Bloody Mary - Haikyuu [ END ]...

By lailaalfy13

97.4K 17.3K 6.1K

Sisi gelap sebuah akademi Haikyuu, atau sekolah menengah atas yang selalu menutup kasus kematian murid-muridn... More

PROLOG
CERMIN
NAMA BAIK
SALAH
MEREKA YANG SALING MEMBUNUH
MATA BATIN
TOILET LANTAI DUA
IWAIZUMI, BANGUNLAH...
SSS
SHINSUKE, DAN KAKEK TUA
ASTRAL PROJECTION
UPAYA UNTUK PULANG
SIAPA MARY?
SPOILER
MENYUSUN RENCANA
PINTU LANTAI EMPAT
RUANG KESENIAN
MANEKIN
PENGKHIANAT
NINA BOBO
MEMBERONTAK
AMANAH
MENUJU AKHIR
TAK INGIN USAI
TENTANG SAKUSA
TRAGEDI
KONTRAK
HIDUP KEMBALI
BRAINWASH
PERPUSTAKAAN
MANUSIA LICIK
USHIJIMA, DIKAMBINGHITAMKAN
SUGAWARA
BALAS DENDAM
KENMA MENGETAHUINYA
SUNRISE
EPILOG

OVERTHINKING

2.3K 479 175
By lailaalfy13

Chapter 11 -  Overthinking

"Sekarang tinggal engkau sendirian. Suna Rintaro."

*****

Shinsuke sedikit tenang selama berjalan bersama dengan Sakusa. Maksudnya, ia tidak merasakan ancaman apapun yang kiranya akan dilakukan oleh Sakusa kepadanya.

Tapi, Shinsuke tahu- kalau sedaritadi Sakusa melirik kearah belakang Shinsuke selama beberapa kali.

Usai mengetahi kalau dirinya memiliki Khodam penjaga, Shinsuke tidak heran kalau Sakusa terus-menerus meliriknya.

"Omi, apa manfaatnya Lo lakukan ini semua?" Shinsuke sudah tidak tahan membungkam mulutnya. Sesaat sebelum ia memasuki ruangan, ia memutuskan untuk langsung bertanya kepada Sakusa.

"Oh, gue nggak percaya kalau ternyata Lo berani tanya secara langsung." Sakusa menurunkan masker yang ia kenakan. Ia tampak menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menahan diri untuk mengatakan alasan dirinya berbuat demikian.

"Kalau nggak mau jawab gak apa-apa. Kita semua bakal maksa Lo supaya mau bicara nantinya." Kata Shinsuke, lalu membuka pintu kamarnya itu.

"Coba aja. Itu juga kalau kalian masih bisa kembali hidup-hidup." Perkataan Sakusa terasa sedikit ambigu. Ia segera berlalu dari sana, sembari melambai-lambai kecil kearah Shinsuke.

Ucapan Sakusa barusan seperti tanda, kalau dirinya mencetuskan peluru peperangan. Jelas saja hal itu membuat Shinsuke khawatir, karena Oikawa, Iwaizumi, dan juga Semi memang belum kembali sedaritadi.

"Kakek?" Shinsuke terkejut. Tepat setelah ia menutup pintu kamarnya dan berbalik, ternyata ada sosok kakek tua yang duduk di ranjang tempat tidurnya.

"Berhati-hatilah, Shin... Ini bukan duniamu." Gumam kakek itu dengan sedikit terbata-bata. Kerutan yang tercipta karena senyuman itu muncul, membuat Shinsuke merasa tetap tenang bersamanya.

"Tapi, ini kamar saya, kek." Jawab Shinsuke lembut. Ia duduk di lantai, tepat menghadap kakek itu.

"Ruangan yang kamu masuki ini cuma ilusi yang dibuat temanmu dan makhluk-makhluk jahat itu, Le. Sudah saya peringati untuk tidak mengganggumu, tapi mereka malah melibatkanmu semakin jauh." Kakek itu mendengus kasar, nada bicaranya memiliki aksen Jawa yang begitu kental. Menurut Shinsuke, kakek ini mungkin adalah leluhurnya yang menjaga setiap keturunannya hingga di zaman modern seperti sekarang.

"Kakek, apa ada cara untuk keluar dari sini?"  Tanya Shinsuke.

Sang kakek menatapnya sejenak, kemudian mengangguk kecil. Sangat mudah baginya untuk mengajak Shinsuke kembali ke dunianya, tapi firasatnya mengatakan- kalau akan terjadi kekacauan sebentar lagi.

"Akan aman jika kamu tetap tinggal disini sementara." Jawab kakek itu kemudian. Kakek tahu, kalau Shinsuke diberitahu- ia pasti memilih untuk menolong teman-temannya.

"Kakek, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Shinsuke tertawa kecil, sementara sang kakek tidak bisa menahan raut pasrahnya itu. Ia tahu kalau cucu-nya bukanlah orang yang mudah ditipu.

"Mereka adalah temanku yang berharga, kek. Jadi, maukah kamu membantu mereka?" Pinta Shinsuke dengan sedikit memelas, membuat sang kakek tak kuasa untuk menolak permintaan cucu-nya itu.

"Baiklah... Tapi berjanjilah, untuk tidak gegabah." Sang kakek berdiri, dan ketika ia membuka telapak tangannya- muncul sebuah keris yang benar-benar bersinar. Mata Shinsuke sendiri rasanya agak kesilauan.

"Gunakan ini untuk menjaga dirimu." Kakek memberikan keris miliknya kepada Shinsuke.

"Bagaimana denganmu, kek?" Tanya Sinsuke setelah menerima keris pemberian kakeknya. Bobot keris itu mulanya terasa begitu berat, tapi mendadak ringat seperti memegang gumpalan kapas.

"Jangan khawatirkan aku. Bertarung dengan tangan kosong tidaklah sulit." Katanya yang langsung diangguki oleh Shinsuke.

*****

Suna melangkah cepat menuruni tangga gedung asrama. Tak seperti kebanyakan murid yang sudah berbaris di lapangan gedung sekolah, Suna sedikit terlambat karena sempat merasa bimbang.

Beberapa jam telah berlalu, tapi Semi, Oikawa, dan juga Iwaizumi belum kunjung sadar dari penjelajahan mereka. Shinsuke juga tidak bisa dihubungi sejak pukul lima pagi tadi.

"Kak Eita belum balik juga?" Bisik Shirabu, begitu menyadari keberadaan Suna yang sudah berbaris tepat disampingnya.

"Belum." Jawab Suna singkat. Ia memutuskan untuk mengunci pintu kamar Oikawa, dan membiarkan mereka bertiga disana tanpa penjagaan.

Mau bagaimana lagi, Suna tidak bisa menghindari siswa yang berpatroli di asrama pagi itu. Suna juga kerepotan karena harus menulis surat izin untuk ketiga kakak kelasnya.

"Memangnya mereka kemana?" Suara Kenma membuat Shirabu dan Suna bergidik kecil. Untunglah mereka tidak membuat keributan berlebih selama apel berlangsung.

Suna belum menjawab, ia memastikan dimana keberadaan si kembar dan juga Sakusa. Dengan sedikit menjijitkan kaki, Suna berhasil mengetahui kalau si kembar Miya berada di barisan depan. Sementara Sakusa ada di baris kelas dua A.

"Kozume, apa Lo bisa gue percaya?" Suna tampak sedikit berkaca-kaca. Karena entah mengapa, ia sekarang merasa takut karena hanya dirinya yang tersisa disana sendirian.

Melihat raut wajah Suna yang berantakan, Kenma segera mengangguk. Ia ingin mendengarkan apa yang disampaikan oleh Suna.

"Kalau begitu, kita ngobrol sebentar selesai apel." Usul Kenma, yang langsung disetujui oleh Shirabu dan juga Suna.

Sekitar tiga puluh menit, apel berjalan dengan lancar. Cuaca yang cerah seolah menyambut hari pertama kegiatan akademi itu.

Sedaritadi, perasaan Suna sangat tidak nyaman. Ia mengangkat kepalanya yang sedaritadi memang ia tundukkan, sampai kedua matanya bertemu dengan sepasang iris mata milik Sakusa.

Disana, Sakusa menatapnya dalam- lalu menyeringai sampai membuat Suna menundukkan kepalanya kembali.

Sejujurnya, itu hanyalah seringaian biasa. Suna berani saja meradu kekuatan dengan Sakusa. Suna bisa saja memukulnya.

Tapi pertarungan mereka tidak akan pernah seimbang, karena Suna tahu- kalau Sakusa pastinya mendapat bantuan dari makhluk-makhluk tak kasat mata tersebut.

"Apel selesai." Demikian seutas pengumuman itu dikumandangkan, bersamaan dengan para murid yang langsung berhamburan memasuki gedung sekolah.

Dalam kurun waktu sebulan, gedung yang hampir hangus itu sudah diperbaiki dengan sempurna- dan bisa dioperasikan seperti semula.

"Suna?" Panggil Kenma, sebab Suna masih mematung disana dengan kedua tangan yang gemetar.

"Kozume, tolong gue." Suna mengangkat kepalanya. Ia mati-matian memaksa dirinya untuk tidak kalah dengan rasa takut didalam dirinya sendiri.

Tanpa membuang-buang waktu, Suna segera menyingkat segala kejadian yang ia alami kepada Kenma. Shirabu ikut mendengarkan, karena ia khawatir dengan keadaan Semi.

Suna menceritakan semuanya. Mulai dari Sakusa yang berpura-pura kerasukan, sampai insiden Iwaizumi yang tidak sadarkan diri di toilet.

Juga, tentang Osamu yang mengalami pendarahan hebat karena Suna meneteskan air jeruk nipis ke darah yang ada di cermin kamar mandi.

Sampai keputusan mereka untuk menjemput Iwaizumi di dunia lain.

"Itu artinya kalian masuk jebakan mereka." Kenma memayungi dahi-nya dengan telapak tangan. Matahari yang kian naik membuatnya merasa silau.

"Dijebak?" Shirabu terbelalak mendengar simpulan dari Kenma. Biar bagaimanapun, ia menuntut penjelasan yang masuk akal saat itu juga.

"Pas di toilet, kalau Atsumu dan Sakusa mau kerja sama- mereka bisa aja nyergap Kak Oikawa sama Kak Shinsuke disana, lalu langsung membunuh mereka berdua- sekaligus kak Iwaizumi." Kenma mulai menjelaskan apa yang ada didalam pikirannya.

Shirabu mengerutkan dahi, lalu bertanya... "Kenapa mereka gak lakuin itu?"

"Karena cctv di setiap gedung udah beroperasi kayak semula." Kenma menunjuk beberapa cctv pada lorong gedung sekolah lantai dasar. Posisinya mirip seperti cctv yang ada di gedung asrama.

"... Karena Atsumu muncul dari cermin di pertengahan tangga lantai satu menuju lantai dua, itu artinya sosok dia bakal tertangkap oleh kamera cctv yang ada di lorong lantai dua." Kenma tersenyum puas. Ia senang karena bisa memecahkan teka-teki yang sebelumnya tidak dimengerti oleh kedua temannya.

"Oh gitu!" Suna mengangguk setuju.

"Eh, kasih tau gue kenapaaa-!" Sambar Shirabu yang masih belum sepenuhnya mengerti.

"Ya intinya Atsumu nggak langsung bunuh Kak Oikawa, Kak Semi, sama Kak Iwa karena dia nggak bisa pindah langsung kedalam toilet. Misalnya ada penemuan mayat di toilet, cctv yang paling deket toilet pasti bakal diperiksa- dan Atsumu bakal langsung ketahuan." Jelas Suna, membuat Shirabu langsung ber-oh ria karena sudah paham seratus persen situasinya.

"Membunuh mereka di dunia yang lain itu bakal menguntungkan, karena Sakusa dan kembar Miya pastinya lebih leluasa bergerak disana." Tambah Kenma. Itu karena Suna, Shinsuke, Oikawa, dan juga Semi sudah mengetahui identitas Sakusa dan Kembar Miya. Mereka berempat pastinya akan selalu berhati-hati saat beraktivitas di setiap asrama, membuat Sakusa dan juga Kembar Miya kesulitan menyingkirkan mereka.

Satu-satunya cara hanyalah memancing mereka semua masuk kedalam dunia lain- dan membunuhnya disana.

Selesai mendengar penjelasan Kenma, Suna menelan ludah dengan kasar. Tenggorokannya terasa kering, dan sedikit sakit.

"Gue sama Shirabu ada kelas matematika sampe istirahat pertama. Lo ada mapel apa hari ini?" Tanya Kenma, begitu ketiganya sampai di lantai tiga gedung sekolah.

"Gue..." Suna berpikir sejenak. Bisa-bisanya ia lupa dengan mata pelajaran di hari pertama.

"Huft... Huft... Rin! Gue manggil elo daritadi." Osamu muncul dari tangga, dengan napas yang terengah-engah. "... Kita jam pertama di perpus, Rin." Kata Osamu, lalu menepuk dahinya.

"Oiya..." Suna menggaruk tempurung kelapanya, juga terkekeh menertawakan kebodohannya sendiri. Lebih tepatnya, perhatian Suna masih terpaku pada ketiga kakak kelasnya yang masih belum kembali.

"Fix ya, nanti beli es serut di luar! Gaboleh telat!" Shirabu memutuskan hal itu sendiri, tapi ia berbicara seolah sedaritadi sedang membicarakan tentang jam istirahat.

"Iya... Bye..." Suna pamit, lalu mengikuti Osamu yang sudah berjalan lebih dulu.

*****

"Rin... Lo lagi kurang sehat, ya?" Tanya Osamu, ketika mendapati Suna merebahkan kepalanya diatas meja. Beberapa siswa lainnya sudah keluar, dan sisanya masih menetap didalam ruangan perpustakaan.

Suna belum menjawab, dan masih fokus melihat wajah Osamu. Biar bagaimanapun, Suna enggan untuk percaya kalau Osamu juga terlibat. Dia adalah sahabat yang sangat Suna sayangi.

"Jangan khawatirin gue, Sam..." Sahut Suna. "... Lo sendiri pucet gitu." Kata Suna lagi, lalu menyentuh salah satu pipi milik Osamu.

Dingin. Suna tidak bisa merasakan panas tubuh milik Osamu. Biasanya, Suna sangat senang mencubit kedua pipi milik Osamu yang sangat berisi itu. Tapi sekarang, ia takut untuk menyentuh Osamu.

"Maaf ya, kalau gue bikin elo khawatir." Osamu ikut merebahkan kepalanya di atas meja, sampai pandangannya dan Suna bertemu.

"Humphh-!" Suna mendengus, lalu mengangkat kepalanya dari sana. "... Jelas lah, Lo itu berharga banget bagi gue. Gue gabakal rela kalo elo sampe kenapa-napa, dasar Osamu!" Raut wajah Suna berubah menjadi sendu. Ia sedikit terbawa suasana, sampai orang-orang melihat kearahnya.

Ya, Suna segera membungkuk meminta maaf karena sudah membuat bising didalam perpustakaan.

Tapi, apa yang dikatakan oleh Suna tidaklah bohong. Osamu sendiri ingat, bagaimana marahnya Suna kepada Atsumu- ketika Atsumu menuduh Osamu sebagai salah satu tersangka ketika mayat Nishinoya ditemukan.

Waktu itu, Suna memarahi Atsumu habis-habisan. "Kakak macem apa lo, yang malah nuduh adek sendiri! Otak Lo dipake dong!" Kata Suna dihari itu.

Jika mengingatnya, Osamu jadi merasa tidak enak kepada Suna. Karena yang dilakukan Atsumu saat itu hanyalah sandiwara kecil, untuk menutupi ulahnya sendiri.

Lagipula, tidak ada bukti kuat kalau Osamu yang melakukannya.

"Rin..." Panggil Osamu.

"Hmm?" Suna menoleh, usai memasukkan semua buku-bukunya kedalam tas. "Kenapa, Sam?" Tanya Suna.

"Kalau suatu saat gue nggak disisi Lo lagi. Kalau gue mati, apa Lo bakal rela?" Pertanyaan Osamu membuat suasana hati Suna semakin berantakan.

"Dengerin gue ya, Miya Osamu..." Suna sudah habis kesabaran, dan langsung menepuk kedua pipi milik Osamu. Ia ingin mengunci pandangan Osamu kepadanya.

Suna tidak ingin Osamu melihat yang lain, selain dirinya.

"Kita sahabatan udah lama banget. Masa iya Lo harus nanyain hal yang pastinya elo sendiri udah tau jawabannya." Suna cemberut sesaat, kemudian tersenyum tipis. Sangat tipis.

Osamu mengedipkan matanya berkali-kali. Sudah ada butiran air mata yang membendung disana.

"Seandainya hal buruk itu terjadi, gue gak bakal rela dalam waktu dekat. Tapi, memangnya gue punya kekuatan buat ngehidupin Lo lagi? Gue juga harus sadar kalau gue ini cuma manusia biasa yang punya kapasitas kemampuan." Bisa terdengar jelas oleh Osamu, kalau suara milik Suna bergetar- seolah ingin menangis disaat itu juga.

"... gue nggak punya cukup keberanian buat ngelawan kehendak Tuhan, Sam. Mungkin, gue cuma bisa berharap kalau Lo tenang di alam sana." Suna ingin memeluk Osamu disaat itu juga, tapi sayangnya terlalu banyak pasang mata yang akan melihatnya nanti.

Suna tidak ingin ada gossip buruk yang menyebar tentang dirinya. Yah, meskipun dia sendiri adalah tukang gossip.

"Rin, gue belom mati, Loh." Senyum Osamu mengembang, tapi air matanya mengalir begitu deras hingga kedua pipinya basah.

"Ya, Lo... Lo aja nanya-nya serius banget, bego! Gue kan kebawa suasana Sam!" Sekarang Suna mengguncang-guncang pundak Osamu. Suna baru sadar kalau ia berlebihan dalam mengungkapkan isi hatinya, dan hal itu membuat ia merasa sedikit malu.

"Rin... Makasih udah jadi temen terbaik gue." Osamu menepuk kedua pipi Suna dengan kedua tangannya. "... Lo harus banyak makan kayaknya." Kata Osamu kemudian. Ia merasa kalau Suna tak berisi, bahkan sangat kurus.

"Diem, gue bukan kayak Lo yang tukang makan." Sanggah Suna dengan bibir yang sedikit maju. Ya, karena Osamu menekan kedua pipinya secara bersamaan.

Wajah Suna jadi tampak seperti ikan yang sedang menggelepuk.

Tapi kemudian, Suna jadi berpikir. Mengapa Osamu tiba-tiba bertanya demikian?

.
.
.
.
.
To be continued

Buat yang kemarin bilang, gak mungkin semudah itu. Selamat, kalian benar.
wkwkwk... 🤙🏻

Di chapter selanjutnya kayaknya aku bakal nunjukin sudut pandanganya Sakusa sama si kembar Miya... 💀💀

So... Jangan lupa vote, komen, sama share.

Jangan lupa follow juga, dan baca cerita lainnya.

See you in the next chapter-! 👋🏻

Continue Reading

You'll Also Like

39.3K 7.2K 31
Semi Eita, Oikawa Tooru, Kita Shinsuke, dan Miya Atsumu. Mereka berempat harus kembali menginjakkan kaki disebuah bangunan tua terbengkalai. Disanala...
233K 34.9K 63
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
202K 12K 42
[F I R S T P R O J E C T] Finished! Terima kasih sudah bertamu ke buku ini. Disclaimer : Boboiboy © Animonsta Studio a story written © 2020 by Zevuar
1K 98 7
[Completed] Akhir-akhir ini, sebuah organisasi mafia yang bernama 'Hell devil' populer di kalangan masyarakat. Pasalnya, mereka berhasil menghabisi s...