Dear Renza [TERBIT]

By moccamatha

274K 40.5K 2.6K

Mohon untuk tetap meninggalkan VOTE + KOMENTAR meski cerita sudah end. - DEAR RENZA - Hidup tidak berjalan me... More

1 - Awal Mula
2 - Renza Juga Ingin
3 - Perlakuan Tak Sama
4 - Anak Berwajah Lumpur
5 - Latihan Berjalan
6 - Sakit, Yah...
7 - Matahari dan Sayap Pelindung
8 - Pantai
9 - Sekotak Martabak
10 - Namanya Zoya
11 - Lampu
12 - Pelukan Pertama Zoya
13 - Lukisan dan Keluarga Bahagia
14 - Sebuah Tempat yang Sedang Diperjuangkan
15 - Gadis Pertama
16 - Ceroboh
17 - Maaf, Kak
18 - Peri, Permen Kapas, dan Janji
19 - Bimbang
20 - Kekhawatiran
21 - Renza Nggak Salah, Yah...
22 - Fakta Menyakitkan
24 - Secuil Masa Lalu
25 - Senja, Doa, dan Zoya
26 - Pengumuman
27 - Rumah Kedua
28 - Seleksi
29 - Yah, Renza Rindu
30 - Acara Penting
31 - Sesak yang Kembali
32 - Pertemuan Pertama
33 - Tawa
34 - Sedikit Tentang Haidar
35 - Satu Dua Masalah
36 - Masih Sama
37 - Haidar Lagi
38 - Tuhan, Dengarkanlah Ketiganya
39 - Masih Ada Waktu
41 - Terlambat
42 - Perpisahan
43 - Dear Renza
44 - END
Spin Off Dear Renza
OPEN PO!
Rose & Lose

40 - Habis

7.1K 871 126
By moccamatha

Dion berdiri di belakang dokter yang sedang memeriksa kondisi putra bungsunya. Hatinya harap-harap cemas. Terlihat dari bagaimana gestur tubuhnya saat ini. Pria itu menemani Renza sendirian, Juan baru saja diantar Haidar pulang untuk membersihkan diri.

Riana? Perempuan itu masih belum datang  hingga sekarang. Ponselnya juga mati sehingga Dion tidak dapat menghubungi.

Dokter itu berbalik, menepuk-nepuk pelan lengan Dion. Pria itu masih menunggu segala penjelasan dari seseorang di hadapannya. Dokter bilang kondisi Renza sudah stabil, tinggal menunggu sadar saja. Dion menghela napas sedikit lega.

Tak lama setelah dokter dan dua perawat ke luar, Juan tiba dengan kondisi yang lebih baik meskipun matanya terlihat begitu sayu. Pria yang sangat mirip dengan Dion itu kemudian mendekati adiknya yang masih terbaring.

"Bagaimana keadaan Renza, Yah?"

"Doakan saja agar dia segera sadar. Dokter bilang kondisinya sudah lebih stabil." Jawab Dion lantas mengusap punggung sulungnya.

Juan duduk di samping brankar Renza, memandangi sosok yang telah menyelamatkannya tadi malam. Matanya menelisik wajah teduh adiknya, Renza begitu tenang. Pria itu lantas terisak, membuat Dion mendekat.

"Sudah-sudah, Renza pasti akan baik-baik saja." Tenang Dion seraya memeluk tubuh Juan. Pikirannya masih pada Riana yang tak kunjung datang. Perempuan itu benar-benar egois sekali.

Matahari semakin tinggi dan istrinya masih belum juga sampai. Puluhan panggilan ia tujukan ke nomor Riana, tapi satu pun tak ada yang diangkat.

Di sini sudah ada Haidar dan Zoya juga. Gadis itu menemani sambil menggenggam erat tangan Renza sedari tadi. Tak berpindah posisi, masih dengan posisi yang sama sejak ia datang. Pandangannya juga tak lepas dari wajah kekasihnya.

Juan melirik ke arahnya, rasanya sakit sekali melihat Zoya menangis tanpa suara. Bulir bening dari mata sang gadis yang sesekali mengalir tanpa ada yang berani mengusapnya.

Haidar juga merasakan hal yang sama seperti Juan. Ingin sekali pria itu menghapus air mata Zoya, namun Renza sepertinya lebih berhak. Kedua pria itu hanya bisa memandang gadis yang dicintai menatap nanar seorang pria yang tengah berjuang untuk sadar.

Di tengah-tengah keheningan yang menyelimuti, mata Zoya melirik ke arah tangan yang ia genggam. Tangan pria itu bergerak membuat Zoya reflek menegakkan punggungnya.

"Renza.." Lirih Zoya, membuat ketiga pria yang tengah duduk di sofa mengangkat kepala bersamaan.

Dion mendekat lalu memanggil dokter saat melihat ada pergerakan pada tangan putranya. Dokter masuk lagi bersama beberapa perawat. Dion merangkul tubuh mungil Zoya dan mengusap lengannya lembut. Mencoba untuk memberikan ketenangan meskipun hatinya sendiri tidak kalah gelisah.

Mata Renza terbuka perlahan dengan begitu lemah. Dokter memberikan interaksi kecil agar pasien bisa memberikan responnya. Pria berjas putih itu lantas menghela napas lega saat Renza mengangguk. Seorang perawat lantas mengganti masker oksigen Renza menjadi nasal kanula.

"Ayah.." Lirih Renza saat menangkap keberadaan Dion. Pria itu lantas mendekati putranya.

Renza tersenyum begitu lemah saat tangan kekar sang ayah menggenggamnya. Dion dengan mata yang basah mengusap lembut surai hitam anaknya.

"Ayah jangan nangis.." Ucap Renza lemah. Dion mengangguk lantas mencium kening Renza.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama Renza kembali mendapatkan kasih sayang dari sang ayah. Hatinya menghangat saat tangan Dion menggenggam erat tangannya. Renza lantas melirik ke arah Juan, membuat pria itu langsung mendekat.

"Renza lega Kakak baik-baik aja." Renza kembali berucap, membuat sang kakak terisak.

"Zoy, Dar.."

Kedua orang pemilik nama itu lantas mendekat, membuat Dion dan Juan memberi tempat pada mereka.

"Nona Tinkerbell ku jangan nangis lagi ya, jelek." Ucapnya pada sang kekasih lalu terkekeh pelan.

Renza mengusap air mata gadisnya yang mengalir sedari tadi. Tangannya lantas menggenggam tangan Zoya, seolah memberi tahu bahwa ia baik-baik saja.

Kini matanya mengarah pada sang sahabat yang sudah menahan air mata agar tidak tumpah. Renza malah terkekeh kecil melihat wajah Haidar yang ekspresinya baru pertama kali ia lihat selama bertahun-tahun bersama.

"Lo mewek? Cemen."

"Papan sih Lo." Ketus Haidar lalu dibalas senyuman oleh sahabatnya.

"Beliin gue permen kapas, gue mau makan bareng kalian." Tuturnya membuat Haidar menatap Renza penuh tanya.

"Kamu mau apa lagi? Biar aku beliin." Tanya Zoya seraya mengusap kepala Renza.

"Aku mau melukis. Aku juga mau pinjam kamera kamu. Boleh?"

Zoya lantas mengangguk mantap. Ia dan Haidar langsung pergi untuk membawakan segala yang Renza inginkan.

Dion dan Juan masih setia menemaninya. Ayah dan kakaknya memperlakukan Renza dengan baik kali ini. Mereka saling berebut untuk melayani Renza. Membuat Renza terkekeh melihatnya.

"Yah, mama di mana?" Pertanyaan yang tak ingin Dion dengar akhirnya ke luar saat Renza tak melihat keberadaan sang mama sejak ia membuka mata.

"Mama sedang dalam perjalanan ke sini. Sebentar lagi pasti sampai." Balas Dion dengan senyum simpulnya. Anaknya lantas mengangguk.

Renza sudah minta duduk sejak tadi, namun baru diizinkan oleh Dion saat Zoya dan Haidar telah kembali. Pintu terbuka menampilkan Zoya dengan tas berisi peralatan melukis dan kamera yang sudah menggantung di leher. Haidar juga sudah membawa enam plastik permen kapas.

"Lo mau jualan?" Tanya Renza lalu tergelak kecil. Membuat Haidar menghela napas panjang.

Dion dan Juan lantas membantu Renza untuk duduk. Pria itu kini sudah antusias untuk mencicipi makanan manis itu.

Renza tersenyum bahagia saat melihat Dion, Juan, Haidar, dan Zoya makan permen kapas bersamanya. Tapi ada sedikit kesedihan di hatinya, masih ada satu permen kapas yang belum dimakan pemiliknya-mama. Ia masih setia menunggu kedatangan Riana, Dion dan Juan juga masih berusaha untuk menghubungi perempuan itu.

Kini Renza, Haidar, dan Juan sedang asyik berfoto bersama Zoya. Mereka saling bergantian mengambil gambar.

"Zoya." Panggil Renza membuat gadis itu mendekatinya.

"Aku boleh lukis kamu? Kamu cantik sekali hari ini, jadi pasti kamu mau kan aku lukis?"

Zoya terisak lantas segera mengiyakan permintaan sang kekasih. Juan menggeser satu kursi ke dekat jendela yang menampilkan pemandangan gedung-gedung tinggi. Perempuan itu duduk menghadap jendela di mana cahaya matahari menyinarinya dengan begitu cantik.

Haidar dan Juan membantu Renza untuk menyiapkan peralatan melukisnya. Hari ini kedua pria itu menjadi asisten pribadi sang pelukis muda.

Masih dengan peralatan medis dan selang oksigen yang terpasang di tubuhnya, Renza melukis seorang gadis cantik yang sangat ia cintai. Seorang perempuan yang selalu menemani dan menyembuhkan tiap luka yang di terima.

Di tengah-tengah fokusnya melukis, Renza terbatuk-batuk. Tangannya yang ia gunakan untuk menutup mulut terasa basah. Ia lantas meraih tisu yang ada di samping nakasnya.

Zoya berlari ke arah Renza memastikan prianya baik-baik saja. Namun matanya terbuka lebar saat melihat tisu dan tangan Renza penuh darah. Bahkan ada beberapa tetes yang mengenai palet lukis di pangkuannya. Perempuan itu ingin menghentikan kegiatan melukisnya, namun Renza bersikukuh ingin menyelesaikan lukisan itu.

Perempuan itu membersihkan sisa-sisa darah di mulut Renza dengan tangan gemetar dan dada yang terisak. Wajah Renza juga semakin pucat, tapi pria itu masih terus melempar senyum. Setelah itu Zoya diminta Renza untuk kembali duduk di tempat semula.

Dion lantas ke luar untuk menghubungi Riana. Baru saja pesan singkatnya dibaca namun tidak ada balasan. Pria itu mengacak rambutnya frustrasi, detik berikutnya panggilan itu terhubung.

"Kamu di mana, hah?! Lama sekali, kamu pikir Renza bisa menunggu kamu terus-terusan?!"

"Aku sudah di jalan. Tapi jalanan memang sangat padat. Kamu bisa sabar sedikit tidak? Kamu pikir mudah keluar dari kemacetan?"

"Aku bisa sabar, tapi tidak dengan Renza!"

"Riana! Halo! Ria-Arghhh!" Geram Dion saat panggilannya lagi-lagi diputus sepihak.

Dion masuk kembali, putranya masih sibuk melukis gadis yang tak henti-hentinya terisak di sana. Zoya masih mencoba untuk tersenyum seperti keinginan Renza. Tapi itu begitu sulit, bahkan air matanya terus memaksa keluar. Sesekali gadis itu menghapus air matanya sendiri.

"Zoya, kamu cantik sekali." Lirih Renza yang masih bisa di dengar semua orang di sana. Perempuan itu semakin menangis.

Renza hampir menyelesaikan lukisannya di hari yang mulai sore. Beberapa kali pria itu juga batuk darah, namun dengan keras kepala tidak ingin diperiksa maupun menghentikan kegiatannya.

"Zoya, sudah. Lihatlah." Renza berucap membuat Zoya segera menghampiri kekasihnya.

Mata Zoya kembali basah saat melihat wajahnya begitu ayu di kanvas. Ada juga coretan khas tangan Renza di sudut lukisan. Renza menatap bangga karyanya, bukan karena hasil kerja tangannya melainkan karena cantik wajah seorang gadis di dalamnya.

"Makasih ya Renza." Ucap Zoya lalu dibalas senyuman lembut oleh pria di hadapannya.

"Ayah, mama belum datang ya?" Tanya Renza masih dengan lukisan basah di tangannya.

"Belum, Renza. Sebentar lagi ya." Balas Dion seraya mengusap pucuk rambut anaknya.

Haidar memalingkan wajahnya dari Renza, tidak ingin lama-lama melihat wajah Renza yang seperti ini. Pun dengan Juan yang memilih menunduk dalam di ujung ruangan.

"Renza mau istirahat sebentar boleh, Yah?" Dion mengangguk lantas membantu Renza untuk berbaring. Juan dan Haidar mulai membereskan peralatan lukis Renza.

"Kak." Lirih Renza membuat Juan langsung mendekat. Pria yang sama-sama pucat itu kini saling beradu pandang.

"Renza pingin main game bareng, tapi kok Renza udah ngantuk banget ya. Kalau besok Kak Juan mau nggak?"

"Iya, mau. Kakak mau Renza."

"Beneran mau? Kakak udah nggak malu lagi main sama Renza?" Pertanyaan Renza langsung menancap dalam di jantung Juan. Membuat pria itu terisak.

"Tapi, Kak. Ada yang Renza inginkan lebih dari bermain game bersama Kakak."

"Apa? Kamu mau apa? Jalan-jalan? Malam mingguan bareng seperti yang kamu inginkan waktu itu? Atau apa? Bilang sama Kakak."

"Renza ingin Kakak sembuh. Cuma itu."

Ucapan Renza membuat Dion, Haidar, dan Zoya praktis memandang Juan. Mereka belum tahu apapun tentang kondisi Juan yang kini semakin buruk.

"Berobat ya Kak. Renza mau lihat Kakak sehat. Mimpi Kak Juan masih banyak kan? Renza pernah dengar kalau Kakak ingin bisa bermain basket hingga ke luar negeri, jadi Kakak harus sembuh dulu. Kakak mau kan sembuh untuk Renza?" Pria itu mengangguk lantas mengusap kepala adiknya.

Renza meraih tangan kakaknya, Juan mengikuti arah pandang Renza yang kini berhenti pada Zoya.

"Renza sayang Zoya. Kak Juan juga kan? Tapi, sepertinya Renza tidak bisa menjaga Zoya dengan baik. Kak, titip Zoya untuk Renza ya? Renza tahu, kakak sangat mencintai gadisnya Renza. Karena itulah Renza percaya sama Kakak. Jaga Zoya baik-baik ya Kak."

Semua telah mengelilingi brankar Renza, mendengarkan kalimat-kalimat lembut dari mulut yang semakin lemah untuk berucap.

"Ayah, terima kasih ya sudah mau merawat Renza sampai sekarang. Ayah baik sekali, Ayah Reza pasti bahagia punya sahabat seperti Ayah Dion. Nanti kalau mama datang, tolong berikan permen kapas itu ya. Mama pasti suka. Renza sayang sekali sekali sama Ayah."

"Renza boleh peluk Ayah?"

Saat itu juga Dion langsung mendekap tubuh sang anak. Renza merasa sangat hangat dalam pelukan sang ayah. Bibirnya tersenyum lebar namun terlihat begitu menyakitkan.

Setelah melepas pelukan dari Dion, Renza memanggil nama sahabatnya. Membuat Haidar mendekat.

"Thanks ya Dar. Lo baik banget sama gue. Maaf kalau gue selalu ngerepotin Lo terus,"

"Nanti kalau gue kedinginan tolong selimuti gue pake jarik di rumah lo, ya."

"Jangan jomblo terus, Lo harus cari cewek biar hidup Lo lebih berwarna. Oke?"

Haidar mengangguk, menatap nanar sahabatnya. Ia tak mampu lagi berkata-kata. Lidahnya begitu kelu. Rasanya sesak sekali saat mendengar setiap kalimat yang ke luar dari mulut Renza.

"Zoya, cantiknya Renza. Bahagia terus ya, senyum selalu apapun keadaannya. Oke?"

"Makasih karena kamu udah mau jadi gadisnya Renza. Renza sayang banget sama Zoya."

"Lukisannya masih basah, tunggu kering dulu kalau mau di bawa pulang biar nggak kena bajunya Zoya. Renza mau tidur sebentar boleh? Nanti kalau lukisannya sudah kering bangunin Renza, ya?"

Perempuan itu mengangguk dengan air mata yang sudah tak mampu lagi ia tahan. Jemari Renza menyelipkan rambut panjang di balik telinga Zoya. Pria itu kemudian memejamkan matanya.

Detik berikutnya alat medis di samping Renza yang sebelumnya berbunyi teratur kini berbunyi panjang. Membuat Zoya menggenggam erat tangan Renza.

Dion lantas menggoyang-goyangkan tubuh Renza. Juan memanggil dokter, sedangkan Haidar masih mematung.

Dokter dan beberapa perawat berlari menghampiri Renza. Haidar merangkul tubuh Zoya dan mencoba untuk menenangkannya.

Di tengah ketegangan itu tiba-tiba dokter berbicara. Membuat seluruh orang di sana kehilangan kekuatannya.

"Pukul 15.30, tanggal 1 November 2020. Saudara Fahrenza Radiata Sagara dinyatakan telah meninggal dunia."

Detik itu juga dunia Zoya seolah berhenti. Semestanya telah pergi dan tak akan kembali. Hatinya begitu sesak, batinnya terasa hancur. Zoya hingga tak mampu lagi menopang tubuhnya. Beruntung Haidar masih merangkulnya sehingga bisa ditahan agar tak terjatuh.

Perempuan itu bangkit lalu meraih lukisan di samping brankar Renza. Ia meniup-niup kanvas basah itu. Tangannya juga mulai ia kibas-kibaskan agar lukisannya cepat kering.

"Ayok kering. Cepat kering. Renza aku bakal bangunin kamu sebentar lagi. Tunggu ya, lukisannya pasti kering kok. Renza.." Tubuh gadis itu direngkuh oleh Juan. Pria itu mendekapnya kuat. Zoya gemetar, tangisnya pecah saat itu juga.

Dion dan Haidar memilih untuk diam menstabilkan kondisi masing-masing. Tangisan Zoya begitu menyesakkan, terasa menyakitkan di telinga Haidar. Pria itu kemudian memilih ke luar.

Seluruh alat medis di cabut dari tubuh Renza. Seorang perawat juga mulai menutupkan selimut sampai ke kepala Renza.

Dion mendekati sang anak setelah seluruh perawat meninggalkan ruangan. Pria itu membuka selimut dengan tangan yang bergetar. Ia kecup kepala putranya untuk terakhir kalinya.

Zoya dibantu Haidar untuk melihat wajah Renza yang sudah memucat. Tangannya mengusap lembut pipi yang kini begitu dingin.

Berat sekali rasanya, tapi Zoya tidak boleh egois. Kini tugas Renza di dunia sudah selesai. Semua lukanya juga sudah sembuh. Pria itu sudah memilih kebahagiaannya sekarang.

"Selamat beristirahat, rubah tampanku," bisik Zoya di telinga Renza.

Perempuan itu lantas mengecup kening Renza untuk pertama dan terakhir kalinya. Rubah kesayangannya sudah menemukan rumah baru. Rumah yang penuh dengan ketenangan di atas sana.

Zoya menutupkan kembali selimut itu sampai ia tak bisa lagi melihat wajah Renza yang tidur lelap dengan garis senyum yang begitu tipis. Senyum favoritnya sudah abadi sekarang. Tuhan telah mengabulkan doanya.

_______________
_______________

Continue Reading

You'll Also Like

124K 9.8K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
30K 2.5K 22
keseruan groupchat anak-anak 1999 dan 2000 dari agensi SM Enterteiment (!!!) harsh word, crackship, lowercase
671 294 18
[ DIHARAPKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] Jean mempunyai 6 abang tiri, yaitu Mahendra, Tama, Raga, Adipta, Zaidan, Eja. tetapi abang Jean tidak pernah in...
9.1K 4K 30
Bagaimana bisa orang tua tidak menyukai anaknya, bukannya anak itu buah dari hasil kasih sayang ayah dan ibunya? aku kadang tersenyum memperhatikan w...