Love: The Butterfly Effect [C...

Від storiesbyyola

847K 90.3K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... Більше

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 43: Can time heal a broken heart?

11.7K 1.4K 57
Від storiesbyyola

LUNA

"Haris!" Aku refleks menutup bibir begitu menyadari teriakanku terlalu menggelegar. Haris melambaikan tangannya padaku setelah tapping access card agar bisa keluar dari gedung kantornya. "Untungnya gue belum balik ke kantor pas lo chat."

"Good timing, kan?" sahut Haris seraya mengedipkan matanya.

Beberapa menit yang lalu, saat aku menyelesaikan meeting dengan orang kantornya, Haris mengajakku makan siang bersama. Berhubung pekerjaanku di kantor sedang tidak menumpuk karena harus berangkat ke Gresik dua hari lagi untuk survey detail, aku menyetujui ajakannya tanpa ragu.

"Gimana kerjaan di kantor gue?" tanya Haris ketika kami sudah mengantre di Pepper Lunch.

"So far so good." Aku menanggapi sambil melihat papan menu. "Nggak ada issue yang menghambat terlalu parah. Sekarang lagi finalisasi dokumen Andal dan RKL-RPL sebelum diserahin ke KPA. Sisanya tinggal nunggu aja. Kalau ada revisi berarti harus direvisi, kalau nggak ada revisi berarti perusahaan lo langsung dapat izin buat mulai proyek."

"Buat orang yang belum setahun kerja di bidang ini, lo kelihatan expert banget."

"I'm a fast learner," gurauku, membuat Haris mendengus dan tampak menyesal karena telah memujiku. "Lagian, Ris, gue harus kelihatan meyakinkan supaya orang kantor lo percaya sama kinerja gue dan yang orang-orang lain yang ada di tim. Mereka keluarin uang yang nggak sedikit buat ngurus perizinan kayak gini."

"Bener juga, sih." Haris menggaruk keningnya. Dia menyebutkan pesanannya setelah berada di depan kasir, begitu pula denganku. "By the way, lo gimana sama Aksa?"

Langkah kakiku menuju meja nyaris saja terhenti. Aku sudah menduga Haris akan menanyakan hal seperti ini. Aku juga sudah menyiapkan jawaban untuk diberikan kepadanya, tetapi setelah dihadapkan pada situasi ini secara nyata, bibirku justru terkatup rapat.

Aku tidak tahu sejauh mana Haris mengetahui kondisi hubunganku dengan Aksa. Aku tidak tahu apakah dia tahu kalau aku dan Aksa pernah memutuskan untuk pacaran. Aku dan Aksa tidak pernah menyebar status atau momen kebersamaan kami di media sosial selama berpacaran, jadi satu-satunya cara dia tahu sejauh apa hubunganku dengan Aksa hanya lewat dari pengakuan kami. Untuk saat ini, sebaiknya aku memberikan jawaban yang netral.

"Nggak gimana-gimana," jawabku tenang meskipun hatiku sudah menjerit kesakitan. Sudah nyaris satu minggu berlalu, tetapi aku masih belum bisa terbiasa. "Kerjaan lo di kantor gimana?"

"Even though I love my job, I don't want to talk about it outside working hours," keluhnya. Tiba-tiba, Haris menyeringai jahil. "Ngomongin tentang lo dan Aksa jauh lebih menarik. Hubungan kalian udah sejauh mana?"

Pertanyaan itu berhasil mengonfirmasi dugaanku kalau Haris tidak tahu kelanjutan hubungan kami setelah kami bertemu di Pacific Place. Sepertinya Lisa juga tidak membocorkan hal itu kepadanya dan aku merasa bersyukur karena kembaranku itu akhirnya berhenti menyebarkan privasiku ke teman-temannya.

This should be easy. Haris tidak mengetahui apapun dan aku tidak memiliki kewajiban untuk memberikannya cerita lengkap terkait apa yang terjadi antara aku dengan sahabatnya itu.

"Gue tanya ke Aksa aja nanti sekalian," ujar Haris tanpa menunggu tanggapanku. Aku membuka mulut, berniat untuk mencegahnya, tapi kalimat selanjutnya yang kudengar berhasil membuat tubuhku terasa seperti disambar petir. "Aksa lagi otw ke sini. Dia ngajak gue makan siang bareng karena lagi ada urusan di dekat kantor gue. Makanya pas tahu lo lagi di kantor gue, sekalian aja gue ajak makan siang. Kebetulan yang menarik. Gue teman yang baik, kan?"

Sontak, aku meremas jari-jari tanganku yang berada di bawah meja. Aku tidak siap bertemu dengan Aksa. Aku berani menjamin, di detik yang sama aku melihatnya, air mataku pasti langsung mengalir tanpa dapat kukendalikan. Sambil berusaha menahan rasa panik yang melanda, aku bertanya. "Aksa tahu gue ikut makan siang juga?"

"Nggak." Haris terkekeh. "Biar surprise."

Aku terus merutuk di dalam hati sementara otakku mulai berpikir keras untuk mencari alasan agar bisa pergi dari tempat ini secepatnya. "Gue—"

"Woi, Ris!"

Tubuhku berubah menjadi kaku setelah mendengar suara yang familiar di telingaku. Tanpa perlu membalikkan tubuh untuk melihat siapa orang itu, aku sudah mengetahuinya. Dengan rasa frustasi yang meningkat tajam, aku menenggelamkan wajahku di balik kedua telapak tangan. What should I do? Sudah terlalu terlambat untuk menyingkir sekarang.

"Gue lagi suntuk banget makanya—Luna?"

Aku menurunkan tangan seraya melemparkan senyum kecil dengan susah payah pada Aksa yang berdiri di dekat meja kami. Raut wajahnya tampak sangat terkejut. Dia menatapku dan Haris bergantian kemudian menggeram pelan begitu berhasil menilai situasi yang ada.

"Fuck," rutuk Aksa lirih, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Matanya menyorotku sendu sebelum berpaling ke Haris, menatapnya dengan tajam dan penuh perhitungan. "Sialan lo, Ris!"

Act normal, it's gonna be fine. Aku merapalkan mantra tersebut di dalam hati sambil berusaha sekuat mungkin menghalau air mata yang berkumpul di pelupuk mataku. Untungnya, tak lama kemudian seorang pelayan datang membawa pesanan kami. Akhirnya aku memiliki alasan untuk mengalihkan pandangan dari wajah Aksa yang terlihat begitu lelah.

"Hai, Sa," sapaku dengan senyum kecil yang agak dipaksakan.

"Luna." Aksa menganggukkan kepala singkat. "Gimana kabar?"

It only takes a blink of an eye and suddenly we become strangers again. "Baik."

"Sebelum lo datang, gue sempat nanya ke Luna," ujar Haris ketika Aksa sudah duduk di kursi kosong yang ada di depanku. Aku bisa merasakan Haris sedang tersenyum dan melirik iseng ke arahku meski aku sedang menunduk dalam dengan tatapan yang tertuju pada hotplate-ku. "Gue tadi nanya, hubungan kalian gimana soalnya gue nggak dengar kabar apa-apa lagi, tapi Luna jawab kalian nggak gimana-gimana. Kayaknya lo nggak dianggep sama Luna, Sa."

"Mulut lo mau gue cabein atau gimana, Ris?" omel Aksa, tidak menutupi kekesalannya. "Sorry, Lun. Haris mulutnya—"

"Mulutnya emang sampah." Aku melengkapi kalimat itu lalu mendongak. Detik kemudian, langsung merasa menyesal karena keputusanku itu membuat manik mata kami bertemu dan aku harus mengakui kalau aku merindukannya. Aku berdeham pelan, lalu lanjut berbicara. "Aku tahu."

Alih-alih tersinggung, Haris justru tertawa keras.

Aku meremas rok tiga perempat yang kupakai ketika mata Aksa masih mengunciku dengan lekat. Dan dengan mudahnya, semua kenangan kami muncul silih berganti di dalam pikiranku. Aku menarik napas dalam lalu membuang pandanganku setelah mengumpulkan segenap kekuatan. Sebaiknya aku segera menghabiskan makan siangku agar bisa segera menghilang dari tempat ini.

"Nggak usah bertingkah ya, Ris." Aksa memperingati. "Kalau Luna tersinggung, bisa abis diomelin lo sama Lisa."

Sepertinya ancaman itu cukup menakutkan untuk Haris karena dia akhirnya menggeser topik pembicaraan ke arah lain. Tentang bisnis dan lain-lainnya yang tidak begitu aku mengerti. Lebih baik seperti ini supaya aku bisa menghabiskan makan siangku tanpa gangguan.

Suara ponsel yang berdering membuat pembicaraan mereka kontan terhenti. Aku juga langsung mengangkat kepala dengan mata yang tertuju pada ponsel Aksa yang tergeletak di atas meja. Sebelum aku sempat melihat siapa yang meneleponnya, Aksa sudah meraih ponselnya untuk mengangkat panggilan itu.

"Halo, Retta," sapa Aksa dengan suara yang lembut. Mataku sontak mengerjap sementara pikiranku berusaha mengingat nama tersebut, tapi sepanjang kami bersama, Aksa tidak pernah menyebutkan nama perempuan itu sebelumnya. "Gue lagi di fX. Kenapa?"

Tatapanku terpaku pada satu titik. Hanya pada Aksa. Sementara laki-laki itu berusaha menghindari tatapanku dengan melihat ke titik lain, tanganku yang berada di bawah meja mengepal saat mendengar Aksa tertawa renyah. Setelah beberapa detik berlalu, aku mengalihkan tatapanku darinya dan menusuk makananku dengan keras ketika Aksa masih mengobrol dengan seseorang yang dia panggil Retta.

"Lo emang bener-bener ya, Ret. Nggak ada sopan-sopannya sama gue," keluh Aksa meski aku tahu dari nada suaranya, dia tidak benar-benar kesal. "Iya, Retta. Astaga. Nanti gue beliin sebelum balik ke kantor. Tanyain ke anak-anak yang lain juga sekalian takutnya mereka iri kalau gue cuma beliin lo."

Oh, ternyata teman kantornya.

"Iya. Nggak pakai bawang bombay. Gue tahu lo nggak suka itu," ujar Aksa lagi. Aku kontan mengernyit. "Hm. Iya. Oke. Iya, Retta. Bawel lo. Oke, bye."

Beriringan dengan suapan terakhir yang masuk ke mulutku, Aksa mematikan panggilannya. Aku meneguk habis minuman yang kupesan, berharap dengan air itu, rasa panas yang menjalar di tubuhku selama mendengar Aksa berteleponan dengan teman kantornya dapat menghilang. Dengan ketenangan yang berusaha aku jaga mati-matian, aku merapikan barang-barangku lalu melempar senyum tipis pada Haris dan Aksa.

"Gue duluan, ya. Harus balik ke kantor," pamitku sambil beranjak.

"Loh? Katanya tadi nggak buru-buru?" protes Haris.

Aku melirik Aksa sekilas yang tidak mau repot-repot menoleh ke arahku sambil menahan nyeri yang ada di dada. "Mendadak bos nyuruh balik karena ada kerjaan yang urgent," dustaku. "Duluan, ya."

Tanpa menunggu tanggapan mereka, aku berlalu begitu saja. Dengan langkah kaki yang terasa semakin berat, aku berjalan cepat keluar dari fX. Lantas, menghentikan taksi yang ada di dekat area itu lalu mengembuskan napas berat beberapa kali sambil mengibaskan tangan di depan wajah.

Aku tahu seharusnya aku tidak merasa cemburu karena mendengar interaksi Aksa dengan teman kantornya, but I can't help myself. Aku tidak bisa hanya diam dengan ekspresi datar setelah melihat Aksa tidak mengacuhkanku sepanjang makan siang tapi bersikap hangat ke perempuan lain. Walaupun aku tahu aku berhak mendapatkan sikap dingin ini darinya setelah apa yang terjadi, dengan berat aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa menerimanya dengan mudah.

*


AKSA

She tried to hold back her tears. Walaupun dia berusaha menutupinya dari Haris, dia tidak bisa menyembunyikannya dariku. Peganganku pada peralatan makan refleks mengerat saat punggung Luna terlihat semakin menjauh. Sekuat tenaga, aku berusaha menahan diri untuk tidak beranjak dan menyusul Luna. Aku tidak ingin kehadiranku semakin membuatnya terluka.

Memang lebih baik seperti ini. Kami berada di jalan masing-masing.

Awalnya mungkin tidak akan mudah, but like the wise man always said: time will heal everything. Aku tidak bisa lagi menawarkan diri untuk jadi penawar luka itu di saat akulah penyebabnya.

"This couldn't be good," celetuk Haris dengan kening yang berkerut dalam. "Kalian lagi berantem? Gue pikir bakalan dengar kabar baik dari kalian setelah tahu dari Lisa kalian udah pacaran."

Mustahil memang kalau Haris tidak mendengar kabar tentang hubunganku dan Luna. Meski sosial mediaku dan Luna berdebu dan kami tidak pernah mengumbar momen kebersamaan atau kemesraan kami di sana, Haris memiliki sumber lain yang lebih terpercaya. Lisa. Tapi, sepertinya Lisa tidak memberikan update terkini mengenai hubunganku dan Luna sehingga Haris mempertemukan kami sekarang.

"Padahal tadi gue pura-pura nggak tahu dan nanya soal kelanjutan hubungan kalian itu buat mancing Luna, eh responsnya nggak sesuai yang gue mau. Ditambah kalian canggung banget pas ketemu," timpal Haris.

Aku menyuapkan sepotong daging ke dalam mulut. Memutuskan untuk mengabaikan Haris karena pikiranku tertuju pada Luna. Bagaimana dia kembali ke kantor? Naik taksi? Di jam makan siang seperti ini, pasti susah mendapatkan taksi.

"Mending lo susulin dia daripada kebanyakan mikir," cetus Haris lagi.

Kali ini, aku menoleh lalu mendecakkan lidah saat menangkap ekspresi jahil khasnya. "Gara-gara lo, nih! Padahal gue sengaja ngajak makan siang bareng karena lagi pusing mikirin kerjaan di kantor dan urusan pribadi. Lo malah ngajak Luna."

"Urusan pribadi itu ada hubungannya sama Luna, kan?" tebak Haris sambil menyantap makan siangnya. "Gue nggak tahu kalau kalian lagi berantem. Niatnya mau menyenangkan teman, eh malah bikin dua-duanya tambah badmood."

"Makanya nggak usah macem-macem," sindirku kesal.

"Ada masalah apa emangnya? Kelihatannya parah banget."

"Susah jelasinnya."

"Effort kalian udah sebesar apa buat menyelesaikan masalah? Yakin usaha itu udah cukup buat meluruskan masalah kalian?" tanya Haris lagi. "Lo yakin nggak akan menyesal nantinya?"

Penyesalan. Adam juga menyinggung hal yang sama ketika terakhir kami bertemu. Yang mereka tidak tahu, penyesalan itu sudah menghampiri di detik pertama sejak aku keluar dari unit apartemen Luna. Awalnya hanya setitik perasaan kecil yang kupikir akan kulupakan esok hari ketika membuka mata. Rupanya titik kecil itu hanyalah awal. Sebuah permulaan. Karena, berhar-hari setelahnya, penyesalan itu semakin membesar dan semakin kuat kurasakan.

Puncaknya, beberapa menit yang lalu, ketika aku bertatapan dengan wajah pias Luna.

"Gue nggak tahu, Ris," ujarku dengan embusan napas keras.

"Kalau lo masih nggak yakin berarti masih ada yang mengganjal di antara kalian," ungkap Haris. "Anggap aja sekarang—waktu yang kalian ambil untuk jauh dari satu sama lain—sebagai waktu untuk mendinginkan kepala dan berpikir jernih. Clear up your head and maybe you will come up with a better decision. Setelah itu, baru lo temui Luna lagi."

Yang Haris tidak tahu, aku sudah terlebih dulu mengambil keputusan. Dan sekarang, segala waktu yang kuambil untuk menenangkan pikiran, tidak dapat mengubah apapun.

Tapi, aku tidak bisa memungkiri bahwa pertemuanku dengan Luna barusan, membuatku ingin memilikinya kembali. Walaupun aku menyugestikan diri bahwa lebih baik kami berpisah seperti ini, setelah melihatnya lagi, pertahanan diriku nyaris runtuh begitu saja. Di tengah pikiran yang kalut, aku bertanya-tanya di dalam hati: jika aku meminta Luna untuk kembali, apakah dia mau menerimaku lagi? Apakah aku sanggup untuk menerima patah hati yang lebih parah jika pada akhirnya hubungan kami tidak berhasil?

*


Notes:

Wow, 3 chapters left before we say a proper good bye to Aksa x Luna. Still can't believe I can get through the ups and downs while writing this book. 

Selama ini, setiap bikin notes, pertanyaanku selalu berpusat di Aksa dan Luna. Sekarang aku mau nanya hal lain, hehe. Di antara sekian orang-orang yang ada di sekitar Aksa x Luna dan menjadi saksi perjalanan kisah cinta mereka, siapa yang paling membekas di ingatan kalian? Kenapa alasannya? 

Продовжити читання

Вам також сподобається

1.9M 90.1K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1M 91.4K 35
[Status: Completed] "Bunda pengen ngeliat kamu menikah tahun depan." Kara, perempuan, 24 tahun. Masih single dari lahir. Dilema karena Bunda memintan...
556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
987K 89.1K 51
Jika ada award kategori atasan paling menyebalkan di kantornya, maka Lala akan menulis nama atasannya itu besar-besar di dalam kolom pengisian. Bagai...