Cinta Penawar Kutukan

By chinggu313

1.3K 1.1K 390

Genre fantasi namun mengandung unsur romansa. Inilah kisah tiga anak remaja dengan kutukan masing-masing. Men... More

♧Prolog♧
♧Chapter1♧
♧Chapter2♧
♧Chapter3♧
♧Chapter4♧
♧Chapter5♧
♧Chapter6♧
♧Chapter7♧
♧Chapter8♧
♧Chapter9♧
♧Chapter10♧
♧Chapter11♧
♧Chapter12♧
♧Chapter13♧
♧Chapter14♧
♧Chapter15♧
♧Chapter16♧
♧Chapter17♧
♧Chapter18♧
♧Chapter19♧
♧Chapter20♧
♧Chapter21♧
♧Chapter22♧
♧Chapter23♧
♧Chapter24♧
♧Chapter25♧
♧Chapter27♧
♧Chapter28♧
♧Chapter29♧
♧Chapter30♧
♧Chapter31♧
♧Chapter32♧
♧Chapter33♧

♧Chapter26♧

17 12 0
By chinggu313

Ceklek...!

Bunyi derit pintu yang terbuka membuat atensi pemuda yang tengah sibuk menulis sesuatu di bukunya seketika menoleh dengan gerakan cepat. Bahkan kursi yang didudukinya sekarang sempat bergerak. Terdengar decakan kesal yang keluar dari bibir pemuda itu, lalu setelahnya memilih acuh dan kembali pada kegiatan sebelumnya.

Laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu kamar laki-laki tadi tampak tidak kalah kesalnya dengan sang pemilik kamar. Merasa diacuhkan, laki-laki itu kemudian berjalan mendekati laki-laki yang sedang duduk di meja belajarnya itu dengan langkah santai.

Sang pemilik kamar peka, namun dia memilih acuh. Ingin sekali rasanya mengusir laki-laki itu dari kamarnya. Sampai sebuah deheman tanda intrupsi membuat dirinya seketika ingin mengamuk rasanya.

"Kalau ada tamu yang datang tuh dijamu layaknya raja. Gak diabaikan kayak yang lo lakuin sekarang. Lo emang gak punya tata krama atau emang gak pernah diajarin sopan santun sama orang tua lo?"

Mendengar kalimat sarkas itu, emosi laki-laki yang masih setia duduk di kursi meja belajarnya tersebut seketika naik pitam. Kepalan tangannya mengeras berusaha untuk tidak berbalik dan menonjok wajah orang di belakangnya. Berani sekali orang itu datang ke sarangnya dan memancing emosinya begitu saja. Apakah orang itu tidak takut babak belur setelah keluar dari sana? Cih! Laki-laki itu sadar, seberapa lama pun dirinya berusaha untuk bersikap acuh kepada pria yang datang tadi, pikirannya berbanding terbalik dengan keinginannya. Otaknya tak bisa berhenti untuk selalu mengingat kalimat sarkas laki-laki tadi. Sungguh memuakkan.

"Diam berarti iya. Menghindar sambil menunggu bantuan. Bukannya maju dan berterus terang. Bukankah itu yang namanya pengecut?"

Bughh!!!

Satu pukulan berhasil mendarat dengan sempurna di pipi sebelah kanan sang lawan. Si pemilik kamar sudah tidak sanggup menahan emosinya. Matanya melotot marah menatap tajam sang lawan di depan. Ok, kita anggap mereka sebagai rival. Karena begitulah kenyataannya. Lantas, apakah laki-laki berambut merah tadi balas melawan? Sepertinya tidak. Bukannya meringis menahan sakit akibat pukulan keras tadi, tawa remeh malah terdengar begitu menyebalkan di mulutnya.

"Lo ke sini ternyata cuman mau mancing emosi gue ya. Sebagai feedback, gue kasih kenang-kenangan di wajah lo. Efeknya mungkin tidak buruk, tapi gue pastiin lo bakal nyesel kalau ngusik hidup gua."

Laki-laki si pemilik kamar kembali duduk membelakangi si laki-laki berambut merah. Kepalanya kembali fokus membaca kata per kata yang tertulis acak di bukunya. Rupanya si rambut merah tidak menyerah atau merasa takut sedikitpun. Jaraknya yang sangat dekat dengan posisi laki-laki itu membuat dirinya dengan mudah mendorong kursi yang diduduki oleh sang pemilik kamar.

Si pintar akan kalah dengan si cerdik dan si gercep. Handphone yang sengaja Asahi letakkan tepat di depannya dengan posisi vertikal bersandar di kotak pensil miliknya rupanya menangkap galagat si pemilik rambut merah di belakangnya. Alhasil, si pemilik kamar dengan cepat berdiri dari bangkunya dan berbalik sambil menahan tangan kanan milik laki-laki itu. Posisinya diubah menjadi memutar membuat laki-laki si rambut merah memekik kesakitan.

"Lepasin tangan gue bangs*t! Lo-"

"Yoshi! Asahi! Apa yang kalian lakukan?!"

Kedua laki-laki itu terdiam. Terkejut dengan suara teriakan seorang pria tua yang baru saja datang. Keduanya semakin merasa takut ketika melihat keberadaan beberapa orang lain di belakang pria tua tadi.

"Mampus! Lo sih, kenapa pake masuk ke kamar gua segala!"

"Lo duluan yang mulai! Gue dateng gak langsung nonjok tuh."

"Diam!"

Suasana semakin mencekam. Yoshi dan Asahi yang awalnya saling menatap dengan sinis kini dibuat menunduk. Tatapan dari pria tua yang kini sudah berdiri di depan mereka sungguh menakutkan. Beliau melonggarkan dasinya kemudian berkacak pinggang sambil menatap jengah kedua pemuda di depannya. Terdengar helaan nafas frustasi dari bibirnya. Terlampau pusing dengan kelakuan kedua pemuda itu. Setiap bertemu pasti diawali dengan sesi perkelahian. Seperti kejadian beberapa menit yang lalu. Entah apa yang terjadi jika dirinya tidak segera menghampiri keduanya. Beruntung di kamar Asahi terlampau aman dan terhindar dari benda-benda tajam. Keduanya bahkan tidak bisa mengontrol diri mereka sendiri ketika berhadapan satu sama lain.

"Jangan harap kalian bisa mendapatkan apa yang kalian mau jika kalian masih belum bisa mengontrol diri kalian masing-masing. Kalian ini saudara, keluarga dekat. Apa pantas kalian menjadi penerus perusahan Kakek jika kalian masih bersikap kanak-kanakan seperti tadi?"

Wanita yang mengenakan dress biru navy selutut yang sedari tadi tidak bersuara kini memberanikan diri untuk melangkah mendekati pria tua yang mengamuk tadi. Melihat cara pria tua itu bernafas membuat semuanya panik, termasuk Yoshi dan Asahi. Keduanya bahkan sudah melupakan amarah masing-masing dan tanpa sengaja berlari menahan pria tua tadi. Badan gemuk itu terlihat lemah. Nafasnya berhembus tidak beraturan. Seperti sang pemilik yang begitu rakus ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya di planet ini.

"Kakek!" Keduanya berseru panik. Bahkan mereka berdua kompak menggotong pria tua itu menuju kasur dan membaringkan tubuh pria itu di sana. Asahi meringis pelan. Penyakit pria tua itu kambuh setelah sekian lama. Dan ini semua gara-gara dirinya- ah tidak! Lebih tepatnya gara-gara si laki-laki yang memiliki rambut merah nyala layaknya iblis itu. Kalau saja Yoshi tidak menghampirinya atau bahkan tidak menyulut emosinya, dia tidak akan membuat gaduh seperti tadi.

Ekor matanya kembali melirik pria yang dia cap iblis itu di sampingnya. Yang diperhatikan tidak merasa sama sekali. Laki-laki itu sibuk menanyakan keadaan pria tua yang sedang berbaring itu. Diam-diam Asahi mencibir, mengolok-olok bagaimana Yoshi terus mengeluarkan pertanyaannya membuat dirinya ikutan jengah melihatnya. Tiga orang lain yakni wanita yang memakai dress biru navy tadi, seorang pria paruh baya berdasi pita kupu-kupu serta pria yang selama ini tinggal bersamanya. Beliau adalah Tuan Hamada, Papa Asahi. Oh lihatlah raut wajah tegas beliau, tidak heran jika keturunannya juga sering di cap sebagai manusia minim ekspresi.

Tting!!

Asahi menoleh, terlampau kaget mendengar suara nontifikasi di ponsel yang masih terletak di meja belajarnya. Laki-laki itu berjalan mengambil benda tersebut kemudian mengeceknya. Melihat kerutan di dahi laki-laki itu membuat Yoshi jadi penasaran. Chat dari siapa yang membuat Asahi betah menatap layar ponsel itu berlama-lama? Tidak ada senyum, tidak ada tindakan berupa ketikan sebagai balasan.

Diam-diam Yoshi berjalan mundur mendekati Asahi yang berdiri memunggunginya dan sedikit jinjit untuk melihat layar ponsel laki-laki itu. Netranya tepat mengarah ke satu baris kalimat terakhir yang dikirimkan dari room chat itu. Anggukan tanda puas membuatnya mengangguk yakin lalu memundurkan badannya sebanyak satu langkah.

"Maaf semua, sepertinya saya tidak bisa berlama-lama di sini."

Semuanya menoleh. Tak terkecuali Asahi sendiri yang terlampau kaget mendengar suara Yoshi yang tiba-tiba berada di belakangnya. Terdengar suara benda jatuh di bawahnya dan ketika kepalanya menunduk, Asahi sudah melihat ponselnya yang tergelatak di lantai dengan posisi layar di bawah. Buru-buru dia menunduk dan memungut ponsel itu, mewanti-wanti supaya layar benda tersebut tidak pecah. Dan untunglah, rasa takut yang menghantuinya sesaat langsung hilang seketika.

"Kamu udah mau pulang? Padahal kita sengaja datang ke sini untuk mengadakan makan siang keluarga. Jarang-jarang loh kita kumpul gini," ujar Pria berdasi yang diangguki oleh wanita ber dress biru navy di sampingnya.

"Maaf Pah, sepertinya keadaan Kakek sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dan juga, ada hal penting yang harus Yoshi lakukan sekarang."

"Sok sibuk banget." Asahi mencibir yang dibalas tatapan sinis oleh Yoshi. Entah sejak kapan keduanya berdiri sejajar namun yang pasti, kepalan tangan Asahi sudah mulai mengeras sekarang. Salah satu sifat yang paling Asahi benci dari laki-laki di sampingnya. Selalu bersikap bodo amat dan sok sibuk. Kegiatan sepenting apa yang membuat laki-laki iblis itu memilih untuk meninggalkan Kakek mereka yang sedang sakit sekarang? Kira-kira begitulah isi pikiran Asahi saat ini.

"Di sini panas banget Pah, Mah... Yoshi mau keluar ya. Oh iya, buat Kakek, maaf Yoshi gak bisa lama-lama buat jagain Kakek. Semoga Kakek cepat membaik dan kalau bisa Yoshi kasi saran sih, Kakek jangan dekat-dekat dengan anak datar ini ya, Kek. Nanti bukannya sembuh malah makin parah lagi. Dah semua."

Seiring kalimat panjang itu mengudara, udara yang berhembus dari sela-sela kaca jendela yang terbuka seakan-akan mengiringinya. Langkah kaki jenjang milik laki-laki itu berbalik dan bergerak dengan langkah santai. Tepat setelah laki-laki itu keluar dari kamar Asahi, si pemilik kamar yang masih dirundung amarah berniat untuk mengejar laki-laki itu. Setidaknya menghadiahkan sebuah pukulan kembali mampu membuat Asahi puas. Namun niat hanya sebatas angan. Laki-laki itu urung untuk mengejar sepupunya yang sudah dia cap sebagai rival itu. Ringisan tanda kesakitan milik pria tua yang sedang berbaring di kasurnya jadi lebih urgent sekarang.

"Asahi.... Cepat ambilkan kunci mobil Papa. Kita harus bawa Ayah ke rumah sakit." perintah itu terdengar begitu memaksa. Suasana kamar kembali tegang, semua orang berseru panik. Asahi dengan langkah yang sangat terburu-buru berlari untuk melaksanakan perintah. Ini bukan soal harga diri, bukan pula soal ingin di cap sebagai anak rajin. Tapi ini soal waktu. Terlambat sedikit saja, pria tua itu mungkin tidak akan selamat.

"Akhhh!!! Sial!!!! Dimana si tua bangka itu menyimpan kunci mobilnya!!"

"Asahi!!! Cepat turun ke bawah!!"

Laki-laki itu berdecak kesal. Mengabaikan rasa nyeri yang menghampiri dadanya. Dirinya mulai di rundung berbagai pikiran-pikiran negatif sekarang. Tentang dirinya dan juga sang Kakek. Kenapa rasa sakit di dadanya harus kambuh sekarang? Tapi bersyukur laki-laki itu masih bisa tahan. Netranya menoleh dengan gesit ke arah sofa sedang yang berada di ujung ruangan. Mendapati benda yang dia cari membuatnya memekik senang.

Cahaya redup dari balik baju yang dia kenakan tak membuat laki-laki itu gentar untuk berlari menghampiri sang Papa di bagasi depan. Semua orang sempat terdiam menatapnya. Laki-laki itu paham sekarang, orang-orang itu pasti sedikit terkejut melihat bola matanya yang tiba-tiba berubah menjadi warna biru. Tapi tak apa. Masalah itu masih bisa dia atasi. Tak perlu repot untuk mencari alasan lain ketika dirinya bertemu dengan orang banyak nanti. Memakai softlens berwarna biru cukup membuat orang-orang tanpa rasa curiga sedikitpun mengangguk mengerti. Yeahhh.... Beruntung sekali dia hidup di jaman sekarang.

"Jangan ngebut! Aku mengawasimu dari belakang!" Seruan dari dalam mobil yang hendak keluar dari pekarangan rumah terlebih dahulu membuat Tuan Hamada berdecak. Tidak ada hal yang perlu dia lakukan sebagai respon selain anggukan. Kini kedua mobil itu sudah melaju meninggalkan rumah besar tersebut. Membiarkan gerbangnya tertutup dengan sendirinya. Tidak ada satpam, tidak ada pembantu. Begitulah nyatanya. Tuan Hamada termasuk orang yang cukup sulit untuk percaya dengan orang asing. Bahkan untuk orang terdekatnya pun, rasanya masih sangat sulit untuk dipercaya. Kenapa begitu? Tuan Hamada punya alasan sendiri. Sebuah kejadian masa lampau yang membuatnya sukar untuk menaruh kepercayaan kepada orang lain. Sekalipun kepada putranya sendiri.

.

.

.

.

Tuk... Tuk... Tuk!!

Ramai, kata itulah yang mendeskripsikan keadaan jalan saat ini. Terlihat seorang laki-laki yang duduk di bangku halte bus. Tidak sendirian, terdapat dua orang wanita dewasa serta tiga orang anak remaja sepantarannya.

Helaan nafas sudah berulang kali dia hembuskan secara kasar. Entah harus melakukan apa. Dirinya yang begitu semangat beberapa menit yang lalu kini terlihat lemah saat ini. Apa yang terjadi dengannya? Itu semua karena minuman kaleng yang dipegangnya. Di sebelah laki-laki itu sudah tergeletak tiga kaleng soju yang sudah habis. Apa laki-laki itu mabuk? Mungkin sedikit. "Fuuhhh.... Yoshi... Yoshi. Gini banget hidup."

Salah satu wanita dewasa yang berdiri tak jauh dari tempatnya menoleh. Entah kenapa, setelah mendengar penuturan putus asa dari Yoshi membuat wanita itu sedikit iba. Namun baru saja kakinya hendak melangkah untuk mendekat, bus yang dia dan teman di sebelahnya tunggu akhirnya datang. Mau tidak mau wanita itu harus mengabaikan Yoshi dan memilih untuk menaiki bus di depannya.

Kini laki-laki itu sudah lebih tampak seperti laki-laki sebatang kara. Celana jeans robek-robek yang dikenakannya, berpaduan dengan baju kaos berwarna putih yang sialnya terkena noda minuman yang sedang dia minum saat ini. Terlihat sangat basah di area dada. Namun laki-laki itu tidak peduli. Yang penting dirinya masih memakai baju, itupun tidak masalah.

Tepat setelah bus di depannya melaju, seorang gadis tiba-tiba duduk di sampingnya. Yoshi menoleh, hanya mendapati sesosok manusia yang terlihat tidak jauh dengan dirinya. Aura penuh putus asa. Sempat melamun lantaran merasa tidak asing dengan gadis di sampingnya itu, sampai gadis bersurai pendek tersebut menoleh dan ikut menatap netranya.

"Winter?"

Gadis itu memberikan anggukan lemah. Tidak ada suara, hanya helaan nafas kasar. Kepalanya bersandar di sandaran kursi di belakangnya. Yoshi masih dengan raut wajah blank-nya tak henti-henti untuk memperhatikan Winter dari sepatu sampai ke wajah gadis itu. Dilihatnya jam yang melilit pergelangan tangan kirinya, masih jam 12 lewat 1/4 menit. Bukankah jam sekolah masih berlangsung sekarang? Apa yang dilakukan gadis itu?

"Lo bolos?"

"Enggak."

Mulut yang tadinya bersiap untuk bersuara lagi kini bungkam. Mendengar nada sarkas dari gadis di sampingnya membuat Yoshi tak berani untuk bertanya yang macam-macam. Entahlah. Dirinya merasa belum terlalu dekat dengan gadis itu. Hanya sebatas kenal dan beberapa kali tak sengaja saling temu. Namun Yoshi juga merasa kalau dirinya sudah terlanjur masuk ke dalam kehidupan Winter. Mengingat salah satu rahasia besar gadis itu sudah dia ketahui sekarang. Itu merupakan hal besar. Bukankah gadis itu pernah mengatakan kepadanya kalau rahasianya hanya diketahui oleh beberapa orang-orang terdekatnya?

"Lu kalau mau bunuh diri mah bunuh diri ajah."

Gerakan refleks Yoshi menoleh dan menatap gadis itu bingung. Tidak mengerti dengan maksud gadis itu menyerukan kalimat barusan. Apakah pernyataan itu ditujukan kepadanya atau orang lain? Tapi melihat dirinya hanya berdua dengan Winter di halte sekarang membuat Yoshi paham. Kalimat itu untuknya.

"Siapa yang mau bundir? Gila ajah orang seganteng gue mau bunuh diri. Belum juga nikah."

"Nikah yuk."

Sebuah kalimat ajakan tersebut membuat Yoshi terdiam. Bahkan beberapa orang yang tadinya terlihat berlalu-lalang di jalanan depannya kini sudah tidak terlihat. Ahh.... Bukan itu permasalahannya. "A.... Apa?"

"Bercanda," Sedikit terbesit rasa kesal. Namun tak apa. Hal itu tidak terlalu penting untuk dia pikirkan berlarut-larut.

"Beneran juga gak apa-apa." Winter terkekeh. Entah apa yang lucu. Yoshi reflek mengatakan kalimat tadi. Ya meski agak terkejut dengan mulutnya yang tiba-tiba berceletuk itu, Yoshi tetap bisa mengontrol ekspresinya.

"Sinting," lanjutnya ketika mendapati Winter tak henti-hentinya untuk tertawa.

Ingin sekali Yoshi pergi dari sana. Terlampau malu diliatin orang-orang yang entah sejak kapan kembali ramai berjalan di depannya. Beberapa menit yang lalu, waktu seakan-akan terhenti sejenak. Ahhh.... Pikiran Yoshi kacau sekarang. Bisa-bisanya dia berkhayal seperti itu.

"Iya. Lo juga sinting mau ladenin gue."

Getaran dari balik saku celananya membuat atensi Winter dan Yoshi teralihkan. Laki-laki itu berdecak pelan lalu mengangkat panggilan di ponselnya tanpa melihat nama yang tertera di sana. Sepertinya sinyal ponsel laki-laki itu agak buruk. Yoshi berdiri kemudian berjalan beberapa langkah menjauh dari Winter sambil terus berkata, "halo?"

Butuh beberapa saat hingga dirinya mendapat sinyal. Laki-laki itu melihat layar ponselnya sesaat lalu kembali berdecak pelan. Dia pikir sinyal ponselnya yang buruk, ternyata sikap si penelfon yang buruk. Apakah ini hanya panggilan asing atau emang sengaja? Yang jelas Yoshi langsung menutup panggilan itu secara sepihak. Laki-laki itu tak segan-segan untuk langsung memblokir kontak tadi.

"Aihhhh.... Yak!!! Minuman apa ini? Rasanya aneh."

Teriakan tadi membuat Yoshi menoleh. Sedetik kemudian bola matanya melotot diiringi dengan gerakan tangannya yang dengan cepat merebut kaleng minuman yang dipegang gadis itu. Na'as, terlambat sudah. Melihat gelagat aneh gadis itu serta rona merah di area wajahnya membuat Yoshi kembali berdecak kesal. Entah sudah berapa kali laki-laki itu berdecak selama beberapa menit terakhir ini. Dia sudah membuat masalah sekarang.


Tbc.....

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 354K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
323K 18.7K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...
253K 21.6K 21
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
608K 50.9K 55
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...