Over The Destiny | Ateez Seon...

By Yozora_MK

3.5K 562 399

Kepergian Hongjoong adalah satu hal yang tak akan pernah bisa Seonghwa terima. Dia tidak mengerti mengapa Hon... More

#0. Prologue
#01. After Last
#02. Chance
#03. Vivid Dream
#04. One Step Closer
#05. Live In Utopia
#06. Hollow
#08. People With Love
#09. Attempted
#10. Twist of Fate
#11. Drown in The Dark
#12. Dreamy Day (Last + Epilogue)

#07. Alive A Life

228 36 35
By Yozora_MK

🌟 Seongjoong 🌟

.

.

.

CAUTION :
Terlalu menghayati cerita fiksi dapat menurunkan tingkat konsentrasi dan menimbulkan efek2 baper(?). Gejala seperti naiknya tekanan darah, euforia, cengengesan, mual2 dan hasrat ingin gampar seseorang bukan merupakan tanggung jawab author.

.

.

.

Happy Reading~ ^^

.

.

.

.

.

Pagi hari saat Seonghwa membuka mata, tanda tanya mendadak muncul di kepalanya. Dia menoleh dan tak menemukan Hongjoong di sebelahnya. Sisi lain tempat tidur tampak kosong. Jadi dia memperhatikan dirinya sendiri untuk memastikan bahwa apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi belaka.

Seonghwa melihat dirinya masih dalam keadaan telanjang bulat di balik selimut. Itu artinya semalam dia betul-betul bercinta dengan Hongjoong.

Sembari meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai, Seonghwa bangkit. Tak repot-repot mengenakan kemeja, dia berjalan keluar dengan bertelanjang dada. “Hongjoong,” dia memanggil sambil celingukan ke sana kemari.

Tak ada suara yang menyahut. Seonghwa pun terus berjalan menuju kamar mandi, dapur dan ruang tamu, berharap menemukan keberadaan teman serumahnya. Hasilnya nihil.

Seonghwa bertanya-tanya pergi ke mana Hongjoong pagi-pagi buta begini.

Berpindah ke kamarnya, Seonghwa mengambil ponsel dan mencoba menghubungi nomor Hongjoong. Dia berpikir mungkin saja pemuda tersebut keluar—entah ke mana, mungkin berlari pagi di sekitar area apartemen. Hongjoong tidak punya kebiasaan berolahraga di pagi hari, tapi mungkin saja.

Akan tetapi, pada menit-menit berikutnya Seonghwa malah mendengar suara dering ponsel sayup-sayup. Sambil menoleh ke sekeliling dia berjalan keluar kamar, menuju kamar Hongjoong.

Terlihat ponsel Hongjoong tergeletak di atas meja dengan notifikasi panggilan dari Seonghwa.

Seonghwa meletakkan ponselnya ke sebelah ponsel Hongjoong dan lantas memperhatikan sekitarnya sekali lagi. Dengan tujuan memastikan sesuatu, dia mengecek jaket Hongjoong yang tergantung di belakang pintu dan memeriksa sakunya. Seperti dugaannya, dia menemukan dompet Hongjoong. Namun dia tak menemukan hoodie yang dikenakan Hongjoong kemarin.

Hongjoong keluar tanpa membawa ponsel beserta dompetnya, itu amat tak biasa.

Ini membuat Seonghwa mulai tak tenang. Perasaan cemas merasukinya mau tak mau.

Karenanya Seonghwa kemudian kembali ke kamarnya untuk mengenakan pakaian, meraih mantelnya dan buru-buru keluar. Selagi berjalan melewati pintu, dia melihat sepasang sepatu Hongjoong tak ada di tempatnya, yang menandakan bahwa teman serumahnya tersebut memang pergi keluar.

Satu tempat saja yang saat ini ada di pikiran Seonghwa, dan semoga pemikiran buruk yang ada di kepalanya tak betul-betul terjadi.

Seonghwa pergi menuju tangga dan terus berlari naik ke lantai atap—tempat yang selalu dituju Hongjoong di saat-saat emosional, juga tempat terakhir yang dipilihnya untuk menyudahi napasnya.

Seonghwa membuka pintu atap dan menyerukan nama Hongjoong dengan napas memburu. “Kim Hongjoong!”

Terlihat Hongjoong sedang berdiri di depan pagar pembatas. Pemuda tersebut tampak terkejut sewaktu memutar badan. “Seonghwa,” dia berkata, lalu mengulas senyumnya.

Langit pagi yang masih belum begitu terang menjadi latar belakang siluet Hongjoong. Pada detik itu, sambil memandang senyum Hongjoong yang hangat dan mendengar suaranya, berbagai pemikiran muncul dalam benak Seonghwa.

Dunia ini, dunia yang ditempati Seonghwa saat ini, hanya akan menjadi demikian indah apabila Hongjoong menjadi bagian di dalamnya. Alasan dunia di sekeliling Seonghwa tak pernah gelap adalah Kim Hongjoong semata. Seonghwa tak sanggup membayangkan akan bagaimana dunianya jika Hongjoong betul-betul pergi dari dunianya dan tak pernah kembali.

Bisakah Seonghwa melindungi senyum itu selamanya?

“Aku mencarimu,” kata Seonghwa setengah mengadu. Sembari mengatur napas dia melangkah kepada Hongjoong.  Dia berusaha menjaga langkahnya agar tak tergesa.

“Maaf.” Hongjoong cengar-cengir.  Detik berikutnya dia dibuat terkesiap saat tiba-tiba sekali Seonghwa memeluknya begitu berada di hadapannya.

Beberapa saat lalu Seonghwa sempat berpikir bahwa dirinya akan kehilangan Hongjoong untuk yang kedua kali. Dia pikir dia akan melihat tragedi yang sama di tempat ini lagi dan dirinya tak akan bisa melihat senyum Hongjoong lagi.

Seonghwa takut dirinya akan dihadapkan pada kenyataan pahit itu lagi.

Dalam hati Seonghwa masih saja terus bertanya-tanya, apakah dirinya sungguh-sungguh akan bisa melindungi senyum Hongjoong? Bagaimana caranya?

“Kau sedang apa di sini?” Seonghwa bertanya tanpa melepaskan pelukan. Dirasakannya tangan Hongjoong perlahan bergerak melingkar di punggungnya, dan dia pun menenggelamkan wajah ke bahu lelaki tersebut.

“Melihat matahari terbit,” terdengar Hongjoong menjawab.

“Tidak biasanya.”

Lalu, kembali terdengar suara Hongjoong tertawa kecil. “Iya, tidak biasa,” sepakatnya.

“Apa ada alasan khusus?” Seonghwa bertanya.

“Karena ...” kata Hongjoong lirih nan pelan, “... kurasa aku akan lebih menghargai kehidupanku lagi mulai sekarang.”

Seonghwa mengernyit, lalu melepas pelukan.

Saat Seonghwa menatap dengan raut wajah bertanya-tanya, Hongjoong kembali tertawa. “Aku jadi agak sentimen, ya?” Hongjoong mengomentari diri sendiri sambil mengusap-usap tengkuk malu.

“Apa maksudnya itu, Hongjoong?” Seonghwa bertanya tak paham. Nada bicaranya terdengar lebih serius dari Hongjoong.

Sebelum menjawabnya, Hongjoong menundukkan kepala. Lambat laun senyum luntur dari wajahnya.

“Kemarin—” Hongjoong mulai bercerita, suaranya kembali lirih, “—setelah bertemu dan berbicara dengan ibuku ... aku berpikir untuk melompat dari tempat ini, Seonghwa ....”

Kata-kata Hongjoong seketika menohok dada Seonghwa.

“Rasa sakitnya pasti hanya sebentar, kan? Setelah itu .... selesai. Itu yang kupikirkan.”

“Hongjoong ...” Seonghwa merasa sakit mendengar pengakuan Hongjoong. “Itu bohong, kan?”

Sayangnya Hongjoong tak berbohong. Wajah yang masih menunduk nan sendu di sana buktinya.

“Aku merasa semuanya yang aku punya tiba-tiba saja hilang, Seonghwa. Rasanya seperti aku tidak memiliki tujuan lagi. Aku tidak tahu ... apakah aku bisa mendapatkan semuanya lagi? Apakah aku masih diinginkan? Dan ... apakah masih ada tempat untukku?”

Hongjoong kemudian mengangkat wajah dan memandang Seonghwa dengan mimik wajah menyesal. “Sekarang saat memikirkannya lagi, aku merasa bersalah padamu, Seonghwa—karena sepertinya aku sudah melupakanmu, padahal kau selalu ada bersamaku dan cuma kau yang tidak pernah menyerah padaku.”

Selagi Seonghwa belum memberikan kata-kata balasan, Hongjoong mengulurkan tangan dan menyentuh surai Seonghwa. Dia menyisikan poni pemuda tersebut, membelainya hingga turun ke pipi.

“Aku sangat menyesal, Seonghwa. Aku benar-benar minta maaf.”

“Benarkah itu?” Seonghwa bertanya, seakan-akan belum percaya. “Kau benar-benar menyesalinya? Kau tidak akan berpikiran seperti itu lagi kan, Hongjoong?”

Seonghwa ingin meminta kepastian, agar dirinya tak lagi dihantui oleh ketakutan ini.

Hongjoong menatap tepat ke mata Seonghwa dan mengangguk pelan. “Maaf sudah berpikir untuk meninggalkanmu,” dia berkata. “Aku ingin kau tahu kalau aku juga sangat mencintaimu, Seonghwa—benar-benar mencintaimu—dan aku tidak akan berpikir untuk pergi darimu lagi.”

Sambil merasakan sentuhan lembut Hongjoong di wajahnya, Seonghwa meraih pinggang pemuda tersebut dan menariknya mendekat. “Kau berjanji kan, Hongjoong?” dia berkata.

Ketika Hongjoong menganggukkan kepalanya, perasaan Seonghwa sedikit demi sedikit mulai terasa ringan.

Hongjoong mengatakan, “Aku tidak akan mungkin bisa berdiri di sini dan bernapas sampai detik ini jika bukan karena kau, Seonghwa.”

Pemuda itu tersenyum lagi sekalipun dengan raut wajahnya yang sedih. Dia mencoba tertawa, tapi rupanya itu masih tak mengurangi kesedihan di matanya.

“Hei, apa ini terdengar kekanakan, kalau sekarang aku menganggapmu sebagai malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menjagaku? Kau benar-benar seperti Thinkerbell,” ujar Hongjoong. Dia mencoba membuat lelucon.

Namun Seonghwa tak tertawa. Tatapan Hongjoong amat dalam dan tulus sampai-sampai membuat Seonghwa hanya ingin menangis bahagia.

“Hongjoong, aku akan selalu menjagamu apa pun yang terjadi.”

Hongjoong mengangguk tanpa ragu. “Aku tahu itu,” jawabnya. “Tapi mulai sekarang aku juga akan menjagamu, Seonghwa. Aku juga ingin melihatmu bahagia.”

Saat Hongjoong kembali menarik kedua sudut bibirnya, Seonghwa pun berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melindungi senyum tersebut. Tangan kecil Hongjoong masih berada di wajah Seonghwa—dan Seonghwa lantas meraihnya untuk dia genggam, sebelum kemudian dia mendekat dan menempelkan bibirnya.

Seiring naiknya matahari di langit, ciuman keduanya meleleh bersama hangatnya cahaya pagi.

. . .

“Tidak apa, aku bisa mengambil rute lain dan menurunkanmu di stasiun siaran sebelum pergi ke kantor. Itu tidak jauh.”

Hongjoong tertawa selagi Seonghwa berdiri di samping rak sepatu sambil melipat tangan di dada. Dia tertawa karena pria tersebut berkata sambil memasang tampang memelas padanya. “Ya ampun, Seonghwa. Sudah kubilang kau tidak perlu melakukan itu,” dia berkata lalu mulai menekuk lutut dan mengenakan sepatunya.

Sementara itu Seonghwa masih tak mengubah ekspresi di wajahnya. “Aku ingin mengantarmu, Hongjoong.”

“Seonghwa, aku bukan anak TK—aku bisa ke mana-mana sendiri. Kau tidak perlu mengantar jemputku setiap hari.”

“Aku tahu itu—kau bukan anak kecil lagi—tapi kau itu kan pacarku.”

Hongjoong tak sengaja menarik tali sepatunya terlalu kencang gara-gara kalimat yang dilontarkan Seonghwa. Rasa gugup merasukinya sehingga dia pura-pura batuk untuk menyembunyikannya.

Mereka tidak pernah membicarakan perihal status di antara keduanya sebelum ini. Menurut Hongjoong asalkan dirinya dan Seonghwa sudah tahu perasaan satu sama lain, maka tak masalah mau disebut apa saja hubungan mereka. Namun karena baru saja Seonghwa menyebutkan kata "pacar", maka Hongjoong pikir ini sudah saatnya untuk membuat semuanya jelas dan resmi.

Hongjoong memberanikan diri untuk mengajukan satu pertanyaan.

“Kita ini ... sekarang pacaran, ya?” Hongjoong berharap semoga pertanyaannya tak terlalu frontal.

Sambil mengusap tengkuknya, Hongjoong menatap apa saja yang ada di depannya. Sebisa mungkin dia mencoba agar rasa gugupnya tak sampai disadari oleh Seonghwa.

Di sisi lain, Seonghwa diam-diam terkesiap diberikan pertanyaan tak terduga tersebut. Mendadak wajahnya terasa panas sehingga membuatnya merasa kikuk sendiri. Dia ikut-ikutan gugup, sebelum akhirnya buru-buru menimpali, “Kalau kau keberatan, aku minta maaf—aku membuat keputusan sendiri tanpa bertanya padamu.”

“Tidak, bukan itu maksudku!” kata Hongjoong cepat sambil mendongak menatap Seonghwa. “Aku sama sekali tidak keberatan. Maksudku, aku ... eumm ....”

Seonghwa kembali berkata-kata menyela, “Sekarang aku akan bertanya padamu.”

Hongjoong pun menutup mulut selagi dilihatnya Seonghwa menatap padanya lekat-lekat.

“Kim Hongjoong,” kata Seonghwa, “apa kau mau pacaran denganku?”

Sedetik diam, kedua pipi Hongjoong perlahan dihiasi rona merah samar-samar.

Lalu, Hongjoong tertawa sebab merasa konyol sendiri. Dirinya dan Seonghwa sudah berciuman berkali-kali dan bahkan melakukan hal-hal intim yang biasa dilakukan sepasang kekasih, tapi baru sekarang saja lelaki tersebut memintanya berpacaran.

Sejujurnya, sisi romantis Seonghwa inilah yang membuat Hongjoong jatuh hati. Seonghwa itu benar-benar seorang gentleman yang manis.

Sekalipun merasa gemas, Hongjoong sudah pasti tidak akan menolak pernyataan Seonghwa. Dia pun menganggukkan kepala sebagai jawaban. Senyum di wajahnya tak bisa lagi dia tahan dan lantas menular pada Seonghwa di depannya.

Sambil ikut tersenyum Seonghwa menyatakan, “Kalau begitu mulai hari ini, oke.”

Sekali lagi Hongjoong hanya mengangguk sambil tersenyum. Hari ini dirinya dan Seonghwa akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih.

“Jadi ...” Seonghwa berkata—dengan intonasi yang tak biasanya malu-malu—masih pula sambil senyum-senyum, “apa ... pacarku ini benar-benar tidak mau kuantar?”

Kedua alis Seonghwa terangkat selagi menatap Hongjoong.

Kata pacar serasa terngiang di kepala Hongjoong. Dia mungkin tidak akan pernah bisa terbiasa dengan semua hal manis ini.

“Sudah kubilang aku akan berangkat sendiri, Seonghwa,” Hongjoong menjawab.

Raut cemberut pun kembali ke wajah Seonghwa—dan Hongjoong merasa tak percaya melihatnya. Karena merasa bersalah, Hongjoong pun tertawa-tawa dan menonjok pelan kaki Seonghwa. “Jangan merajuk begitu,” katanya membujuk.

Akan tetapi Seonghwa masih tak mengubah mimik wajahnya sehingga Hongjoong mesti berpikir sekali lagi.

“Begini saja,” Hongjoong akhirnya mencetuskan gagasan. Tak segera berdiri sesudah menalikan sepatu, dia melompat maju dan berjongkok tepat di depan kaki Seonghwa. “Bagaimana kalau siang nanti kita makan siang bersama,” dia berkata dengan wajah menengadah pada Seonghwa.

Tawaran Hongjoong membuat wajah Seonghwa berseri dalam waktu singkat. “Kau mau?”

Reaksi Seonghwa membuat Hongjoong ingin tertawa. Dia pun terkekeh sembari menganggukkan kepala. “Aku sudah tidak akan ke studio lagi, jadi sekarang aku akan punya waktu luang setelah siaran,” jelasnya masih dengan senyum simpul di wajah.

Akan tetapi Seonghwa terfokus pada satu hal dalam ucapan Hongjoong. “Kau tidak ke studio lagi?” pemuda tersebut bertanya. “Kenapa?”

Hongjoong tertohok. “Oh, soal itu ...”  Kata-katanya menggantung. Dia mencari-cari jawaban untuk diberikan kepada Seonghwa, sebab dia belum bercerita bahwa dirinya telah memutuskan untuk berhenti bermusik lagi—atau bahwa dia telah merusak semua alat musiknya sehingga tidak ada gunanya lagi meskipun dia berkutat di studio.

Pada akhirnya Hongjoong memilih menciptakan alibinya sendiri. “Aku pikir aku perlu mencari inspirasi lagi untuk sementara waktu ini.”

Hongjoong tidak tahu kalau Seonghwa sesungguhnya sudah mengetahui semuanya.

Berlagak termakan kebohongan Hongjoong, Seonghwa lantas bertanya, “Apa ini artinya kau akan mengambil waktu untuk berhenti sejenak?”

Dengan tatapan berpaling ke arah lain Hongjoong menggaruk pelipisnya dan menimpali, “Iyaaa, mungkin bisa dibilang begitu.”

Padahal, Seonghwa tahu kalau Hongjoong saat ini tengah diliputi kebimbangan antara harus terus melanjutkan musiknya atau tidak. Dia tahu itu, karena itu pula dia pun kini tahu bahwa Hongjoong masih perlu waktu untuk menata kembali perasaannya.

“Kalau begitu aku akan menunggumu,” Seonghwa berkata. Hongjoong kembali mendongak padanya, dan dia kemudian mengulas senyum simpul. “Aku akan menghubungimu saat jam makan siang. Kau yang pilih tempatnya.”

Hongjoong pun mengangguk dengan senyum lebar di wajahnya, sedangkan Seonghwa mengulurkan tangan demi membelai surai kekasihnya tersebut.

.

.

.

Jam makan siang yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Tak seperti biasanya, Seonghwa meninggalkan meja kerjanya tepat waktu. Dengan wajah berbunga-bunga dan langkah bersemangat dia berjalan memasuki lift. Selagi menunggu lift turun, dia mengeluarkan ponsel untuk mengirimkan pesan singkat kepada Hongjoong.

Begitu antusias Seonghwa dengan ‘kencan makan siang’ pertamanya ini, sampai-sampai dia tak menyadari bahwa di antara orang-orang yang memasuki lift bersamanya ada Yunho—junior di divisinya yang paling usil dan paling dipenuhi rasa ingin tahu­—sedang berdiri di belakangnya.

Aku sudah akan keluar dari kantor sekarang

Kau mau kita bertemu di mana?

Seonghwa menuliskan pesan-pesan tersebut sambil senyum-senyum sendiri. Di belakangnya, tampak Yunho juga ikut-ikutan cengengesan selagi mengintip diam-diam dengan lancangnya.

Yunho tak bisa menahan rasa penasarannya, sebab dia belum pernah sekali pun melihat seniornya yang satu itu terlibat hubungan spesial dengan seseorang. Sedangkan baru hari ini dia menyadari bahwa ada yang berbeda dari Seonghwa, khususnya setelah beberapa hari terakhir ini tampak dipenuhi masalah. Hari ini suasana hati Seonghwa mungkin sedang dalam keadaan bagus, dia tampak berkali-kali tersenyum seorang diri, berkali-kali mengecek ponsel dan jam, persis seperti anak remaja yang sedang dimabuk asmara.

Selama Seonghwa masih belum sadar bahwa dirinya diperhatikan, Yunho pun terus mengintip ke ponsel lelaki tersebut.

Di layar ponsel Seonghwa tampak kontak beridentitas Hongjoongie baru saja mengirimkan balasan.

Wah, kebetulan sekali aku sudah ada di depan kantormu :D

Ekspresi Seonghwa seketika berubah berseri sesudah membaca pesan tersebut. Dengan cekatan jari-jarinya mengetik pesan balasan.

Yang benar?

Tunggu aku!

Super Seonghwa akan datang dengan kecepatan super!

Lalu, hanya berselang beberapa detik balasan yang selanjutnya kembali masuk.

Kkkkkkkkkkkkkk

Tidak usah terburu-buru

Kecuali... kau sudah sangat merindukanku ( ' 3')

Ups!

Hanya bercanda :P

Seonghwa sempat tertawa kecil membaca pesan-pesan dari Hongjoong. Dengan senyum yang masih bertahan di wajah, dia kembali memainkan jemari di layar ponselnya.

Kalau aku bilang iya, apa kau akan menertawakanku?

Sesudah itu, pesan-pesan dari Hongjoong kembali masuk secara beruntun.

LOL

Ini tidak seperti dirimu, Seonghwa

Apa yang terjadi padamu?

Atau jangan-jangan kau memang bukan Park Seonghwa

Siapa kau? Kau pasti bukan Seonghwa

Seonghwa yang kukenal tidak cheesy seperti ini

Siapa orang asing yang sedang berkirim chat denganku ini?

Kembalikan Seonghwa-ku sekarang juga!! >:(

Sekali lagi Seonghwa tertawa. Dia bertanya-tanya sejak kapan Kim Hongjoong berubah jadi begini menggemaskan.

. . . . . . . ???

Kim Hongjoong . . .

Kenapa kau lucu sekali???? ㅠㅠ

Yunho yang membaca pesan tersebut dari balik bahu Seonghwa merasa geli sendiri. Tak juga dia hentikan aksi lancangnya tersebut sekalipun sambil bergidik risi. Sebetulnya, dia yang lajang ini merasa iri.

Aku tidak lucu, Seonghwa

Bersamaan dengan masuknya pesan tersebut ke ponsel Seonghwa, muncul pula satu foto yang disusulkan oleh Hongjoong. Di sana tampak potret wajah Hongjoong yang mendekat ke kamera—terlampau dekat kalau Seonghwa boleh berkomentar. Sekalipun wajahnya tertutup masker sehingga memperlihatkan matanya saja, Seonghwa tahu Hongjoong tersenyum dengan manis seperti biasa di sana.

Di bawah foto tersebut menyusul lagi pesan yang isinya,

Apa yang seperti ini terlihat lucu di matamu?

Seonghwa membalas, Sangat lucu.

Baru saja Seonghwa akan menambah balasan tersebut dengan beberapa kalimat bualan nan klise yang ada dalam kepalanya, sampai kemudian suara tawa cekikikan di sebelah telinganya terdengar menginterupsi. Seketika dia menoleh, hanya untuk menemukan wajah Yunho yang menarik cengiran tepat di sebelahnya.

Maka seketika itu pula Seonghwa buru-buru mengunci layar ponselnya dan menutupinya dengan tangan. Sambil menjauh dari Yunho dia menatap penuh gugatan. “Sejak kapan kau di sini?”

Tanpa merasa malu ataupun merasa sungkan Yunho menjawab saja, “Sejak awal.”

Dan saat Seonghwa melebarkan mata tak percaya, Yunho malah memberikan komentar tanpa diminta, “Sunbae, yang tadi itu pacarmu? Manisnyaaaa.”

“Bukan urusanmu,” Seonghwa menjawab lalu memasukkan ponsel ke saku. Di saat yang tepat lift berdenting dan terbuka. Jadi dia kemudian cepat-cepat melangkah keluar.

“Hei, Sunbae!” Yunho berseru sembari mengikuti langkah Seonghwa keluar dari lift, tapi saat itu seorang wanita memanggil namanya dari arah lain dan membuatnya otomatis membalikkan badan.

“Yunho! Manajer Song ingin kau menemuinya di ruang rapat!”

“Tidak bisa nanti saja?” Yunho mencoba menawar.

Si wanita membalas, “Ya, itu terserah kau saja, kalau kau ingin jadi santapan makan siang Manajer Serigala itu.”

Yunho pun menggeram. Dengan langkah berat dan muka tertekuk mau tak mau dia kembali memencet tombol lift. Manajer sialan, pikirnya. Padahal, dia ingin sekali melihat pacar Seonghwa secara langsung.

Sementara itu, Seonghwa sendiri telah terlihat melangkah keluar dari lobi kantor. Dia memperhatikan sekeliling dan lantas mengulas senyum begitu melihat sosok Hongjoong berdiri di ujung trotoar tengah melambai padanya.

Maka dengan raut wajah riang Seonghwa mulai berlari-lari kecil menghampiri. “Apa kau sudah lama di sini?” Seonghwa bertanya sesudah berdiri di hadapan Hongjoong.

Pria kecil itu menggeleng. “Aku baru sampai saat kau mengirimkan chat,” dia menjawab lalu mulai mengajak Seonghwa berjalan bersamanya.

Akan tetapi Seonghwa meraih lengan Hongjoong dan sejenak menghentikannya melangkah. “Tunggu dulu,” katanya.

Hongjoong kembali berhenti dan menoleh. Selama sedetik dua detik Seonghwa hanya menatap dengan raut wajah bimbang. Pemuda yang satu itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi entah mengapa ragu-ragu.

“Ada apa, Seonghwa?” Hongjoong bertanya-tanya.

Masih dengan keragu-raguan, Seonghwa bertanya hati-hati. “Apa aku boleh menciummu?”

Sekejap Hongjoong nyaris tersedak ludahnya sendiri. “Hah?” Dia menoleh ke sekelilingnya, lalu menatap Seonghwa lagi sambil mengerjapkan mata. “Se-sekarang?”—di sini?

Seonghwa hanya mengangguk. Tatapan matanya penuh harap sehingga membuat Hongjoong merasa berat hati untuk mengecewakannya.

Untuk yang terakhir kali Hongjoong menengok ke kanan dan kiri, sekadar memastikan bahwa tak ada orang lain di sekitar mereka yang akan memperhatikan, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Baru kali ini dia benar-benar merasa malu berdiri di hadapan Seonghwa.

Detik berikutnya, Seonghwa kemudian meraih wajah Hongjoong dan memiringkan wajahnya untuk mendaratkan ciuman. Sementara Hongjoong secara naluri menutup matanya saja.

Namun rupanya Seonghwa hanya memberikan kecupan di pipi Hongjoong.

Ketika Hongjoong membuka mata, dia melihat Seonghwa tersenyum dengan manis di depan wajahnya. Terdengar pula suara rendah Seonghwa yang membisikkan, “Apa kau berpikir aku akan memberimu ciuman yang lain?”

Seketika itu Hongjoong merasa wajahnya memanas. “Ti-tidak!” dia membantah mentah-mentah, tapi suaranya pecah.

Iya, sejujurnya tebakan Seonghwa memang tak salah. Ekspektasinya memang telanjur tinggi, tapi bukan berarti dia mengharapkan sesuatu yang lebih—sungguh.

“Aku juga sangat menginginkannya, Hongjoong—tapi tidak untuk saat ini,” Seonghwa kembali berbisik, lalu kembali pula mengecup sisi lain pipi Hongjoong. “Mungkin nanti,” ujarnya mengimbuhkan.

“Sudah kubilang aku tidak berpikir seperti itu, Seonghwa,” Hongjoong masih saja mengelak dan malah ditertawakan oleh Seonghwa.

Telinga Hongjoong yang memerah seakan menggambarkan seperti apa keadaan hatinya saat ini.

Seonghwa kemudian meraih tangan sang kekasih. Sambil menyelipkan jemarinya di antara jari-jari kecil Hongjoong, dia mulai melangkahkan kaki. Sedangkan Hongjoong sendiri, tentu saja dia hanya diam karena tengah sibuk meredam rasa malu serta debaran-debaran di dadanya

“Kita ini sekarang sedang kencan, kan?” Seonghwa bertanya selagi berjalan beriringan.

“Ini hanya makan siang, Seonghwa,” Hongjoong menimpali.

“Kalau begitu ayo kencan sungguhan kapan-kapan.”

“Bukankah kita sudah melakukannya? Waktu itu, di Lotte World.”

“Waktu itu kita belum jadian, Hongjoong.”

Hongjoong diam saja tak memberikan tanggapan pagi, jadi Seonghwa kemudian menoleh dan mendekatkan wajah. Tepat di sebelah telinga Hongjoong pemuda tersebut bertanya, “Kau mau kencan dengan pacarmu ini atau tidak, Kim Hongjoong?”

Karena jarak yang kelewat dekat serta karena suara Seonghwa di telinganya membuat merinding, Hongjoong sontak menjauhkan wajah seraya berseru, “Iya, iya! Aku mau, kok!”

Reaksi spontan Hongjoong mengundang gelak tawa Seonghwa.

Sedangkan Hongjoong yang kembali dibuat malu hanya bisa mengeluh, “Tolong jangan menyerangku tanpa peringatan seperti itu, Seonghwa.”

“Tapi kau lucu sekali saat aku melakukan itu.”

Dan Hongjoong hanya menggeram sambil menutupi wajahnya yang panas menggunakan sebelah tangan.

.

.

.

Di sore hari Hongjoong pergi ke studio untuk terakhir kali dengan tujuan mengambil barang-barang yang sebelumnya dia rusak. Mungkin untuk dia simpan, atau mungkin untuk dibuang. Kalaupun tak untuk digunakannya lagi, paling tidak dia berpikir kalau dirinya tidak bisa meninggalkannya begitu saja di tempat tersebut.

Ketika baru sampai, Hongjoong mendapati pintu studio tak dikunci, yang itu artinya ada seseorang di dalam saat ini. Dia tahu siapa. Kemungkinan besar San dan Jongho, atau salah satu dari mereka.

Sesaat Hongjoong sempat mendesah, merutuki diri sendiri dalam hati karena tak membereskan barang-barangnya yang berantakan lebih awal hari ini. San dan Jongho pasti sudah melihat semua benda-benda yang remuk itu sekarang. Entah bagaimana Hongjoong akan menjelaskan semua ini pada dua anak lelaki itu.

Sejenak menarik napas dan menelan ludah, Hongjoong pun membuka pintu. Yang terjadi biarlah terjadi. Hongjoong meyakinkan diri sendiri lalu mulai melangkah masuk. Begitu menginjakkan kaki di dalam ruangan, suara San serta-merta menyambutnya. “Hongjoongie Hyung!

Disusul pula suara Jongho yang langsung mengatakan, “Hyung! Akhirnya kau datang juga.”

Pada saat itu Hongjoong melihat San dan Jongho tengah duduk di sofa. Di hadapan mereka tampak barang-barang yang kemarin dihancurkan Hongjoong kini telah dikumpulkan jadi satu di dalam dua kotak karton, terlihat seperti setumpuk sampah rongsokan.

Hyung, apa yang terjadi? Kenapa semuanya jadi seperti ini?” San mempertanyakan apa yang ada di hadapannya.

Di sebelah San, terlihat Jongho juga berekspresi sama. Mereka bertanya-tanya, keheranan dan cemas.

Ini sesuai perkiraan Hongjoong.

“Hai, kalian berdua.” Pertama-tama Hongjoong akan menunjukkan senyumnya agar San dan Jongho tahu dirinya baik-baik saja.

Hongjoong berjalan mendekat dan San kembali bertanya, “Siapa yang melakukan ini, Hyung?

Belum sempat Hongjoong menanggapinya, Jongho dengan pemikiran polosnya menyahut, “Apa studio ini kemasukan perampok?”

Alhasil, San seketika menggeplak kepala sepupunya yang satu itu. Selanjutnya, kedua remaja SMA tersebut malah beradu cercaan satu sama lain.

“Jangan berpikiran aneh-aneh, tolol!”

“Apanya yang aneh? Itu mungkin saja, kan?”

“Mana mungkin perampok masuk hanya untuk mengobrak-abrik!”

“Kita belum tahu, kan?!”

“Dasar sinting.”

“Choi San bodoh.”

Pertengkaran kecil tersebut dibiarkan saja berlangsung oleh Hongjoong. Karena terlihat lucu di matanya, dia hanya melihat sambil menahan tawa. Terkadang dia lupa kalau dirinya juga butuh hiburan semacam ini.

Sesudah puas melempar ejekan, San dan Jongho akhirnya kembali memberikan perhatian pada Hongjoong. “Jadi,” Jongho berkata, “apa yang sebenarnya terjadi, Hyung?

Sedetik Hongjoong terdiam. Akan bagaimana dia mengatakan ini?

“Soal itu ...” Hongjoong mulai merangkai kata-kata. Hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk mengtakan, “Aku yang melakukannya—bukan siapa-siapa.”

Untuk sesaat tampak San dan Jongho yang kini terdiam. Keduanya menatap dalam diam Hongjoong sambil mengerjapkan mata. “Hah? Kau, Hyung?” San mempertanyakan, seakan tak langsung percaya.

Hongjoong mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Aku sendiri yang melakukannya.”

San dan Jongho masih tak paham. “Tapi ... kenapa?” Jongho bertanya.

Dengan cepat Hongjoong berpikir. “Tidak sengaja,” dalihnya.

Tentu saja jawaban tersebut tak bisa diterima karena kelewat tak masuk akal. Hongjoong bodoh jika berpikir bahwa San ataupun Jongho sama bodohnya seperti dirinya untuk bisa ditipu dengan alibi sebodoh itu.

Dengan tatapan penuh gugatan San berkata, “Hyung, kau tidak benar-benar berpikir kalau kami akan percaya begitu saja, kan?”

Jongho pun turut mengangguki ucapan tersebut. “Katakan yang sebenarnya pada kami, Hyung,” dia meminta.

Hongjoong tahu dirinya tak bisa mangkir dari ini. Bagaimanapun dirinya pasti akan ketahuan. Jadi, sesudah menghela napas panjang, dia akhirnya mengaku, “Aku memutuskan untuk berhenti bermusik mulai sekarang.”

Berita tersebut pun praktis membuat San dan Jongho syok. “Berhenti?!” keduanya memekik bersamaan, sambil pula menegakkan diri secara kompak. Kedua mata mereka tampak terbelalak tak percaya.

“Kenapa, Hyung?” San mempertanyakan.

Hongjoong semata-mata beralasan, “Iya—sesuatu yang terjadi, lalu karena ini dan itu aku pikir aku tidak ingin membuat lagu lagi.”

“Sesuatu yang terjadi itu apa?” Jongho terus bertanya.

Untuk sesaat Hongjoong merasa sesak kala melihat ke kedua mata Jongho. Dia tahu anak lelaki tersebut khawatir padanya, dan dia menyesal tidak bisa menjawab dengan sejujur-jujurnya. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa alasan dari ini semua adalah karena ibu mereka—ibunya yang juga merupakan ibu Jongho.

Baru kemarin Hongjoong mengetahui fakta ini, dan sekarang dia belum siap kalau Jongho juga harus mengetahuinya juga. Dia bahkan berharap bisa melupakannya, tapi tak bisa.

Pada akhirnya Hongjoong hanya bisa mengatakan, “Aku tidak bisa bilang.”

Terlihat jelas raut sedih bercampur kecewa di wajah San san Jongho sesudah jawaban tersebut disampaikan.

“Maaf,” Hongjoong berkata. “Aku ingin kalian tahu kalau aku punya alasanku sendiri—dan aku harap kalian bisa menghargainya.”

Jongho masih memandang tak rela kepada Hongjoong, sedangkan San terlihat menundukkan kepala mencoba menerima. “Aku mengerti itu, Hyung,” San berkata. “Aku tidak akan mendebatmu soal sesuatu seserius ini, tapi—aku masih berharap kau akan mempertimbangkannya sekali lagi.”

Merasa sependapat dengan San, Jongho menganggukkan kepala. “Aku tidak tahu masalah apa yang sedang kau hadapi saat ini, tapi tolong pikirkan ini lagi, Hyung. Aku masih ingin terus mendengarkan musikmu.”

“Jongho, San ... aku ....”

Hongjoong tidak sampai hati untuk mengatakan bahwa dirinya sudah sepenuhnya menyerah soal musik, bahwa dirinya tak lagi menemukan apa-apa untuk dijadikannya penyemangat lagi. Dia kehilangan minat dan dia telah kehilangan kesenangannya bermusik.

Bagaimana mungkin Hongjoong sanggup mengatakan itu semua dan meruntuhkan harapan dua remaja di depannya ini—terlebih-lebih Jongho.

Hongjoong ingin Jongho terus melanjutkan semangat bermusiknya.

Saat tak kunjung ada kata-kata yang terlontar dari Hongjoong, San kembali bersuara, “Hyung, belajar musik tidak akan sama kalau bukan kau yang jadi mentor kami. Aku ingin menjadi musisi karena aku ingin mengikutimu, Hyung.”

“Aku juga,” Jongho turut berkata.

“Jangan bicara seperti itu,” kata Hongjoong. “Kalian akan tetap bisa mewujudkan impian kalian walaupun aku berhenti. Kalian tidak harus mengikutiku.”

San dan Jongho masih terlihat sedih, jadi Hongjoong kemudian menepuk bahu keduanya untuk memberi semangat. “Hei, aku tidak akan ke mana-mana dan masih akan mengajari kalian—jadi jangan memasang wajah sedih seperti aku akan pergi jauh meninggalkan kalian.”

“Itu sama sekali tidak menghiburku, Hyung,” Jongho berkata dengan ekspresi yang tak sedikit pun berubah.

“Apa yang harus kami lakukan di sini kalau tidak ada kau, Hyung?” San berucap dengan nada merana sambil mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan studio. “Tempat ini pasti akan jadi sangat sepi.”

Hongjoong lagi-lagi dirasuki perasaan sesak.

Namun, meski begitu, Hongjoong mencoba untuk tetap menunjukkan senyumnya. “Kalian bisa mengajak teman-teman kalian ke sini—atau, kalian bisa membuat band kalian sendiri di sekolah. Masa sewa tempat ini masih ada setengah tahun, jadi kalian bisa menggunakannya.”

Sambil menekuk muka Jongho menimpali, “Hyung, aku belajar musik padamu bukan karena aku ingin menikmati barang-barang gratisan darimu.”

Hongjoong pun tertawa. “Iya, iya—aku tahu itu,” jawabnya, lalu kembali menepuk-nepuk bahu Jongho sekali lagi.

Tak ingin berlarut-larut dalam percakapan emosional, Hongjoong kemudian berjalan mendekat ke meja dan meraih dua kotak karton di sana. “Jadi, karena kalian sudah berada di sini, apa kalian mau membantuku membawa barang-barang ini pulang?” dia berkata sambil memandang San dan Jongho bergantian.

Seakan sengaja ingin membalas dendam pada Hongjoong, dua anak lelaki itu kompak menggelengkan kepala.

“Tidak mau,” kata San.

Jongho tak pula ketinggalan mengatakan, “Kenapa kami harus melakukannya?”

“Oh, ayolah,” kata Hongjoong memelas. “Aku tidak bisa membawa semua ini sendirian.”

“Itu salahmu sendiri, Hyung,” balas Jongho.

San mengangguk. “Tidak ada yang menyuruhmu membereskan itu semua, kan?”

Hongjoong memejamkan mata selagi tertawa-tawa. Pikirnya, San dan Jongho betul-betul marah padanya sekarang. Mereka kompak sekali jika sudah merajuk begini.

Akan tetapi Hongjoong masih bertanya sekali lagi, “Kalian benar-benar tidak mau membantuku, ya?”

Akhirnya San dan Jongho saling bertukar pandangan.

“Kami akan membantumu,” kata Jongho serta-merta, “hanya jika kau mau meemikirkan ulang keputusanmu berhenti bermusik, Hyung.”

Senyum di wajah Hongjoong sempat memudar sesaat.

San berkata, “Kau harus memikirkannya lagi, Hyung—pokoknya benar-benar harus! Pertimbangkan sekali lagi saja tak apa. Jangan terburu-buru memikirkannya.”

“Kalau kau mau berjanji, kami akan membantumu,” Jongho menjamin.

Alhasil, Hongjoong kehabisan argumen untuk diberikan pada dua remaja naif tersebut. Karenanya, dia menghela napas dan lantas menganggukkan kepala. “Aku mengerti,” jawabnya kemudian. “Aku janji aku akan memikirkannya sekali lagi.”

“Pikirkan dengan serius, Hyung!” San mengingatkan, dan Hongjoong kembali tertawa.

“Akan kupikirkan dengan serius,” Hongjoong menjanjikan.

Baru setelah itu San dan Jongho akhirnya bisa tersenyum. Keduanya dengan senang hati mengambil dua kotak karton di hadapan Hongjoong dan mengangkatnya.

Sebelum ketiganya berjalan keluar dari studio, Jongho menyempatkan sejenak untuk berkata pada Hongjoong, “Hyung, lain kali kalau kau punya masalah serius, kau bisa cerita padaku atau San. Meskipun kami mungkin tidak bisa mengerti permasalahan orang dewasa sepertimu dan meskipun kami tidak bisa membantu apa-apa, tapi paling tidak kami bisa jadi pendengar­. Bukankah itu lebih baik daripada memendamnya sendiri?”

Pada saat itu Hongjoong sempat diam barang sedetik dua detik sambil menatap Jongho. Dia tidak tahu mesti menjawab dengan kata-kata apa sebab benar-benar merasa tersentuh.

Hingga detik berikutnya Hongjoong tersenyum pada Jongho. “Aku akan ingat itu,” dia berkata. “Terima kasih, ya.”

Di malam hari saat Hongjoong memikirkan Jongho beserta kata-kata yang disampaikan padanya, perasaan sedih mulai merasukinya.

Hongjoong tahu Jongho bukan anak kecil, dan dia yakin anak lelaki tersebut bisa membuat keputusan-keputusannya sendiri. Akan tetapi dia tidak yakin apakah Jongho cukup dewasa untuk memandang segala sesuatu secara objektif dan bijaksana. Apakah Jongho akan bisa menerima kalau ibunya pernah punya keluarga lain sebelum ini?

Hongjoong tidak bisa memprediksi hasilnya dan dia mulai merasa takut untuk mencari tahu.

Kini saat memikirkan ini semua, Hongjoong mulai mengerti kenapa ibunya ingin terus menjadikan ini sebagai rahasia.

Eomma punya keluarga dan karier yang harus dijaga.”

Hongjoong paham sekarang, karena dia juga merasakan hal yang sama dengan sang ibu sesudah bertatap muka lagi dengan Jongho. Wanita itu hanya melakukan apa yang harus dilakukan, yakni menjaga keutuhan keluarganya, dan Hongjoong tak berhak menghakimi hanya karena dirinya dikorbankan.

Jika dihadapkan pada situasi yang sama, Hongjoong mungkin juga akan melakukan hal yang sama.

Hongjoong tak ingin hubungannya dengan Jongho jadi canggung setelah anak lelaki tersebut mengetahui segalanya. Dia tidak ingin Jongho membencinya dan dia tidak ingin kehilangan pertemanan ini. Dia ingin tetap melihat Jongho tumbuh selayaknya anak laki-laki yang dianggapnya seperti adik sendiri selama ini.

Karena itulah, Hongjoong kemudian berpikir bahwa mungkin ini memang yang terbaik. Semua akan tetap baik-baik saja jika dibiarkan apa adanya. Dengan begitu, Hongjoong tidak perlu kehilangan Jongho sebagai adiknya.

.

.

.

Tadinya Seohyun berencana untuk tak terlalu memikirkan Hongjoong setelah pembicaraan singkat mereka tempo hari. Namun rupanya, lari dari kenyataan tak semudah yang dibayangkannya. Bagaimanapun Hongjoong darah dagingnya. Sekalipun selama ini dia berhasil melupakan masa lalunya, pada kenyataannya amat sulit baginya untuk tidak memikirkannya lagi sesudah sang putra yang telah lama tak dilihatnya muncul kembali di hidupnya.

Ditambah lagi orang-orang di sekitarnya kerap menyebut nama pemuda tersebut belakangan ini. Jongho di rumah berkali-kali bercerita tentang Hongjoong ini Hongjoong itu. Sementara orang-orang di kantor banyak membicarakan karena memang sedang mengerjakan proyek rekaman dengan lagu garapan pemuda tersebut. Mereka menyebut Hongjoong sebagai produser rookie yang jenius, dan Seohyun pun mengakuinya.

Meskipun tak ditunjukkan kepada siapa-siapa, Seohyun merasa bangga kepada Hongjoong. Dia hanya berharap bisa menyampaikannya langsung kepada putranya tersebut.

Hari ini atasan Seohyun memintanya untuk menemui Hongjoong lagi dan membicarakan beberapa hal.

Dari semua yang diperintahkan untuk disampaikan kepada Hongjoong, salah satunya adalah, “Tanyakan padanya apakah dia tertarik untuk bergabung sepenuhnya dengan kita. Kalau perlu, bujuk dia. Jenjang karier menjadi produser resmi akan lebih menjanjikan daripada menjadi produser lepas, kan? Royaltinya juga akan lebih besar ke depannya nanti.”

Pada mulanya Seohyun sempat berpikir untuk mencari-cari alasan agar dirinya tak perlu menemui Hongjoong dengan tujuan apapun. Akan tetapi, setelah mendengar hal tersebut, niatnya pun berubah. Dia menerima perintah tersebut dan mengatakan, “Aku akan pastikan Hongjoong menerima tawaran ini.”

Seohyun berpikir, dia mungkin tidak bisa memberikan kasih sayang selayaknya orang tua lagi, tapi paling tidak dia bisa memberikan jalan untuk masa depan Hongjoong. Setidak-tidaknya inilah yang bisa dilakukannya.

Jadi, di akhir pekan Seohyun pergi menemui Hongjoong dengan berbekal alamat yang didapatnya dari perusahaan.

Sayangnya, saat sudah berhasil menemukan apartemen tempat tinggal Hongjoong, Seohyun tak juga bisa bertemu dengan putranya tersebut. Beberapa kali dia memencet bel, tapi tak ada yang membukakan pintu ataupun bersuara dari balik intercom. Kelihatannya rumah tersebut kosong.

Jadi Seohyun kemudian berbalik pergi. Harusnya dia memang tidak datang tanpa pemberitahuan. Harusnya dia memastikan jadwal Hongjoong terlebih dahulu.

Sewaktu berjalan menuju lift, Seohyun berpapasan dengan Seonghwa yang baru kembali dari minimarket. Keduanya berjalan dari arah berlawanan.

Pada saat itu Seonghwa langsung mengenali sosok Seohyun. Dia masih belum lupa kendati hanya pernah melihatnya sekali. Selagi wanita itu berlalu melewatinya, dia pun menghentikan langkah dan sontak membalikkan badan.

“Maaf—permisi!” Seonghwa buru-buru memanggil.

Begitu Seohyun berhenti dan menoleh, Seonghwa dengan agak segan berkata, “Apakah Anda dari KQ?”

Sesaat Seohyun tampak terkejut. “Iya,” dia menjawab sambil mengangguk. Tak mengerti dari mana pemuda di hadapannya tersebut tahu, dia pun memutar badannya kepada Seonghwa dan memasang tampang heran. “Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

Andai saja wanita itu tahu bahwa Seonghwa juga ada di kafe saat dirinya berbicara empat mata dengan Hongjoong.

“Aku teman serumah Hongjoong, namaku Park Seonghwa,” Seonghwa memperkenalkan diri. “Dan aku pernah satu kali melihat Anda di kantor KQ.”

Senyum pun tersungging di wajah Seohyun sesudah itu. “Oh, kau teman Hongjoong? kebetulan sekali,” ujarnya.

“Apa Anda datang untuk menemui Hongjoong?” Seonghwa menebak-nebak.

“Iya, aku datang untuk berbicara dengan Hongjoong, tapi aku lihat rumah kalian kosong. Apa Hongjoong sedang keluar hari ini?”

Seonghwa mengangguk. “Hongjoong punya jadwal siaran pagi setiap Sabtu dan Minggu—biasanya dia baru akan pulang sekitar jam tiga sore,” jawabnya.

“Ah, begitu rupanya.” Seohyun mengangguk-angguk. “Kurasa ini salahku karena datang tiba-tiba.”

“Kalau Anda tidak sedang terburu-buru, apa Anda mau mampir sebentar untuk minum teh?” Seonghwa menawarkan dengan ramah, dan Seohyun turut pula menolaknya dengan ramah.

“Tidak perlu, terima kasih. Aku akan datang lagi lain waktu.” Seohyun tersenyum, lalu berpamitan pergi.

Akan tetapi, baru beberapa langkah Seohyun berjalan, Seonghwa sudah mengejar dan berdiri di hadapannya. “Tunggu sebentar,” pemuda tersebut berkata ketika Seohyun berhenti dengan ekspresi bertanya-tanya.

“Maaf mengatakan ini ...” kata Seonghwa, mendadak dia terlihat resah dan bimbang, “tapi ... aku tahu siapa Anda dan apa hubungan Anda dengan Hongjoong yang sebenarnya.”

Sesaat Seohyun masih memandang tak paham—atau mungkin, demikianlah kesan yang ingin diperlihatkannya—sampai kemudian terlontarlah kalimat Seonghwa yang berikutnya.

“Aku tahu kalau Anda adalah ibu kandung Hongjoong.”

Sekejap Seohyun membeku. Dia tidak berharap ada orang lain selain dirinya dan sang putra yang mengetahui rahasia tersebut.

Menyadari perubahan mimik wajah Seohyun, Seonghwa mulai merasa sungkan, tapi itu tak lantas membuatnya mengurungkan kata-kata yang sejak awal ingin diucapkannya. “Kalau Anda tidak keberatan, aku ingin bicara sebentar dengan Anda,” dia berkata. “Ini soal Hongjoong.”

Seohyun merasa ragu. Akan tetapi dia kemudian berpikiran kalau dirinya mungkin juga ingin mendengar sedikit cerita tentang Hongjoong.

Jadi pada momen-momen berikutnya Seonghwa mempersilakan ibu Hongjoong di rumahnya. “Silakan masuk.”

Selagi melangkah di ruang tamu, Seohyun melihat ke sekeliling—memperhatikan rumah yang menjadi tempat tinggal putranya—dan tak pernah menduga bahwa dirinya akan merasa emosional secara tiba-tiba. Rasanya dia disadarkan bahwa dirinya dan Hongjoong memanglah demikian asing.

“Silakan duduk. Aku akan buatkan Anda teh.”

Seohyun hanya tersenyum. Saat Seonghwa pergi menuju dapur, dia pun kembali melihat-lihat. Sebuah pigura yang tergantung di dinding baru saja mencuri perhatiannya.

Di dalam foto tersebut Seohyun melihat potret momen perayaan Chuseok, di mana tampak beberapa orang mengenakan pakaian hanbok. Dia tidak tahu siapa saja yang ada di sana, tapi dia melihat Hongjoong dan Seonghwa, jadi dia menebak orang-orang lainnya lagi pastilah kedua orang tua Seonghwa.

Ada satu lagi orang yang juga dikenalinya di sana, yaitu ayah Hongjoong.

Untuk sesaat batin Seohyun serasa trenyuh melihat wajah mantan suaminya lagi. Ini sudah sekian lama sejak dia mengingat sosok pria yang pernah dicintainya itu.

Semua orang di dalam foto tersebut tampak bahagia. Mereka duduk bersama di halaman dengan rerumputan hijau serta pemandangan rumah nan asri di belakangnya. Hanya dengan memandangnya saja siapa pun pasti akan tersenyum merasakan keharmonisannya.

Pandangan Seohyun kemudian berpindah pada pigura lain yang lebih kecil di sebelah foto keluarga tersebut. Di sana ada foto Hongjoong dan Seonghwa yang tengah mengenakan seragam SMA, saling merangkul sambil sama-sama membawa ijazah. Dari sana Seohyun pun tahu bahwa dua pemuda tersebut seumuran.

“Maaf membuat Anda menunggu.”

Seohyun menoleh saat suara Seonghwa kembali terdengar. Dilihatnya pemuda jangkung tersebut baru saja meletakkan secangkir teh ke meja, jadi dia kemudian berjalan mendekat.

“Aku lihat kau dan Hongjoong sudah lama berteman,” Seohyun berkata sembari duduk di hadapan Seonghwa.

Seonghwa tersenyum. “Kami berteman sejak SD, sejak Hongjoong pindah dan kami jadi tetangga sebelah rumah. Kami juga kebetulan satu sekolah dari SD sampai SMA.”

Seohyun mengangguk sembari mengulas senyum mendengarkan cerita tersebut. “Kalian sudah berteman selama itu ternyata.” Dia meraih teh dan kembali memandangi foto-foto yang terpajang di dinding.

Seonghwa mengenal Hongjoong lebih lama dari ibunya ini, itulah yang ada di pikiran Seohyun saat itu.

Tanpa diminta Seonghwa bercerita, “Kami tinggal bersama sejak di universitas, tapi Hongjoong tidak melanjutkan kuliahnya lagi dan—kurasa Anda sudah tahu, dia sekarang bekerja menjadi penyiar radio. Kalau tidak sedang siaran dia membuat lagu-lagu.”

“Bagaimana dengan orang tua kalian?” Seohyun kembali menoleh pada Seonghwa. “Maksudku, kedua orang tuamu dan ... ayah Hongjoong—apa mereka juga kadang mengunjungi kalian berdua?”

Namun, pertanyaan tersebut membuat ekspresi di wajah Seonghwa sedikit berubah. Dia tampak canggung saat membalas dengan hati-hati, “Aku minta maaf, tapi ... apa mungkin Anda belum tahu? Ayah Hongjoong sudah meninggal ....”

Pernyataan tersebut nyaris membuat Seohyun menjatuhkan cangkir teh yang tengah dipegangnya. “Meninggal?” dia berucap sambil meletakkan kembali cangkir ke meja, sebelum tangannya yang bergetar benar-benar menjatuhkannya.

Dari raut wajahnya, Seohyun tampak terkejut dan tak menyangka. Tentu ini sebuah berita yang mengejutkan baginya.

Dengan berat hati Seonghwa mengangguk. “Paman Kim meninggal karena kecelakaan saat bertugas—saat Hongjoong kelas dua SMA.”

“Oh—” Seohyun tercekat, “—aku ... tidak tahu itu ....”

Mendadak saja Seohyun merasa amat menyesal karena tak pernah sekali pun mencari tahu kabar tentang mantan suaminya dan sang putra selama ini. Dia pikir mereka berdua baik-baik saja—dia bahkan sempat mengira bahwa mantan suaminya tersebut sudah menikah lagi dan menjalani hidup bahagia dengan keluarga barunya, sama seperti dirinya saat ini.

“Lalu, dengan siapa Hongjoong tinggal sebelum ini?” tanya Seohyun kemudian. Seonghwa bisa melihat kesan cemas yang tersirat dari kata-kata tersebut.

Dengan ekspresi getir Seonghwa menjawab, “Sendiri.”

Batin Seohyun berdenyut perih mendengarnya.

Seonghwa berkata, “Ayah dan ibuku ingin mengadopsi Hongjoong dan mengajaknya tinggal bersama kami, tapi dia menolaknya. Setelah lulus SMA dia menjual rumah peninggalan Paman Kim dan pindah ke sini.”

“Bagaimana dia membiayai hidupnya selama ini? Dan sekolahnya? Asuransi dan pensiunan ayahnya saja tidak mungkin cukup, kan?”

Seonghwa menganggukinya mau tak mau. “Hongjoong bekerja keras untuk itu semua.”

“Sendirian?”

Anehnya Seonghwa merasa ingin tertawa saat Seohyun menatap padanya seolah mempertanyakan kebenaran semua cerita tentang Hongjoong ini. Kedengarannya memang mustahil, tapi itulah yang terjadi. Seonghwa adalah saksi matanya, karenanya dia bisa maklum jika wanita di depannya kini tak langsung percaya.

Sambil mengulas senyum Seonghwa mengatakan, “Hongjoong itu lebih tangguh dari kelihatannya.”

Seohyun tak begitu memahami maksud perkataan Seonghwa tersebut, karenanya dia diam dan tak menanggapi. Dia tahu pemuda tersebut masih punya banyak hal untuk dikatakan.

“Dia seorang pekerja keras meskipun sering mengeluh,” kata Seonghwa. “Dia selalu tertawa untuk orang lain dan tidak pernah menunjukkan sedihnya di depan orang yang disayanginya. Dia berjuang lebih keras dari siapa pun, dan dia tidak pernah menyerah.”

“Tapi ... ini ....” Seohyun masih menilai bahwa Hongjoong tidak semestinya melalui ini semua. Memang hal baik pemuda tersebut menjadi dewasa dan mandiri sejak SMA, tapi dia sama sekali tak senang mengetahui itu. Menurutnya, Hongjoong merasakan kerasnya kehidupan di usia yang terlalu muda.

Seohyun tak pernah menduganya. Seperti itukah putranya tumbuh selama ini?

“Dia selalu berdiri dengan tegar selama ini,” kata Seonghwa, “tapi ... sekarang ini dia sedang terluka.”

Seohyun merasa tahu luka apa yang sedang dibicarakan Seonghwa saat ini.

Selagi Seohyun masih terdiam, Seonghwa menundukkan kepalanya. Senyumnya kini telah lenyap.

“Aku tahu aku terlalu lancang mengatakan ini, dan mungkin kedengarannya egois, tapi—” suara Seonghwa mulai terdengar merendah pada detik berikutnya, “—aku mohon ... tolong Anda bicara dengan Hongjoong lagi. Tolong katakan padanya kalau Anda juga masih sangat mencintainya.”

Ketika Seonghwa mengangkat wajah lagi, batin Seohyun mencelus karena pemuda tersebut menatap padanya dengan kedua mata berair.

“Anda tidak mungkin membenci Hongjoong, kan? Aku tahu Anda tidak benar-benar berharap Hongjoong menghilang lagi—aku tahu Anda juga peduli dengannya—iya, kan?” kata Seonghwa.

Kedua mata Seohyun mulai memanas. Dia pun perlu memalingkan pandangannya sesaat supaya tak ikut-ikutan menitikkan air mata. “Meskipun kau bilang begitu—”

“Aku benar-benar memohon kepada Anda,” Seonghwa memotong.

Argumen gagal dilontarkan Seohyun.

“Aku mengerti ada banyak hal yang akan Anda pertaruhkan untuk ini, tapi bagi Hongjoong Anda adalah satu-satunya yang tersisa di hidupnya. Dia bertahan selama ini karena dia percaya suatu hari dia akan bisa bertemu dengan ibunya lagi—dia bekerja siang malam hanya demi Anda ... karena itu ....”

Sedetik Seonghwa perlu mengatur napas dan menelan ludahnya, karena tenggorokannya tercekat dan dia tak sanggup membendung air matanya lagi.

“Aku mohon ...” Seonghwa kembali menunduk, dengan sungguh-sungguh memohon, “tolong jangan suruh Hongjoong untuk pura-pura tidak mengenal ibunya sendiri.”

Sebagai seorang ibu, bisa apa Seohyun melihat pemuda seusia putranya itu menangis di hadapannya?

Seohyun bisa saja menolak permintaan Seonghwa saat itu. Toh, mereka baru berkenalan hari ini sehingga dia tidak memiliki keharusan untuk berempati. Dia bisa saja angkat kaki sekarang juga dan mengabaikan ini semua.

Akan tetapi, kenyataannya Seohyun tetap tak ke mana-mana.

.

.

.

­_TBC_

Ps. Foto yg dikirim Hj buat Sh :

Gemesnya pacar Seonghwa :")

Eniwey, makasih banyak buat kalian yg sudah baca buku ini sampai sejauh ini meski ceritanya kurang greget Makasih buat yg selalu pantengin cerita ini meskipun apdetnya lama. Makasih juga yg selalu kasih dukungan & apresiasi lewat kolom komentar 💕

Maaf kalo semisal buku ini punya banyak kekurangan
*deepbow*

Nantikan kelanjutannya ya~ See you~~
UwU ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

16.4K 2.5K 5
Minsung || GREEK MYTH || 01 [::] See the lord of The Underworld in a way you never have before -Hades, by carly spade Minsung || BxB || Hades & Perse...
220K 33.3K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
53K 7.7K 38
Ketika dunia tidak lagi sestabil dahulu kala, ketika para elit negara memainkan monopolinya, kegelapan seolah menyelimuti bumi. Cahaya seredup apapun...
90.4K 13.1K 30
Jake lebih milih buat mati muda daripada ga ketemu jodoh sama sekali. Maka dari itu, Jake ngorbanin nyawanya demi masuk dunia game cuma buat cari pac...