. Apa yang ada di sekeliling mendadak tak lagi dihiraukan. Berada di tepi jalan dengan pejalan kaki lain yang berlalu-lalang pun tak menjadi gangguan bagi keduanya saling berbagi emosi.

. . .

Di akhir hari, seperti yang direncanakan, Hongjoong kembali ke kantor Seonghwa sesudah dari stasiun siaran. Ketika telah terlihat sang kekasih berjalan meninggalkan gedung kantor, Hongjoong pun membuka pintu dan melangkah keluar dari mobil.

Seonghwa tampak tersenyum ketika melihat siluet Hongjoong dari kejauhan. Dia melambaikan tangan seraya mempercepat langkah. Begitu telah berhadap-hadapan, Hongjoong tak mengatakan apa-apa terus maju hingga dirinya bisa menggapai dan memeluk Seonghwa. Sekejap Seonghwa terkejut dibuatnya. “Hongjoong? Ada apa?” dia bertanya, keheranan sebab ini cukup tak biasa.

Sempat terdiam ragu, Hongjoong kemudian menjawab saja nan lirih, “Aku rindu.”

Jawaban Hongjoong yang kelewat singkat dan padat nyaris membuat tawa Seonghwa pecah. “Apa katamu?” dia masih pula mempertanyakan sekali lagi.

Rindu? Seonghwa bertanya dalam batinnya, adakah yang salah dengan telinganya? Benarkah yang sedang bersama dengannya sekarang adalah Kim Hongjoong? Benarkah ini Hongjoong yang dikenalnya—kekasihnya?

Apa Hongjoong sedang memainkan drama?

Tak melepaskan pelukan, Hongjoong kemudian malah menunduk di bahu Seonghwa dan menggeram. “Jangan minta aku mengulanginya lagi, Seonghwa. Kau sudah mendengarnya dengan jelas, kan?”

“Hongjoong, sejak kapan kau jadi manja begini?” Seonghwa bertanya, setengahnya sedang menggoda karena gemas, setengahnya lagi betul-betul bertanya.

“Aku tidak manja.”

“Lalu apa artinya ini semua? Kau tiba-tiba memelukku dan mengatakan kau rindu padaku—” Seonghwa tertawa, “—kau tidak pernah seperti ini, Hongjoong.”

“Kau tidak suka?”

Seonghwa masih ingin tertawa, tapi kini dia berusaha menghentikannya dengan berdehem. “Bukan aku tidak suka,” dia membalas seraya mengacak-acak rambut Hongjoong. “Hanya saja ... sekarang aku jadi khawatir, Hongjoong.”

Sesaat Hongjoong diam saja, dan itu membuktikan bahwa kecemasan Seonghwa memang bisa dimengerti.

“Perasaanmu belum membaik, ya?” Seonghwa bertanya lagi.

“Maaf membuatmu khawatir, Seonghwa.”

“Kau yakin hanya ingin pelukan dariku? Hari ini aku akan jadi ibu peri untukmu, Hongjoong. Jadi kau bisa minta apa saja padaku.”

Kalau saja Seonghwa tahu, Hongjoong diam-diam mengulas senyumnya saat ini. Sembari menggeleng pelan, Hongjoong pun menjawab, “Sekarang aku cuma ingin ini.”

“Hanya ingin dipeluk.” Seonghwa mengangguk-angguk selagi menautkan jemarinya di punggung Hongjoong. “Oke, kita bisa berpelukan sebentar sebelum pulang.”

Seonghwa turut tersenyum saat dirasakannya Hongjoong membenamkan wajah ke pundaknya.

Pada saat itu tampak tiga orang karyawan keluar dari gedung. Ada dua orang pria dan seorang wanita. Ketiganya lewat di sebelah Seonghwa—dan sudah pasti sambil pula melirik ke arah Seonghwa meski tanpa bersuara.

Mereka adalah rekan Seonghwa dari divisi yang sama.

Seketika itulah Seonghwa menyadari kehadiran ketiganya. Dia juga tersadar bahwa tiga temannya tersebut tengah tersenyum amat lebar sambil menaik-turunkan alis selagi melihatnya. Mereka seperti tengah mengejek Seonghwa melalui gelagat mereka.

Seonghwa baru saja kepergok bermesraan dengan pacarnya di depan kantor. Ditambah lagi, Yunho—juniornya yang paling usil dan penuh rasa ingin tahu—ada di antara orang-orang barusan. Sudah bisa dipastikan Seonghwa akan digoda habis-habisan selama seminggu ke depan.

Itulah akibatnya jika membawa pacar ke lingkungan kerja.

. . .

Di malam hari, Hongjoong rupanya masih meneruskan tingkah tak biasanya. Seonghwa baru saja selesai mengenakan piyamanya, saat pintu terbuka dan muncullah Hongjoong yang mengintip ke dalam. Mencoba menebak isi pikiran kekasihnya, Seonghwa tersenyum dan merentangkan kedua tangannya. “Mau pelukan lagi?”

Hongjoong tanpa sungkan melangkah masuk. Tanpa pula mengatakan sepatah kata, kali ini dia menubruk Seonghwa hingga pemuda tersebut ambruk ke tempat tidur.

“Hongjoong—” Seonghwa sempat berseru karena terkejut, tapi Hongjoong tak peduli dan tetap memeluk. Pada akhirnya Seonghwa tertawa juga karenanya. “Kurasa kau ingin dipeluk sampai pagi malam ini,” dia menyimpulkan selagi tubuh Hongjoong menindihnya.

“Kau tidak keberatan, kan?” Hongjoong bertanya tanpa mengangkat kepalanya dari dada Seonghwa.

“Sama sekali tidak,” Seonghwa menimpali seraya menghirup aroma shampo di rambut Hongjoong—wangi lemon bercampur mint.

“Seonghwa, aku sedang memikirkan sesuatu saat ini.”

“Sesuatu?” Seonghwa bertanya-tanya. “Maukah kau membaginya denganku? Apa yang sedang kau pikirkan?”

“Bagaimana menurutmu kalau aku benar-benar berhenti membuat musik dan mulai fokus pada hal lain?”

“Hal lain? Seperti apa contohnya?”

“Iya—hal lain,” kata Hongjoong. “Aku belum tahu apa, tapi aku pasti akan menemukannya.”

“Tapi kau suka musik, kan?”

“Aku suka, hanya saja ....”

Seonghwa menunduk untuk melihat Hongjoong saat kata-kata tersebut tak kunjung berlanjut. “Apa ini karena ibumu?”

Tebakan Seonghwa tak pernah meleset.

Hongjoong lantas berkata, “Masalahnya, aku sekarang tidak tahu apa aku masih ingin terus menulis lagu atau tidak, Seonghwa. Aku dulu mengenal musik karena ibuku, aku juga suka pada musik karena ibuku, dan sekarang ... setelah apa yang terjadi ... untuk apa aku masih bermusik?”

“Kau bisa bermusik untuk dirimu sendiri, Hongjoong. Tulis lagu tentang dirimu sendiri dan berikan pada dirimu sendiri.”

“Untuk diri sendiri, ya?”

“Iya—untukmu sendiri, Hongjoong—bukan siapa-siapa. Kau tidak harus membahagiakan orang lain.”

“Apa menurutmu aku masih bisa terus bermusik?”

“Apa maksudmu? Tentu saja kau bisa.”

Sedetik dua detik Hongjoong diam, barangkali sedang memikirkan ucapan Seonghwa dengan lebih serius. “Seonghwa, apa kau suka laguku?”

“Suka—aku sangat suka.”

“Yang mana?”

“Semua yang pernah kau tunjukkan padaku.”

Hongjoong terkekeh mendengarnya. “Seonghwa, kau tidak mungkin ingat semua lagu yang pernah kutunjukkan padamu, kan? Pasti ada satu atau dua yang kau suka.”

“Aku suka semua, Hongjoong—dan asal kau tahu saja, aku tidak bercanda saat aku bilang aku ingat semua. Aku bahkan ingat lagu pertama yang kau tulis saat masih SMA, yang kau nyanyikan di perpustakaan. Itu tentang seseorang yang baru memulai petualangan, kan? Persis seperti Peterpan.”

Seketika itu Hongjoong mengangkat wajahnya. “Benarkah?” Ekspresinya tampak terperanjat menatap Seonghwa.

“Kau tidak ingat lagumu sendiri?”

“Tidak, bukan itu—maksudku, kau benar-benar ingat, Seonghwa? Kau ingat sampai sedetail itu?” tanya Hongjoong.

Seonghwa mengangguk. “Aku suka semua tentangmu, Hongjoong. Aku tidak ingin menghapusmu dari ingatanku.”

“Seonghwa ...”

Kata-kata Seonghwa merasuk ke dalam hati Hongjoong dan menumbuhkan sesak tersendiri—yang anehnya juga membuatnya bahagia. Begitu emosional dibuatnya, Hongjoong serta-merta kehilangan kata-kata dan hanya bisa menatap Seonghwa dalam diam.

Mimik wajah Hongjoong mengundang tawa gemas Seonghwa. “Kenapa menatapku seperti itu? Apa kau sedang terpesona?”

Seakan terhipnotis, Hongjoong mengangguk. Tanpa malu-malu dia mengaku, “Iya. Kau keren sekali, Seonghwa.”

Sekali lagi Seonghwa tertawa.

“Seonghwa, boleh aku menangis?”

“Kenapa?” Seonghwa semakin ingin tertawa.

“Rasanya aku ingin menangis saat ini, Seonghwa.”

“Kenapa kau ingin menangis? Tidak boleh, Hongjoong.” Seonghwa mendorong kening Hongjoong menggunakan telunjuknya. “Jangan sekarang.”

“Tapi aku benar-benar tersentuh, Seonghwa,” Hongjoong berkata, lalu kembali menundukkan kepalanya ke dada Seonghwa. Suaranya pun teredam saat dia menambahkan, “Kau membuatku ingin menangis.”

“Sudah kubilang tidak boleh, Hongjoong! Jangan menangis gara-gara aku.”

“Tapi ini memang gara-gara kau.” Suara Hongjoong terdengar parau.

Dan Seonghwa pun mulai kebingungan, berpikir kalau kekasihnya betul-betul menangis. “Hei, kau tidak serius, kan? Hongjoong—hei, kau benar-benar menangis?”

“Aku tidak bisa menghentikan air mataku, Seonghwa.”

“Hongjoong, jangan menangis!”

.

.

.

Akhir pekan telah tiba. Ini adalah hari di mana Hongjoong akan pergi bersama sang kekasih menonton pertunjukan dan bertemu langsung dengan idolanya di sekolah Jongho. Ini mestinya menjadi hari yang menggembirakan.

Namun saat ini Hongjoong justru memasang tampang suram.

“Aku benar-benar minta maaf, Hongjoong.”

Kata-kata Seonghwa tersebut pun masih tak mendapat respons dari Hongjoong.

Apa lagi yang mesti dilakukan Hongjoong? Dia menanti-nanti datangnya momen kencan ini. Akan tetapi, beberapa menit lalu Seonghwa tiba-tiba saja mengatakan kalau dirinya tidak bisa pergi. Penyebabnya adalah pekerjaan—perintah langsung dari direktur, pertemuan penting serta mendadak dengan investor yang hanya bisa ditangani oleh Seonghwa.

Timingnya betul-betul tepat beberapa saat sebelum mereka akan berangkat.

Yang benar saja.

Kecewa, marah, sedih, tak perlu dibayangkan lagi bagaimana perasaan Hongjoong saat ini. Hal paling buruk, dia tak diperbolehkan protes karena ini bukan salah Seonghwa. Bagaimanapun Seonghwa juga tak bisa mengendalikan situasi ini.

“Hongjoong, kau marah?”

Itu pertanyaan bodoh. Begitu kesal Hongjoong saat ini sampai dia tidak tahu lagi harus bagaimana mengungkapkannya.

Harus marah pada siapa?

Hanya menghela napas, Hongjoong kemudian membalikkan badan dari Seonghwa dan berjalan menuju kamarnya. Seonghwa pun menyusulnya sambil memanggil, “Hongjoong!”

Seonghwa ingin setidak-tidaknya membujuk Hongjoong agar tak marah atau merajuk, sekalipun dia sendiri tahu pacarnya tersebut berhak demikian. Bagaimanapun dirinya telah mengecewakan sang kekasih.

Di dalam kamar pun Hongjoong tak juga menoleh pada Seonghwa. Dia mengabaikan panggilan Seonghwa dan berjalan meraih ponsel serta dompetnya di meja, sesudah itu berbalik lagi menuju pintu.

“Hongjoong,” Seonghwa kembali memanggil saat Hongjoong berlalu di hadapannya tanpa sedikit pun melirik.

Hongjoong berjalan mengisi mangkuk makanan Kongie di dekat rak sepatu, dan Seonghwa di belakangnya kembali memanggil, tapi kembali pula diabaikan.

Ketika Hongjoong mengenakan sepatu di depan pintu, Seonghwa menghampiri dan sekali lagi berkata, “Hongjoong, aku benar-benar minta maaf.”

Hongjoong masih membisu.

Jadi Seonghwa pun terus membujuk, “Aku akan mengganti hari ini dengan sesuatu yang lain—kita bisa pergi jalan-jalan besok—ya? Atau, aku akan mengajakmu nonton konser Day6 lain kali. Aku sungguh minta maaf tidak bisa menemanimu hari ini, Hongjoong.”

“Kau sudah janji, Seonghwa.”

Ucapan tersebut serasa menghantam batin Seonghwa. Dia semakin merasa bersalah.

Hongjoong bahkan tak juga mau memandang saat mencerca Seonghwa dengan fakta tersebut.

“Aku tahu itu—aku benar-benar minta maaf, Hongjoong. Kau harus tahu kalau aku juga tidak ingin ini terjadi—dan aku sangat menyesal.”

Mau apa pun alasannya, itu tak akan memperbaiki situasi dan tak membuat perasaan Hongjoong membaik. Dia bisa saja berbesar hati, mencoba memahami keadaan dan menerima, mengatakan bahwa tak apa, ini sama sekali bukan masalah, tapi ego membungkam mulutnya untuk berkata-kata. Dadanya telanjur sesak. Sekali-sekali dia juga ingin diprioritaskan sebelum pekerjaan.

Kalau saja Seonghwa tahu, Hongjoong sudah membuat rencana mengenai apa-apa saja yang akan mereka lakukan bersama sesudah pertunjukan hari ini. Sekarang semua itu hanya ada dalam angan Hongjoong.

“Kau mau aku mengantarmu?”

Masih tak memandang pada Seonghwa, Hongjoong berdiri dan membuka pintu.

“Atau, kau mau membawa mobil sendiri?” Seonghwa merogoh kunci mobil di sakunya, tapi Hongjoong berjalan melewatinya menuju pintu

Sekali lagi Seonghwa diabaikan.

Seonghwa mencoba menghentikan Hongjoong dengan memegang pundaknya. Dia semata-mata tidak ingin membiarkan pacarnya tersebut pergi meninggalkan rumah begitu saja dengan pertengkaran kecil tak terselesaikan ini. “Hongjoong, kumohon—”

Akan tetapi Seonghwa tetap tak bisa mencegah Hongjoong melangkah keluar.

Seakan Seonghwa tak ada di sana, Hongjoong terus berjalan dan menutup pintu tepat di depan wajah pemuda tersebut. Bukan hanya tak mendengar segala penjelasan dan bujuk rayunya, kini Hongjoong bahkan merasa enggan memandang wajah Seonghwa. Dengan langkah sebal dia meninggalkan rumah tanpa sekali pun menoleh lagi ke belakang.

Di dalam, Seonghwa pun mengusap wajahnya sambil menarik napas panjang. Tak diberi kesempatan, dia tidak tahu bagaimana menghadapi Hongjoong yang merajuk. Mungkin karena sekarang mereka berpacaran, ini pertama kalinya Hongjoong bersikap kekanak-kanakan seperti ini terhadap Seonghwa.

“Sialan,” Seonghwa mengumpat—bukan pada siapa-siapa, melainkan atasannya yang kelewat diktator memberinya perintah di hari libur.

Di sebelah mangkuk makanan kucing yang baru berkurang separuh isinya, tampak Kongie mendongak dan mengeong pada Seonghwa. Makhluk kecil tersebut kemudian berjalan mendekat, lalu mengusap-usapkan kepala ke kaki Seonghwa.

Seonghwa menunduk. Seakan Kongie dan dirinya saling mengerti bahasa satu sama lain, dia berkata sambil mengulas senyum kecil, “Aku tahu, aku akan bicara dengan ayahmu lagi nanti. Terima kasih sudah menghiburku.”

. . .

Hongjoong akhirnya sampai lebih awal di sekolah Jongho. Pertunjukan belum dimulai, tapi sejak dari gerbang pun orang-orang dari luar sudah ramai berdatangan. Tak mengherankan, selebaran telah disebar sejak minggu-minggu sebelumnya dan semua penggemar Day6 pastinya tahu akan pertunjukan ini.

Di luar perkiraan Hongjoong, sekolah Jongho rupanya lebih besar dari yang terlihat di luar. Seperti yang bisa dibayangkan dari sekolah elite. Taman luas menyambut di balik gerbang, gedung-gedung kelas pun berjajar dengan pemandangan para siswa yang berlalu-lalang di dalamnya tampak melalui jendela koridor.

Membaur bersama pengunjung yang lain, Hongjoong berjalan melewati gedung kelas. Di baliknya, lapangan sepak bola nan luas pun menjadi pemandangan. Tak menghentikan kaki, dia berjalan mengitari gedung kelas lainnya dan berjalan di sekitar lapangan tenis. Di sana pun ramai orang dari luar maupun dalam.

Akan tetapi, sosok Jongho tak terlihat di antara siswa-siswi yang ada di sana. Hongjoong agak kesulitan menemukan Jongho dalam waktu singkat. Pemuda tersebut juga tak menjawab panggilan saat Hongjoong mencoba meneleponnya.

Datang tanpa ditemani sang kekasih, berputar-putar sendirian seperti anak kecil yang tersesat, itulah Kim Hongjoong. Di tambah lagi, Hongjoong masih belum menemukan letak gedung olahraga dan gimnasium—tempat di mana pertunjukan akan berlangsung, menurut seorang siswi yang Hongjoong tanyai di lapangan.

Semakin sempurna saja hari ini.

Sekitar dua puluh menit Hongjoong berkeliling, akhirnya dia berhasil menemukan gedung olahraga yang dituju. Di pintu masuk bangunan nan besar tersebut terdapat spanduk selamat datang yang cukup besar pula. Tampak juga beberapa siswa di sana menyambut para pengunjung.

Hongjoong tak segera masuk dan sejenak memperhatikan keadaan di sana

Di sebelah gedung olahraga, terdapat stan kecil milik para murid yang menjual berbagai macam pernak-pernik tak resmi dari Day6, seperti gantungan kunci, kipas, stiker, atau aksesoris kecil lainnya. Ada pula stan yang menawarkan foto langsung cetak menggunakan polaroid. Selain itu, ada lagi jajaran stan-stan yang menjual berbagai macam camilan lezat.

Perayaan hari itu benar-benar terasa seperti festival meriah.

Amat disayangkan Hongjoong dan Seonghwa tak bisa datang bersama. Mereka mungkin bisa menikmati semua kesenangan tersebut bersama saat ini.

Karena tak tertarik melihat-lihat seorang diri, Hongjoong memilih untuk berjalan memasuki gedung olahraga.

Akhirnya, panggung yang akan menjadi tempat band favorit Hongjoong tampil pun terlihat. Pada waktu itu yang ada di atas panggung adalah siswa-siswi dari klub teater. Mereka baru saja memulai penampilan drama “Rapunzel”.

Hongjoong tak menonton di depan panggung bersama pengunjung yang lain. Kedatangannya ke sini adalah untuk bertemu Jongho serta sang idola—dan Day6 baru akan tampil sesudah jam makan siang, itu masih lama. Karenanya, Hongjoong kemudian berjalan menuju ruangan yang terdapat tulis DILARANG MASUK di pintunya. Itu adalah pintu menuju belakang panggung.

Menggunakan tanda pengenal yang diberikan Jongho, Hongjoong diizinkan masuk dan bisa berjalan-jalan dengan leluasa di sana.

Hingga tak lama, sosok yang dicari-cari akhirnya tertangkap oleh penglihatan Hongjoong. “Jongho!” Ekspresi Hongjoong seketika berseri-seri begitu menemukan Jongho tengah berdiri di belakang satu set soundsystem. Pemuda tersebut tampak melihat penampilan di atas panggung dari balik tirai.

Mendengar namanya diserukan, Jongho menoleh, dan tahu-tahu Hongjoong telah berdiri di hadapannya. “Akhirnya ketemu!” Hongjoong berujar dengan riang.

Akan tetapi, Jongho sekejap tampak gugup. “Hongjoongie Hyung, kau datang?” dia berkata, yang amat terdengar janggal bagi Hongjoong.

Hongjoong pun menyikut Jongho. “Apa maksud pertanyaanmu itu? Tentu saja aku akan datang. Tidak mungkin aku melewatkan ini.”

Jongho tertawa-tawa kecil selagi memandang Hongjoong. “Aku senang kau datang, Hyung,” dia berkata, tapi kemudian memandang ke arah lain. Sorot matanya berkesan menghindar.

Sementara itu pandangan Hongjoong mendadak terpaku pada tas gitar yang sedari tadi berada di punggung Jongho. “Kau akan memainkannya?” dia bertanya seraya menunjuk gitar tersebut.

“Oh—ini?” Jongho sejenak melirik, lalu tersenyum canggung. Sambil mengusap tengkuk dia berkata, “Iya, begitulah”

“Jadi, aku benar, kan? Kau akan tampil juga!”

Reaksi Hongjoong ternyata agak melebihi bayangan Jongho. Pria kecil tersebut terlihat begitu antusias. Ketika Jongho menganggukkan kepala, Hongjoong segera bertanya, “Sendiri? Atau bersama temanmu?”

“Aku akan tampil dengan teman-teman sekelasku,” jawab Jongho seraya sejenak mengarahkan pandangan ke belakang, di mana tak jauh darinya empat siswa dengan instrumen masing-masing tampak bergurau bersama.

Selagi menoleh pada Hongjoong lagi, Jongho berkata, “Sebenarnya, aku ingin langsung menunjukkannya saja padamu, Hyung—tapi kau sudah tahu sekarang.”

“Aku tahu sejak awal atau tidak apa bedanya? Aku tetap bangga padamu, Jongho!” Hongjoong bergerak memeluk Jongho, demikian erat sampai-sampai membuat Jongho mengerjap-ngerjapkan mata.

Hyung, lepaskan. Kau bisa membunuhku,” ujar Jongho sambil pura-pura sesak napas.

Sambil tertawa Hongjoong melepaskan pelukannya, dan Jongho lantas berkata, “Hyung, ayo aku ajak berkeliling.”

Ajakan tersebut belum sempat mendapat respons dari Hongjoong. Sebab, tahu-tahu saja Jongho sudah merangkulnya dan membawa langkah keduanya keluar. “Jongho, tunggu sebentar!” Hongjoong berkata, tapi Jongho terus saja berjalan.

“Aku akan perlihatkan sekolahku padamu,” ujar Jongho.

“Entahlah, kurasa aku tidak ingin berkeliling lagi saat ini, Jongho.” Hongjoong mengingat-ingat betapa luas area sekolah Jongho yang beberapa saat lalu belum selesai dia jelajahi sekalipun kakinya sudah hampir pegal, dan kini dia berpikir bahwa dirinya sudah cukup berjalan-jalan.

Akan tetapi Jongho tak berhenti dan tetap mendorong Hongjoong berjalan. “Ini tour dariku,” pemuda tersebut berkata.

“Tour?” Hongjoong mengulangi perkataan Jongho dengan senyum getir di wajahnya. Membayangkan saja sudah membuatnya penat.

“Ayo, ayo!”

Tak bisa menolak kemauan Jongho, pada akhirnya Hongjoong kembali ke luar dan berjalan melihat-lihat sekolah. Ya, tidak apa. Sejujurnya, itu cukup menghibur Hongjoong. Anggap saja ini ganti dari kencannya dengan Seonghwa yang gagal hari ini.

Sekarang dua pemuda itu terlihat berjalan di tepi lapangan sepakbola Di tengah lapangan, sekelompok remaja yang mengaku sebagai anggota resmi fansclub Day6 tengah berkumpul untuk membuat flashmob. Sambil menonton keseruan tersebut dari kejauhan, Hongjoong dan Jongho tak berhenti bertukar obrolan.

“Ngomong-ngomong, aku tidak melihat San hari ini? Apa dia tidak datang? Kukira kau akan tampil dengannya?”

Jongho menggelengkan kepala. “San itu tidak suka jadi pusat perhatian. Aku yakin sekarang dia sedang berduaan dengan pacarnya di suatu tempat,” jawabnya. Seperti biasa, nada bicaranya kentara mengejek jika sudah membicarakan sang kakak sepupu.

“San punya pacar?”

“Oh, iya. Baru saja jadian.”

“Bagaimana denganmu?”

“Hah? Aku kenapa?” Jongho balik bertanya sambil menoleh dan mengangkat sebelah alis.

Hongjoong pun bertanya, “Apa kau juga punya pacar?”

Dan Jongho serta-merta tertawa—terlihat sedang menyembunyikan malu. “Kenapa kau ingin tahu soal itu, Hyung?

“Kenapa? Kau tidak pernah cerita padaku tentang sesuatu seperti ini. Sekarang aku jadi penasaran. Kau pasti punya seseorang yang kau suka, kan?”

“Tidak ada, Hyung.”

“Yang benar?”

“Benar-benar tidak ada,” kukuh Jongho.

“Aku tidak percaya.”

Hyung, kalau aku suka seseorang, aku pasti akan langsung mengajaknya pacaran.”

“Begitukah? Bagaimana kau akan mengajaknya berpacaran?”

“Bagaimana apanya? Tentu saja seperti kebanyakan orang—tinggal katakan saja "aku suka padamu, ayo pacaran"—selesai.”

Hongjoong tertawa mendengar jawaban simpel Jongho. Entah karena dia menganggap pemuda tersebut berani, berpikiran sederhana atau terlalu polos—atau mungkin ketiganya.

“Aku mengerti sekarang.” Hongjoong merangkul Jongho selagi terus berjalan. “Kau adalah laki-laki yang straight to the point, tidak suka berbelit-belit dan selalu apa adanya.”

“Kau benar, itulah aku, Hyung,” Jongho menimpali sambil mengangkat dagu nan pongah.

Hanya saja, di dalam hatinya Jongho mulai meragukan pernyataan Hongjoong tentangnya tersebut. Benarkah dirinya orang yang straight to the point? Sebab, sedari tadi Jongho kesulitan mengusahakan hal tersebut.

Sejak dari kemarin-kemarin, Jongho punya banyak pertanyaan untuk diberikannya kepada Hongjoong. Tour keliling sekolah sesungguhnya hanyalah dalih. Tujuannya yang sebenarnya adalah untuk mencari-cari momen berdua dengan Hongjoong, agar dia bisa membahas tentang apa yang dia lihat dan dengar di kantor KQ tempo hari.

Meski demikian, Jongho masih kebingungan memilih cara untuk membawa topik ini ke dalam percakapannya dengan Hongjoong.

Karena, Jongho merasa Hongjoong yang saat ini ada di hadapannya dan yang kemarin dilihatnya bersama sang ibu adalah orang yang berbeda. Hongjoong yang kini bersamanya adalah pria ramah nan ceria yang sudah cukup lama dikenalnya. Sedangkan kemarin dia melihat Hongjoong menangis di hadapan ibunya—dan mengatakan hal-hal yang sulit diterima akal sehat.

Bagaimana Jongho akan menanyakan ini semua kepada Hongjoong?

Jongho cemas hubungan mereka akan jadi canggung setelah ini.

Tentu Jongho ingin mengetahui kebenarannya. Dia ingin tahu apa rahasia antara Hongjoong dan ibunya, tapi dia sendiri sebetulnya takut kalau dirinya tak akan bisa memandang Hongjoong dengan cara yang sama lagi nantinya. Kenyataan kadang semenakutkan itu.

Di rumah, Jongho tidak berhasil membuka mulut tentang hal ini kepada sang ibu, sekarang bersama Hongjoong pun hal yang sama terjadi lagi. Ini bukan straight to the point, tapi justru kebalikannya.

Barangkali, inilah satu dari sekian hal yang diwarisi Jongho dari ibunya, pesimis.

Sesudah lama berkeliling dan tak membicarakan apa pun kecuali hal-hal tak penting, pada akhirnya Jongho mulai memantapkan hati. Dia menarik napas dan berhenti melangkah sewaktu melintasi taman kelas. “Hyung, boleh aku tanya sesuatu?”

Hongjoong pun ikut menghentikan langkah dan menoleh. “Soal apa?”

“Aku ingin tahu, apa kau ... mungkin sudah saling mengenal dengan ibuku sebelumnya?”

Pertanyaan Jongho pun mengentak dada Hongjoong. “Apa yang kau bicarakan?”

Hongjoong berusaha untuk tak menunjukkan keterkejutannya dengan jelas. Dia ingin bersikap tak tahu menahu, tapi ternyata malah gagal.

Sedangkan Jongho tak bisa membuat percakapan ini terasa ringan. “Sebetulnya, Hyung ... beberapa hari lalu ... aku melihatmu di kantor ibuku.”

Pernyataan Jongho membuat Hongjoong sekejap mematung. Darah berdesir cepat di tubuhnya dan jantungnya mulai berdebar tak tenang. Rasa takut pun perlahan tumbuh.

“Aku,” kata Jongho, “dengar apa yang kalian bicarakan berdua.”

Inilah yang ditakutkan Hongjoong.

Harusnya ini tidak terjadi.

.

.

.

_TBC_

Hai, masih ada yg penasaran sama kelanjutan buku ini? Masihkah ada yg baca?

Kalo ada, makasih banyak banyak udah pantengin buku ini sampe sejauh ini. Maaf kalo ceritanya ngebosenin & banyak kekurangan. Tapi meski gitu, semoga kalian terhibur bacanya

With big love, see you next time~ ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

813 78 10
Warning: THIS STORY ISN'T MINE Hermione goes back in time to kill Voldemort before he orchestrates a devastating war, her destination being the Battl...
16.4K 2.5K 5
Minsung || GREEK MYTH || 01 [::] See the lord of The Underworld in a way you never have before -Hades, by carly spade Minsung || BxB || Hades & Perse...
219K 33.2K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
316K 46.2K 40
[ Judul sebelumnya ICY ] "Sunghoon doang? gampang" BxB area, harap bijak sebelum membaca ya, sayang. Start : 230920 End : 160421 #1 - Sunghoon #1...