Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

849K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 45: Make things right

13.4K 1.6K 73
By storiesbyyola

LUNA

Aku sudah berencana untuk mengajak Aksa berbicara di acara pernikahan Kevin. Dua hari terakhir, aku berusaha untuk menyusun kalimat yang akan kubicarakan dengannya dan aku harap, aku tidak mengacaukan usahaku itu ketika berhadap dengannya. Setengah jam telah berlalu sejak pemberkatan yang dilakukan di salah satu hotel ternama di Dago Pakar. Kevin dan istrinya sudah berfoto dengan groomsmen dan bridesmaid yang diarahkan oleh fotografer. Sekarang mereka sedang berfoto dan berbincang dengan tamu-tamu lain yang datang ke acara pemberkatan.

Mataku menyapu sekitar usai kembali dari toilet untuk melihat kondisi riasan wajahku dan mengumpulkan keberanianku yang sempat menciut begitu melihat Aksa mengiringi Kevin menuju altar. Aksa tidak ada di tempat ini. Berapa kali aku mencari kehadirannya, dia tidak ditemukan di mana-mana.

"Luna. Thank you udah datang jauh-jauh ke Bandung," ujar Kevin saat aku melangkah mendekatinya yang sedang mengobrol dengan Lisa, Adam, dan Haris. Aku memberikan senyuman kecil dengan mata yang masih berusaha mencari keberadaan Aksa. "Cari Aksa?"

Aku kontan menoleh dengan mata yang beberapa kali mengerjap. Detik kemudian, aku mengangguk. Tidak mempedulikan tatapan Lisa dan Adam yang menghujamku. Selama perjalanan ke Bandung tadi pagi, mereka terus memperingatiku bahwa Aksa akan ada di acara ini dan menyuruhku berjanji untuk tidak menangis di tengah acara.

"Dia izin balik ke kamar. Mau tidur sebentar sebelum resepsi," jawab Kevin sambil melihat jam tangannya. "Lumayan dia masih bisa tidur dua jam sebelum shoot video dan briefing sama orang WO buat acara resepsi jam enam."

"Aksa lagi nggak enak badan. Dari pagi ribut terus karena kepalanya pusing," sahut Haris. Mungkin dia menangkap kebingungan di wajahku. "Makanya sebelum pemberkatan, Kevin sengaja buka kamar buat Aksa supaya bisa istirahat sebentar."

Aku mengangguk pelan. "Oh."

Mungkin aku bisa mengajaknya berbicara nanti saat resepsi. Ketika makan malam dengan tema fine dining. Semoga saja Kevin menempatkanku dan Aksa di meja yang sama agar aku bisa lebih leluasa memulai interaksi dengannya.

Tiba-tiba, Kevin menyodorkanku sebuah kartu yang sekilas dapat kukenal sebagai access card. Dia semakin mengangsurkan kartu itu ketika aku hanya bergeming. Tidak bergerak sama sekali dan hanya memandang kartu itu dan dirinya bergantian.

"Ini access card kamar Aksa. Gue sengaja minta satu ke dia karena dia susah dibangunin," timpal Kevin. Entah kenapa sepertinya semua orang seperti dapat membaca pikiranku. Mereka seolah mengerti apa yang ada di benakku tanpa aku perlu menyuarakannya. "Lo bisa ngomong sama Aksa lebih privat di sana. Nggak ada yang ganggu. Dua jam cukup, kan?"

"Kalau buat ngobrol doang harusnya cukup, tapi nggak tahu kalau buat yang lain," goda Haris terang-terangan. Kemudian, dia mengaduh ketika Lisa memukul lengannya dengan kencang. "Ya ampun, Lis! Gue cuma bercanda!"

Tawaran Kevin sangat menggiurkan. Aku dan Aksa bisa berbicara lebih leluasa di kamar tanpa adanya gangguan. Dan itu yang sebenarnya aku butuhkan. Sambil menimbang-nimbang tawaran itu, aku melirik Lisa dan Adam dari ujung mata.

"Kelamaan mikir!" keluh Lisa. "Perlu gue anterin sampai depan kamar?"

"Nggak perlu!" tolakku cepat sambil menyambar access card yang ada di tangan Kevin. Aku melemparkan senyum pada Kevin lalu berkata, "Thank you, Vin. I owe you one."

Kevin hanya menggeleng dan mengibaskan tangannya, pertanda dia tidak keberatan sama sekali telah memberikan bantuan ini. Tanpa menunggu lebih lama, aku membalikkan tubuh dan berjalan menuju gedung hotel yang terpisah dengan kapel. Aku berderap cepat melewati lobi dan menekan tombol lift meski high heels tujuh senti yang kugunakan sedikit membuatku kesulitan.

Jantungku berdetak kencang saat lift membawaku ke lantai lima. Aku menepuk access card ke telapak tangan untuk mengurangi kegelisahan yang menyergap. Ketika lift berdenting, keringat dingin mengalir di pelipisku begitu kakiku melangkah menuju kamar yang Aksa gunakan. Setelah menemukan kamar dengan angka 510 di pintunya, aku berdiri cukup lama di sana.

Apa yang akan Aksa lakukan jika aku memintanya untuk berbicara sekarang? Apa dia akan mengusirku? Bagaimana jika nanti usahaku sia-sia? Bagaimana jika Aksa terlanjur sakit hati dan tidak bisa menerimaku kembali? Pertanyaan itu memenuhi pikiranku diikuti dengan pertanyaan panjang lainnya yang membuat kepalaku nyaris meledak kepenuhan. Sadar jika terlalu banyak berpikir tidak akan berguna di kondisiku saat ini, akhirnya aku memberanikan diri untuk menekan bel yang ada di sebelah pintu kamarnya.

Dari luar kamar, aku bisa mendengar bel tersebut berbunyi. Aku menunggu. Hingga bel itu berhenti berbunyi, tidak ada tanda-tanda pintu kamar itu akan terbuka. Telapak tanganku semakin basah ketika aku menekan bel untuk kedua kalinya. Kalau Aksa tidak juga membuka pintu ini, aku akan menggunakan access card yang diberikan oleh Kevin. Untungnya, kali ini, tidak lama setelah bel terdengar nyaring, pintu yang ada di depanku mengayun terbuka.

Aku nyaris kehilangan kemampuanku untuk bernapas ketika melihat Aksa berdiri menjulang di hadapanku. Jas dan dasi kupu-kupu yang sempat melengkapi penampilannya saat pemberkatan sudah dilepas. Rambutnya terlihat berantakan. Dari ekspresinya, aku menangkap keterkejutan yang jelas.

"Luna?" Aksa terperangah. "Kamu ngapain di sini?"

Aku menelan ludahku kemudian berdeham pelan. "Aku boleh masuk?"

Aksa tidak berbicara apa-apa, tapi dia menggeser tubuhnya yang sempat menutupi akses masuk ke kamar itu. Dan aku mengartikan gestur itu sebagai persetujuan darinya untuk memasuki kamar hotel. Sepertinya Aksa sedang tidur saat aku datang karena sprei kasur tampak sedikit berantakan dengan selimut yang disibakkan.

"Aku cari kamu tadi di bawah tapi nggak lihat kamu di mana-mana," ujarku sambil mengembalikan tatapanku pada Aksa yang baru saja menutup pintu kamar. Dia menarik kursi yang ada di kamar dan duduk dengan jarak yang agak berjauhan dari tempatku berdiri. Meski hatiku agak tersentil dengan sikapnya, aku berusaha untuk mengabaikan hal itu. Ada hal lain yang lebih penting. "Kamu sakit? Udah minum obat?"

Aksa menghela napas lalu memijat pangkal hidungnya. "Udah."

Aku melirik pouch yang ada di nakas. Pouch berisi obat-obatan yang selalu Aksa simpan di dashboard mobilnya. "Lagi kurang istirahat akhir-akhir ini?"

"Hm. Banyak pikiran," sahut Aksa seadanya.

"Dari sekian banyak hal yang kamu pikirin, apa salah satunya ada tentang aku? Atau tentang hubungan kita?"

Aku hampir mengumpat ketika pertanyaan itu justru meluncur keluar dari bibirku. Bukan seperti ini. Bukan begini rencanaku untuk memulai pembicaraan ini. Tapi, rupanya apa yang aku suarakan berhasil menyita perhatian Aksa karena sekarang dia tidak lagi berusaha menghindari mataku. Seketika, senyum kecil terbit di wajahnya sedangkan kepalanya menggeleng beberapa kali.

"Nggak mungkin aku nggak mikirin kamu, kan? Kita aja putus belum lama. Semua tentang kamu masih terekam jelas di pikiranku." Perkatannya berhasil membuatku terkesiap. Sedangkan Aksa bersikap santai seakan apa yang baru saja dia katakan tidak memiliki arti apa-apa. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Manik matanya tertuju lurus ke arahku. "Ada apa, Luna? Kenapa kamu ke sini?"

"Aku—" Pikiranku tiba-tiba buntu. Persiapan selama dua hari terakhir terasa tidak berguna karena tidak ada yang berhasil kuingat. Aku membasahi bibirku, mengambil napas sebelum berkata, "Akhir-akhir ini, aku mulai mikir tentang hubungan kita, tapi lebih dari itu, aku mulai mikir tentang diriku sendiri. Aku berusaha buat mencerna ulang semua omongan kamu pas kita bertengkar hari itu."

Aku menarik napas dalam-dalam ketika Aksa terdiam, menyimak perkataanku. "Kamu benar. Semua yang kamu omongin hari itu benar. Bukan cuma di hari itu aja, tapi di hari-hari sebelumnya—kamu selalu benar. Aku masih terjebak di kotak yang sama. Aku nggak mau keluar padahal orang lain yang menempatkanku di kotak itu terus menjalani hidupnya dan mereka semua baik-baik aja. Aku takut hal yang sama terulang makanya kadang aku masih suka menahan diri di depan kamu dan nggak bisa bagi apa yang ada di pikiranku. Aku takut menerima bantuan kamu buat keluar dari kotak itu karena aku takut menaruh kepercayaan ke kamu sepenuhnya. Aku takut berujung kecewa kalau kamu akhirnya memutuskan pergi dari hidupku sama kayak mantan-mantanku yang lain. Aku takut disakiti. Takut ditinggalin sama kamu lagi."

Aku mengulum bibir sembari membaca raut wajah Aksa. Tapi, tidak ada yang bisa kutemukan di sana. Aku kesulitan membaca ekspresi wajahnya.

"Kamu pernah bilang kalau hubungan kita bisa sehancur ini karena ada andil kesalahan kamu di dalamnya. Karena kamu yang terlalu terburu-buru buat minta aku jadi pacar kamu. Tapi, itu salah, Sa. It was all on me. Kamu nggak punya salah apa-apa di sini karena aku sendiri yang menyanggupi buat jadi pasangan kamu di saat aku tahu aku belum siap buat memulai hubungan baru. Bukan karena aku belum bisa move on dari Damar. Bukan juga karena aku nggak punya perasaan apa-apa ke kamu—karena, kita sama-sama tahu mustahil ada cewek yang nggak suka sama kamu." Aku sengaja menyelipkan gurauan dan upaya itu berhasil untuk meringankan suasana karena aku melihat Aksa mendengus geli dengan bibir yang berkedut. "Aku belum siap karena aku masih terjebak di masa lalu. Semua pengalaman buruk itu terakumulasi membentuk sebuah ketakutan dan keraguan untuk percaya sama pasanganku. Aku selalu takut nantinya akan ditinggalkan. Walaupun aku tahu itu nggak baik dan nggak adil buat kamu, aku yang tetap memaksakan diri buat menerima kamu karena aku nggak bisa kehilangan kamu lagi, Sa. Aku nggak mau kita kehilangan kesempatan untuk bersama di saat kita udah menunggu hal ini terjadi sejak tujuh tahun yang lalu."

Aku meremas jemari tanganku dengan gelisah ketika Aksa masih tidak berbicara apa-apa. Dia masih membisu, tapi aku tahu dia mendengarkan semua ucapanku tanpa terkecuali.

"Aku minta maaf. Maaf karena aku lebih dulu kasih Damar kesempatan untuk menjelaskan di saat kamu lebih berhak dapat kesempatan itu. Maaf karena aku meragukan kamu di saat kamu selalu mengusahakan yang terbaik untukku. Maaf karena aku menyakiti hati kamu walaupun aku nggak pernah mau melakukan itu. Maaf karena aku egois dan menempatkan kamu di situasi yang sulit," tukasku penuh permohonan. Aku menarik napas dan mendongakkan kepala, berusaha menahan air mata yang akan merebak ke luar. "Padahal aku tahu di sisi lain nggak mudah jadi kamu. Padahal aku tahu kamu juga struggling buat memulai hubungan baru setelah kamu diselingkuhi Amanda, tapi aku justru menambah beban kamu dengan masa laluku. Aku minta maaf banget, Sa."

"Kamu nggak perlu minta maaf sampai segitunya, Lun." Setelah terdiam beberapa menit, akhirnya Aksa berbicara. Hatiku mencelos ketika matanya menyorotku dengan hangat. Sudah lama sekali aku tidak melihatnya menatapku seperti itu dan aku baru sadar kalau aku merindukan bagaimana matanya memandangku penuh rasa sayang. "People make mistakes. Itu wajar. Aku juga udah maafin kamu tanpa perlu kamu mohon-mohon maaf kayak gini di depan aku."

Namun, alih-alih merasa lebih baik, aku justru semakin merasa bersalah. Kenyataan bahwa Aksa dapat memaafkanku semudah itu setelah apa yang kulakukan, berhasil membuat hatiku semakin tercabik.

"Kamu ingat nggak, Sa?" tanyaku sambil mengalihkan pandangan karena aku tidak kuat untuk terus menatap wajahnya. "Kamu pernah bilang kalau aku berhak untuk mendapatkan yang terbaik yang ada di dunia."

"Sampai sekarang aku pun masih berpikir hal yang sama, Lun," tukas Aksa.

"I think the other way around. It should be you who deserves all the good things in the world. You deserve the best dan walaupun aku mungkin jauh dari hal itu, meskipun aku bukan yang terbaik di dunia ini yang bisa mendampingi kamu, aku berharap aku masih bisa ada di sisi kamu, Sa," pintaku.

Aku mengambil langkah mendekati Aksa. Dia menegakkan tubuhnya dengan manik mata yang melebar. Detak jantungku terdengar semakin keras seiring dengan jarak yang terkikis di antara kami dan aku berharap Aksa tidak mendengar degup jantungku yang sudah menggila.

"Aku tahu mungkin permintaanku terdengar nggak masuk akal. Mungkin terdengar egois juga, tapi kalau kamu emang butuh yang terbaik buat jadi pasangan kamu, aku akan berusaha buat jadi yang terbaik. Aku bakal temani kamu di setiap makan malam kita. Aku nggak akan ngeluh lagi setiap kamu chat aku di jam-jam makan supaya aku nggak skip makan—sebenarnya aku nggak pernah keberatan sama perhatian kamu itu. Aku nggak akan protes lagi kalau kulkasku kamu isi minuman kaleng cincau cap panda favorit kamu itu—walaupun itu artinya nggak akan ada tempat yang tersisa buat botol jusku. Aku rela buat nonton film horor dan thriller kesukaan kamu—walaupun malamnya aku pasti takut buat tidur sendiri atau terus-terusan kaget dan tutup mata sepanjang film. Aku mau ke depannya selalu ada momen di mana aku dan kamu duduk di sofa atau di karpet apartemenku dengan TV yang menayangkan film favorit kita sambil kita ngobrol dan diskusi banyak hal. Aku nggak akan mempermasalahkan kesibukan kamu dan jam lembur kamu yang kadang menggila—karena aku juga kadang begitu. Aku nggak masalah harus menghabiskan weekend kita di rumah kamu bareng keluarga kamu—nggak harus selalu di apartemenku karena aku juga mau lebih mengenal keluargamu. Aku mau mementingkan kamu seperti kamu yang selalu taruh aku di prioritas utama kamu. Aku mau memahami kamu sebesar kamu memahami aku selama ini. Dan yang paling penting, aku bersedia kalau harus menghabiskan sisa hidupku sama kamu, dengan semua keisengan kamu, ataupun godaan kamu yang kadang suka bikin aku speechless setiap mendengarnya."

Aku mengambil jeda untuk menarik napas sebelum kembali berbicara.

"Sekarang, aku nggak mau merasa takut lagi karena aku tahu rasa takut ditinggalkan nggak berarti apa-apa dibandingkan harus menjalani hari-hariku tanpa kamu. Aku mau keluar dari kotak yang menahanku selama ini dan aku mau kamu tahu kalau alasan aku bisa keluar dari kotak itu karena kamu. Karena hanya dengan keluar dari masa lalu itu, aku bisa punya masa depan sama kamu.

"Aku berani kasih jaminan ke kamu kalau aku bukan orang yang sama. Aku udah berubah. Aku nggak lagi terjebak di masa lalu. Aku bisa terima semua yang terjadi di masa lalu dengan lapang dada. Aku udah nggak punya rasa takut apa-apa lagi karena semua ketakutan itu nggak ada apa-apanya dibandingkan harus melihat dengan mataku sendiri gimana kamu pergi tinggalin aku. Aku nggak lagi meragukan kamu karena aku sadar, sejak awal, perasaan kamu tulus ke aku. I'm a better person now. I trust you and I don't have any reason to not to. And I hope you can trust me too.

"Kamu pernah bilang kalau misalnya kita udah bisa mengatasi semua kekurangan dan menyelesaikan masalah yang ada di diri kita, ketika kita masih punya kesempatan buat bersama, kita bisa coba semuanya lagi dari awal. Jadi, Sa, kalau misalnya aku masih punya kesempatan buat ada di samping kamu—jadi pasangan kamu, aku mau minta kesempatan itu. Kalau perasaan kamu ke aku masih ada, masih utuh seperti tujuh tahun yang lalu atau beberapa minggu yang lalu, please... please give us a try. Again."

Napasku terengah ketika aku selesai berbicara. Raut wajah Aksa menggambarkan banyak hal, tetapi tidak ada satu pun kesimpulan yang berhasil aku dapatkan. Keheningan menyelimuti kami untuk waktu yang lama. Tanganku refleks meremas gaun yang senada dengan warna jas Aksa yang tergeletak di atas kasur. Gaun ini adalah gaun yang sempat kubeli atas persetujuannya agar semua orang mengetahui bahwa kami adalah sepasang kekasih.

Kecemasan yang melingkupi hatiku semakin terasa menguat ketika detik demi detik berlalu tapi Aksa masih tidak mengatakan satu patah kata pun. Aksa hanya memaku pandangannya padaku tanpa berniat untuk membuka suara.

"Aksa,"panggilku, nyaris terdengar seperti permohonan. "Please, say something."

*

Nah kan, sekarang tukeran posisi. Luna yang minta Aksa to give them a try, again. Mendingan Aksa jawab apa nih?

Continue Reading

You'll Also Like

576K 87.1K 49
Tentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa...
556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
397K 44.3K 56
Why do people get married? Atau .... Why did she want to marry him? Maula bahkan harusnya ngerasa trauma kan? Dia udah dua kali loh menghadiri acara...
1M 77.9K 93
New adult, romance. 1 in Chicklit - 26 Juni 2020 53 in Romance - 21 Juli 2020 "Sekerlip bintang tanpa warna." Pertemuan tak terduga Karenina Hasan de...