Forever After

By dekmonika

102K 15.6K 1.6K

Seperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjua... More

Prolog
(1) Kehidupan yang Dinanti
(2) Gadis Misterius
(3) Insiden Tak Terduga
(4) Sebuah Kebetulan?
(5) Sisa Pengkhianatan
(6) Kebetulan Lagi?
Cast
(7) Orang-orang Mencurigakan
(8) Gerimis dan Kita
(9) Penasaran
(10) Kenangan Masa Lalu
(11) Ada Untukmu
(12) Rumah Pagar Putih
(13) Pertemuan Mendadak
(14) Prasangka
(15) Melamar ?
(16) Mari Bercerita
(17) Gantung
(18) Payung Teduh
(19) Pertemuan Kembali
(21) Yin & Yang
(22) Apa Kamu Rindu?
(23) Tabir Masa Lalu
(24) Kotak Musik
(25) Cemburu
(26) Ruangan Rahasia
(27) Pengganggu
(28) Gala Premier
(29) Malam yang Panjang (18+)
(30) Apa yang Terjadi?
(31) Hati-hati
(32) Jangan Takut
(33) Ketenangan
(34) Oma Diana
(35) Mimpi Buruk
(36) Fine Today
(37) Restu
(38) Menjagamu
(39) Pasti Kembali
(40) Baskara
(41) Serangan Tak Dikenal
(42) Musuh Misterius
(43) Hati ke Hati
(44) Putus?
(45) Hujan dan Airmata
(46) Segalanya Tentangmu
(47) Tampar
(48) Membuka Rahasia
(49) Selamat Tinggal
(50) Tunggu Aku
(51) Little Angel.
(52) Bintang Aldebaran
(53) Email: Jakarta - New York
(54) Andin's Graduation
(55) Dia Kembali ?
(56) Hari Bahagia (ENDING)
*SPECIAL EDITION* (21+)

(20) Tidak Baik-baik Saja

1.5K 271 22
By dekmonika

Happy friday, guys!

Maaf ya, baru UP hari ini, padahal harusnya kemarin. Tapi nggak sempat karena ketiduran, wkwk. Jadi nggak apa-apa ya UP nya siangan, mumpung lagi break juga, hehe.

Mungkin di part-part 20 ke atas, rahasia dan konflik cerita baru mulai terbuka. Sabar ya, readers :)

Happy reading!

___________________________

Ferdinand rasanya ingin sekali merengkuh tubuh gadis itu dan membawa ke dalam pelukannya yang penuh akan kerinduan. Namun dosa-dosanya di masa lalu seolah terlintas tanpa permisi dalam bayangannya. Perasaan hina dalam dirinya menahannya untuk melangkah mendekat pada gadis itu. Ditambah lagi dengan reaksi Andin yang tiba-tiba mengambil selangkah mundur dengan tatapan pedih bercampur kebencian yang tersirat.

"Nak..." Desis Ferdinand dengan suara yang sedikit tertahan.

Senyuman Aldebaran pun telah berubah menjadi tatapan penuh kebingungan melihat reaksi yang ditampakkan Andin dan Ferdinand. Samar-samar pria itu mendengar lirihan Ferdinand yang memanggil gadis itu dengan sebutan 'Nak'. Apa kedua orang di hadapannya itu sudah saling mengenal? Aldebaran bertanya-tanya dalam hatinya sendiri.

"Stop!" Ucap Andin saat melihat pria setengah tua itu akan melangkahkan kakinya mendekat.

"Anda mau apa?" Andin sarkas demi menahan airmatanya agar tidak jatuh. Mendengar ucapan itu membuat Aldebaran tampak kaget dengan sikap yang ditunjukkan oleh Andin.

"Maafkan Papa." Sekali lagi pria itu berucap lirih.

"Mas, aku minta maaf. Aku harus kembali ke belakang." Putus Andin, mengatakan pada Aldebaran yang masih dengan kebingungannya. Tanpa menunggu persetujuan dari Aldebaran, Andin bergegas berbalik dan berjalan cepat ke ruang belakang, meninggalkan Ferdinand dengan tatapan sedihnya dan Aldebaran dengan berbagai tanda tanya.

"Andin!" Seru Aldebaran, namun gadis itu terus berjalan tak menggubris panggilan tersebut.

"Biar saja, Al." Ucap Ferdinand, menahan Aldebaran. Aldebaran menatap Ferdinand dengan bingung.

Dengan rasa putus asa, Ferdinand kembali duduk pada kursinya semula. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan nampak raut kesedihan disana. Aldebaran yang sudah merasa penasaran, ikut duduk kembali, menatap Ferdinand yang tampak meratap.

"Pak..." Panggil Aldebaran, hati-hati. Ferdinand membuka telapak tangannya yang menutupi wajahnya, lalu beralih menatap Aldebaran.

"Maafkan saya, Al. saya sudah membuat kacau semuanya." Ucap Ferdinand, terdengar bergetar.

"Sebenarnya, ini ada apa, Pak? Maaf kalau saya lancang, bapak kenal dengan Andin?" Ferdinand menghela nafas beratnya.

"Andin adalah putri saya. Putri yang sudah saya sia-siakan bertahun-tahun lamanya." Ungkap Ferdinand membuat Aldebaran tercekat kaget, seperti tak percaya bahwa lelaki setengah tua di hadapannya itu adalah orang yang sudah mengukir luka yang begitu dalam di hidup Andin.

"Dosa-dosa saya begitu besar terhadap mereka sampai saya merasa malu menampakkan diri saya di hidup mereka lagi, terutama di hidup Andin. Saya tahu sejak lama tempat ini. Saya sering datang kemari diam-diam untuk melihat keadaannya dari jauh. Tapi saya begitu pengecut, tidak pernah berani menampakkan diri secara langsung." Tutur Ferdinand, mencurahkan perasaannya yang sudah terpendam sejak lama. Sementara Aldebaran masih tampak mematung.

"Saya pantas mendapatkan kebencian darinya setelah semua yang saya lakukan." Timpalnya, seketika menyeka setetes airmata yang jatuh dari kelopak matanya.

"Bapak tahu apa akibat dari kesalahan yang sudah bapak lakukan?" Tanya Aldebaran dengan tatapan nanar namun tetap tajam.

"Ya."

"Bapak tahu tidak kesulitan demi kesulitan yang mereka temui saat pengkhianatan yang sudah bapak lakukan?" Tambah Aldebaran. Ia mengingat bagaimana kesedihan yang dicurahkan Andin padanya tempo hari. Ia ingat sekali gambaran kepedihan hidup yang digambarkan gadis itu padanya. Dan kini, penyebab luka itu ada di depan matanya sendiri.

Tak terdengar jawaban dari Ferdinand. Pria itu hanya menatap Aldebaran dengan rasa bersalah, lalu menunduk tak berdaya. Dengan rasa kecewa, Aldebaran memilih beranjak dari tempat duduknya, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia meninggalkan Ferdinand. Aldebaran memilih menyusul Andin. Ia harus memastikan keadaan gadis itu yang pasti sedang tidak baik-baik saja.

Aldebaran bertemu dengan seorang barista perempuan yang merupakan rekan kerja Andin, saat ia akan menuju ruangan khusus barista coffeeshop tersebut. Ia dipersilahkan untuk masuk kesana, namun begitu sampai di dekat pintu, Aldebaran dicegat oleh Daniel yang sudah memasang raut emosi.

"Mau apa loe?" Tegur Daniel dengan nada kasar.

"Saya ada urusan dengan Andin."

"Urusan apa lagi?!"

"Yang jelas, ini bukan urusan Anda, ya." Balas Aldebaran yang ikut tersulut emosi.

"Semua ini pasti gara-gara loe, kan? Loe yang sudah membawa laki-laki itu ke hadapan Andin!" Tuduh Daniel dengan sedikit mendorong salah satu pundak Aldebaran. Aldebaran terkekeh, sinis mendapati kesalahpahaman dari sahabat Andin tersebut.

"Anda terlalu sok tahu." Komentar Aldebaran.

BUG!

Bukannya meredakan keadaan, Daniel justru melayangkan tonjokannya tepat pada sudut bibir Aldebaran secara tiba-tiba, membuat Aldebaran sedikit terhuyung ke belakang.

"Heh, kenapa!!!" Seorang barista perempuan berteriak histeris saat melihat Daniel yang baru saja memberikan pukulan mentahnya pada Aldebaran. Ia terlihat panik dan ingin menengahi mereka. Namun gadis itu kembali mundur saat melihat Aldebaran bangkit dengan wajah yang tak kalah emosi.

"Saya tidak punya urusan dengan Anda. Tapi sikap Anda yang semena-mena harus saya lawan." Aldebaran bertutur dengan geram, sambil mencengkram kerah baju Daniel dengan ketat.

"Siapapun yang sudah menyakiti Andin, itu menjadi urusan gue." Daniel melayangkan tatapan menantang. Lagi-lagi, Aldebaran tertawa sinis mendengar ucapan pria itu meski dengan sudut bibir yang sedikit mengeluarkan darah.

"Seharusnya Anda sadar, Anda bukan siapa-siapanya." Kata Aldebaran membuat Daniel tertegun.

"Gue sahabatnya. Sedangkan loe bukan siapa-siapa buat Andin."

"Anda yakin saya bukan siapa-siapanya?"

"Eh eh, STOP!!"

Barista perempuan bernama Gaby itu melerai keduanya dengan susah payah, hingga Aldebaran mengalah pada egonya dan melepaskan cengkraman tangannya dari kerah Daniel yang terlihat kusut.

"Pak Al cari Andin, kan? Dia sudah pergi, Pak." Beritahu Gaby, mampu mengalihkan fokus pria itu.

"Pergi kemana?" Aldebaran terlihat khawatir.

"Saya tidak tahu. Dia pergi begitu saja lewat pintu belakang sambil menangis."

"Yasudah, terima kasih, ya."

Tanpa memedulikan tatapan tajam dari Daniel lagi, Aldebaran bergegas pergi dari sana untuk mencari kemana perginya gadis itu. Daniel mengusap wajahnya dengan marah, membuat Gaby menatapnya dengan sedikit takut, lalu memilih meninggalkan pria itu sendiri.

_________________

Di mobilnya, saat dalam perjalanan, Aldebaran berkali-kali mencoba menghubungi Andin tetapi tak ada jawaban dari gadis itu. Aldebaran bahkan mengirimkan beberapa chat, namun tetap saja tak mendapatkan respon apapun. Pria itu tak mau putus asa, ia menghubungi Baskara untuk menanyakan Andin. Tapi sekali lagi, ia tak berhasil mendapatkan informasi sebab Baskara masih di sekolahnya. Baskara mencoba menelepon pun, tak ada jawaban.

Akhirnya, satu-satunya tujuan Aldebaran hanyalah rumah gadis itu. Mungkin saja Andin memilih untuk pulang dan menenangkan diri. Pria itu tidak bisa merasa tenang sebelum memastikan kondisi Andin atas pertemuannya dengan seseorang beberapa saat yang lalu. Seseorang yang Aldebaran pun tidak tahu apakah masih berada di Coffeeshop itu atau sudah pergi. Ia tidak peduli lagi.

Mobil Aldebaran sampai di depan pagar putih sebuah rumah. Keadaan tampak lengang disana. Tampaknya sang mama sedang pergi karena garasi terlihat kosong. Hanya ada seorang perempuan tua yang sedang memberi makan pada seekor kucing di teras rumah tersebut.

"Permisi, Bik." Sapa Aldebaran, berjalan ke arah wanita itu yang telah menyadari kedatangannya.

"Eh, den." Balasnya.

"Saya mau tanya, Apa Andin sudah pulang?"

"Belum tuh, den. Non Andin belum ada di rumah." Jawab wanita tua itu yang justru menambah kegelisahan pria itu.

"Oh begitu ya, Bik."

"Aden ada perlu sama Non Andin? Coba ditelepon saja." Saran wanita itu.

"Baik, Bi. Yasudah, makasih ya, Bik."

"Sama-sama, Den."

Aldebaran pun melangkahkan kaki dengan gontai saat meninggalkan pekarangan rumah itu, sebab tak jua berhasil menemukan keberadaan Andin. Ia tidak tahu harus kemana dan bertanya kepada siapa lagi.

Di tempat yang berbeda, di dalam sebuah kamar yang bernuansa putih-krim, terdapat seorang wanita yang duduk di atas karpet, bersandar pada tempat tidur. Sepasang matanya terlihat sembab dan memancarkan tatapan kosong. Kejadian beberapa saat yang lalu benar-benar menghancurkan harinya. Ia tidak menyangka, hanya dengan menatap pria itu rasanya begitu sakit. Luka dalam yang selama ini sudah berusaha ia sembuhkan, rasanya terkoyak kembali.

"Minum dulu, yuk." Ucap temannya yang baru saja datang dengan membawa secangkir teh, dan ikut duduk di sampingnya. Tak ada sahutan dari gadis itu, selain hanya tatapan nanar yang lagi-lagi mengeluarkan airmata.

"Hei, jangan begini, please." Ucap sahabatnya itu sambil mengusap airmata tersebut. Segera dipeluknya raga gadis yang sedang rapuh itu dengan erat dan penuh rasa prihatin.

"Dia orang jahat, Ndah. Gue benci sama dia. Gue nggak mau lihat dia." Adunya, membuat sahabatnya bernama Indah itu refleks mengusap pundaknya dengan lembut.

"It's okay, Ndin. Lupain kejadian hari ini, ya. Jangan diingat-ingat." Ujar Indah, berusaha menenangkan sahabatnya.

"Loe adalah cewek yang hebat, yang bisa melewati semua yang terjadi selama ini sendirian. Loe bisa bangkit dan membuktikan bahwa loe bisa berdiri di atas kaki loe sendiri. Jangan sampai kekuatan loe runtuh hanya karena mengingat tentang dia. Jangan berikan waktu untuk menangisi orang yang sudah menghancurkan hidup loe, meskipun dia Papa loe sendiri."

Benar yang sahabatnya itu katakan. Seharusnya Andin bisa berdiri lebih kuat saat kapanpun waktu mempertemukannya kembali dengan sang papa. Andin harus lebih berani menghadapi pria itu, tanpa menunjukkan kelemahannya. Ya. Jangan sampai pria itu mengira bahwa ia masih terkungkung pada rasa sakit itu. Andin harus berdiri tegak layaknya batu karang yang tetap kokoh meski diterjang ombak.

"Iya, gue nggak boleh terlihat lemah." Gumam Andin, bangkit dari dekapan Indah seraya menyeka sisa airmatanya yang tumpah.

"Loe pasti bisa. Gue yakin itu." Indah tersenyum dengan meyakinkan. Meski dengan tatapan sendu, Andin pun berusaha kembali mengukir senyuman simpul di bibirnya.

"Thanks ya, Ndah. Loe selalu ada buat gue."

"Ya harus lah. Kan bestie." Indah terkekeh. Namun sesaat kemudian mereka menoleh pada sebuah ponsel yang berdering, menandakan adanya panggilan dari seseorang.

"Bentar ya." Ucap Indah saat mendapati yang berdering adalah ponselnya.

"Gaby? Kok tumben." Gumam Indah saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.

"Gaby yang telepon?" Andin bertanya, penasaran.

"Iya, nih. Gue angkat dulu, ya." Andin mengangguk.

"Iya, Gab, kenapa?" Tanya Indah pada seseorang di seberang telepon tersebut.

"Ndah, Andin lagi sama loe nggak? Kok ditelepon nggak aktif?"

"Iya, Andin lagi di rumah gue. Kenapa memangnya?"

"Bisa loudspeaker saja nggak? Ada yang mau gue bilangin ke dia." Pinta Gaby membuat Indah melirik Andin yang juga sedang menatap sahabatnya itu dengan rasa penasaran.

"Oke, Gab. Ini sudah gue loudspeaker. Andin ada di dekat gue kok."

"Andin, loe kenapa nggak bisa dihubungi sih?" Gaby heboh sendiri dengan nada paniknya.

"Iya, sorry, Gab. Gue sengaja matiin handphone. Gue lagi ingin nenangin diri saja sebentar." Jawab Andin.

"Aduh Andin, loe sudah membuat orang-orang pada panik tahu nggak. Daniel berkali-kali nelpon loe nggak aktif, terus tadi Baskara nelpon gue nanyain loe juga. Belum lagi sampai ada keributan di Coffeeshop tadi." Gaby menumpahkan semua aduannya membuat kening Andin mengerut.

"Keributan apa?"

"Tadi Pak Al sama Daniel berantem. Gue nggak ngerti inti masalahnya apa, tapi yang jelas mereka sebut-sebut nama loe. Bahkan Pak Aldebaran sempat ditonjok sama Daniel. Kasihan banget tahu, nggak."

"Astaga. Kok bisa?" Andin tercekat membuat Indah di dekatnya ikut terheran-heran.

"Ya mana gue tahu. Makanya, loe nyalain handphone loe, pasti Pak Al dari tadi mencoba menghubungi loe deh. Tadi dia kelihatan khawatir banget."

"Ya, oke. Thanks ya, Gab. Dan maaf sudah membuat kalian panik."

"Iya, yaudah. Loe baik-baik, ya."

"Ya."

Setelah sambungan telepon dengan Gaby terputus, Andin segera membuka tasnya dan meraih ponselnya yang sejak tadi sengaja ia matikan. Begitu ponsel itu menyala, ternyata benar banyak panggilan telepon dan beberapa notifikasi pesan yang masuk. Dan yang paling banyak adalah dari Aldebaran.

"Gue baru ingat, loe belum pernah ngenalin gue sama Mas Al Mas Al loe itu, kan?" Sindir Indah.

"Hah?"

"Tega banget loe sama bestie sendiri. Ingat ya, restu seorang sahabat itu sangat penting untuk menentukan pasangan hidup."

"Apaan sih loe. Mulai melantur deh." Andin mengelak.

"Loe nggak bisa bohong sama sahabat loe ini, Ndin. Loe pasti punya hubungan spesial kan sama si Aldebaran itu?"

"Sok tahu."

"Ckk, masih nggak mau ngaku." Indah berdecak, kesal.

"Gue pergi sekarang, ya. Makasih buat tumpangannya."

"Yaelah, buru-buru banget. Tehnya belum diminum."

"Oh iya." Andin meraih secangkir teh yang sudah dibuatkan oleh Indah, kemudian menyesapnya beberapa teguk.

"Sekali lagi makasih ya, sayangku." Andin beranjak dari tempat duduknya dan diikuti oleh Indah. Sahabatnya itu membantu merapikan rambut Andin dan menghapus sisa-sisa airmata yang sedikit terlihat.

"Loe kalau ada apa-apa, cerita sama gue. Gue akan selalu ada buat loe."

"Iya, Indah. Makasih, ya."

"Makasih mulu." Protes Indah.

"Ya habisnya loe nggak selesai-selesai ceramahnya."

"Gue khawatir sama loe!"

"Iya iya, maaf. Gue kapan perginya kalau begini?" Timpal Andin membuat Indah terkekeh ringan.

"Yaudah, yuk, gue anter ke depan."

Di kantornya yang megah, Aldebaran merasa kosong. Sejak kejadian siang tadi yang membuatnya kehilangan jejak Andin, fokusnya benar-benar buyar. Kesuksesan acaranya pagi tadi seolah kehilangan euforianya. Berharap mendapatkan ucapan selamat berbonus hadiah dari gadis itu, Aldebaran justru dikagetkan dengan situasi tak terduga.

Sekarang ia tidak tahu dimana keberadaan Andin. Ia merasa cemas mengingat kejadian beberapat saat yang lalu yang tentunya sakit menyakitkan untuk gadis itu. Aldebaran berharap, Andin mampu berdiri lebih kuat dari bayangannya.

/TOK TOK TOK!/

Suara ketukan pintu ruangannya membuat Aldebaran sadar. Pria itu menyahut dan mempersilahkan seseorang itu untuk masuk. Seseorang itu adalah Tommy, sang asisten pribadi.

"Selamat sore, Pak. Maaf mengganggu waktu bapak." Tutur Tommy.

"Ada apa, Tom?" Tanya Aldebaran, datar, dengan pandangan yang lurus ke arah monitor laptop di depannya.

"Ada orang yang ingin bertemu bapak." Beritahu Tommy. Aldebaran menatap sang asisten, tampak memikirkan sesuatu dalam beberapa saat.

"Saya sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa." Jawab Aldebaran.

"Tapi dia tetap memaksa ingin bertemu bapak." Timpal Tommy membuat Aldebaran menghela nafasnya, berat.

"Mas..."

Sepersekian detik saat Aldebaran ingin membantah sahutan Tommy, suara lembut seseorang yang memanggil membuat Aldebaran tertegun. Dari balik pintu, terlihat Andin muncul dengan senyuman tipis. Dengan rasa setengah tak percaya, Aldebaran berdiri dari tempatnya, memandang gadis itu tanpa berkedip. Separuh kegelisahannya seketika sirna saat melihat wanita pujaannya itu tampak baik-baik saja, meski dengan mata sembab yang masih nyata diindera.

Mendapati kondisi itu, Tommy pun mengerti dan memilih segera meninggalkan ruangan tersebut. Andin berjalan menghampiri Aldebaran yang menatapnya dengan rasa haru. Tatkala keduanya telah berdiri saling berhadapan, senyuman manis saling terlempar satu sama lain.

"Maaf sudah membuat kamu cemas." Tutur Andin, terdengar lirih. Aldebaran mengangguk, lalu menyentuh wajah gadis itu dengan lembut.

"Are you okay?" Tanya Aldebaran membuat Andin meresponnya dengan sebuah gelengan kepala.

"Aku sudah banyak menangis." Jawab Andin dengan mata berkaca-kaca. Aldebaran mengangguk mengerti, lantas segera membawa Andin ke dalam pelukannya.

Perasaan bersalah pada diri Aldebaran kembali muncul saat samar-samar ia mendengar isakan gadis itu pada pundaknya. Ia sudah menghapus senyuman indah di bibir gadis itu yang berubah menjadi sebuah tangisan. Raut keceriaan yang biasa terlihat, seketika berganti menjadi rona kesedihan gara-gara Aldebaran menghadirkan lelaki itu ke hadapan Andin. Aldebaran tak henti-hentinya merutuki dirinya sendiri.

"Maaf, sudah membuatmu menangis." Ucap Aldebaran seraya terus mengusap rambut belakang hingga punggung Andin yang masih nyaman dalam pelukannya.

"Maafkan saya..."

"Bukan salah kamu, Mas. Aku saja yang terlalu lemah." Sahut Andin, lalu melepaskan pelukannya, kembali memandang wajah pria di depan matanya.

"Seharusnya aku bisa menahan emosiku, dan menunjukkan bahwa aku baik-baik saja tanpanya. Aku yang salah." Timpal Andin, diakhiri dengan senyuman manis yang sedikit mengembang. Ia menatap lekat wajah Aldebaran, kemudian sedikit menyentuhnya tepat di sudut bibir pria itu yang masih sedikit mengeluarkan darah.

"Kenapa?" Andin bertanya, lirih.

"Nggak apa-apa." Jawab Aldebaran, kemudian mengajak Andin untuk duduk pada sofa di ruang kerjanya tersebut.

Andin membuka sebuah kotak P3K yang telah diambil oleh Aldebaran pada sebuah laci kecil di meja kerjanya, sesuai permintaan Andin. Aldebaran memperhatikan Andin yang dengan telaten meneteskan obat merah pada sebuah selembar kapas untuk mengobati luka di wajahnya.

"Maaf ya." Andin permisi mengusapkan obat merah itu pada sudut bibir Aldebaran yang memar dan sedikit terluka. Pria itu hanya memandangi Andin dalam diamnya. Ia tahu bahwa luka di wajahnya tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit atas luka yang sedang ditanggung oleh perempuan itu.

"Sakit nggak?" Tanya Andin.

"Sedikit." Jawab Aldebaran, tak mengalihkan pandangannya dari Andin. Menyadari akan hal itu, Andin tertawa kecil sambil tetap fokus pada aktivitasnya mengobati luka pria itu.

"Kenapa berantem sama Daniel?" Tanya Andin, membuat Aldebaran menghela nafasnya mengingat kejadian tadi.

"Hanya sedikit salah paham." Jawab Aldebaran.

"Gara-gara aku, ya?" Andin bertanya membuat Aldebaran menatapnya teduh.

"Dia sangat peduli sama kamu, sampai tidak mau kamu tersakiti. Sedangkan saya, malah mengundang sumber luka itu datang ke hadapan kamu." Ucap Aldebaran masih dengan rasa bersalahnya. Andin menatap pria itu dengan tatapan lembut.

"Daniel seperti itu karena dia sahabatku sejak lama, Mas. Sedangkan kamu sebelumnya kan tidak tahu siapa laki-laki itu. Jangan merasa bersalah, ya." Sahut Andin.

"Tapi sikapnya yang memukul kamu seenaknya seperti ini sudah keterlaluan. Aku akan bicara dengannya nanti." Andin terlihat sedikit geram.

Aldebaran tiba-tiba teringatsesuatu. Ia masih penasaran dengan Ferdinand yang sejak pertama kali bertemu,sudah membuat Aldebaran merasa familiar. Hal yang sama juga ia rasakan ketikadulu pertama kali berjumpa dengan Andin. Dua orang yang ternyata memilikiikatan darah itu seperti menyimpan memori tersendiri bagi Aldebaran. Jangan-jangandua orang itu benar-benar pernah hadir di dunia masa lalunya?

__________Bersambung________

Continue Reading

You'll Also Like

616K 61.2K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
464K 4.9K 85
โ€ขBerisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre โ€ขwoozi Harem โ€ขmostly soonhoon โ€ขopen request High Rank ๐Ÿ…: โ€ข1#hoshiseventeen_8/7/2...
78.7K 5.1K 68
Why did you choose him? "Theres no answer for choosing him, choosing someone shouldn't have a reason." - Aveline. ------------ Hi, guys! Aku kepikir...
102K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...