Elastic Heart

By filipiphoebe

17.2K 391 27

Ini hanyalah sebuah cerita Cerita yang berawal dari 1 kata. Cinta. Lalu berkembang menjadi berjuta-juta kata... More

GREAT NEWS!!!
1
PROLOG
EPILOG
2
PROLOG
STORY
EPILOG

STORY

3.6K 87 8
By filipiphoebe

Kutatap bayanganku di cermin. Setelan kemeja putih dan celana hitam, tampak serasi dengan rambut coklat lurusku yang di kuncir ala ponytail.

Aku siap untuk wawancara pekerjaan baruku.

Kukibaskan kedua tanganku dan menatap mataku di cermin, biru muda tampak gugup.

Kukepalkan jariku, tidak, aku tidak boleh gagal kali ini. Aku memerlukan pekerjaan ini untuk menambah penghasilanku.

Kutarik tas kerjaku lalu beranjak keluar apartemen. Ku kunci pintu apartemenku dan mulai melangkah menuju lift.

***

Jalanan di New York tampak sibuk, seperti biasa. Banyak orang berlalu lalang dan mobil-mobil tumpah ruah di jalan. Aku menyebrang lalu berhenti di salah satu kedai kopi kecil.

Goffell's Coffee Shop.

Aku menatap tulisan yang ditempel depan kaca 'Membutuhkan karyawan / karyawati, berusia 18-25 tahun. Jujur, pekerja keras, bertanggung jawab.' Masih sama seperti dengan yang terakhir kulihat.

Ku kibaskan kedua tanganku, dan membuang napas. Aku yakin aku bisa.

Kudorong pintu masuk, sehingga pintu itu berdenting. Kulihat suasana kedai itu belum terlalu ramai, hanya 1-2 orang yang duduk di pojok ruangan sambil meneguk kopi ataupun membaca koran.

Ruangan inipun tidak terlalu besar, hanya di tengah ada meja bar panjang berbentuk persegi panjang yang dilatari dengan rak kaca berisikan beraneka macam jenis biji kopi maupun teh. Di atas meja bar, ada 2 mesin kopi dan lemari kaca panjang berisikan aneka dessert yang menggiurkan.

"Ada yang bisa kubantu?" Tanya seseorang tiba-tiba. Aku menengok, dan mendapatkan seorang pria berperawakan asia berdiri dihadapanku dengan mengenakan baju ala koki hitam, namun ini lebih sederhana.

Wajahnya tirus putih, dengan mata coklat dan rambut jabrik acak berwarna hitam. Dia mengenakan pakaian koki berlengan pendek dan celana jeans biru dongker.

Dia menatapku dari atas hingga kebawah "Eh, aku hanya ingin, eh, uhm..." aku diam sejenak untuk menenangkan pikiranku "Aku ingin melamar pekerjaan disini." ucapku, akhirnya.

"Seriuskah?" Dia tampak kaget, lalu nyengir "Seharusnya, kau tidak perlu berlebihan menggunakan pakaian formal seperti itu." Komentarnya, membuatku melongo. Ini orang maunya apa, sih?

Dia menengok ke arah bar lalu berteriak "Ellena! Ryan! Kita kedapatan rekan kerja baru!" Serunya. Lalu kulihat dua orang keluar dari pintu belakang, satu perempuan berambut pendek berwarna merah dan satu laki-laki berambut klimis pirang. Mereka menatapku.

"Kenalkan, dia adalah rekan kerja kita." Ucap cowok ini memperkenalkanku. Aku shock berat "Hei, kau jangan bergurau. Aku baru saja tiba disini, dan kau langsung berkata seperti itu? Bahkan kau tidak tahu namaku" seruku kesal.

Cowok itu menatapku "Kau tidak perlu berpakaian formal seperti itu. Yang penting intinya kau mau bekerja disini, dan kau pasti jujur karena kau dengan berani mengata-ngataiku secara langsung. Yeah, kau diterima." ucapnya.

Ini cowok benar-benar gila!

"Eh, Jade. Siapakah dia? Kok, kau tiba-tiba menerimanya menjadi karyawan disini?" Tanya cowok berambut klimis itu yang kuduga bernama Ryan.

Cowok bernama Jade di sampingku hanya melipat tangannya di depan dada "Kita sedang memerlukan orang, bukan? Dan lagipula aku meyakini dia juga menerimanya" lalu dia menatapku.

"Siapakah namamu?"

"Bukan urusanmu" celetukku langsung.

Dia tersenyum dingin "Itu urusanku karena aku sekarang atasanmu." Ucapnya.

Aku membalas tatapannya, merasa jengkel.

"Melyssa Craig" jawabku.

***

Hari itu juga, aku diberi pakaian ganti untuk bekerja. Sama seperti mereka, baju chef berkerah lengan pendek berwarna hitam dengan garis putih di ujung lengannya dan saku untuk menaruh pulpen di lengan kiri.

Ini gila, menurutku. Bayangkan, aku belum ditanya apa-apa, sudah main diterima di tempat ini saja.

Namun, karena aku sangat memerlukan pekerjaan ini, maka aku hanya diam ketika disuruh ke ruang ganti.

TOK TOK! "Hey, kau sudah selesai?" Tanya seseorang, aku melihat rambut merahnya menyembul di ujung pintu, Ellena.

Ellena pun berjalan masuk, lalu dia mengulurkan tangannya "Ellena Watz, kau?" Aku menyambutnya "Melyssa Craig" jawabku.

"Ayo, Goff sudah mulai ramai. Biar Jaden menjelaskan beberapa hal sebelum kau memulai hari pertamamu disini." Ucapnya padaku. Aku menggangguk lalu mengikutinya keluar ruang ganti.

***

Sudah lebih dari 2 minggu aku bekerja di Goff (singkatan dari Goffell), dan aku mulai terbiasa dengan semua pekerjaan disini. Tidak susah,namun hanya sibuk bila sedang banyak pelanggan. Aku dan Jaden bertugas di depan seperti melayani tamu, membersihkan meja, ataupun membuat kopi sedangkan Ryan dan Ellena lebih suka di belakang seperti me-reffill kue, membuat makanan ala carte, ataupun membantu kami bila sedang sibuk

Aku juga mulai mengenal ketiga rekan kerjaku. Ellena, berumur 23 tahun sama denganku, sangat ceria namun kadang suka merumitkan sesuatu. Ryan, baru berumur 17 tahun, namun dia lebih tenang dan teratur, walau kadang suka lola (loading lama) dan pelupa. Sedangkan Jaden, berumur 25 tahun, sok cool, pendiam, namun ramah dan teratur.

Ku langkahkan kakiku memasuki bar, dan aku hanya melihat Jaden "Dimana yang lain?" Tanyaku heran. Jaden melirikku sedikit "Ellena sedang libur, dan Ryan ijin karena sakit. Mungkin baru 3 hari lagi mereka akan masuk" jawabnya.

Aku mengganguk, kulangkahkan kakiku menuju lemari kaca untuk men-display kue-kue baru ketika Jaden berkata "Hari ini kau ada acara, tidak?" Tanyanya.

Aku diam sebentar "Sebenarnya tidak juga, aku hanya ingin ke toko buku beberapa blok dari sini lalu membeli makan malam" jawabku.

"Kalau begitu, aku ikut. Karena aku ingin ke toko bahan makanan untuk cafe ini" pintanya. Aku menggangguk dan kami kembali ke pekerjaan kami.

***

Sepulang dari Goff sekitar pukul 6, aku dan Jaden berjalan beriringan menuju toko buku yang kutuju. Kami tidak terlalu banyak bicara, namun bukan berarti suasananya canggung. Tidak, kami hanya bersikap biasa.

Setelah aku mendapatkan buku yang kumau, kami beranjak keluar toko buku "Kau tampak kerepotan" komentarnya melihatku membawa sekantong besar berisikan buku pilihanku, yeah, aku memang penggila buku dan karena seri buku ini sulit ditemukan aku memilih membeli lengkap satu serial.

"Yeah, begitulah" gumamku. Tiba-tiba, Jaden sudah menarik kantong itu ke tangannya "Sini, biar aku bawakan" tawarnya. Aku agak kaget, namun tidak menolaknya "Emh, trims" ucapku. Jaden hanya mengganguk lalu kami melangkah menuju toko bahan makanan, disana Jaden tetap membawakan belanjaanku padahal tangannya sudah penuh oleh bahan makanan untuk cafe.

"Kau tidak kerepotan?" Gantian sekarang aku yang bertanya, namun dia menggeleng "Biar aku mengantarmu sampai depan apartemenmu, okay?" Tawarnya. Aku menggangguk dan memilih mengalah daripada sok-sok-an membantunya.

Dan, segalanya berubah semenjak hari itu.

***

"Hei! Jalan yuk!" Ajak Ellena setelah 3 hari kemudian dia masuk, Ryan ternyata masih sakit dan dirawat sehingga belum bisa bekerja.

Jaden menatap Ellena, untungnya Goff sedang sepi "Boleh saja, mau kemana?" Tanyanya. Ellena tampak berpikir sambil meneguk coke nya "Kita makan-makan saja di restaurant baru dekat sini. Katanya makanannya enak dan tidak terlalu mahal" usul Ellena lalu menatapku "Bagaimana, Lyssa? Kau mau ikut?" Ajaknya.

Aku mengganguk "Boleh saja." Ucapku. Ellena tampak bersemangat "Baiklah, sepulang dari kerja ya!" Serunya lalu kembali menghambur masuk ke belakang.

Jaden menggeleng "Dasar, terlalu hiperaktif" komentarnya, aku menatapnya "Bukannya cocok denganmu, yang sangat pasif?" Godaku. "Jadi menurutmu aku orang pasif dan dingin, gitu?" Tanya Jaden.

"Tidak, sih. Kau baik, namun dinginnya tetap" jawabku. Dia menatapku "Sayangnya, aku tidak menyukai cewek yang terlalu hiperaktif seperti Ellena" sanggahnya.

"Ah, masa?" Godaku lagi.

Jaden menatapku "Aku lebih menyukai orang sepertimu" jawabnya yang membuatku melongo lalu tertawa "Kode?" Tanyaku.

Kali ini, Jaden tersenyum, kejadian yang cukup jarang terjadi "Mungkin?" Sekarang dia berbalik menggodaku.

Ah, biarkanlah, aku segera membalikan tubuhku dan kembali melayani tamu.

***

Kami makan di restaurant Italia pilihan Ellena, memang tempatnya cukup menarik dan masakannya pun enak. Walau agak ramai karena ini malam Minggu.

Kami mengobrol, sambil makan sampai lupa waktu "Oh, God sudah pukul 8." Seru Ellena "Eh, Jaden, kau bisa mengantar Lyssa pulang, bukan? Karena aku harus ke rumah nenekku terlebih dahulu untuk mengambil barang"

Jaden menatapku, lalu kembali menatap Ellena "Bisa saja" jawabnya. Ellena menggangguk, menarik coat nya beserta tas selempangnya "Kalau begitu, aku duluan ya. Ini, tagihanku. Maaf tidak bisa berlama-lama. Trimakasih Jade, Lyssa. Sampai besok" ucapnya sambil meletakkan sejumlah uang di meja, bayaran makanan dia.

Kami berdua mengganguk, mengikuti sosok Ellena yang beranjak keluar restaurant "Ayo, kita pulang" ajaknya sambil meraup uang itu, lalu kami menuju kasir. Saat aku ingin membayar, Jaden sudah meletakkan kartu kreditnya dan menyerahkannya ke penjaga kasir.

"Apa apaan ini?" Tanyaku, Jaden hanya melirikku "Aku membayar semuanya, besok uang Ellena juga akan kukembalukan" ucapnya enteng.

Aku menatapnya kesal "Kau tidak perlu membayarkanku, biar aku membayar tagihanku sendiri" namun Jaden hanya membuang muka dan menarikku keluar restaurant.

Dia menyetop taksi lalu mendorongku masuk, aku masih ingin berdebat dengannya namun dia mengisyaratkan tatapan sudah-diam-saja miliknya yang kukenal.

"Terima kasih, kalau begitu." Ucapku. Jaden cuma menggangguk lalu menatap keluar jendela, akupun melakukan hal yang sama, suasana agak terasa canggung.

Aku memilih menyenderkan tubuhku ke jendela, merasa lelah ketika taksi itu melalui polisi tidur dan kepalaku terkatuk kaca jendela "Aduh!" Rintihku.

Jaden menengok lalu menggeleng "Dasar bodoh" hal yang tidak aku duga berikutnya, dia menarikku mendekat lalu mendorong kepalaku bersandar di pundaknya.

Aku berusaha mendorongnya namun dia malah menekankan tangannya ke sisi kepalaku "Jangan banyak protes dan istirahat saja." Ucapnya.

Aku merasa bingung, untuk apa dia melakukan ini? Namun aku sudah terlalu lelah, dan memilih mengalah untuk kedua kalinya.

***

"Jade mengembalikan uangku!" Seru Ellena padaku saat Jaden sedang libur. Yeah, hari ini Jaden libur. Jadi aku hanya bekerja dengan Ellena.

"Yeah, dia sudah memberitahukan ku kemarin" balasku sambil menyeduh biji kopi bubuk untuk tamu meja 12.

Ellena menggelengkan kepalanya "Kebiasaan, pasti selalu begitu. Dia tidak akan pernah membiarkan kami membayar makanan kami sendiri bila sedang jalan bersamanya" komentarnya kesal.

Aku hanya tertawa "Sepertinya dia orang yang sangat royal kepada rekannya" timpalku. Ellena mengganguk "Makanya, beruntung sekali pacarnya mendapatkan dia" ucapnya.

Yang membuatku terkejut.

Apa?

Apa yang dia katakan?

"Pacar?" Tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku tetap normal. Ellena menatapku "Kau tidak tahu? Dia sudah mempunyai pacar, kalau gak salah, dia teman satu kuliahnya. Tapi beda jurusan." Jelas Ellena padaku lalu menyipitkan matanya "Ada apa? Tampaknya kau agak kaget." Tanyanya curiga.

Aku mengangkat bahuku "Tidak, hanya kaget saja ternyata ada yang mau dengan orang seperti Jaden." Jawabku singkat.

"Bukannya kau juga menyukainya?" Goda Ellena.

Aku melotot pada Ellena "Kau saja!" Balasku yang membuatnya tertawa.

***

Ryan sudah keluar dari rumah sakit, namun Jaden menyuruhnya masuk esok hari sehingga bisa bekerja bersama Ellena.

Jadi hari ini, aku berdua lagi dengannya.

Aku sedang membawa sekardus buah segar ketika Jaden tepat berpapasan denganku melalui pintu bar, aku membuang mukaku dan tanpa sengaja menabrak daun pintu.

"Aduh!" Seruku. Jaden segera menengok padaku "Kau kenapa?" Tanyanya,nadanya khawatir. Dia menyentuh pundakku namun aku tepis "Tidak, tidak apa-apa" lalu aku beranjak keluar.

"Kau kenapa, sih? Beberapa hari ini menjadi pendiam dan terlihat menjauhiku?" Tanyanya heran.

Aku takut mengakui perasaanku yang sebenarnya.

Semenjak kejadian di taksi itu, dia sering lebih memerhatianku. Sifatnya juga berubah padaku, dari yang dulu dingin menjadi hangat dan baik.

Dan aku mulai menyukainya.

Tapi dia telah memiliki pacar, bukan? Masa pacar orang aku embat juga?

Namun seperti kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau.

Sialan.

"Tidak apa-apa" jawabku akhirnya. Jaden menarik tanganku, menyeretku masuk ke dapur belakang "Apa apaan sih?"tanyaku kasar.

Dia tetap memegangi tanganku "Kau bohong, kau itu pembohong yang payah" komentarnya. Aku membuang muka "Bukan urusanmu, Jade." Sergahku.

Lalu, hal itu terjadi begitu tiba-tiba, Jaden mendekatkan wajahnya padaku dan..

Dia mengecup pipiku lembut.

Aku terlalu shock untuk bertindak maupun bergerak.

Jaden berdiri di hadapanku, matanya tampak sayu "Kau cantik, bila sedang malu" komentarnya.

Aku ternganga, namun belum bisa berkata apa-apa.

Jaden menciumku?

"Itulah yang aku suka darimu." Dia menepuk keningnya pelan, lalu menutup sebelah matanya sambil membuang muka "Ini salah, kau terlalu menarik. Aku takut bila aku benar-benar jatuh cinta padamu" lanjutnya.

Kali ini aku berhasil menemukan suaraku kembali "Namun,kau sudah memiliki pacar,bukan?" Tanyaku, berusaha menutupi kepedihan dalam hatikku.

Jaden tidak mengelak, dia malah menggangguk "Sudah hampir 5 tahun, dan aku berniat melamarnya menjadi tunanganku tahun depan." Jawabnya.

Aku menarik napas, ini tidak semudah yang aku bayangkan. Aku tersenyum, lalu menggengam tangannya erat "Kalau begitu, jangan kecewakan dia." Ucapku.

"Tapi.." ucapan Jaden terputus "Tapi aku serius dengan ucapanku barusan. Aku takut aku mulai menyukaimu dan jatuh cinta kepadamu" lanjutnya.

Kulepaskan tanganku "Biarkan.. biarkanlah Tuhan yang menentukan kisah kita berikutnya" putusku "Kau boleh bersikap tetap seperti ini kepadaku, karena aku lebih menyukainya." Kataku.

Jaden mengulurkan tangannya, lalu menarikku ke dalam pelukannya "Trima kasih, Lyssa.."

***

Hari-hari kami berlanjut normal seperti biasanya. Jaden memang terkadang masih bersikap dingin kepadaku bila ada Ellena ataupun Ryan, namun dia akan mulai menghangat kembali bila kami hanya berdua.

Kadang kami juga saling mengkontak satu sama kali melalui sosial media. Terkadang kami juga jalan berdua, entah karena memang kebetulan ataupun kami memang sengaja ingin keluar bersama.

Tentang hubungan kami?

Tidak jelas.

Dia tetap berpacaran dengan pacarnya yang kuketahui namanya Maggie, yang sekarang menjadi perawat di rumah sakit. Aku bahkan sudah pernah melihat foto perempuannya, mereka tampak serasi dan saling melengkapi.

Namun, bagaimana dengan kami?

Aku tidak tahu.

Kami sengaja, sesuai kesepakatan kami, membiarkan semuanya berlalu dengan semestinya.

Apakah Tuhan akan menyatukan kami berdua? Atau hanya sampai disini saja?.

Sekali lagi, jawabannya : aku tidak tahu.

Continue Reading

You'll Also Like

6.5M 336K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
3.7M 39K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
1.9M 91.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...