Apa kabar piasa hari pertama?
بسم الله الرحمن الرحيم
Semoga selalu mendapatkan kemudahan, kelancaran dan kekhusyukan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadan ini, aamiin.
.
.
.
🍬Memulai hal baik itu perkara yang mudah, tetapi konsisten dalam segala suasana merupakan satu tantangan yang harus bisa ditaklukkan.🍬
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara
"Assalatukhairumminannaum--"
Gema azan subuh terdengar nyaring yang membuat mata Asmara seketika terbuka. Bagaimana tidak bangun dari tidur, pengeras suara masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah tinggalnya itu menghadap persis ke kamarnya.
Sebal hati Asmara kepada subuh itu mengingatkan kembali kepada teman SMAnya. Anak baru ketika dia duduk di kelas tiga, Azlul Subuh. Cowok yang tiba-tiba menceramahi Asmara rentang tuntunan wanita muslimah yang mewajibkan mengenakan jilbab. Siswa baru yang tiba-tiba menjadi primadona karena membawa nama harus sekolah menjadi juara tingkat nasional dalam MTQ pelajar.
Azlul, tapi lebih famous dipanggil Subuh oleh teman-temannya. Hingga akronim baru tercipta yang membuat Asmara semakin meradang karena melibatkan dirinya, Asmara Subuh.
"Ini, bukannya segera bersiap ke masjid malah melamun di meja makan. Buruan, katanya ingin menjadi orang kaya. Mau kaya dari mana kalau selalu lewat qobliyah subuhnya!" Asmara tersentak, hampir saja dia terjatuh dari kursi yang diduduki. Namun, belum sampai Bani angkat suara lagi Asmara sudah berjalan menuju kamar mandi dan segera melesat ke masjid.
"Ikut kajian bakda subuh, Mar, jangan langsung pulang!" Lagi-lagi Asmara memutar bola matanya.
Mendekati bulan Ramadan, banyak masjid-masjid yang mulai merutinkan kegiatan keagamaan untuk masyarakat. Tak terkecuali dengan lingkungan tempat tinggal Asmara. Ramadan sebelumnya bahkan mereka menjadwalkan beberapa ulama besar untuk mengisi, entah itu kajian bakda subuh atau selepas isya. Intinya sama, ingin mengajak masyarakat untuk lebih mendekatkan diri pada Allah.
"Tidak ada yang akan mengikuti kita setelah meninggalkan dunia kecuali tiga hal, ilmu yang manfaat, amalan jariyah dan doa anak saleh-saleha. Senyampang alias mumpung masih memiliki kesempatan di dunia yang nanti akan memberatkan timbangan amalan kita di akhirat." Asmara menutup matanya. Rasa kantuk menyerangnya kembali. Suara mendayu dari ustaz yang memberikan nasihat pagi ini seolah meninabobokannya kembali.
Kedua matanya baru terbuka ketika masjid telah sepi, matahari sudah mulai meninggi dan jarum jam yang ada di dinding menunjukkan bahwa dia harus ke kampus segera. Jika tidak mengingat dia sedang berada di masjid pasti sudah dikeluarkannya bahasa 'krama inggil' dari bibirnya sebagai umpatan.
"Lagian, mengapa jamaah tidak ada yang membangunkannya satu orang pun," gumam Asmara lirih.
Dia segera berdiri dan berniat menunggalkan masjid segera. Namun, langkah lebarnya terhenti ketika kedua matanya mendapati sosok yang baru tadi pagi kembali membuatnya kesal dengan hanya mengingat namanya.
"Asalamualaikum, Mara. Lain kali kalau ingin tidur di rumah saja, jangan di masjid. Kasihan kan marbutnya jika harus mengepel dan mencuci karpet karena air liurmu yang menetes." Kedua tangan Asmara terkepal. Dia tidak menyangka, empat tahun berpisah dengan laki-laki yang selalu membuat tensinya naik tanpa menunggu nanti itu tidak ada yang berubah, masih menyebalkan.
Tanpa berniat menimpali, Asmara berlalu tanpa kata dengan meninggalkan tatapan yang mematikan.
"Dosa bagi saya jika tidak mengingatkan, tapi setiap salam itu sebaiknya dijawab. Karena seperti itulah caranya seorang mukmin mendoakan mukmin yang lain dengan cara paling mudah." Langkah kaki Asmara terhenti. Meski hatinya dongkol, ucapan Subuh itu benar adanya hingga refleks bibir Asmara bergerak untuk menjawab salam yang sedari tadi diucapkannya.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Setelah itu barulah Asmara berjalan kembali untuk meninggalkan pelataran masjid.
Subuh hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia lalu menyelesaikan tugasnya untuk mengepel lantai masjid, bukan karena telah dipakai tidur oleh Asmara melainkan karena jadwalnya masjid dibersihkan bersama dengan anggota remas-remaja masjid, yang lain.
Dua hari lagi, bulan suci Ramadan itu akan benar-benar tiba. Sudah sewajarnya jika umat muslim di dunia mempersiapkan dirinya untuk ikut menyemarakkan bulan penuh berkah itu dengan pujian dan khalam-khalam Allah yang senantiasa didengungkan.
"Mar, kamu yang maju mewakili kampus kita ya?" tanya Rengganis.
"Mengapa harus aku, Gan?" Acara dari Kementan yang berkolaborasi dengan Kementrian Agraria dan Tata Letak Ruang akan menyerahkan beberapa setifikat tanah kepada ratusan pemilik tanah persawahan yang ada di kota mereka memang menyita banyak waktu anak-anak himpunan mahasiswa pertanian.
Sebenarnya bukan masalah ikut mengurus, tetapi BEM telah menjadwalkan pertemuan para eksekutif pertanian muda yang tersebut sebagai petani milenial dengan bapak menteri pertanian. Berbincang langsung dengan beliau untuk menyampaikan segala unek-unek dan keluhan masyarakat tentang sulitnya bercocok tanam padahal mereka hidup di negara yang dikatakan makmur dalam agrikultura dan agraria.
"Satu kampus juga tahu, kamu itu mahasiswa yang paling vokal dan menjalur. Kita yang siapkan materinya, nanti kamu improve sendiri sambil bertanya ke kelompok-kelompok tani asuhan dari dinas pertanian kabupaten." Asmara menggeleng lemah. Selalu ada yang harus berdiri di depan untuk dikorbankan.
"Ya tapi mengapa jadi langganan seperti ini sih?! Ada ketua himpunan yang vokal juga," jawab Asmara.
"Kamu buta atau bagaimana, ketua himpunan kan bisanya hanya vokal untuk ngumpulin anak-anak buat demo doang." Rengganis tersenyum tipis.
"Nah itu tahu, mengapa harus memilih dia dulu kalau sudah tahu begitu?!" Asmara berkacak pinggang.
"Sudah, Say. Kalahmu dulu itu bukan karena kami tidak sayang kamu. Tapi karena elit politik di kampus yang memang tidak ingin memenangkan kamu memimpin himpunan. Bisa kering kerontang mereka kalau kamu yang mimpin. Sudah yuk, ikhlaskan saja, mengalah bukan berarti kalah, kan, Mar?" kata Rengganis.
"Dasar semprul!" Asmara mengejar Rengganis yang telah lebih dulu menghindar sebelum dia amuk.
"Dahlah, mengcapek akutu! Kita semua juga tahu Mar, sepak terjangmu di himpunan seperti apa. Meski dia yang jadi ketua tapi suaramu jauh lebih didengar oleh anak-anak yang lain daripada dia." Pada akhirnya Rengganis berhenti berlari. Dia mendapatkan gelitikan dari Asmara sebelum akhirnya mereka memilih perpustakaan menjadi tujuan akhir keberadaannya di kampus sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Menjelang azan magrib tiba, pintu rumah Asmara diketuk oleh seseorang. Saat dirinya membuka, kedua matanya menangkap sosok yang tadi pagi membuatnya kesal sekaligus malu di waktu yang bersamaan. Subuh datang bersama dua orang lainnya untuk bertamu ke rumahnya.
"Pak Bani ada, Mbak Mara?" tanya Rubina.
"Ada, masuk Bin, aku panggilkan dulu," jawab Asmara lalu meninggalkan ketiganya setelah duduk di ruang tamu.
Sebagai guru agama, Bani seringkali diminta menjadi penasihat panitia kegiatan Ramadan di kampungnya. Jadi saat remaja masjid datang berkunjung ke rumahnya seperti ini bukan lagi hal yang asing di mata Asmara. Namun, yang masih belum bisa diterima oleh akal sehatnya. Mengapa Subuh ikut bersama mereka? Padahal yang dia tahu Subuh bukanlah warga desanya. Selama kuliah di kota sampai kini dia akan menjadi seorang sarjana pertanian, Asmara juga tidak pernah bertemu dan tidak pernah tahu bagaimana kabarnya walau dulu mereka satu SMA karena Subuh tiba-tiba menghilang dan tidak pernah muncul di group ikatan alumni satu angkatan dengan Asmara.
Asmara memilih untuk mendengarkan di ruang keluarga ketika ayahnya sudah duduk di ruang tamu dibandingkan ikut nimbrung dalam percakapan mereka.
"Mara, buatkan minum untuk Usman, Rubin dan Ustaz Azlul." Mata Asmara membola tidak percaya. Sejak kapan Subuh dipanggil ustaz. Lagian mana ada ustaz pegang peralatan mengepel lantai beberapa hari yang lalu? Bukankah dia seorang marbut?
Meski kesal Asmara pergi ke dapur juga untuk menyeduhkan air dari termos untuk teh panas ketiga tamu ayahnya.
"Sejak pulang dari Yaman, saya tertarik dengan pertanian di Indonesia, Pak. Itu sebabnya, tinggal di kampung adalah pilihan sembari menularkan ilmu yang saya miliki untuk warga setempat. Jadi, melihat remas di kampung ini begitu antusias menyambut Ramadan tiba, tidak pantas rasanya jika saya hanya berpangku tangan menyaksikan," kata Subuh.
"Wah, saya semakin salut dengan pemikiran Ustaz Azlul. Masih muda tapi tidak malu bercita-cita ingin memajukan pertanian Indonesia. Padahal banyak anak muda yang memilih untuk hengkang dari kampung halamannya dan memilih bekerja kantoran di kota."
Asmara semakin cemberut mendengar penuturan ayahnya. Alasan terbesar mengapa dia mengambil fakultas teknologi pertanian ketika tes penerimaan mahasiswa baru dulu adalah karena ayahnya hanya memberikan dua pilihan, kuliah menjadi guru agama atau mengambil jurusan pertanian.
Akhirnya seolah terjebak, Asmara masuk ke dunia yang tidak sesuai kata hatinya. Beruntunglah di kampus dia memiliki teman-an yang selalu mendukung hingga tak terasa waktu empat tahun terasa begitu cepat dilalui dan Asmara kini tinggal menunggu persetujuan dosen pembimbing skripsinya untuk maju sidang akhir.
"Nah, itu Bapak setuju sekali. Usman, Rubin, ajaklah Mbak Mara dalam kepanitiaan," usul Bani
"Siap, Pak Bani," jawab Usman dan Rubina serempak.
"Mana bisa begitu, Ayah. Mara sibuk di kampus!" kata Asmara yang tiba-tiba muncul dari dalam.
"Kamu ini mahasiswa angkatan tua, sibuk apa di kampus? Ini kegiatan amal di bulan Ramadan, Mara. Kapan lagi kamu bisa menimba ilmu agama lebih banyak lagi. Mumpung ada Ustaz Azlul juga, beliau ini lulusan Universitas Al Ahgaff, Yaman, lho."
Mata Asmara dan Subuh bertemu dalam satu titik, senyum manis Subuh yang ditolak mentah-mentah olehnya.
Sayangnya, penolakan itu justru mematri lekat dalam ingatan Asmara. Senyuman Subuh dan wajahnya mulai mewarnai mimpi-mimpi di tidur malamnya.
"Aku benci kamu, Subuh!" Bruk, Asmara terjatuh dari tempat tidurnya.
"Mara, bangun! Bagaimana kamu bisa menjadi kaya kalau membenci subuh datang? Bahkan sampai harus mengigau karena mimpi. Bangun, tarhim sudah menjelang, segera tunaikan salat fajar!"
Asmara mengusap pantatnya yang sakit karena terbentur lantai. Hatinya menggerutu, gara-gara Subuh, paginya menjadi berantakan. Suasana hatinya langsung berubah menjadi kelabu. Namun, bibirnya seketika langsung tertarik ke atas saat mengingat perlakuan manis Subuh kepadanya di dalam mimpi. Perlakuan yang jauh berbeda dari kenyataan di mana Subuh selalu mengajaknya bertengkar dan menyulut amarahnya di dunia nyata.
'Yakin, kamu membencinya, Mara?' kata hati Asmara berbisik lirih.
2 Ramadan 1444H