Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

978K 99K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 44: It's never too late to try

15.2K 1.6K 37
By storiesbyyola

LUNA

"Happy long holiday, Lun," ujar Hanifa seraya memelukku singkat ketika kami berpisah di Bandara Soekarno-Hatta sekembalinya dari Gresik. "Mending lo liburan ke mana gitu biar nggak sumpek kerja mulu. Pokoknya nanti hari Senin muka lo harus glowing lagi."

"You too." Aku tertawa pelan lalu menganggukkan kepala. Kemudian bergerak untuk memeluk Dewa yang sudah membuka tangannya dengan mata yang sulit terbuka. "Happy holiday, Dewa. Itu mata buka dulu yang lebar daripada lo nabrak-nabrak pas jalan."

"Gue ngantuk banget sumpah," keluh Dewa sambil mengusap wajahnya. Detik kemudian, matanya sudah terbuka lebar. "Selamat liburan, Lun. Jangan galauin si konsultan itu terus. Kalau emang kalian jodoh, pasti nanti dipertemukan lagi."

Aku mengulum senyum. Berhari-hari menghabiskan hampir dua puluh empat jam bersama Hanifa dan Dewa membuat mereka lebih leluasa menginterogasiku. Meskipun sudah tidak pernah menangis lagi sejak pergi ke Gresik, sepertinya wajah muramku tidak bisa disembunyikan dari mereka. Hingga akhirnya di suatu malam, ketika sedang menyelesaikan laporan bersama di kamar hotel, aku mengaku pada mereka setelah berbagai desakan. Walaupun aku hanya mengatakan, gue putus, mereka langsung mengerti tanpa bertanya lebih lanjut. Dan aku tidak memberitahu mereka lebih banyak lagi.

"Berhenti ngomongin dia. Kapan gue bisa move on-nya kalau lo ngomongin dia terus?" gurauku yang disambut tawa kecil dari Hanifa dan Dewa. Dari sudut mataku, aku melihat sebuah taksi yang berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. "Itu taksi gue. Duluan, ya! Hati-hati di jalan!"

Aku berlalu sambil melambaikan tangan ke Hanifa dan Dewa. Begitu memasuki taksi itu, aku mengucapkan tujuanku. Bintaro. Supir taksi itu langsung mengetikkan alamat yang kusebutkan di maps. Aku sudah kehabisan alasan untuk pulang ke rumah ketika Mama mendesakku kemarin. Aku tidak bisa menghindari orang tuaku selamanya. Setelah berjanji aku akan menghabiskan long weekend di rumah utama, barulah Mama berhenti mencecarku.

Senyum yang terukir di bibirku menghilang ketika taksi yang kutumpangi melaju. Terakhir kali aku pergi field work, Aksa menjemputku meski dia harus menempuh kemacetan yang luar biasa untuk sampai ke bandara. Dia bahkan menyempatkan diri di sela-sela kesibukannya untuk memastikan jadwal terbangku. Sekarang semua tidak lagi sama. Aku pulang dengan taksi. Nyaris seluruh pesan yang masuk ke ponselku hanya berkaitan dengan pekerjaan. Beberapa di antaranya dari orang tuaku yang bertanya tentang kesibukan dan kondisiku.

Terhitung sudah beberapa minggu berlalu sejak hubunganku dan Aksa berakhir, tetapi nyatanya aku masih belum terbiasa dengan ketidakhadirannya. My life suddenly becomes empty.

Dulu, kondisi seperti ini yang menjadi ketakutan terbesarku ketika menjalin hubungan dengan Aksa. Disakiti dan ditinggalkan. Ketakutan itu justru mempengaruhiku dan menjadi bumerang dalam hubunganku. Setelah semua yang terjadi, aku sadar bahwa ketakutan itulah yang menjadi alasan kenapa Aksa meninggalkanku. Mungkin dia lelah meyakinkan diriku dan dirinya sendiri kalau ketakutan yang kumiliki bukanlah hal yang nyata. Mungkin dia terlanjur kecewa setelah aku meragukan perasaannya padaku.

Sometimes when we were angry, we always ended up saying things that we're going to regret. When I think about thay day again, I realized I was out of the line. And I regret a lot of things that happened that day.

I wish I could turn back the time.

Tapi, itu semua percuma. Aku tahu aku tidak memiliki kekuatan ajaib untuk mengulang waktu dan semua kata yang sudah terucap tidak bisa kutarik begitu saja. What is done cannot be undone.

Aku tidak tahu sudah berapa lama melamun dengan pikiran penuh yang sulit untuk kuuraikan satu per satu. Tampaknya cukup lama karena taksi yang kutumpangi sudah memasuki komplek perumahanku di Bintaro. Aku mengarahkan supir taksi itu menuju rumahku dan melangkah keluar setelah memberikan sejumlah uang sesuai dengan tarif yang tertera.

Mama sedang menyiram tanaman ketika aku membuka pagar. Ketika aku tersenyum lebar, Mama langsung melepas selang air dan berjalan ke arahku. Alih-alih disambut dengan pelukan, Mama justru memukul lenganku beberapa kali hingga aku mengaduh kesakitan. Melihat perilaku Mama yang seperti ini, tidak heran kalau kelakuan Lisa tidak ada bedanya.

"Senang kamu ya, bikin orang tua khawatir karena nggak pulang-pulang?" omel Mama dengan tatapan tajam. "Kamu pikir Kebayoran Baru-Bintaro itu New York-Jakarta sampai beralasan jauh supaya nggak pulang ke rumah? Kalau begini terus, Mama tarik fasilitas apartemen kamu biar kamu PP Bintaro-Sudirman. Mau?"

Aku merengut. "Nggak mau," sahutku. "Papa masih di kantor?"

"Lagi di jalan pulang mungkin. Tadi pagi bilangnya mau pulang cepat hari ini. Mama pikir kamu hari ini ke kantor dulu sebelum pulang." Mama mengambil tas laptopku lalu berjalan memasuki rumah setelah mematikan keran air. "Kamu mau makan dulu atau bersih-bersih dulu?"

"Dikasih libur hari ini soalnya nanggung kalau mesti balik ke kantor." Aku menaruh koperku di ujung tangga kemudian mengekori Mama menuju ruang makan. Begitu membuka tudung saji, aku langsung berkata, "Aku makan dulu deh, Ma."

Aku meringis pelan ketika Mama menyuruhku untuk duduk saja selagi Mama menyiapkan peralatan makanku. Mungkin sudah terlambat untuk dibilang makan siang karena jam sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Mama menemaniku di meja makan sambil bertanya perihal pekerjaanku di kantor diselipi dengan teguran karena aku sudah tidak pulang ke rumah berminggu-minggu.

Kepalaku menengok ke belakang ketika mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat. Begitu melihat Papa memasuki ruang makan, aku menyengir lebar dan melambaikan tangan dengan sendok yang masih kugenggam erat.

"Luna udah pulang ternyata. Papa kira Mama ngobrol sama siapa," ujar Papa seraya mengecup puncak kepalaku dan Mama bergantian. "Kulitmu menggelap lagi," komentar Papa dengan dahi yang mengernyit. Siap untuk melayangkan protesan lain. "Kamu nggak pakai sunblock di Gresik? Papa kira setelah kamu pindah kerja, kamu nggak akan panas-panasan lagi, ternyata sama aja, ya?"

Aku tertawa kering. "Udah pakai sunblock, tapi kayaknya nggak ngaruh apa-apa."

Papa duduk di kursi kosong sebelahku kemudian meminum segelas air yang diangsurkan oleh Mama. "Jadi? Apa alasan kamu nggak pulang berminggu-minggu? Itu bukan sesuatu yang bisa dibenarkan ya, Lun. Di kantor sesibuk itu sampai nggak bisa pulang pas weekend?"

"Udah keburu capek, Pa." Aku meringis kecil. "Kalau udah lembur berhari-hari, kadang pas weekend pengennya tidur dan istirahat aja di apartemen. Aku juga jarang keluar kalau udah capek. Makan juga selalu delivery."

Papa menautkan alis, menatapku lurus dan lekat. Aku memang bisa berbohong di depan Mama, tapi tidak dengan Papa. Walaupun pada akhirnya Papa mengalah dan menyuruhku berjanji meluangkan waktu untuk pulang selagi mampu, aku tahu Papa sadar aku berbohong dan pembicaraan ini sementara akan ditunda.

Ketika aku meminta izin ke kamar untuk membersihkan badan yang terasa lengket, Papa menahanku. "Kamu tahu kalau Papa selalu ada di pihak kamu kan, Lun?"

"Aku tahu," timpalku dengan hati yang berkecamuk.

"Kalau kamu merasa sesuatu layak diperjuangkan, jangan ragu buat mengambil langkah dan memulai semuanya dari awal." Papa melemparkan senyum hangat padaku. Papa pasti tahu apa yang terjadi dan tanpa perlu bertanya dari mana Papa mengetahuinya, aku sudah tahu dari mana Papa mendengar berita itu. Aku melirik Mama yang hanya terdiam di samping Papa. "Minta maaf kalau kamu emang salah. Berjuang kalau emang kamu merasa itu layak diperjuangkan. Jangan terus nunggu orang lain buat memulainya, Lun. Kamu bisa memulai itu semua kalau kamu emang mau."

"Udah terlambat, Pa," lirihku.

"Nggak ada yang terlambat, Luna. Kamu bisa perbaiki kalau menurut kamu itu perlu."

"Anakmu yang satu ini benar-benar duplikat kamu banget, Pa. Aku jadi ikut pusing karena dia kebanyakan mikir," celetuk Mama seraya memicingkan mata ke arahku. "Kamu ingat waktu masa-masa Lisa dan Adam masih pacaran, Lun?"

Aku mengernyit, bingung kenapa tiba-tiba Mama membahas itu. "Ingat."

"Mereka pacaran dramanya banyak banget sampai Mama pusing dengar Lisa curhat sambil nangis-nangis kalau udah berantem dan putus sama Adam." Meski Mama mengeluh, sebuah senyuman terukir di wajahnya. Pertanda bahwa sebenarnya Mama tidak begitu keberatan untuk mengingat masa-masa itu. "Tapi, Mama nggak pernah bisa lupa. Walaupun Lisa nangis dan ngomel semalaman pas putus sama Adam, besoknya dia pasti bilang ke Mama kalau dia mau minta maaf dan balikan sama Adam. Setiap Mama tanya alasannya kenapa, Lisa selalu bilang, aku sayang sama Adam, Ma. Kayaknya nggak bisa kalau nggak sama Adam. Sekarang mereka akhirnya menikah."

Aku menggaruk kepalaku, semakin bingung. "Terus? Maksudnya gimana?"

"Aduh, nggak ngerti dia, Pa, maksudnya gimana," timpal Mama sambil menyenggol Papa yang hanya menanggapi dengan tawa singkat. "Kadang dalam kondisi begini, kebanyakan mikir itu nggak banyak membantu, Lun. Percuma kamu mikir dari A sampai Z tapi kamu cuma mikir doang. Aksinya nggak ada. Mungkin sekarang waktunya kamu menyontoh keputusan Lisa yang mungkin menurut kamu terlalu impulsif dan sembrono."

Aku mengalihkan pandangan pada jemariku yang saling mengait begitu mendengar perkataan Mama.

"Kamu masih merasa ada yang mengganjal setelah temannya Lisa itu mutusin kamu? Kalau iya, kamu temuin dia. Hadapi dia. Omongin semua hal yang masih mengganggu hati kamu. Kejar dia kalau menurut kamu perlu—tapi bukan berarti kamu harus mengemis ke dia. Kadang alasan sesederhana kamu masih sayang sama dia itu udah cukup buat minta dia kembali ke kamu. Persis kayak apa yang dilakuin Lisa ke Adam dulu." Mama menyarankan. "Kesalahan? Semua orang pernah lakuin itu, Luna. Hubungan asmara itu hubungan yang dinamis apalagi di umur kalian. Banyak naik dan turunnya tapi bukan berarti itu nggak bisa dilalui."

"Aku takut," akuku dengan bahu yang terkulai lemah.

"Nah, ini yang Mama maksud kamu itu mirip banget sama Papamu. Kebanyakan mikir ini dan itu akhirnya mulai ketakutan sendiri. Mama bingung kok dari sekian banyak sifat santai dan bodo amatan yang Mama miliki, nggak ada yang menurun ke kamu. Semuanya diambil Lisa."

Aku semakin merengut lalu menyembunyikan wajahku di balik telapak tangan.

"Sebagai orang yang kata Mama mirip banget sama kamu—aduh, iya aku nggak bercanda, jangan dicubit!" Suara Papa yang mengaduh membuatku tertawa pelan, mendadak lupa dengan beban pikiran yang menghantuiku. Apalagi setelah melihat Mama melotot kesal kepada Papa. "Saran Papa, mendingan kamu temui orangnya daripada kamu pusing sendiri sama pikiranmu. Seperti apa yang Papa bilang sebelumnya, kamu belum terlambat, Luna. Kamu punya banyak kesempatan untuk perbaiki hubungan kalian. It's never too late to try and make things right."

Mama menyahut penuh persetujuan. "Kalau kalian udah balikan, bawa laki-laki itu ke rumah. Mama mau lihat orangnya seperti apa sampai kamu nangis-nangis di apartemen dan nggak mau pulang ke rumah berminggu-minggu."

"Ma!" protesku sambil mendelik.

"Apa? Kamu pikir Mama nggak tahu alasan sesungguhnya kenapa kamu nggak mau pulang? Anak mama yang lain itu nggak bisa simpan rahasia dari Mama. Percuma kamu bilang sibuk kerja lah, kejauhan lah, capek lah, Mama tahu apa yang kamu tutupi," cibir Mama yang langsung disambut oleh tatapan penuh peringatan dari Papa. "Galau banget kamu kayaknya sampai milih sendirian di apartemen dan nggak pulang ke rumah pas weekend."

"Ma!" Aku menjerit tertahan, menahan malu. "Aku nggak mau cerita apa-apa lagi ke Lisa!"

Setelah melayangkan kalimat penuh protesan itu, aku menggerutu kesal sambil melangkah pergi. Mama dan Papa tidak mengacuhkanku karena hal itu tidak mungkin terjadi. Bukan sekali atau dua kali aku mengatakan kalimat sejenis itu, tetapi ujungnya aku selalu menceritakan hampir segalanya ke Lisa. Meskipun aku banyak memprotesi sikapnya, aku tidak bisa memungkiri bahwa kembaranku itulah yang terkadang mengerti apa yang kurasakan tanpa perlu aku berbicara banyak. Sekeras apapun aku menutupinya, Lisa pasti akan mengetahuinya. Blame it to that twin telepathy.

Seiring dengan langkah yang kuambil menuju kamarku, ucapan Mama dan Papa kembali terngiang di dalam kepalaku. Semuanya menjadi tumpang tindih hingga kepalaku pening.

Aku memijat pelipis begitu bayangan Aksa kembali memenuhi pikiranku. Dibandingkan merasa patah hati, akhir-akhir ini rasa penyesalan lebih besar menggelayuti hatiku. Hubungan kami baik-baik saja tadinya. Seharusnya semuanya tidak berakhir seperti ini. Seharusnya aku menahan Aksa ketika dia memutuskan untuk melangkah pergi. Seharusnya aku tidak membiarkan pikiran burukku mengambil alih dan menghancurkan semua yang kumiliki. Seharusnya aku tidak menyakitinya seperti itu setelah dia selalu mengusahakan yang terbaik untukku.

Aksa sudah pernah mencoba menarikku keluar dari kotak yang membelengguku selama ini, tetapi aku tidak pernah benar-benar menerima uluran tangannya. Seperti yang dulu pernah dia bilang, aku masih terjebak di kotak yang sama. Aku tidak dapat memungkirinya lagi meski aku terus mengatakan aku tidak seperti itu. Namun, entah kenapa aku merasa kotak itu kini semakin retak seiring berjalannya hari-hariku tanpa kehadiran Aksa di dalamnya.

Aku mengembuskan napas keras lalu menggeleng kuat. Berusaha untuk mengusir segala pemikiran yang memenuhi kepalaku hingga membuat kepalaku semakin berdenyut hebat. Aku menutup pintu kamarku lalu mengambil ponsel yang ada di dalam tas. Mengecek dan membalas beberapa pesan penting terkait pekerjaan hingga mataku terpaku pada chat yang terselip di antara tumpukan chat pekerjaan.

*


"Apa kabar, Luna?" tanya Damar setelah sepuluh menit berlalu dengan keheningan sejak aku duduk di hadapannya di Le Quartier. Sebuah restoran yang berada di sekitaran Gunawarman. "Aku nggak pernah dengar kabar kamu lagi sejak hari itu. Kamu sama Aksa—"

"Sebaiknya kita nggak ngomongin tentang aku dan Aksa," potongku sebelum Damar menyelesaikan ucapannya. Aku setuju untuk menemuinya karena dia mengatakan ini akan jadi terakhir kalinya dia menghubungiku dan memintaku untuk bertemu. "Kamu bilang ada yang mau kamu omongin. Aku harap itu bukan tentang aku dan Aksa."

"Bukan," sahut Damar singkat. Dia mengelus tengkuknya. Gestur yang selalu dia lakukan ketika dia dihadapkan pada kondisi yang membuatnya tidak nyaman.

Aku meneguk minuman yang sempat diantarkan oleh pelayan lalu menatap Damar lurus. Mungkin aku sudah terlalu sibuk memikirkan Aksa dan kelanjutan hubungan kami sehingga perasaan tidak mengenakkan yang selalu menggelayuti ketika berhadapan dengan Damar kini sirna begitu saja. Padahal, terakhir kali kami bertemu, aku masih merasa ada sesuatu yang menggangguku ketika melihatnya. Right now that bitter feeling is long gone.

"Mau ngomong apa, Mar?" tanyaku dengan tenang. "Penting?"

Damar mengangguk dengan air muka yang keruh. "Aku merasa aku butuh ketemu dan ngomong ini ke kamu supaya aku bisa lega. Maaf kalau sampai akhir, yang aku pikirin cuma diriku, Lun. Maaf kalau ini terkesan egois," kata Damar resah. "Waktu terakhir kita ketemu sebenernya aku mau omongin hal ini, tapi situasinya nggak tepat. Kamu—maksudku, itu bukan hal yang tepat buat ngomongin masa lalu dan aku juga nggak tahu apa sekarang waktunya tepat atau nggak."

Aku mengulum senyumku. "Aku paham. Kamu bisa ngomong apapun itu, Mar."

"Sebelum aku ngomong, ada yang mau aku tanyain. Buat memastikan sesuatu." Damar menyatukan tangannya di atas meja lalu menghela napas. "Apa aku nggak punya kesempatan supaya bisa kembali ke kamu, Lun? Walaupun itu cuma satu persen?"

"Kamu tahu jawabannya, Mar." Aku menegaskan. "Jawabanku nggak akan berubah."

"Setelah lihat kamu nangisin cowok lain di depanku, aku tahu mungkin kesempatan itu nggak akan pernah ada, tapi tetap aja. Aku mau memastikan sekali lagi." Damar memalingkan pandangannya. "Waktu aku nekat samperin kamu ke apartemen sebenarnya aku udah siapin penjelasan panjang yang masuk akal supaya bisa kamu terima, tapi semuanya berantakan karena pikiranku blank setelah lihat kamu. Akhirnya pembicaraan kita berakhir nggak baik dan nggak ada satu pun yang aku siapin itu terucap."

Aku terdiam, mendengarkan.

"Setelah kita putus, aku terpaksa cerita ke ibuku karena beliau mendesakku buat ajak kamu datang ke rumah di acara arisan keluarga. Aku cerita semua masalah kita tanpa terkecuali. Kamu tahu respons ibuku gimana?" Aku menggeleng pelan. Damar tersenyum tipis. Senyum yang terlihat sangat dipaksakan di mataku. "Kurang lebih persis seperti kamu. Kecewa. Ibu emang nggak marah, tapi dengan ibu yang bilang, Ibu nggak pernah mendidik kamu buat jadi orang yang seperti ini, aku tahu kesalahanku itu fatal banget. Itu yang menjadi titik balik hidupku. Kamu tahu sendiri selain kamu, keluarga—terutama ibuku—itu orang-orang yang aku sayangi dan pendapat mereka itu selalu aku pertimbangkan di hidupku."

"Waktu itu aku merasa... apa tepatnya, ya? Tertekan? Aku merasa tertekan dengan karierku yang stuck di kantor dan keuangan keluarga yang jauh dari kata stabil. Aku merasa hidupku nggak jalan ke mana-mana sedangkan ketika aku lihat kamu, yang aku lihat kamu itu udah terbang jauh melampauiku—sebentar, kamu harus dengar ini sampai akhir sebelum komentar lebih jauh dan aku keburu lupa setelah dicecar habis-habisan sama kamu." Damar buru-buru menyela ketika aku membuka bibirku yang sedari tadi terkatup rapat. Berniat untuk menghentikan omong kosongnya. Melihat sorot matanya yang penuh permohonan, aku akhirnya mengalah. "Aku tahu kamu berhak atas semua pencapaian itu, Luna. Aku tahu mimpi kamu—lanjut studi S2 di luar negeri, kerja di konsultan lingkungan sebelum membangun kantor konsultan kamu sendiri—dan aku tahu usaha kamu buat mencapai itu semua. Saat kamu semakin dekat buat mewujudkan semua mimpi kamu, aku merasa ketakutan dan secara nggak sadar langsung membandingkan diriku dan diri kamu."

Aku termenung. Ini pertama kalinya aku mendengar penjelasan seperti ini dari Damar. Sejak kami sering bertengkar dulu, tidak pernah ada lagi momen bicara dari hati ke hati seperti ini. Dan entah kenapa perasaan negatif yang sempat hadir di benakku, menguap begitu saja begitu menyadari bahwa Damar berjuang sendirian di saat aku sibuk dengan diriku sendiri. Sibuk mengejar segala hal yang aku impikan.

"Aku nggak tahu kamu merasa seperti itu," gumamku.

"Aku nggak berani buat ngomong itu ke kamu. Aku takut kamu merasa bersalah dan itu hal terakhir yang kumau dari kamu. Aku nggak mau membuat kamu merasakan hal-hal yang seharusnya nggak kamu rasakan. Tapi, itu semua cuma bertahan di awal. Ketika semua berjalan lancar buat kamu, hal yang terjadi buatku justru sebaliknya. Jujur aku juga bangga lihat kamu berhasil dapetin itu semua, tapi nggak tahu sejak kapan aku jadi merasa rendah diri buat bersanding di sebelah kamu apalagi setelah kamu membawaku semakin masuk ke dalam keluargamu," jelas Damar.

Dia melanjutkan. "Sejak awal aku tahu status sosial dan kondisi finansial keluarga kita jauh berbeda, tapi aku pikir aku bisa mengatasi semua itu. Di zaman seperti sekarang ini, hal seperti itu bukan sesuatu yang penting apalagi orang tuamu bukan tipe yang menilai bibit, bebet, dan bobot sebegitunya. Asalkan aku bisa sayang, memperlakukan kamu dengan baik, dan tanggung jawab buat hidup kita ke depannya, aku tahu orang tua kamu pasti nggak akan ragu buat kasih restu. Sayangnya, semakin hari, setelah berbagai kegagalan di kantor buat dapat promosi dan gagal di berbagai interview user saat aku cari pekerjaan baru, rasa percaya diriku buat ada terus di samping kamu semakin menipis, Lun. Dan aku mulai membandingkan kita. Luna udah begini, Luna aja udah bisa sampai di sana, Luna lagi-lagi berhasil, dan aku... kapan? Aku masih stuck di tempat."

"Maaf," lirihku setelah terdiam cukup lama. Perkatannya berhasil membawaku ke masa-masa itu. Ke momen di mana aku mempertanyakan keputusan hidupku setelah putus dengannya. Bergantian dengan ucapan tanteku yang mengatakan bahwa ambisiku itu terlalu berbahaya. "Aku—"

"Bukan kamu yang salah, Luna." Damar berbicara dengan penuh penekanan. Membuatku mengangkat kepala hingga bersitatap dengannya. Dia meraih tanganku yang ada di atas meja lalu menggenggamnya. "Bukan salah kamu. Aku ngomong ini supaya hatiku lega dan kamu tahu alasan di balik perilaku burukku ke kamu dulu. Maaf kalau kesannya aku menyalahkan kamu, tapi aku mau menekankan kalau itu semua bukan salah kamu. Nggak ada yang salah di diri kamu, Luna. Aku yang salah karena nggak bisa meregulasi emosiku dengan baik. Aku yang salah karena nggak bisa menganggap pencapaian kamu sebagai motivasi dan merasa rendah diri karena hal itu. Kamu nggak salah apa-apa karena kamu berusaha keras buat sampai di titik ini."

Aku tidak salah. Aku berhak mendapatkan semua ini. Terlepas dari apapun penilaian orang-orang di luar sana, aku berhak menikmati pencapaianku ini. Itu yang berhasil ditangkap oleh telingaku ketika Damar berbicara. Tidak ada yang salah dengan impianku. Kesalahan itu ada pada orang yang menjunjung ego terlalu tinggi.

Perasaanku mendadak menjadi jauh lebih ringan setelah mendengarkan ketulusan yang terpancar dari bola mata Damar. Beban pikiran yang sempat melingkupiku tiba-tiba sirna dan benang kusut yang ada di pikiranku perlahan mulai terurai. Entah kenapa semua keraguan dan ketakutanku menghilang seiring dengan Damar yang terus-terusan mengatakan aku tidak melakukan kesalahan apapun.

Seketika aku sadar tentang apa yang selama ini membelengguku dan membuatku tidak bisa keluar dari kotak yang selalu Aksa elu-elukan. Ini. Karena, aku membutuhkan bukti dan pernyataan dari orang yang dulu pernah meninggalkanku dan menyakitiku kalau tidak ada yang salah dengan diriku. Aku ingin dengar bahwa penilaian mereka terhadapku dulu adalah sebuah kesalahan. Kini, setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, rasanya semua penilaian buruk yang dulu pernah ditujukan padaku tidak lagi berarti.

Namun, di sisi lain, aku menyadari betapa menyedihkannya diriku. Aku membutuhkan pengakuan dari orang yang pernah menudingku—orang-orang yang tidak pernah tulus menyayangiku. Padahal, orang-orang itu mungkin sudah melupakan apa yang mereka perbuat padaku dan menjalani hidup mereka dengan baik. Mereka tidak akan pernah menyadari bahwa segala ucapan mereka dan patah hati yang mereka tinggalkan membuatku mengurung diri di dalam sebuah kotak yang penuh dengan ketidakpercayaan dan keraguan.

Dan karena orang-orang itu, aku mengabaikan semua penilaian dari orang-orang terdekat yang mencintaiku apa adanya. Sepenuh hati. Dalam segala baik dan buruk yang ada pada diriku. Mama, Papa, Lisa, Adam, dan... Aksa.

"Pas kamu bilang apa yang aku lakuin ke kamu dulu itu berhasil bikin kamu meragukan semua cowok yang mau mendekati kamu, aku jadi merasa bersalah. Nggak bisa tidur nyenyak berhari-hari karena mikirin seburuk apa aku memperlakukanmu dulu—and if I should admit it, yes, I acted like a jerk. Padahal kamu nggak berhak mendapatkan perilaku seburuk itu," ujar Damar.

Dia mengulurkan tisu padaku ketika aku sudah terisak pelan. Bahkan, aku tidak sadar sejak kapan air mata ini mulai mengalir. Aku menundukkan kepala, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian orang sekitar.

"Jangan nangis, Lun. Aku paling bingung kalau kamu udah nangis begini."

"Kamu yang bikin aku nangis!" semburku.

Untuk pertama kalinya, raut wajah Damar melunak dan dia terkekeh. "Aku minta kamu ketemu karena ini benar-benar closure final buat aku. Sekaligus aku mau meluruskan beberapa hal ke kamu." Damar mengelus punggung tanganku dengan lembut dan mungkin sejak tahun terakhir kami bersama hingga akhirnya putus, baru kali ini aku melihat lagi sosok Damar yang dulu pernah membuatku jatuh cinta. "Jangan buat pengalaman kamu dengan orang sebrengsek aku dulu mempengaruhi masa depan kamu, Lun. Kamu harus percaya kalau orang yang tulus menerima kamu itu ada sedangkan kamu bisa anggap aku sama sebagai mantan-mantan kamu dulu—orang-orang yang dulu pernah kita rutuki karena pikiran sempit mereka. Jangan menutup diri kamu dan membuang kesempatan yang ada di depan mata buat memulai hubungan baru karena kamu takut orang itu akan jadi seperti aku. Jangan pernah kayak gitu."

"Berhenti buat merasa takut karena aku tegasin sekali lagi ke kamu kalau nggak ada yang salah di diri kamu, Luna. You were the best I ever had and I'm a fool for losing someone as amazing as you. Dan kalau ada orang yang berani ninggalin kamu—" Damar menarik napas lalu menatapku hangat. "Dia sama bodohnya kayak aku. Dan kamu nggak seharusnya merasa patah hati dan berlama-lama nangis karena orang yang begitu."

Pikiranku langsung tertuju pada Aksa. Dia yang meninggalkanku. Namun, aku tidak bisa mengatakan dia seseorang yang bodoh karena Aksa pergi bukan karena alasan yang sama seperti Damar dan mantan-mantanku yang lainnya. Aksa melangkah pergi karena aku baru menyadari bahwa aku adalah si bodoh itu dalam hubungan kami. Aku yang menyebabkan Aksa menyerah.

"Aku mau kamu bahagia, Luna. Aku minta maaf karena setelah kita putus pun, aku bikin kamu sedih lagi. Aku bikin kamu nangis lagi di pertemuan terakhir kita walaupun alasan itu sepenuhnya bukan karena aku," timpal Damar.

Aku menggeleng. "Kamu nggak salah. Kamu cuma kasih penjelasan ke aku waktu itu."

Damar terlihat keberatan. "Mungkin seharusnya aku nggak kasih kamu penjelasan itu kalau akhirnya cuma bikin kamu terluka."

"Udah terlanjur, Mar." Aku berusaha menenangkannya. "Nggak perlu dibahas lagi."

"Aku nggak tahu hal ini penting atau nggak karena kamu nggak mau kasih tahu hubunganmu sama Aksa sekarang. Tapi, waktu kamu nggak sengaja pergokin kami bertiga di Excelso, di situ Aksa datang buat menekankan yang terakhir kalinya supaya Amanda nggak hubungi dia lagi. Dia menegaskan kalau dia udah punya kamu sebagai pacarnya dan apapun yang Amanda lakuin nggak akan mengubah perasaan dia ke kamu. Itu yang aku dengar dari Amanda dan sejak saat itu, Amanda udah nggak pernah hubungi Aksa lagi."

Ucapan Damar itu berhasil menegaskan bahwa aku memang sebodoh itu karena telah meragukan ketulusan Aksa dan membiarkannya pergi dari hidupku. Penyesalan karena tidak mampu mempercayai Aksa kembali memasuki benakku, kali ini dengan porsi yang lebih intens hingga rasanya aku tidak mampu hidup dengan rasa penyesalan itu.

Bukan. Bukan sekadar penyesalan.

Aku rasa, aku memang tidak bisa menjalani hidupku tanpa kehadiran Aksa di dalamnya. Beberapa bulan memiliki Aksa sebagai kekasihku membuatku sadar bahwa hidupku terasa lengkap dengan Aksa. Hatiku terasa penuh hanya dengan melihatnya berada di sisiku.

Sekarang, dengan absennya sosok Aksa di hidupku, aku tidak berbeda seperti orang-orang yang menjalani hari-hari tanpa jiwa. Seperti ada lubang menganga di hatiku yang tak bisa diisi dan direkatkan oleh siapapun. Meskipun aku sadar semua ini terjadi karena kesalahanku, aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa menerima kepergian Aksa dengan mudah. Aku tidak mampu melihatnya sebagai sosok yang asing dan sulit untuk kugapai. Aku tidak bisa menganggapnya hanya sebagai sebuah masa lalu.

Sekilas saran yang diberikan orang tuaku kemarin melintas di kepalaku. Untuk pertama kalinya semenjak hubunganku dan Aksa berakhir, aku berharap aku masih belum terlambat apabila ingin memintanya kembali padaku. Jika aku masih memiliki kesempatan dan Aksa mau memberikannya, aku ingin memperbaiki hubunganku dan Aksa.

Dan jika kali ini Aksa yang meragukanku, aku yang akan berjuang untuk mengembalikan kepercayaannya.

*

Notes:

Chapter ini bukan sebagai pembelaan atas perilaku Damar ke Luna dulu. Dia salah, nggak ada pembenaran atas sikapnya ke Luna, tapi terlepas dari itu semua, dia pernah sayang Luna, makanya Luna pun dulu terima Damar sebagai pacarnya. Sayangnya, waktu Luna lagi 'naik-naiknya' hal sebaliknya justru terjadi di Damar makanya dia merasa tertekan. Everything happened for a reason, dan perubahan sikap Damar ke Luna itu, punya alasan di baliknya (alasan yang mungkin terasa dekat di kehidupan sehari-hari kita). Sering, jarang, pernah, atau nggak, kita pasti pernah membandingkan diri dg org lain. Kalau org lain itu terlihat punya pencapaian lebih besar dari kita, ada yang merasa minder, tertekan, worthless, dll. Cuma, setiap orang itu punya cara masing-masing buat meregulasi emosi negatif itu. Selama regulasi emosinya baik, you should be fine. 

And, btw, jangan merasa rendah diri atau menarik diri karena medsos temen isinya 'wow' bgt ya, aku termasuk org yg percaya kalau setiap orang itu punya momennya sendiri untuk bersinar.  Jadi, aku harap kalian jg punya kepercayaan yang sama :))

Ok, skrg mau nanya, impression buat chapter ini?

Dan terakhir, L:TBE bakal update lagi jumat-minggu depan, ya! Aku bakal post ch. 45 di hari jumat, ch. 46 di hari sabtu, dan epilog di hari minggu. Buat jamnya masih belum tau, tapi kemungkinan malem kayak biasanya. Sekitar setengah 8an ke atas. Sengaja aku deketin hari updatenya biar feelnya masih blm ilang pas baca chapter-chapter terakhir ;)  

Continue Reading

You'll Also Like

4.1M 30.7K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
821K 71.7K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...
4.5M 134K 88
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
707K 89.5K 42
Satya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang...