Luka yang Kau Tinggal Senja T...

By SusanArisanti

1.1M 67.2K 6.3K

Sinopsis Pas patah hati, pas juga ayahnya menyuruh dia tinggal di pesantren. Mungkin pesantren bisa mengobati... More

Bab 1 Umpan untuk Berjudi
Bab 2 Mr. Cold di Pesantren
Bab 3 Gagal Move On
Bab 4 Pria Beraroma Senja
Bab 5 Sajak Kecup, Bung
Bab 6 Surat Misterius dan Lamaran
Bab 7 Hitam Putih
Bab 9 Separuh yang Sempurna
Bab 10 Badai Awal Mei
Bab 11 Tempat Untuk Pulang
Bab 12 Dalang Sebenarnya
INFO TERBIT
Bab 15 Hidden Mozaik

Bab 8 Di Antara Warna Ungu

56.8K 4.4K 238
By SusanArisanti


Aku memainkan jarum di telapak tangan, menekannya pelan dan segera mengangkatnya jika kulitku terasa sakit. Puas mengisi waktu luang dengan hal nggak penting, aku ganti memandangi layar ponsel yang menampilkan akun Instagram Harris. Dua jam yang lalu dia memosting foto selfi di mana dia sedang menyangga dagu di pinggir jendela mobil dengan telapak tangan menutup bibir. Hidung Harris seperti tanjakan kota Palopo. Dan yang paling mencengangkan adalah mata dan alis milik cowok itu. Sepertinya, Tuhan terlalu memanjakan Harris dengan kesempurnaan fisik.

Aku saja yang perempuan merasa iri padanya.

"Mikir apa, Dek?" Ni'am muncul membawa apel di tangan, "mana gurumu?"

"Udah selesai belajarnya, Bang." Mataku beralih pada dedaunan yang gemerisik. "Abang sendiri tumben udah pulang kuliah?"

Aku mengambil bola basket, mendrible bola kemudian melempar dalam ring basket. Failed! Bola melenting sempurna, nyaris mengenai kepala jika tinggiku bertambah 2 senti.

"Abis tes kesehatan buat melengkapi persyaratan jadi Presiden Mahasiswa," Niam menangkap bola, lalu menshootnya. Sukses! Selalu begitu, berbicara tentang akurasi, Ni'am adalah anak yang paling cermat, jauh berbeda denganku.

"Nongkrong, yuk!" ajaknya sambil jelalatan, takut ketahuan Papa barangkali. Ni'am nggak tahu kalau Papa pergi bersama Mama ke acara pernikahan entah siapa.

"Udah tobat."

Niam langsung tertawa keras, "padahal hari ini ada anak Stand Up Comedy favorit kamu di café komedi."

"Nggak mempan," kok sekarang aku udik banget, ya? Berasa anak rumahan yang culun dan terisolasi. Dan melihatku yang berubah 180 derajat, Ni'am terkekeh. Geli sekali kelihatannya.

"Ya Ilaaaahi, ada apa sih di pesantren? Perasaan dulu, Abang nyantri nggak segitunya, deh." Ia mengacak-acak rambut, kemudian melepas jubah mandi. Niam hanya memakai kolor dan langsung nyebur dalam kolam renang.

"Gimana mau mempan..., ngajakin keluar kok pake kolor? Siapa juga yang mau?" aku bersungut-sungut memandangi Ni'am yang berenang memakai gaya kupu-kupu, lantas pergi menuju teras depan setelah mengambil ponsel. Baru saja kakiku melangkah sejauh 3 meter, sebuah panggilan muncul. Nomer baru? Harris? Apa dia kangen ama aku?

Dih, kok jadi ke-GR-an gini? Buruan angkat, sisi diriku yang lain mengingatkan saat aku tenggelam dalam euphoria dugaan.

"Halo."

"Nawaila Maida Parawansa."

Ini bukan suara mantan pacarku. Tak lama dari suara berat dan serak itu, aku mendengar suara seseorang yang bertakbir dengan nada menahan sakit. Aku yakin mengenali suara itu. Otakku berdengung nyaring dan meneriakkan nama Nizam Harris. Entah kenapa, rasa khawatir menyerangku tanpa ampun terutama ketika Harris berucap 'Alahu Akbar'dan terdengar kesakitan.

"S-ssiiapaa kk-kamu?"

"Cipayung, Munjul. Hari ini atau dia kubunuh."

Otakku tidak mampu berpikir, satu-satunya yang kulakukan adalah berlari, mengambil kunci motor, tidak peduli bahwa aku belum punya SIM. Harris dalam bahaya. Harris dalam bahaya.

***

Aku mendapat petunjuk mengenai keberadaan Harris dari sinyal GPS yang dipancarkan ponsel yang menghubungiku tadi. Sebuah bangunan yang lumayan mentereng, dicat ungu pucat, halaman depan ada pohon mangga hasil bonsai. Kuparkirkan motor dengan sembarangan lalu berlari dalam rumah. Untungnya pintu tidak terkunci, begitu tubuhku masuk seluruhnya, aku disambut tepuk tangan.

"Selamat dataaang!"

Mereka semua bertubuh tinggi tegap. Sejenak aku merasa terdampar di dunia raksasa, sayangnya akulah yang jadi kurcaci. Mataku celingukan, ruangan ini kosong. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Harris.

"Mencari Harris, ya?" ia tersenyum ramah. Wo-ow-ow-aku bukan anak kecil yang gampang tertipu orang asing. Mempertahankan kewaspadaan, aku meneliti mereka, menduga tentang jati diri mereka dan aku frustasi sendiri karena tidak bisa menyimpulkan siapa mereka sebenarnya.

"Apa yang kalian inginkan?"

Yang memakai jaket kulit lengkap dengan celana belel robek-robek itu terlihat bahagia, sorot penuh kemenangan terpancar jelas di mata hitamnya, "tanda tangani ini."

Aku tidak tahu apa yang harus kutandatangani, sebab kertas itu kosong, itu dokumen hantu, peringatan itu berdengung nyaring memenuhi kepala.

"Atau..." ia menunjuk kea rah utara dan saat itu juga tubuh Harris yang terikat meluncur. Dari lantai tiga. Aku langsung menjerit, dan cecunguk setan itu malah tertawa bahagia.

"Kami benar-benar akan menerjunkan dia dari sana, jika kamu tidak menandatangani ini."

Apa yang sedang mereka rencanakan?

"Terjunkan saja dia!" aku berteriak, lidah dan batinku berperang. "Bunuh saja dia, kalian pikir, dia sangat berharga?" lututku bergetar ketakutan. Aku harap trik deception ini berhasil.

"Keras kepala-khas Mandala-tapi, baiklah... kau ingin dia mati, kan?" ia memberi kode pada orang yang menahan tali pengikat Harris. "Perhatikan baik-baik sebelum dia tidak bisa lagi kau temui."

Seluruh tubuhku tersulap jadi es. Harris, buka matamu, lakukan sesuatu Nawa, lakukan apapun untuk menyelamatkan Harris. Diriku memang cengeng, aku mendesah dan berteriak agar mereka membatalkan niatnya.

"Hentikan! Oke, aku akan lakukan! Apapun itu!"

Tawanya pongah. Ia mendekat dan mengulurkan kertas kosong itu padaku.

"Turunkan Harris dulu, aku akan menandatanganinya." Lanjutku dengan nada kurang meyakinkan. Rasa takut ternyata bisa membuat suara jadi parau.

Ia sangat berkompromi, dengan menggerakkan telunjuk-memberi isyarat agar Harris diturunkan. Aku lega saat tubuh cowok itu menyentuh lantai dengan pelan sehingga aku yakin tidak ada benturan berbahaya pada tubuhnya. Tapi hal lain yang kudapati, Harris memejamkan mata sementara punggung tangannya remuk dan berdarah. Rasa mual menyelimuti perutku.

Sesakit itukah kamu?

"Cepat tandatangani!"

Aku mendekat, berdoa semoga kertas ini tidak mendatangkan keburukan untuk orang-orang yang kusayangi. Setelah membubuhkan tanda tangan, pria itu menyodoriku tinta ungu lalu menekan jempolku di talenan, dan memaksaku lagi memberikan cap jempol di kertas kosong.

"Selesai." Ia menyimpan semua itu dalam kantong celana dan pergi meninggalkan kami-aku dan Harris.

***

"Ini yang namanya Harris?" Papa duduk di sebelahku, mengamati Harris kemudian menatapku.

Pertanyaan Papa hanya kusahut dengan anggukan.

"Dia pernah menemuiku."

Harris pernah menemui Papa? Untuk apa? Tidak mau terlihat penasaran, aku hanya menunduk dalam-dalam, berdoa semoga Papa bercerita lebih lanjut-kira-kira apa inti obrolan mereka?

"Dia pernah datang padaku untuk melamarmu. Makanya, Papa tahu kamu pacaran dan memindahkanmu ke pesantren sesuai arahan Ammu Athaya."

Jadi begitu kronologi ceritanya?

"Awalnya Papa menduga kepindahan Harris ke pesantren juga campur tangan Ammu Athaya, tapi ternyata tidak begitu." Ada yang berat dari suara Papa, aku tidak tahu apa itu. Hanya saja, seperti ada beban berat yang ditimpakan padanya. "Dia juga tidak tahu kalau Kyai Masnif punya anak bungsu bernama Nizam Harris. Maida, setelah ini jangan lagi berdekatan dengannya."

"Kenapa?" ini terdengar aku akan membantah Papa.

"Papa tidak pernah melarangmu berteman dengan siapapun, tapi khusus Harris-ini adalah pengecualian." Tegas Papa berhasil melukai hatiku. Apa saat bertemu, Harris melakukan kesalahan fatal sampai Papa seperti ini?

"Mai butuh alasan, Pa."

"Kalian memiliki dunia yang berbeda, sudut pandang yang berbeda dan anggapan tentang nyawa yang berbeda," Papa mulai menjelaskan, tapi tidak membuatku paham. "Oh ya, apa yang kamu tawarkan saat menyelamatkan dia?"

Aku mengkerut dan tidak berani menatap Papa. "Kertas kosong yang ditandatangani." Suaraku seperti bisikan.

"Maida...." Papa menghela napas, aku tahu bahwa aku sudah membuatnya khawatir. Lagi. mata Papa menatap tajam pada Harris yang masih pingsan, "sekalipun dia mati, jangan melakukan kebodohan lagi!"

Nyaliku raib mendengar Papa membentakku. Ini adalah pertama kalinya. "Maafin Maida, Pa... Maida nggak bisa lihat dia-"

"Lain kali, gunakan logikamu." Nasehat Papa dan aku sejak awal sudah membangkangnya. Aku sudah menggunakan logika dulu, tapi yang kuperoleh, logika hanya menuntunku dari silogisme a ke b ke c dan seterusnya, tapi urung membawaku dalam kebahagiaan.

Aku hendak mendebat Papa, bibirku sudah terbuka dan siap mengeluarkan alasan, sayangnya pita suaraku bungkam mendadak karena melihat sosok yang baru saja masuk setelah pintu kamar diketuk. Ayah Harris beruluk salam, memberi kami senyum teduh dan menghampiri putranya yang tidur di ranjangku.

Abah sepuh hanya menatap Papa, lama sekali, seolah mereka saling berbicara lewat tatapan mata. Aku mendadak seperti alien yang tersesat dan tidak paham bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarku. Benar-benar tidak tahu apa-apa, sampai akhirnya, Papa menghela napas panjang.

"Nawaila, aku ingin bertanya padamu." Kini Abah Sepuh mengajakku bicara, aku mengangguk, tetap tidak berani menatap wajah beliau. "kamu tahu apa itu wasilah dan ghayyah?"

Meskipun aku mengerti arti dua kata itu, aku belum bisa menyimpulkan ke arah mana Abah Sepuh mengerucutkan pembicaraan ini, "Wasilah itu alat untuk mencapai, sementara ghayyah adalah tujuan akhir."

"Sekolah, pesantren, madrasah, itu wasilah atau ghayyah?"

Dengan mantap aku menjawab, "wasilah."

"NU, Muhammadiyah, dan semacamnya itu wasilah atau ghayyah?" Abah sepuh masih mengurai senyum ramah, aku berpikir sejenak. Agak ragu aku menjawab.

"Wasilah."

"Islam, Khatolik, Hindu dan semacamnya itu wasilah atau ghayyah?"

Otakku langsung macet. Agama itu tujuan hidup manusia atau sebagai alat untuk mencapai sesuatu? Jika dijadikan tujuan hidup, mengapa setiap manusia memiliki tujuan yang berbeda, jika bukan... untuk apa aku memeluk atau mempunyai agama? Apa hanya sekedar pelengkap dalam kartu identitas, sebagai buah bibir, sebagai status... apakah agama hanya distempeli sebagai materi yang bisa diukur, ditilik dan dijadikan perdebatan tiada akhir? Atau agama hanya dijadikan sebagai tempat menghujat. Yang suka mendatangi kuburan-disebut kafir, padahal mereka ke kuburan untuk takziah dan mengingat mati. Yang mempercayai pancasila sebagai dasar negara disebut tidak syar'I sebab konsep Islam adalah khilafah? Apakah ada dalil dalam Al Qur'an mengenai khilafah? Lalu bagaimana pada masa dinasti Abbasiyah, Umayah dan lain-lain? Dinasti Umayah terbentuk dengan mengalirkan darah sesama muslim. Pembunuhan Ali Bin Abi Thalib, Pembantaian Padang Karbala, apakah memang seperti itu konsep khilafah? Dalam otakku yang sederhana ditambah pengetahuanku yang alakadarnya, bahwa demokrasi, monarkhi, atau khilafah itu hanyalah wasilah. Sebuah alat untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan cinta. Rasulullah dulu saat menaklukkan Mekkah memaafkan penduduk Mekkah, menciptakan perdamaian, sehingga banyak yang berduyun-duyun masuk Islam. Rasulullah tidak melakukan pembantaian pada mereka yang menyerah, meskipun yang menyerah belum masuk Islam. Itulah ajaran yang kupercayai, Islam. Islam bukan ajaran yang menyerukan kebencian, merasa paling benar dan berhak mengadili siapa saja dengan cara semena-mena.

Nuraniku terketuk. "Agama Islam adalah wasilah."

"Bagaimana bisa?" Beliau malah bertanya, sepertinya Papa juga menunggu jawabanku.

"Karena ghayyahnya... Allah. Seandainya, kita mau pergi ke daerah di Papua memakai kereta api, tentu tidak akan tercapai, sebab di sana tidak ada rel kereta api. Satu-satunya alat transportasi yang mudah dipakai adalah pesawat terbang atau helikopter sebagai wasilah. Sehingga, dengan memahami pengertian wasilah dan ghayyah... kita bisa menghargai ummat beragama lain. Bagaimanapun juga, umat beragama lain pada dasarnya sama seperti ummat Islam, yaitu sedang berusaha menujuNya. Semua pilihan orang lain harus dihargai, seperti diri kita yang ingin dihargai karena memilih wasilah agama Islam."

"Nak, pada dasarnya... kesalahan beragama adalah menganggap agama Islam seperti partai politik. Ditambah salah menetapkan apa yang menjadi wasilah dan apa yang menjadi ghayyah. Akhirnya, bisa tumbuh sikap berlebih-lebihan dalam beragama Islam, dan pada akhirnya menjadi sibuk 'kampanye' atribut Islam yang disertai kebencian terhadap ummat beragama lain." Lanjut Abah, "Dan... mendengar jawabanmu, Abah lega. Hari ini Abah ingin melamarmu untuk putraku, Nizam Harris. Sebelumnya, aku ingin meminta ijin ayahmu." Abah sepuh menatap Papa, kulihat dua tangan Papa mengepal, "bagaimana Mandala? Kamu menyetujuinya atau tidak?"

"Abah, mohon maaf kalau lancang," Papa kelihatan sekali menahan emosi, "adakah alasan yang kuat agar menerima lamaran ini?"

Abah Sepuh malah tersenyum. Hangat dan ramah. "Kalau begitu, kamu harus punya alasan menolak lamaran ini."

"Nawaila masih terlalu muda, belum dewasa dan emosional."

"Tapi, jawabannya tadi membuktikan sebaliknya, Mandala."

Seharusnya,aku yang ditanya apa aku menerima lamaran itu atau tidak! Tapi, lihat saja, orang-orang tua itu malah mengabaikan aku dan sibuk berdebat sendiri. Memang yang mau menikah siapa?

"Ada banyak rahasia di masa depan dan menurutku, sebaiknya mereka menikah." Lanjut Abah sepuh, ini terkesan negosiasi paling alot antara dua pria. "Mungkin berat untuk mereka jalani, bukankah hidup memang tidak mudah?"

"Aku tidak bisa membiarkan putriku berada dalam kesulitan."

"Berarti kamu mengajarinya berhati sempit." Abah tidak terlihat tegang seperti Papa, melihat keduanya, selayaknya menelisik bumi dan langit, bertolak belakang.

"Abah, maaf... tapi bukankah Harris sudah dijodohkan dengan Kintan?" Aku takut-takut bertanya.

"Memang," Beliau diam, menghembuskan napas pendek, "akan tetapi, bukankah pria boleh berpoligami?"

Itu adalah satu-satunya jawaban yang tidak bisa kujawab. Papa menatapku prihatin. Baiklah, aku tidak boleh cengeng. Aku harus tegas pada jalan hidup yang kuambil.

"Jika Papa keberatan dengan lamaran ini, maka Nawaila tidak bisa menerimanya, Abah. Mungkin, Kintan lebih tepat untuk Harris. Dan... karena dia masih kritis, ada baiknya pembicaraan ini disudahi sebab tidak akan punya titik pangkal atau ujungnya. Lagipula, bukankah sebaiknya kita mendoakan Harris?" aku mencoba tersenyum, bersikap senormal mungkin.

Abbah hanya mengangguk, "pilihanmu hari ini sudah mengubah apa yang akan terjadi esok. Jadi, hati-hati, ya Nduk." Aku tidak tahu apa maksud Abah sepuh, hanya saja jantungku langsung meresponsnya dengan debar-debar yang terasa sakit. Ada sesuatu yang memaksaku menangis. Aku sampai mendongak kuat-kuat agar airmataku tidak menetes.

"Abah... apa maksudnya?"

"Kita hanya mengenal kebaikan dan keburukan. Hitam dan putih, kita lupa... ada warna ungu yang membayangi sisi hitam putih manusia. Takdir senantiasa bergerak dinamis, tergantung pilihan-pilihan yang kamu ambil hari ini. Ala lan becik iku gegandhengan. Kabeh kuwi kersaning Pangeran. Manungso mung ngunduh wohing pakarti, narimo ing pandhum."

Kebaikan dan keburukan itu ada bersama-sama. Itu semua kehendak Tuhan. Kehidupan manusia baik dan buruk akibat dari perbuatan manusia itu sendiri. Maka, terimalah dengan ikhlas. Aku mengartikan bahasa jawa yang memakai kromo inggil itu dengan hati-hati. Takut salah mengartikan. Namun, bagaimanapun aku mengartikan kalimat Abah sepuh, semua inti pembicaraannya masih misteri. Aku merasa seperti menebak isi dalam sebuah kotak hitam. Semakin aku memikirkannya, kepalaku semakin pusing. Konklusinya nol besar.

Kemudian tiba-tiba, aku mengingat kalimat Harris yang ia ucapkan saat kami berada dalam mobil-dalam perjalanan dari Jakarta ke Pesantren.

"Bila sebagian hati menanti, tentu setengahnya lagi menunggu. Bila separuh hati selalu terjaga, bisakah sebagian lagi melupakan?"

Mungkin, aku bisa menunggu Harris melepaskan Kintan, atau jika itu mustahil... aku akan berusaha melupakannya. Tetapi, poin penting dari patah hati bukan melupakan dan melepaskan, tapi tentang mengikhlaskan. Jika hari ini aku menolak lamaran Abah sepuh, apa aku bisa mengikhlaskan Harris dimiliki Kintan? Atau jika aku menerimanya, apa aku bisa mengikhlaskan cintaku dibagi dengan dua wanita yang porsinya harus adil?

Warna ungu yang mengikuti hitam dan putihnya manusia-bisikku janggal, beginikah rasanya menjadi violet? Aku masih muda, di masa depan... tentu aku bisa menemukan pria lain yang tidak akan pernah membagi cintanya dengan wanita lain. Jadi, aku tidak boleh berhenti di Harris. Patah hati butuh waktu, manusiawi jika sekarang aku bersedih asal tidak berlarut-larut, sebab aku berhak untuk bahagia.

Kupandangi wajah Harris yang terpejam. Beberapa kerutan di keningnya terlihat. Apa dia sedang kesakitan? Aku bergerak mendekat. Harris mengigau. Papa yang tadi bercakap-cakap dengan abah sepuh berhenti mendengar igauan Harris.

"Allah... Allah... Allah... Nawaila...."

Jantungku langsung berdebar-debar, diperparah dengan jemariku yang bergetar. "aku di sini. Buka matamu, Gus Harris."

"Allah...," bisiknya lemah, aku ingin memegang tangannya, aku ingin menjadi tempat yang bisa menguatkan dirinya ketika merapuh. "Nawaila... Allah..., Nawa." Bahkan Harris menyebut namaku setelah memanggil Allah. Pria dingin itu terlihat menyedihkan sekarang.

"Gus Harris, aku di sini, buka matamu. Sadarlah." Aku frustasi sendiri. "Abah! Abah sepuh!" aku berteriak hiteris, "aku mau menikah dengannya. Aku menerima lamaran Abah." Masa bodoh dengan poligami!

"Maida!" panggilan Papa tidak begitu berarti.

"Enggak, Pa... sekali ini aja, Papa percaya ama Maida." Dan Papa tidak berucap lagi. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat.

"Nikahkan mereka setelah Harris siuman." Permintaan itu seperti harga mati. Papa mengusap wajah, ada beban berat di sana. Maafin Nawaila, Pa... maaf....

***

Continue Reading

You'll Also Like

37.2K 3.3K 13
[ COMPLETED ] Cahaya yang sesaat saling tumpang tindih Warna yang berbeda membentuk 4 musim Namun jika salah satunya menghilang, maka keabadiaan takk...
505 172 18
Teraloka Lara | 1 "Sebab, bagi Pratistha, Mas Nakula itu dunianya, tak ada yang bisa menggantikan sosok nya, sampai kapanpun itu." Jikalau boleh memi...
3.3M 177K 38
Siapa yang tak mengenal Gideon Leviero. Pengusaha sukses dengan beribu pencapaiannya. Jangan ditanyakan berapa jumlah kekayaannya. Nyatanya banyak pe...
3K 628 21
Kisah perjuangan hidup Ali, pemuda miskin dari kawasan kumuh yang jatuh bangun menggapai cita-cita memiliki perusahaan raksasa. Ali bersahabat dengan...