Cinta Penawar Kutukan

By chinggu313

1.3K 1.1K 390

Genre fantasi namun mengandung unsur romansa. Inilah kisah tiga anak remaja dengan kutukan masing-masing. Men... More

♧Prolog♧
♧Chapter1♧
♧Chapter2♧
♧Chapter3♧
♧Chapter4♧
♧Chapter5♧
♧Chapter6♧
♧Chapter7♧
♧Chapter8♧
♧Chapter9♧
♧Chapter10♧
♧Chapter11♧
♧Chapter12♧
♧Chapter13♧
♧Chapter15♧
♧Chapter16♧
♧Chapter17♧
♧Chapter18♧
♧Chapter19♧
♧Chapter20♧
♧Chapter21♧
♧Chapter22♧
♧Chapter23♧
♧Chapter24♧
♧Chapter25♧
♧Chapter26♧
♧Chapter27♧
♧Chapter28♧
♧Chapter29♧
♧Chapter30♧
♧Chapter31♧
♧Chapter32♧
♧Chapter33♧

♧Chapter14♧

30 29 0
By chinggu313

"Ibu!"

Dugh... Dugh... Dugh!

Suara meja makan yang dipukul membuat suasana gaduh di area dapur rumah itu. Apalagi disertakan dengan suara teriakan panggilan dari bibir gadis kecil yang terlihat duduk di meja makan sambil terus menggoyangkan kedua kakinya yang menggantung.

"Ishh Ibuuuuu!!!"

Teriakannya kembali terdengar. Merasa kesal lantaran sedari tadi wanita yang sedang berkutat dengan alat masak tak jauh di depannya tidak segera merespon ataupun melirik ke arahnya.

Hanya terdengar bunyi pisau yang tengah bergerak memotong beberapa lembar daun sop dengan cepat di papan kayu.

"Ibu tidak dengar panggilan Winter ya sedari tadi? Apa telinga ibu bermasalah?"

Gadis kecil itu kembali berulah. Perut buncit dengan balutan dress berwarna hijau mudanya bergoyang-goyang mengikuti gerak langkah kakinya. Wanita yang berdiri di depan pantri dapur menyempatkan kepalanya untuk melirik putri kecilnya. Kedua tangan gadis itu bahkan sudah melingkar di pinggul wanita itu.

Tawa bahagia terdengar indah mengalun dari bibir merah mudah itu. Badannya mensejajarkan tinggi badan putrinya lalu bergerak mengusap puncak kepala sang buah hati. "Ada apa sih? Ibu lagi siap masak buat dibagiin ke tetangga baru kita."

Dahi gadis kecil itu mengkerut pertanda bingung. "Tetangga baru? Rumah yang di depan rumah kita kan kosong Bu."

"Itukan dulu. Kemarin sudah ada orang yang menempatinya. Nah, sekarang Ibu mau pergi dulu. Ibu sudah siapkan supnya di meja makan ya. Hati-hati saat memakannya. Ibu sudah memisahkan daun supnya kok."

Lontaran panjang itu dijawab gelengan keras oleh sang anak. Bahkan gadis kecil itu kembali memeluk pinggul ibunya lalu menenggelamkan wajahnya pada sela kaki sang ibu. Suara tak jelas timbul dari sana. Gumaman yang tidak dimengerti dari gadis yang bertubuh agak berisi itu membuat sang Ibu merasa gemas dan tertawa lagi.

"Winter mau ikut?"

Anggukan cepat segera gadis kecil itu berikan. Dengan bersemangat, cengiran khasnya nampak di bibirnya disertai tawa cekikikan karena mengetahui bahwa sang Ibu tidak akan menolak permintaannya kali ini.

"Adek gimana? Yang jagain adek di kamar kalau kamu ikut Ibu siapa dong?"

Tap... Tap... Tap....!

Bunyi langkah kaki terdengar mendekat ke arah mereka. Rupanya itu sang Ayah. Beliau terlihat memperhatikan keduanya dengan tatapan bingung lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin yang sebelumnya sudah dia keluarkan dari lemari es. "Kenapa menatap Ayah begitu?" tanyanya ketika mendapati Istri dan anaknya kompak terus manatap ke arahnya.

"Ayah. Aku ingin ikut Ibu ke depan boleh ya?"

"Boleh. Kenapa harus minta izin ke Ayah? Biasanya juga kalau kamu mau keluar pasti langsung pergi." Pernyataan yang serupa dengan sindiran itu membuat Winter kecil memajukan bibirnya kesal lalu berubah menjadi senang seketika. Kakinya melompat-lompat mengelilingi tubuh sang Ibu dengan tawa amat sangat bahagia yang terdengar dari bibir mungilnya.

"Dia nyuruh kamu buat jagain Ita sebentar. Yuk Winter, keburu siang nanti."

Gadis kecil itu mengangguk dengan bersemangat lalu berlari menuju pintu utama meninggalkan Ibu dan Ayahnya di belakang. Keduanya sempat saling melirik lalu kompak menggeleng bersamaan.

"Aku nitip Ita ya. Popoknya sudah aku ganti kok tadi. Pergi dulu yah," pamit Ibu. Tangan lentiknya meraih telapak tangan sang suami lalu menyaliminya. Ayah mengangguk mempersilahkan. Segelas air yang sedari tadi berada di tangannya baru habis dia tegak setelah kepergian istrinya.

"Assalamualaikum Ayah! Winter dan Ibu pergi dulu ya! Nanti kalau Ita nangis, susunya Winter taruh di atas nakas kamar Ayah dan Ibu."

Baru saja kakinya ingin berbalik namun suara teriakan dari pintu mampu membuat dirinya berjengkit kaget. Detak jantungnya menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Fyuhhh, Lagi-lagi ulah putri pertamanya harus membuat dirinya lebih extra sabar.

Ketika putrinya sudah benar-benar pergi, baru dirinya melangkah untuk menuju kamar dimana putri bungsunya berada. Umur yang masih berusia 6 bulan masih membuatnya terlalu was-was untuk sekedar meninggalkan putrinya di dalam kamar seorang diri. Orang tuanya sudah menyarankan untuk memindahkan Ita ke kamar lain khusus untuk bayi kecil itu namun baik Ibu Wina maupun Ayah Jaka masih terlalu khawatir.

.

.

.

"Assalamualaikum..."

Wanita yang sedang menyiram bunga di pot depan rumah itu berbalik dan tersenyum melihat kedatangan Wina dan Winter. Wina menghampiri wanita itu lalu menyodorkan rantang yang berisi sup ayam dan beberapa kue beras buatannya tadi. Tentu disambut dengan begitu ramah oleh sang tuan rumah.

"Waduh repot-repot banget. Terima kasih banyak. Silahkan masuk dulu," ucapnya mempersilahkan wanita yang sebayanya itu masuk ke dalam rumah. Namun sebelum melewati pintu, wanita itu menyempatkan untuk memutar keran air yang berada di samping rumah.

"Winter mau ikut masuk atau di luar saja?"

Gadis kecil yang tadinya sibuk memandangi bocah laki-laki di depannya sontak menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Wina dan wanita pemilik rumah tersenyum lalu masuk ke dalam. Menyisakan dua orang anak kecil yang sedari tadi masih belum membuka suara.

Bocah laki-laki yang sedari tadi mengambil alih perhatian si Winter kecil masih asik mengelap sepeda kecilnya. Kain kering yang bergesekan dengan permukaan besi sepeda itu menimbulkan suara yang cukup membuat Winter mengernyit tidak suka. Suara decitan itu mampu membuat giginya ngilu.

"Apa kau tidak terganggu dengan suaranya? Bukan begitu caranya membersihkan sepeda."

Tanpa menunggu respon dari bocah laki-laki itu, Winter mengambil posisi duduk di samping bocah itu. Untung saja ujung lantai teras yang didudukinya tidak basah.

Kain kering yang awalnya di pegang oleh anak laki-laki di sampingnya langsung dia tarik dengan pelan. Tak lupa keran air yang sempat dimatikan oleh wanita seumuran Ibunya tadi kembali dia putar. Awalnya Winter kesusahan untuk menarik selang yang sudah dialiri air itu, namun dengan bantuan bocah laki-laki tadi, akhirnya selang yang berukuran tidak terlalu panjang itu berhasil menjangkau sepeda yang hendak dibersihkannya.

Tak lupa juga lap yang mulanya diletakkan di samping tiang penyangga rumah kini kembali dia ambil dan membasahi nya dengan air yang berasal dari selang tadi.

Bocah laki-laki itu masih terdiam. Kakinya bergerak mundur sebanyak dua langkah karna takut terciprat air. Raut wajah bingung juga pastinya menjadi responnya terhadap pergerakan gadis kecil itu.

"Apa yang dia lakukan terhadap sepedaku?"

Ya begitulah isi pikirannya. Dirinya lebih memilih berdiri di tempatnya tanpa ada niatan untuk membantu gadis kecil itu.

"Yak!! Tidak apa-apa kalau kau tidak ingin membantuku, setidaknya ucapkan Terima kasih kepadaku."

Winter menggerutuㅡ ah tidak, itu layaknya seperti mengomel. Bagaimana mungkin laki-laki itu hanya berdiam diri tanpa membantunya? Dan kenapa sedari tadi dia tidak bersuara?

"Ambilkan aku sabun." Winter kembali bersuara. Kini perintahnya terdengar tegas. Matanya kembali fokus kepada sepeda di depannya. Seluruh bagian dari sepeda itu sudah basah, namun agaknya kurang bersih jika tidak menggunakan sabun.

"Hei cepat ambilkan aku sabun!"

"Kau siapa berani menyuruhku? Ini rumahku dan kau orang asing. Kenapa kau membantuku seolah-olah kau sudah akrab denganku?"

Merasa tidak terima dengan perkataan bocah laki-laki di depannya, Winter membanting kain lap di tangannya ke atas rumput. Raut wajahnya terlihat marah. Namun hal itu tidak membuat si bocah laki-laki ketakutan.

"Aku sudah membantumu. Apakah ini yang biasa kau lakukan jika ada orang yang membantumu?"

"Ak-"

"Kau masih kecil. Yah, lebih tepatnya kita berdua masih kecil. Tinggimu saja tidak beda jauh dariku. Kenapa omonganmu sangat kurang ajar?"

"Mama!!! Dia memarahiku!!!"

Bola mata Winter membola. Cukup terkejut mendengar teriakan bocah laki-laki di depannya. Dia mengadu kepada Ibunya. Merasa takut, Winter langsung melangkahi sepeda yang tergeletak di depannya lalu mendekati laki-laki itu. Tangan mungilnya membekap mulut si bocah laki-laki.

Bukannya terkejut, bocah laki-laki itu malah memutar bola matanya malas dan menatap Winter dengan tatapan jengah. Kenapa reaksinya harus setakut itu? Pikirnya.

"Panggil aku Winter. Ayok kita berdamai. Nama kamu siapa?"

Bekapan dari mulut bocah laki-laki itu sudah terlepas. Kini digantikan oleh uluran tangan jabat tangan sebagai salam perkenalan. Senyum cerah terukir indah di bibir gadis kecil itu. Hal itu membuat si bocah laki-laki ikut tersenyum walupun tipis.

"Nama aku Beomgyu. Mama biasa manggil aku Gyu."

Kedua tangan mungil mereka berjabat tangan lalu menganguk dengan mantap. Kini keduanya tertawa senang. Sepertinya dugaan bocah bernama Beomgyu itu salah terhadap Winter. Beomgyu mengira gadis di depannya sangat menyebalkan namun setelah melihat sisi ramah dan menyenangkan dari Winter, Beomgyu pun luluh seketika. Dirinya senang mempunyai teman baru di lingkungan barunya kali ini.

"D... Dia anak yang kau maksud?"

Keduanya menoleh ke arah pintu yang sudah terbuka lebar. Di sana berdiri tiga wanita yang salah satu diantaranya sudah berumur enam puluh tahunan. Wajah mereka terlihat terkejut. Pandangan mereka pun tidak lepas dari kedua bocah tersebut.

Winter dan Beomgyu saling pandang selama beberapa saat. Barulah mereka berjalan mendekati ketiga wanita tadi sambil berpegangan tangan. "Mama dan Nenek, sekarang aku sudah mempunyai teman. Namanya Winter," serunya dengan nada yang bersemangat.

Winter mengangguk mengiyakan namun raut wajahnya tidak secerah Beomgyu. Kepalanya mendongak menatap mata sang Ibu yang sedari tadi terus menatapnya juga.

Alisnya mengkerut bingung, mata wanita di depannya terlihat berkaca-kaca. Dan Winter tidak bodoh untuk sekedar tidak mengetahui bahwa Ibunya habis menangis.

"Kenapa Ibu menangis? Apakah keluarga Beomgyu menyakiti Ibu?"

Flashback off...

Winter termenung sendiri di depan cermin. Mengamati dirinya yang kini terlihat kurus. Mulutnya terjatuh rapat. Helaan nafas frustasi telah keberapa kali terdengar dari mulutnya. Semakin hari, perubahan dirinya kini tidak terkontrol. Dia jadi tidak leluasa untuk keluar dari rumah. Dia takut orang-orang akan menganggap dirinya orang asing. Dia takut kutukannya terbongkar.

Kini yang seharusnya dia sudah berada di sekolah, dengan terpaksa harus tidak masuk. Bagaimana dirinya bisa pergi ke sana jika badannya saja berubah seperti sekarang ini. Winter yang kurus sama sekali terlihat asing di mata teman-temannya. Awalnya Winter mengira dirinya akan kembali berubah ke bentuk Winter yang gemuk seperti yang biasa orang-orang lihat, namun sudah hampir 15 jam lamanya dirinya belum berubah.

Putus asa, Winter sangat putus asa. Tidak menangis, namun raut wajahnya sudah memperlihatkan wajah lelah dan kesedihan. Jangan lupakan rasa takutnya juga. Tidak ada lagi celotehan yang biasa dia lontarkan di dalam rumah. Tidak ada lagi lontaran kalimat menyebalkan yang ditujukan kepada sang adik. Winter layaknya orang lain sekarang. Ibu dan Ayah sudah berangkat ke tempat kerja masing-masing. Ita sudah berangkat sekolah. Kini dirinya sendirian di dalam rumah, di dalam kamar yang dihuni tanpa adanya orang lain.

Ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Atensinya teralihkan ke benda pipih persegi panjang itu. Tampilan buble chat dari grub yang terdiri dari Winter, Sunoo dan Giselleㅡ ah sebut saja Trio gembul membuat senyum kecil tercetak di bibirnya. Hanya membukanya tanpa ada niatan untuk membalas chat mereka. Keduanya menanyakan keadaan gadis itu. Mereka sibuk bertanya alasan Winter tidak masuk sekolah hari ini. Buble chat Sunoo yang terakhir membuat Winter kembali murung. Sunoo mengherankan dirinya yang hampir satu minggu belakangan ini jarang masuk sekolah. Beberapa detik kemudian buble chat Giselle yang me-reply chat Sunoo dan menandai dirinya membuat Winter memutuskan untuk keluar dari grub itu.

Tenang? Tentu saja tidak. Dia tahu teman-temannya akan sangat kebingungan sekarang. Dia tidak suka dihujani banyak pertanyaan. Dia bingung ingin menjawab apa. Tidak mungkin dia jujur, keputusan itu akan membuat semuanya menjadi runyam.

Layar handphone itu kembali menyala. Panggilan suara selama beberapa detik dari sang Ibu membuat alis gadis itu mengkerut. "Ibu kehabisan pulsa apa gimana nih?" monolognya pelan.

Nada sambungan terdengar nyaring di tengah keheningan di dalam kamar itu. Sengaja Winter aktifkan mode loudspeaker. Namun tak kunjung diangkat. Hal itu membuat Winter semakin bertanya-tanya.

Dengan gerakan yang sedikit panik, Winter mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu kamarnya dan keluar dari sana. Mungkin menggunakan bus sendirian untuk saat ini tidak terlalu buruk. Dia akan belajar agar tidak terbiasa merepotkan orang lain. Tujuannya kali ini yaitu butik sang Ibu. Jaraknya memang lumayan jauh, dan bahkan harus melewati sekolah. Namun tak apa, selagi dirinya masih menjadi Winter mode malam (bertubuh kurus) dirinya tidak akan dikenali.

Tbc guys....

Continue Reading

You'll Also Like

76.3K 7.9K 24
Zoana lexy, sebuah karakter piguran dalam sebuah novel, dimana piguran itu baru saja keluar dari hutan, dan mati saat bertemu dengan pemeran utama. ...
377K 989 8
konten dewasa 🔞🔞🔞
144K 13.4K 37
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
239K 634 21
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya