Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Epilog

25.8K 1.8K 94
By storiesbyyola

Pernah dengar tentang butterfly effect? Istilah itu awalnya digunakan di bidang ilmiah dan diciptakan oleh seorang meteorologi bernama Edward N Lorenz. Dia menggunakan metafora kepak sayap kupu-kupu di Brazil yang dapat mengakibatkan sebuah tornado di Texas dan mengajukan gagasan bahwa perubahan kecil dapat menimbulkan konsekuensi besar. Dari metafora tersebut, tercipta ilustrasi ideal tentang hal kecil yang bertentangan dengan hal besar tetapi menimbulkan dampak. Istilah butterfly effect digunakan untuk menjelaskan aksi kecil dapat memulai rangkaian peristiwa yang menyebabkan efek lebih besar dan tidak terduga.

Istilah itu mungkin cocok untuk menggambarkan hubunganku dengan Aksa. Seperti istilah butterfly effect, keputusanku untuk mengikuti Lisa liburan ke Malang memulai rangkaian peristiwa yang menyebabkan efek lebih besar dan berhasil memporak-porandakan hidupku. Tidak ada yang menyangka bahwa rencana liburan di Malang kala itu membawaku dan Aksa menuju sesuatu yang tidak pernah kami duga sebelumnya karena kami merasakan kecocokan yang sulit untuk dirasakan dengan orang lain. Walaupun aku sempat berpisah cukup lama dengan Aksa, hal-hal kecil yang dulu pernah kami lalui bersama selama satu minggu itu, membentuk hubungan yang kokoh seperti sekarang.

"Sebentar dulu." Aksa menarik tanganku ketika hanya dua langkah tersisa hingga dia masuk ke dalam rumahku. Aku membalikkan tubuh seraya memandangnya bingung. "Kamu yakin? Kamu tahu kan, apa artinya mengenalkanku ke keluarga kamu sebagai pacar? Itu artinya kamu baru aja membawa hubungan kita satu tingkat lebih serius daripada sebelumnya."

"Aku yakin," sahutku tanpa ragu. "Kamu nggak yakin? Apa mau dibatalin aja?"

"Bukannya aku nggak yakin. Ada kemungkinan orang tuamu nanti akan tanya sejauh mana hubungan kita dan keseriusan kita dalam menjalani hubungan ini." Aksa mengelus lenganku yang terbuka karena hari ini memakai sleeveless blouse. "Aku takutnya kamu merasa ini terlalu buru-buru dan kamu jadi nggak nyaman."

Aku menaikkan alis. "Kenapa bisa mikir gitu?"

Aksa menggaruk kepalanya. "Karena baru tiga bulan sejak kita balikan."

"Bener juga. Aku sampai lupa kalau kita baru balikan. Kenapa rasanya kayak udah lama ya, sama kamu?" Aku berbicara dengan nada polos, berhasil membuat Aksa menggeram karena gemas. "Tapi, aku nggak merasa ini terburu-buru, kok. Apa jangan-jangan kamu yang belum siap?"

"Aku siap kapan pun orang tuamu mengundang karena aku serius menjalani hubungan ini. Bukan buat main-main. Dan aku nggak akan ragu buat nunjukin kesiapan dan keseriusanku di depan orang tuamu nanti kalau mereka nanya," kata Aksa tegas.

Melihat ekspresinya yang begitu serius, aku jadi berniat untuk menggodanya. "Oh, apa yang bikin kamu yakin orang tuaku bakal nanya itu? Bisa jadi mereka undang kamu karena mau sidang kamu setelah bikin anaknya ini galau dan nggak pulang ke rumah berminggu-minggu setelah kamu mutusin aku.."

Air muka Aksa seketika berubah. Matanya mengerjap dengan bibir yang sedikit terbuka. "Kamu sampai nggak pulang ke rumah?" tanyanya, kaget sekaligus panik. "Sebentar. Orang tuamu tahu kita sempat berantem dan putus?"

Aku bersedekap dan menahan diri untuk tidak tertawa. "Nggak mungkin nggak tahu, kan? Kamu lupa kalau aku punya kembaran yang nggak bisa jaga rahasia? Lupa kamu sama sifat sahabatmu sejak kuliah itu?"

Dalam embusan napasnya, Aksa mengucapkan kata kasar dengan lirih.

"Tapi, nggak apa-apa. Tenang aja. Aku ini anak kesayangannya Papa, jadi kalau aku mau sesuatu pasti sebisa mungkin Papa kabulin itu." Aku memeluk lengan Aksa sambil berusaha menenangkannya, tapi tampaknya cara itu tidak berhasil karena matanya justru semakin melotot. "Relax, Abang. Kamu nggak akan diomelin Papa karena kemarin putusin aku. Nanti kalau Papa nanya macem-macem, aku yang bakal bantu kamu buat jawab, oke? Aku nanti bisa bilang kalau aku udah keburu cinta mati sama kamu makanya tetep mau balikan sama kamu walaupun kamu pernah bikin aku nangis dan galau dua minggu lebih."

Aksa terperangah ketika aku mengedipkan mata. Dia menggeleng lalu menutup wajahnya dengan sebelah tangan. "Sebagus apapun first impression-ku hari ini kayaknya nggak akan berpengaruh apa-apa karena Papa kamu udah keburu tahu apa yang aku lakuin ke kamu."

"Abang." Aku tak kuat untuk menahan tawa lebih lama. Aksa menoleh dengan alis yang tertaut. "I'm just messing with you. Aku cuma bercanda. Kamu nggak akan diomelin sama Papa."

"Termasuk soal orang tuamu yang tahu masalah kita?" tanya Aksa.

Mendadak, tawaku lenyap. Aku menggigit bibir bawahku. "Kalau yang itu beneran," cicitku membuat Aksa ikut meringis. "Itu Lisa yang cerita karena orang tuaku khawatir aku nggak pulang berminggu-minggu. Tapi, tenang aja. Orang tuaku nggak galak. Justru Papa yang dorong aku buat perbaiki hubunganku sama kamu. Mama juga."

"Aku jadi nggak tahu omonganmu ini bisa dipercaya atau nggak," cibir Aksa skeptis.

Kontan, aku mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku bersamaan. "Serius. Kali ini, aku nggak bohong." Aku berusaha meyakinkannya. Karena Aksa masih bergeming di teras, akhirnya aku memutuskan untuk menariknya masuk ke rumah. "Kamu nggak perlu takut. Aku bakal back up kamu kalau ada apa-apa."

"Janjimu nggak bikin aku tambah tenang, Lun," keluh Aksa.

"Tadi aja percaya diri banget," ledekku. "Lagian ya, Sa, Adam yang berulang kali putus nyambung sama Lisa dan bikin Lisa nangis-nangis di depan Mama aja tetep diterima jadi menantu. Kamu juga pasti begitu."

"Serius, Lun, itu nggak membantu." Aksa semakin gugup ketika aku memanggil orang tuaku begitu menginjakkan kaki di ruang tamu. "Orang tuamu pasti udah keburu punya impresi yang jelek tentangku. Gimana kalau—"

"Halo. Akhirnya yang ditunggu datang juga. Aksa, ya, namanya? Teman kuliahnya Lisa dan Adam waktu di UI?" Ucapan Aksa terhenti ketika Mama menyambutnya dengan riang bersama Papa. Aksa mengangguk dengan senyum lebar sebagai balasan kemudian memperkenalkan diri pada orang tuaku.

"Makasih banyak atas undangannya, Tante, Om," ujar Aksa sopan. Dari gesturnya, aku tidak melihat adanya kegugupan di sana. Dia berbincang bersama Mama dengan luwes sambil berjalan ke meja makan. "Oh, aku juga bawa cheese cake karena Luna bilang kalau Tante dan Om suka kue ini."

"Makasih ya, Aksa," kata Mama sambil mengambil plastik kue yang diberikan Aksa. Begitu sampai ruang makan, aku melihat Aksa menyapa Lisa dan Adam singkat. "Ayo duduk. Tante udah masak banyak karena Aksa mau datang hari ini. Semoga kamu suka sama makanannya."

"Aku makannya nggak milih-milih kok, Tan. Pasti bisa aku makan semuanya," tanggap Aksa.

Tidak membutuhkan waktu lama hingga semua orang duduk di kursi masing-masing. Aku mengambil kursi di samping Aksa dan ketika makan siang sudah dimulai, aku menyendokkan nasi ke piringnya. Dia menerima piring itu dengan senyuman lebar dan ucapan terima kasih.

"Tante dengar banyak cerita tentang Aksa dari Lisa dan Luna," ujar Mama di tengah makan siang. "Tante jadi penasaran karena kamu bikin Luna galau sampai nggak mau pulang ke rumah."

Kontan, Aksa tersedak makanannya. Mataku membelalak lalu segera mengangsurkan segelas air putih yang dia terima dengan cepat. Aksa menegaknya hingga habis kemudian mengelus tengkuknya, tampak gugup. Sedangkan Lisa dan Adam membuang wajah ketika tawanya nyaris tersembur keluar.

"Waktu itu emang sempat ada masalah, Tan," timpal Aksa. Dia menggaruk keningnya. "Tapi, semua masalahnya udah dibicarakan dan semoga nggak ada yang mengganjal lagi. Maaf karena secara nggak langsung, saya buat Om dan Tante mengkhawatirkan Luna."

"Namanya juga masih muda. Pasti pernah melakukan kesalahan," kata Papa dengan bijak. "Yang penting itu jangan kabur kalau ada masalah dan mau menurunkan ego supaya masalahnya bisa diselesaikan dengan baik. Dari masalah itu, kalian juga bisa saling belajar dan lebih mengenal karakter masing-masing. Itu penting dalam berkomitmen."

Aksa mengangguk. Kali ini, air mukanya terlihat lebih tenang. "Betul, Om. Saya juga udah menjelaskan masalah itu dan minta maaf karena kesalahan saya."

Aku memegang lengan Aksa karena tidak tega dia menanggung semua kesalahan di pundaknya. "Bukan kamu doang. Aku juga salah waktu itu."

"Masalah yang udah lewat dan selesai lebih baik jangan dibahas lagi." Papa menyarankan. "Yang terpenting, jangan pernah buat keputusan kalau emosi lagi nggak stabil. Besar kemungkinan kalian akan menyesali keputusan itu kalau udah kembali tenang."

Secara bersamaan, aku dan Aksa menyahut.

"Iya, Om."

"Iya, Pa."

"Masalah itu pasti ada dalam hubungan. Nggak selamanya kalian senang-senang terus, tapi bukan berarti setiap masalah itu nggak ada jalan keluarnya. Nanti kalau kalian menikah, bukan nggak mungkin kalian bertengkar walaupun itu karena hal-hal kecil," tukas Papa. Aku terpana begitu mendengar persetujuan yang tersirat itu. Di bawah meja, pegangan Aksa pada tanganku mengerat. Dia sepertinya juga sedang berusaha untuk memastikan apa yang dia dengar itu nyata. "Bicarakan baik-baik kalau ada masalah. Cuma itu pesan Papa."

Mama mengangguk setuju lalu menaruh sepotong ayam goreng di piring Aksa. "Aksa pokoknya nggak boleh sungkan sama keluarga ini, ya."

Aksa tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat kemudian berkata dengan tulus. "Saya pasti nggak akan lupa dengan pesan yang Om berikan. Makasih juga Om, Tante."

Adam melempar senyum iseng di seberang meja. Dia menatapku dan Aksa bergantian. "Is this a right time to say welcome to the family?"

"Welcome!" sahut Lisa ringan kemudian tertawa bersama Adam ketika aku mengkerut di kursiku karena malu. Begitu aku menoleh ke samping, Aksa juga terlihat salah tingkah.

Aksa menoleh padaku hingga manik mata kami bertemu. Aku bisa menangkap kebahagiaan terpancar di bola matanya. Dia menunduk untuk melihat jemari kami yang tertaut di bawah meja lalu melempar senyum padaku.

Di dalam hati, aku pun mengucapkan hal yang sama.

Welcome to the family, Aksa.

[THE END]


Notes:

Thank you buat temen-temen yang udah ikutin cerita Aksa x Luna sampai akhir. Walaupun agak berat hati, kita harus say good bye ke mereka :") 

Makasih karena terlepas dari berbagai kekurangan yang ada dalam cerita ini, kalian udah mau tungguin aku update, ikut seneng kesel marah sedih bareng couple luar biasa ini. Kayak yang sebelumnya aku bilang, cerita ini jadi cerita pertamaku setelah hiatus cukup lama dari dunia kepenulisan. Aku nggak pernah berharap banyak selama nulis L:TBE, tapi nggak nyangka kalau respons dari kalian luar biasa positif. Thank you so much! :))

Buat extra chapter, aku masih belum kepikiran mau masukin apa atau nulis apa, jadi mungkin aku nggak bisa janjiin banyak. Dari kalian sendiri, kalau misalnya nanti ada extra chapter, mau isinya tentang apa?

I guess it's time to finally say good bye to Aksa and Luna. 

Buat yang masih mau baca tulisanku, ayo pindah ke Long Overdue (cerita tentang Anye, kakaknya Aksa). Nanti Aksa juga beberapa kali bakal muncul di sana ;)

Bye, guys! And thanks a lot for your support! See you in the next story :)

Continue Reading

You'll Also Like

402K 40.2K 52
Tamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa he...
397K 44.3K 56
Why do people get married? Atau .... Why did she want to marry him? Maula bahkan harusnya ngerasa trauma kan? Dia udah dua kali loh menghadiri acara...
685K 66.2K 37
Pemenang Watty Awards 2019 kategori New Adult (Seri Pertama dari Coffee Series) "Dunia bukanlah sebuah permainan. Karena sekali kamu gagal, kamu tida...
Memorable By anakbungsu

General Fiction

605 88 12
Nadia, cewek penuh semangat dan kebahagiaan. Yang seperti tidak pernah memiliki lelah, menyukai ketua BEM paling kece dikampusnya, yakni Reno. Yang m...