Desiderari | Jung Jaehyun

By jungjaedimple

44K 6.9K 1.4K

Cinta ini berduri. Tapi sejenak aku lupa, aku tak menggenggamnya sendirian. More

Prakata
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Satu
Dua Dua
Dua Tiga
Dua Empat
Dua Enam
Dua Tujuh
Dua Delapan
Dua Sembilan
Tiga Puluh
Tiga Satu

Dua Lima

1.1K 165 43
By jungjaedimple

"So.. it's the ending we're never prepared for."



●●●●


Ada satu hal yang sejak dulu selalu melekat pada Jevian, dan semua orang tau itu.

He dont believe at the second chance.

Jutaan manusia hidup di bumi dengan kepercayaan yang mereka bangun masing-masing mengenai sebuah hubungan. Dan Jevian memilih untuk tidak percaya pada kesempatan kedua. Menurutnya, hidup ini bagaikan sebuah novel. Tidak peduli berapa ratus kali pun kita membaca ulang, kita tetap akan menemukan akhir yang serupa.

Pada kasus yang buruk dan menyakitinya, Jevian tipikal yang enggan memberikan kesempatan bagi orang yang sama untuk menyakitinya kembali. Karena ia juga percaya bahwa setiap kali kita berhasil disakiti oleh orang lain, itu sebab kita membiarkan mereka untuk melakukannya.

Maka ketika siang itu Jevian yang baru saja keluar dari hotel selepas meeting dan menemukan Jihan dengan laki-laki lain tengah menunggu kisi lift terbuka hingga wanita itu menghilang entah menuju lantai berapa, ada banyak sekali hal yang berkecamuk dalam benaknya kala itu.

Jevian lahir dari keluarga yang harmonis. Yang ketika papa ketahuan berbohong—entah mengenai hal kecil atau bahkan pekerjaannya—mama akan marah dan papa akan memohon maaf dengan penuh penyesalan. Dulu ketika Jevian bertanya mengapa papa begitu takut ketika mama mulai marah, lelaki itu akan menjawab karena papa tidak ingin kehilangan mama. Ia memang salah dan tindakannya tidak dapat dibenarkan.

'Apapun alasannya, bohong itu suatu hal yang buruk. Jadi jangan dibiasakan. Apalagi bohong sama orang yang udah kasih kepercayaannya sama kamu. Karena di dunia ini, nggak ada yang lebih menyeramkan daripada broken trust, Je.'

Jevian belajar dari papa bahwa kebohongan adalah suatu keburukan yang pelan-pelan akan menggerogoti hidupmu jika kamu tidak menyadari dan segera memperbaikinya.

Maka ketika malam itu Jevian bertanya, 'Sumringah banget? Seru ya hangoutnya?' pada Jihan yang kala itu masih duduk di depan kaca rias, senyum canggung istrinya ketika mengangguk membuat perasaan Jevian terluka.

Selama ini Jihan tidak mau repot-repot bercerita siapa teman yang mengajaknya pergi. Tidak pula repot menyampaikan pada Jevian ke mana ia pergi. Sebab selama ini Jevian selalu menaruh percaya padanya, pada apapun yang akan ia lakukan. Tapi ketika Jevian memergokinya bersama pria lain dan Jihan memilih untuk tidak jujur meski Jevian berkali-kali memberikan pertanyaan yang seharusnya bisa menuntun Jihan untuk bercerita tanpa perlu dikorek oleh suaminya sendiri, Jevian jadi mengerti bagaimana rasanya ketika sebuah kepercayaan yang utuh perlahan mulai retak.

Untuk beberapa saat, ia membiarkan Jihan sibuk dengan dunianya sendiri. Jevian berusaha untuk tidak terlalu menggebu-gebu dan salah langkah meski jauh di dalam hatinya ia mulai terluka. Lalu seolah Tuhan membuka jalan baginya, malam itu setelah makan malam di rumah ayah dan ibuk sebagai agenda bulanan mereka untuk berkunjung, tiba-tiba ayah yang kala itu masih menatap bintang lewat teropong kebanggaannya bertanya.

"Ayah dengar Jihan habis reuni SMA."

Jevian yang tengah meneguk teh di beranda rumah bersama sang mertua pun merespon. "Iya, Yah. Bulan lalu."

"Sendirian?"

Sang menantu mengangguk. "Jihan sempat mau bawa Jevian, tapi dalam undangannya nggak tertulis harus bawa pasangan. Teman-temannya juga banyak yang datang sendiri, jadi Jevian nggak ikut karna nggak mau bikin kumpul-kumpul mereka jadi canggung."

Kekehan ringan dari bibir Jevian membuat ayah mengalihkan pandangannya dari teropong lalu menelisik ekspresi anak menantunya itu.

"Kamu nggak takut?"

"Takut kenapa Yah?"

Ayah menghela napas lalu melangkah menjauhi teropongnya. Ia ikut duduk di beranda, meraih sepotong kukis buatan ibuk. "Kamu tau Jihan punya mantan pacar waktu SMA?"

Jevian menggeleng. Tapi saat itu, ia tidak ambil pusing sebab Jevian percaya pada istrinya. Sebab menurutnya, apalah guna pernikahan tanpa rasa saling percaya. Jevian pikir bukan hanya Jihan, namun dirinya sendiri juga punya masa lalu. Tapi begitu mereka bersatu di bawah janji suci atas nama Tuhan, Jevian pikir semua yang ada di belakang memang sudah sepatutnya mereka tinggalkan di belakang. Jevian tidak pernah mengusik masa lalu Jihan. Sebab menurutnya, itu bukanlah hal yang penting untuk dilakukan.

"Kebetulan Jevian dan Jihan nggak pernah bicarain masa lalu. Menurut kita, apa yang udah ada di belakang nggak begitu penting untuk dijadikan topik pembicaraan."

"Justru masa lalu itu penting, Nak. Kamu jadi tau harus waspada sama siapa."

Jevian kembali terkekeh. "Enggak, Jihan nggak mungkin kaya gitu Yah."

Sang ayah mertua hanya mendengus melihat betapa naifnya Jevian dalam menanggapi nasihatnya.

"Jevian, hal paling terakhir yang harus kamu lakukan dalam rumah tangga adalah percaya seratus persen sama perempuan saat mereka berhubungan dengan masa lalu." Ayah mulai memberi ceramah seperti yang sudah-sudah, meski ia tau bahwa Jevian akan selalu memihak pada putrinya. "Kamu harus tetap waspada, nggak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini."

Kalimat ayah begitu mengusik perasaan Jevian setelahnya. Ia jadi mulai berperang dalam benaknya sendiri, haruskah ia mulai memata-matai istrinya karena kepercayaannya yang mulai menipis pada Jihan?

Tapi rupanya, Tuhan selalu punya cara untuk membongkar suatu kebohongan tanpa perlu Jevian repot berkonfrontasi. Sebab beberapa hari usai peringatan kematian uti, Jevian jatuh sakit. Jihan kala itu tengah menyuapinya bubur ketika bertanya,

"Kenapa sampai sakit gini sih, Mas?"

Wanita itu tampak tenang menyodorkan sesendok bubur pada Jevian yang bersandar pada kepala ranjang.

"Kemarin lusa aku kehujanan."

Jihan menaikkan kedua alisnya tidak percaya. "Tumben? Biasanya kamu nggak suka hujan-hujanan."

Jevian tidak menjawab. Dan Jihan kembali menyuapinya dalam diam. Mereka memang terbiasa seperti ini, Jihan yang sangat jarang bicara dan Jevian yang tidak ingin membuat istrinya terganggu membuat rumah tangga mereka tidak penuh dengan celotehan tidak penting. Tapi tiba-tiba, Jihan merujar dengan santai.

"Aku juga sempet kehujanan, tapi nggak sampai sakit."

"Kehujanan? Kapan?"

"Kemarin lusa."

Tampaknya, wanita itu tidak begitu sadar akan ucapannya. Jadi Jevian melanjutnya bertanya, "Oh ya? Di mana?"

"Di makam Uti."

Usai menjawab, detik berikutnya Jihan terdiam kaku menyadari kesalahannya. Wanita itu menatap sang suami yang juga tampak diam, menunggunya untuk melanjutkan pembicaraan meski sesungguhnya lidah Jihan sudah keburu kelu diserang ketakutan.

"Kamu ke makam Uti?" tanya Jevian ketika sang istri masih belum bersuara. "Sendirian?"

Jevian tidak tau bagaimana cara menggambarkan perasaannya kala itu. Yang jelas, ketika jiihan mengangguk untuk pertanyaan pertama namun sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan kedua, kepercayaannya runtuh tak bersisa. Sebab kemarin lusa, Jevian ingat betul jika ia mengikuti Jihan hingga ke makam uti hanya demi memuaskan rasa penasarannya akan penghianatan yang dilakukan sang istri.

Beberapa hari setelahnya, Jevian bersandar pada sisian mobil yang Jihan bawa hari itu. Menunggu istrinya untuk keluar dari cafe yang lagi-lagi ia datangi dengan pria yang sama.

Dari tempat Jevian berdiri, ia dapat melihat keduanya tampak berdebat sembari Jihan terus berjalan di depan dan seorang laki-laki mengikutinya dari belakang. Jevian tidak akan pernah lupa bagaimana ekspresi Jihan kala pertama kali menemukannya bersandar di sisian mobil yang ia tuju. Dengan wajah sangat amat terkejut, wanita itu menepis keras tangan yang tiba-tiba menggenggam miliknya dari arah belakang.

Rahang Jevian mengeras. Rasa-rasanya amarahnya akan meledak saat itu juga. Namun terbiasa untuk tidak melampiaskan emosi negatif di tempat umum membuat segala perasaannya Jevian terkubur kembali. Ia tidak bicara apapun selain meminta kunci mobil dan memberi isyarat pada Jihan untuk masuk. Dan keduanya pulang dalam keadaan membisu.

"Mas—"

"Dont."

Jevian menarik tangannya yang disentuh oleh Jihan sembari melangkah mundur. Ada sebuah koper kecil di atas ranjang yang sebagian ruangnya sudah diisi barang milik Jevian.

"I need some space." ujarnya memberi tembok pembatas. "Aku bakal nginep di apartment Keira untuk beberapa hari. Tolong bilang sama anak-anak kalau aku pergi dinas."

"Mas, aku—"

"Dont say any words, Jihan. I might not be able to control myself once you talk."

Jevian bukan tipikal yang senang lari dari masalah, namun ia lebih tidak sanggup untuk menyakiti Jihan dengan emosinya.

Keira tidak bertanya apapun ketika Jevian datang membawa sebuah koper. Yang jelas, si bungsu tau jika ada yang salah dengan rumah tangga kakaknya sebab tidak mungkin Jevian memutuskan untuk menginap sementara ada rumah hangat yang selama ini selalu lelaki itu puja di hadapan keluarga besar mereka.

Wajah Jevian tampak begitu kusut. Ia bahkan tidak berani mengendarai mobilnya sendiri dan selalu memesan taksi sebab tidak ingin memegang kendali mobil dalam keadaan emosi. Jevian akan berangkat pagi-pagi sekali lalu pulang begitu larut. Hingga di suatu malam akhirnya Keira berkata, "Aku nggak masalah Kakak mau nginep sampai kapan pun, tapi anak-anak oke kan? Its been a week, by the way."

Si bungsu dalam keluarga Abinawa itu sengaja menunda tidurnya dan beranjak ke dapur saat mendengar smart lock apartmentnya berbunyi pertanda sang kakak sudah pulang. Malam itu, Keira menemukan Jevian duduk di tengah pantri dengan dua botol alkohol yang terbuka dan hampir seluruh isinya telah dipenuhi udara.

"Kak?" panggil si bungsu pelan. "Mau cerita?" imbuhnya setelah mengambil sekaleng soda dan ikut duduk di pantri menemani kakaknya.

"Aku kepikiran mau cerai, Kei."

Keira terbatuk kencang mendegar kalimat pertama yang keluar dari bibir Jevian. Soda yang masuk terasa begitu menusuk hidung dan tenggorokan Keira. Namun Jevian tidak mengindahkan batuk sang adik dan terus melanjutkan.

"She cheated on me.."

Kalimat penuh gurat perih itu membuat batuk Keira reda karena kembali terkejut bukan main.

"Mbak Jihan?" tanyanya memastikan. "Serius, Kak?"

Jevian tidak menjawab. Ia justru menundukkan kepala pada lipatan tangan dan menghela napas dalam-dalam. "What should i do, Kei?"

Keira tidak begitu berpengalaman dalam percintaan, apalagi dalam penikahan. Pacar pertamanya saja baru satu dan belum berganti hingga saat ini. Ia juga tidak memiliki pengalaman dengan perselingkuhan. Jadi, seperti nasihat konservatif lainnya Keira hanya mampu berujar,

"Gimana kalau dibicarain baik-baik dulu Kak? Masalahnya, ada anak-anak yang nanti bakal jadi korban."

Jevian memikirkan kalimat Keira ratusan kali malam itu. Ia merindukan Dave dan juga Devan. Ia merindukan Jihan. Ia merindukan rumah yang sudah ia tinggalkan seminggu lamanya. Berbagai bayangan buruk melintas dalam benak Jevian andai ia benar berpisah dengan Jihan. Apa yang harus ia lakukan jika hidup tanpa wanita itu? Apa yang akan Jevian lakukan jika anak-anak bertanya? Bagaimana nanti anak-anaknya akan tumbuh tanpa kasih sayang yang utuh? Dan yang paling penting adalah.. apakah ia sanggup berpisah dengan wanita yang teramat ia cintai?

Keesokan harinya Keira dikejutkan dengan koper Jevian yang sudah tampak rapi di ruang tengah apartment. Lelaki itu berkata jika ia memutuskan untuk pulang dan akan bicara baik-baik pada Jihan.

Dalam perjalanan menuju rumah, Jevian sangat berharap jika yang terjadi di antara mereka hanyalah salah paham. Ia berharap ia tidak pernah melihat Jihan di hotel bersama pria lain, atau dipeluk erat di makan uti oleh pria lain, atau menghabiskan makan siang di sebuah cafe bersama pria lain. Jevian berandai-andai, jika memang semua ini adalah sebuah kesalahpahaman, maka itu adalah tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Jevian lah yang bersalah karena membiarkan kesalahpahaman ini terus berlarut. Benaknya terus membayangkan betapa ia ingin sekali memulai segalanya dari awal bersama Jihan dengan memperbaiki apa apa yang salah dalam rumah tangga mereka.

Langkah pertamanya ketika menginjakkan kaki di rumah membawa Jevian ke dalam kesunyian. Anak-anak pasti berada di sekolah dan kemungkinan besar Jihan tengah berada di dalam kamar utama. Jevian melangkahkan kakinya dengan penuh harap jika permasalahan ini akan selesai dengan baik dan ia tidak perlu memikirkan kemungkinan terburuk dalam rumah tangganya. Namun ketika pintu kamar terbuka, ia justru menemukan Jihan tengah menangis tersedu di pinggiran ranjang.

Satu-satunya yang Jevian tangkap saat tubuhnya sudah dekat adalah, tiga buah testpack yang dengan jelas menunjukkan dua garis biru.

Segala harapan yang ia coba bangun dari puing-puing yang tersisa kembali runtuh saat itu juga. Telinga Jevian terasa berdengung kencang hingga ia jatuh terduduk dan akhirnya menarik perhatian Jihan.

"M-mas.." panggil wanita itu di antara isak tangisnya. "Mas, please dengerin penjelasanku."

Jevian dapat mendengar betapa bergetarnya suara Jihan, namun telinganya masih berdengung parah. Satu-satunya hal yang mampu ia lakukan adalah bergerak menjauh dari Jihan. Jevian bahkan tidak sadar jika air mata sudah mengalir deras di pipinya.

"Kamu keterlaluan. Im not marrying you to be treated like this." Keluhnya pilu. "Whats wrong with you?! Apa yang kurang dari aku sampai kamu memilih pria lain?"

Dalam tangisnya, Jihan menggeleng kencang. "Mas—"

"Jangan pernah bilang ini bukan seperti yang aku bayangkan because i fucking saw you with him at the hotel, Jihan!!"

Jevian bangkit dan mencari sesuatu dari dalam lemari sebelum akhirnya melemparkan tumpukan foto ke atas meja rias. Kumpulan kertas yang berisikan tawa bahagia Jihan bersama lelaki lain di berbagai rencana kencan mereka. Puluhan foto yang akhirnya mematik bara api dalam dada Jevian berkobar semakin besar.

"Kenapa? Nggak pernah menyangka kalau aku tau lebih banyak dari apa yang kamu bayangkan?" sindir Jevian penuh amarah. "Jadi seperti ini caramu melarikan diri dariku dan kembali pada mantan kekasihmu?"

Jevian beranjak maju dan meremat pergelangan tangan Jihan erat, menimbulkan bekas yang sepertinya tak hilang hingga seminggu kemudian.

"Dari awal aku tau kamu nggak punya cukup alasan untuk mencintaiku selain karena aku begitu menghargaimu sebagai seorang wanita, Jihan. Kamu jatuh cinta pada konsep pria well-behaved yang memperlakukan kamu dengan santun unlike your father. Aku tau kamu punya cukup alasan untuk pergi. Tapi kenapa setelah sejauh ini? Apa tujuh tahun-ku tidak cukup untukmu, Jihan? Meski aku tau kamu memang tidak pernah mencintaiku, tapi tidakkan tujuh tahun-ku pantas untuk kamu hargai?!"

Tubuh Jihan bergetar hebat. Ia begitu terperanjat ketika untuk pertama kalinya setelah mengenal Jevian, lelaki itu berteriak penuh amarah padanya. Napas memburu dan kedua bola mata Jevian yang memerah membuat nyali Jihan menciut hingga ke akar. Membuatnya hanya mampu menangis dan mengucapkan kata maaf yang pada akhirnya membuat Jevian merasa begitu muak.

"Berhenti minta maaf!!" pekik Jevian lelah.

"Mas.. aku—"

"Kamu kebangganku, Jihan.." keluh Jevian menahan tangis. Seketika nada bicaranya terjun bebas bak tak lagi sanggup menahan kecewa. "I've told the world how proud i am of you. Kamu menantu kesayangan orang tuaku. I gave you.. everything. Tapi kamu justru pergi dengan pria lain. Bukan cuma tidak menghormati aku sebagai suami, kamu juga menginjak harga diriku, mencoreng wajah ini dengan penghianatan. Tell me, did i treat you wrong?"

Jihan menggeleng tersedu. Sesak di dada semakin membuatnya tidak mampu untuk bicara.

"Kasih aku satu alasan kenapa kamu ngelakuin ini." Jevian memohon. "Am i not enough? You love him better?"

Jihan kembali menangis tanpa memberikan jawaban. Membuat lelah yang datang menghantam Jevian terasa semakin bertubi-tubi. Rasanya, seluruh perjuangannya dalam membangun rumah tangga ini jadi terasa sia-sia. Rasanya segala hal yang ia lakukan untuk Jihan benar-benar tidak ada gunanya.

Jevian masih ingat langkahnya yang limbung ketika mundur menjauhi Jihan sembari berkata, "Akan aku urus surat perceraian kita secepatnya." 


●●●●


"Ayaaah, mau ke tempat Bunda lagi kapaaan?"

Devan merengek manja dalam pelukan Jevian saat lelaki itu masih sibuk mengocok adonan waffle di dalam wadah. Hari itu adalah hari libur nasional yang bertepatan dengan hari cuti bersama. Jevian tengah menyiapkan sarapan untuk kedua jagoannya di pagi buta saat tiba-tiba Devan berjalan keluar dari kamar sembari mengusak sebelah mata. Ia tampak masih mengantuk. Piyamanya terangkat sebelah hingga menampakkan perut kecilnya yang buncit.

Dengan mata tertutup seolah di kepalanya ada navigasi wireless, Devan menemukan kaki Jevian dan bergelayut manja di sana guna mencari perhatian. Jevian hanya terkekeh, membiarkannya bergelayutan untuk beberapa saat sebelum akhirnya kaki si bungsu sudah tidak kuat lagi menapak dan telapak tangannya menepuk perut sang ayah untuk memberi kode.

Jevian sigap mengangkat Devan yang sudah merentangkan tangannya meminta untuk di gendong. Akhirnya, si bungsu bermuara duduk di pinggiran meja pantri. Bersandar pada dada sang ayah, memeluk tubuhnya, lalu melanjutkan mimpi yang tinggal separuh-separuh.

"Ayah jawab dong, Abang kan tanyaa.."

Lagi-lagi Jevian terkekeh gemas. Panggilan Devan sudah berubah dalam sekejap mata usai ia kembali dari rumah sakit. Kini, setelah berdebat panjang dengan Jevian, si bungsu sudah ogah dipanggil adek. Ia bahkan kukuh terus melabeli dirinya dengan panggilan abang. Membuat Jevian akhirnya menyerah dan pasrah.

"Ini nanya beneran atau masih mimpi?" canda Jevian masih menaruh perhatiannya pada wadah dan adonan.

"Nanya beneran. Abang udah bangun kok niiihh."

Devan mendongak dan menunjukkan matanya yang.. masih tertutup rapat digelayuti kantuk.

"Mana? Ayah nggak lihat apa-apa tuh."

"Ayah makanya jangan merem!!"

Jevian mengusak rambut belakang Devan, membuatnya kembali bersandar pada tubuh sang ayah lalu dalam sekejap kembali tenang seolah hangat yang menguar dari tubuh Jevian mampu memberikan kenyamanan untuknya menyambung mimpi.

Tapi lima menit kemudian..

"Ayaaah.. mau ke tempat Bunda.." rengek Devan. Entah kali ini benar-benar sudah terjaga atau masih bermimpi. "Mau liat Adeekkk." sambung si kecil kembali merengek.

"Semalem kan udah ke sana. Semalemnya lagi juga udah." Jevian menjawab tenang. Adonan dalam wadah ia tuang perlahan ke dalam cetakan waffle tanpa mengganggu posisi Devan yang masih bergelayut bak koala dalam pelukan.

"Iya tapi mau lagiiiii." Devan menjawab pernyataan sang ayah. Membuat Jevian benar-benar bingung, anaknya ini sudah bangun atau masih bermimpi, sih?

"Nanti-nanti kan bisa ke sana lagi, Minggu ini Adek udah—"

"Abang."

Jevian menghela napas berat. "Abang udah ke sana tiga kali. Full, setiap hari setelah pulang pre-school. Istirahat dulu dong hari ini."

Devan merengek dan mulai gelisah dalam tidur a la koalanya. "Kangen Adek sama Bundaaaa." keluhnya semakin rewel.

"Devan, ini—aduh. Nanti kamu bisa luka kalau kena kompor." Jevian memeluk Devan guna menjauhkan posisi cetakan waffle dari putranya sembari menunggu isinya matang. "Devan, jangan rewel dong Nak.. kan udah tiap hari ke sana, hari ini libur dulu."

"Ayah belum pernah ke sana." pernyataan itu membuat gerakan Jevian yang baru saja membuka tutup cetakan mendadak terhenti. "Kan hari ini Ayah nggak kemana-mana." sambungnya membuat Jevian semakin tidak bisa berkata-kata.

"Tapi—"

"Ayah belum pernah ketemu Adek. Sibuuuk terus. Makanya ayo ke tempat Bunda, liat Adek. Selagi Ayah nggak kerjaaa."

Harusnya Jevian bisa menolak. Toh apalah daya upaya makhluk kecil seperti Devan hingga mampu memaksanya jika Jevian memang tidak ingin?

Tapi nyatanya kini ketiganya tengah duduk di dalam mobil menuju sebuah tempat perbelanjaan umum. Devan tampak sangat sumringah dan bahagia sekali. Sesekali gumam ringan terdengar dari bibirnya saat lagu dari playlist—yang sempat Ajis berikan—terputar dan menggema di dalam mobil.

Jevian meraih plastik belanja, lalu memasukkan beberapa buah apel ke dalamnya.

"Ayah, Abang mau yang itu!!"

"Iya, boleh."

Jevian meraih dua plastik belanja dan memasukkan dua jenis buah yang berbeda masing-masing ke dalamnya hingga penuh. Di sampingnya, Devan tampak bolak balik membawa sekotak strawberry di dalam genggaman.

"Adek kenapa bolak-balik terus?"

"Abang, Ayaaaah!" sewot Devan tidak terima.

"Iya, maaf. Abang kenapa bolak balik terus?"

Devan mendekat dan menunjukkan kotak strawberrynya pada Jevian. "Ini.. ada yang strawberrynya rusak. Abang mau ganti yang lain aja."

Devan berlalu tanpa menunggu jawaban dari sang ayah. Meninggalkannya bersama Dave yang masih tampak tenang mengikuti Jevian dengan sebelah tangan menggenggam troli untuk ikut mendorong. Melihat si sulung yang tenang, Jevian jadi gatal untuk bertanya.

"Kakak nggak mau jajan juga?"

"Mau. Tapi nanti aja sama Ayah." jawab Dave, masih super tenang.

"Kalau mau ambil buah yang Kakak mau, gapapa. Coba lihat dulu mana yang Kakak suka."

Dave mendongak menatap Jevian, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum bertanya. "Boleh, Ayah?"

"Boleh. Its okay. Mau coba pilih sendiri?"

"Tapi kalau Kakak salah pilih, gimana?"

Jevian mengulas senyum pengertian sebelum berjongkok di hadapan si sulung. "Itu gunanya kita teliti, Kak. Nanti Kakak lihat dulu isi kotaknya. Kalau ketemu ada yang rusak, jangan dipilih. Kalau kita teliti, kemungkinan salahnya jadi keciiil banget. Tapi kalau Kakak udah teliti dan tetep salah pilih juga gapapa. Bisa jadiin pelajaran biar next time bisa jauh lebih teliti lagi. Ya?"

Ketika Dave mengangguk dan dengan percaya dirinya pergi memilih buah kesukannya sendiri, Jevian mendatangi pelayan supermarket untuk menimbang bobot berbagai buah yang sudah ia pilih sebelumnya.

Usai ketiganya selesai berbelanja, mobil kembali melaju menuju pinggiran kota. Dave dan Devan sudah terlelap di bangku belakang karena kelelahan dan baru bangun ketika jalanan menuju flat Jihan mulai tidak rata. Dave yang pertama kali membuka mata, disusul Devan yang tubuhnya diguncang sang kakak dengan sabar.

Ketika kelopak keduanya sudah terbuka lebar, Jevian iseng bertanya, "Di tempat Bunda, ada Uti?"

"Ada."

"Tiap hari ada."

Keduanya menjawab dengan nada malas khas bangun tidur.

Jevian tidak tau apa yang memicu rasa penasarannya tapi tiba-tiba saja tenggorokannya terasa begitu gatal untuk kembali bertanya, "Selain Uti?"

Putranya tampak berpikir sejenak sebalum si sulung menjawab, "Biasanya ada tante rumah depan main ke tempat Bunda terus cerita-cerita lamaaa banget sambil gendong Adek."

"Iya! Tante Cala namanya!

Jevian mengangguk paham. Namun, rasa penasarannya masih belum terjawab sebab sesuatu masih terasa menggelitik tenggorokannya.

"Kalau laki-laki.. ada?"

Suddenly come to his concern, Jevian tidak pernah mendengar anak-anak berbicara tentang lelaki lain yang menjaga Jihan. Padahal sejak terakhir kali ia melihat Daniel memasuki pintu rumah sakit waktu itu, Jevian sudah menebak-nebak bahwa tak lama setelahnya mungkin Jihan akan memperkenalkan kekasihnya itu pada anak-anak. Sebab walau bagaimanapun, kenyamanan anak-anak adalah yang terpenting dan Jihan tidak mungkin membiarkan Dave dan Devan merasa tidak nyaman dengan kehadiran orang baru yang terasa asing dalam teritory mereka.

Selain itu, perpisahan mereka juga sudah lewat berbulan-bulan lamanya. Jadi bukan menjadi hal yang aneh jika kemudian salah satu dari mereka pada akhirnya menemukan tambatan hati baru.

"Ada."

Jawaban Devan membuat Jevian menoleh dengan cepat. Melirik sang putra dari kaca rear view, tenggorokannya yang mendadak terasa berat pun membuatnya harus berdehem sekali sebelum akhirnya melanjutkan percakapan.

"Hm.." gumam Jevian merespon. "Datengnya sering?"

"Sering. Tapi nggak pernah lama-lama di tempat Bunda."

"Akung?"

Baik Dave dan Devan kompak mengeleng.

Oh?

Oh..


●●●●

Dee's note:

Have a warm and lovely christmast eve!

Stay safe, stay healthy and stay hydrated semuaa♡



With love,

Dee ☘️

Continue Reading

You'll Also Like

454K 35K 16
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
215K 15.9K 42
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
388K 9.4K 61
bagaimana kalau hidup kamu yang awal nya bahagia dengan pekerjaan itu, malahan menjadi petaka untuk kamu sendiri. Pernikahan paksa akibat sebuah jeba...
533K 18.7K 64
Eizer Sebastian, seorang pria yang hampir memilki segala kesempurnaan dalam hidupnya secara perlahan menjadi pria yang bermasalah ketika keinginan da...