Tak ada yang kebetulan di dunia ini, kalau pun begitu, berarti apa pun yang terjadi memang sudah di takdirkan.
🌼🌼🌼
Happy Reading
Give me 50 komen
Jangan lupa follow akun ini guys
🌼🌼🌼
"Lo mau nungguin dia sampai berapa jam?" tanya Anara yang tak lain adalah sekertaris BEM SMA Citra Bangsa.
Yuda tetap terdiam. Baginya perkataan Anara yang terus bertanya tak akan mengubah prinsipnya untuk tetap menunggu peserta MOS ini sadar. Walau sudah tiga puluh menit lamanya dan juga sudah diberikan pertolongan, tetap saja kondisi perempuan ini tak kunjung sadar.
"Peserta MOS yang lain butuh lo. Lagian di sini udah ada petugas PMR, Da," ucap Anara lagi.
"Kalau lo mau keluar silahkan. Ini tanggung jawab gue. Sebelum dia sadar, gue terus merasa bersalah," balas Yuda tetap duduk.
"Lagian udah ada Romi wakil gue. Gue juga gak butuh Lo di sini," tutur Yuda seraya memalingkan wajahnya.
Anara yang mendengar itu begitu kesal. Bahkan ia dengan cepat keluar dari UKS sekolah meninggalkan Yuda yang terus saja menunggu adik kelasnya. Padahal ini bukan salahnya.
Sementara di sisi lain Yuda yang menjabat sebagai ketua OSIS merasa bersalah atas apa yang terjadi pada perempuan yang ada di hadapannya. Padahal perempuan yang tak ia ketahui namanya sudah memohon agar tak berbicara, tapi karena egonya ia memaksanya untuk bicara. Tak ada pilihan lagi selain menunggu sampai kesadaran perempuan ini pulih. Sejujurnya ia ingin menghubungi orang tuanya, tapi melihat ponselnya yang di kata sandi membuat ia tak mungkin bisa menembusnya.
"Bunda," lirih Mentari membuat Yuda menatapnya.
Mata Mentari yang terbuka lebar terkejut ketika pria yang sudah memaksa dirinya berbicara di hadapan orang banyak ada di sampingnya. Pria yang hanya berdiri tanpa berkata-kata atau tersenyum pada dirinya. Tatapan dan kejadian itu membuat Mentari menangis seketika.
"Lo kenapa?" tanya Yuda pada Mentari.
Mentari tak menjawab. Dengan tangan yang bergetar dan tangisan, ia meraih ponselnya. Terlihat saat ini Mentari menghubungi seseorang dari ponselnya.
"Assalamualaikum sayang. Ada apa?"
Mendengar jawaban dari sang bunda membuat tangisan itu semakin pecah. Tentu saja Dina yang sedang bekerja begitu terkejut dengan hal ini. Ada apa? Kenapa Mentari menangis seperti ini?
"Ada apa sayang? Bilang ke bunda?"
"Mentari gak mau sekolah lagi. Mentari mau sekolah di rumah aja. Mentari takut. Jemput Mentari bunda."
"Iya-iya sayang. Tenangkan diri kamu, ya. Bunda ke sana sekarang. Jangan menangis, ya. Bunda ke sana sekarang."
"Iya, bunda."
Tut.
Apa ini? Yuda yang mendengar dengan jelas percakapan itu dibuat bingung. Hanya karena tak mau berbicara di depan dan pingsan, perempuan ini tak mau sekolah lagi? Yang benar saja. Apa perempuan ini sudah gila? Padahal menurutnya takut adalah hal wajar yang bisa di atasi. Tapi kenapa respon perempuan ini begitu ketakutan dan menangis seperti ini? Menurutnya ini lebay sekali.
"Ternyata Lo anak bunda, ya," tutur Yuda seolah menghina Mentari yang begitu lemah.
"Emang kakak anaknya siapa? Anaknya ayah?"
"Gak mungkin kakak di lahirkan dari ayah kakak. Pasti dari bunda kakak," sambung Mentari di sela-sela tangisannya.
"Bukan itu maksud gue," tutur Yuda pada Mentari.
"Ini semua salah kakak. Kalau kakak gak paksa Mentari, mungkin Mentari bisa lanjut sekolah lagi," ucap Mentari menatap Yuda dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Emang gue salah apa?"
"Kakak paksa Mentari bicara di depan orang banyak. Padahal Mentari udah bilang gak mau, tapi tetap aja di paksa."
"Lo terlalu alay. Orang dimana-mana di kasih kesempatan bicara banyak mah hitung-hitung biar terkenal. Lah Lo? Malah pingsan. Lo sehat?" tanya Yuda mampu membuat Mentari terdiam.
Mungkin jika kehidupan dirinya normal saat kecil hingga menuju remaja, ia akan mempunyai pikiran yang sama. Tapi mau bagaimana pun orang lain menilai dirinya, yang tetap mengerti dirinya hanyalah ia. Bagaimana menderitanya, bagaimana ia bisa sampai di titik ini, semua itu adalah proses yang begitu berat baginya. Mungkin orang lain akan mengira bahwa ia lebay dan alay, tapi baginya ini adalah respon dari dirinya yang tak pernah bergaul dengan orang lain selain keluarga dan orang tuanya. Memang hidupnya sangat jauh berbeda. Seharusnya ia mendengarkan perkataan sang ayah untuk tetap sekolah di rumah.
Saat mereka sama-sama terdiam, tentu saja Dina dengan pakaian kerjanya datang dan memeluk Mentari erat di sana. Ia berusaha untuk menenangkan Mentari yang kembali menangis. Sementara Yuda yang melihat itu tetap saja bingung atas apa yang ia lihat di hadapannya.
"Mentari punya gangguan kecemasan. Dari kecil hingga sekarang, ini pengalaman pertama kalinya ia masuk ke sekolah. Mohon di maklumi, ya."
Yuda termenung. Apa yang ia dengar barusan benar? Pantas saja ia melihat tubuhnya bergetar ketika ingin menjawab pertanyaan.
"Maaf, ya, Tante. Saya gak tahu, makanya saya paksa dia bicara di depan untuk memperkenalkan diri," balas Yuda tentu saja merasa bersalah. Ia juga merubah kata-kata yang mengatakan bahwa Mentari begitu lebay.
Dina yang mendengar itu pun hanya mengangguk saja. Wajar saja mereka tak tahu, karena mereka tak mengenal Mentari secara dalam. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah berusaha untuk menenangkan itu saja.
"Mentari mau sekolah di rumah aja. Mentari gak mau lagi di sini. Mentari takut," tutur Mentari membuat Dina mengangguk.
"Setelah ini kita menghadap kepala sekolah, ya. Bunda akan bilang kalau kamu gak bisa lagi sekolah di sini," jelas Dina membuat Mentari terhenti.
"Makasih, bunda."
"Ayo kita pergi sekarang," ajak Dina membuat Mentari bangun dan terus memegang lengan bundanya.
"Tunggu, Tante." Perkataan Yuda mampu membuat Mentari dan Dina terhenti.
"Ada apa, ya?" tanya Dina menatap Yuda.
"Saya akan bantu anak Tante keluar dari gangguan ini. Kalau kita gak kasih stimulus yang baik, sampai kapan pun dia akan anti sosial," jelas Yuda dengan tatapan percaya diri.
"Tidak perlu, nak Yuda. Biarkan anak saya kembali sekolah di rumah."
"Saya merasa bersalah. Saya yakin, saya akan membantu Mentari keluar. Kebetulan adik saya juga baru masuk, mungkin bisa berteman baik. Bagaimana Tante?" tanya Yuda pada Dina yang kemudian menatap Mentari yang menganggukkan kepalanya.
"Baik, saya percaya sama kamu. Kalau begitu saya permisi dulu."
Yuda pun hanya menganggukkan kepalanya. Ia yakin ia bisa membantu Mentari.
#TBC
Gimana pendapat kalian guys?
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian.
Follow akun ini
Give me 50 komen 🌼
Sampai bertemu di part selanjutnya.