Pada Orang yang Sama (TAMAT)

By IndAwsoka

19.1K 2.1K 574

Siapa bilang, kenangan dapat pudar oleh waktu? Siapa bilang, mencintai orang yang sama sejak lama, hanyalah o... More

Prolog
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 31
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
Epilog

Extra Part

869 31 9
By IndAwsoka

Jam tujuh siap-siap, ya! Kita malem mingguan!

Satu pesan dari Dafan itu membangunkan Hanin dari tidur siangnya. Degup jantungnya berdentum keras. Senyumnya terbit sempurna. Sudah satu bulan berpacaran, tetapi perasaan berdebar-debar itu masih saja melingkupi Hanin. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Dafan, dapat berefek besar bagi seluruh organ tubuh Hanin.

Hanin bangkit dari kasur empuknya. Berjalan sempoyongan ke kamar mandi. Mencuci muka guna meredakan rasa kantuknya.

Setelahnya, ia kembali lagi ke kamar. Bukan.... Bukan untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda. Tapi karena Hanin hendak mempersiapkan baju yang akan ia pakai nanti malam. Ia membuka lemari dua pintunya lebar-lebar. Memeriksa satu demi satu pakaian yang ia punya.

Tidak seperti ABG lain yang akan heboh dalam mempersiapkan diri. Mengobrak-abrik seluruh isi lemari. Lalu berkata, "Nggak punya baju", setelahnya. Hanin tidak seperti itu.

Biarpun baju yang ia punya mungkin sudah dihafal oleh Dafan karena berulang kali dipakai Hanin, tetapi yang terpenting adalah kerapian dalam memakainya. Hanin harus menyetrikanya lebih dulu. Itu yang utama!

Setelah beberapa menit menimbang-nimbang, Hanin memutuskan memakai celana jeans hitam dengan blouse berwarna krem. Entah Dafan akan membawanya ke mana, tapi Hanin sedang tidak mood mengenakan rok atau semacamnya.

***

Pukul 19.00 Hanin sudah bersiap. Menunggu Dafan menghampiri rumahnya. Mengisi kekosongan dengan memainkan ponselnya.

Tak lama kemudian yang ditunggu tiba. Dafan terlihat sama seperti biasanya. Kali ini hoodie cokelat tua bertengger apik di tubuhnya.

Mereka berdua berpamitan pada Hena. Lalu membelah jalanan dengan motor matic Dafan.

Sepanjang perjalanan, Hanin berkali-kali bertanya mereka mau ke mana. Namun, Dafan Selalu menjawab pertanyaan tersebut dengan gurauan. Bahkan sering sekali Dafan mengalihkan topik ke arah lain.

Beberapa menit berikutnya, keduanya tiba di sebuah-

"Aku mau pulang!" ucap Hanin kesal. Suasana hatinya berubah mendung.

"Ayo masuk dulu...," ajak Dafan lembut.

Hanin mematung di tempat. Bisa-bisanya Dafan mengajaknya ke restoran out door. Restoran favorit keluarga Hanin pada masa ketika keluarga mereka masih lengkap.

"Nggak mau! Aku mau pulang pokoknya!"

Hanin sudah melangkah keluar dari area parkir tersebut. Namun, segera Dafan mencekal pergelangan tangan Hanin.

"Di dalem ada papa kamu, Nin...."

Hanin terbelalak. Tidak mengerti ucapan Dafan barusan. Bagaimana ia tahu papanya ada di dalam? Apa jangan-jangan-

"Kalian sekongkol?" tanya Hanin tak percaya.

"Udah ayok! Ada aku tenang aja...."

Kali ini Dafan sedikit menarik tangan Hanin agar mengikuti langkahnya. Hanin hanya pasrah.

Hubungan Hanin dengan papanya memang sudah mulai membaik. Namun belum sepenuhnya. Hanin masih bersikap kaku terhadap papanya itu. Bahkan istri baru papanya juga sering tidak dianggap kehadirannya ketika mereka bertemu.

Lalu, apa maksud Dafan mempertemukan Hanin dengan papanya malam ini? Di restoran favorit keluarga mereka bahkan.

Ketika Hanin menginjak ambang pintu restoran tersebut, segala kenangan masa lalunya menghantam memori Hanin satu per satu. Ia seolah melihat dirinya waktu kecil berlarian mengitari restoran karena tidak mau makan. Dirinya yang menangis meminta es krim dua porsi. Dan dirinya yang terakhir kali menginjak restoran ini, karena melihat papanya bersama wanita lain pada masa itu.

Kini, matanya sudah menangkap adegan terakhir dari yang ia lihat di memorinya. Papanya bersama istri barunya. Rasanya seperti de javu.

Hanin menarik napas panjang. Menguatkan hatinya untuk melangkah lebih dalam lagi. Menggenggam lebih erat jemari Dafan yang masih bertautan dengannya. Mengisyaratkan bahwa "ia sudah siap menghampiri meja papanya".

"Halo, Om, Tante. Maaf kami terlambat," sapa Dafan sembari menyalami keduanya.

Sementara itu, Hanin langsung duduk di hadapan papanya. Menghindari ibu tirinya. Dafan menduduki kursi satu-satunya yang tersisa di sebelah Hanin.

"Sehat, Nak?" tanya papa Hanin lembut.

Hanin hanya mengangguk. Ia berniat mengeluarkan ponselnya. Guna mengalihkan segala rasa sakit yang mendadak menjalari hatinya.

"Jadi, Nin. Tujuan aku bawa kamu ke sini karena aku ingat satu hal," ucap Dafan memulai obrolan mereka.

"Aku ingat di Semarang waktu itu kamu terlihat ketakutan memasuki restoran out door. Ya, kamu cerita penyebabnya adalah karena papa kamu. Dan sekarang, aku pengin kamu sembuh dari trauma masa lalu kamu. Dengan cara seperti ini."

Hanin menoleh ke arah Dafan. Raut wajahnya menunjukkan ketidakterimaan.

"Untuk ke sekian kali, Papa mau bilang maaf ke kamu, Nak. Bahkan papa nggak tahu traumamu sebesar itu. Papa betul-betul menyesal...."

Papa Hanin meraih jemari anaknya yang tertumpu di atas meja persegi panjang itu. Hanin menarik diri. Kini jemarinya saling bertautan di bawah meja.

"Tante juga minta maaf, ya, Nin. Tante sekarang juga sudah menyesal." Loli, Ibu tiri Hanin ikut berkomentar.

Lagi-lagi Hanin seolah dipojokkan dengan suasana seperti ini. Maaf, maaf, dan maaf. Hanin muak sebetulnya. Terlalu banyak kesalahan yang mereka buat. Terlalu banyak kata maaf yang diucapkan. Dan terlalu sesak untuk dimaafkan begitu saja.

"Nin.... Seperti yang orang-orang katakan, nggak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Aku, kamu, orang tua kamu dan Tante Loli. Sampai kapan kamu akan terus memperlakukan mereka seperti ini? Bahkan Tante Hena aja udah bisa berdamai dengan ini semua...." Dafan menengahi.

"Aku nggak bermaksud menyudutkan kamu. Nggak mau pula memaksa kamu. Tapi aku tahu kamu tersiksa dengan ego kamu sendiri, Nin. Jadi, jalan satu-satunya untuk terlepas dari semua trauma masa lalu kamu ya adalah dengan menerimanya."

Hanin menutup kedua matanya. Telinganya menangkap dengan jelas maksud ucapan Dafan barusan.

Tidak, Hanin tidak ingin menangis malam ini. Jangan sampai!

Setelah mengembuskan nafas keras, Hanin menatap wajah ketiganya satu per satu.

"Ya. Aku akan mencobanya, Kak...."

Kelegaan berbalut kebahagiaan muncul di wajah mereka. Topik ini terlalu awal untuk dibahas di acara makan malam ini. Bahkan Hanin dan Dafan belum memesan apapun.

"Tapi, aku belum bisa terima Tante Loli kecuali dengan satu syarat," ucap Hanin datar.

Memudarkan raut bahagia yang beberapa saat tercipta. Mereka bertiga menunggu Hanin dengan harap-harap cemas.

"Kembaliin dulu tas belanja aku di minimarket waktu itu! Itu tas belanja kesayangan aku sejak SMA, Tan...," ucap Hanin dengan cengiran lebar.

Mereka bertiga dibuat melongo dengan pernyataan Hanin. Lalu tawa keras melebur semua kekhawatiran sebelumnya.

"Iya. Besok Tante kembalikan, ya. Mau Tante belikan dompet juga, biar kamu nggak lupa bawa lagi?" Loli menanggapi gurauan Hanin. Teringat kejadian Hanin yang tidak membawa dompet di kasir minimarket.

"Boleh!" sahut Hanin lantang.

Dafan mendekati telinga kiri Hanin. Berbisik lirih.

"Terima kasih, udah melepaskan semua beban di diri kamu. I love you, Hanin."

Minggu, 20 Maret 2022

❤️❤️❤️❤️

Hohoho!

Extra part sudah tayang!

Terima kasih buat yang sudah setia baca cerita ini hingga rampung.

Dari semua bagian cerita "Pada Orang yang Sama", bagian mana yang menjadi favorit kalian?

Oh, iya! Mungkin selama beberapa saat aku bakal off nulis di pf ini dulu. Kalian bisa tetep ketemu aku di akun Instagram-ku, ya. @ind.27.

Silakan share cerita ini ke keluarga, teman, pacar, mantan, dan sebagainya, ya!


Sekali lagi, sampai jumpa di ceritaku yang lainnya❤️

Mau ikutan Dafan ah!

I love you, Guys!

Salam hangat,
IndAwsoka

Continue Reading

You'll Also Like

12.2K 1.3K 37
Tumbuh dan berkembang bersama akan jadi hal yang paling berkesan untuk Cilla dan Yusa. Hampir setiap sudut kota mempunyai kenangan yang mereka rajut...
10.5K 1.3K 12
"Lelaki yang merasa beruntung memilikimu, dia tak akan pernah menggoda wanita lain. Karena baginya kamu adalah satu-satunya wanita di hidupnya. Sama...
11.2K 997 46
Tidak. ini bukan cerita dongeng seperti yang kalian fikirkan, bukan cerita seorang putri dengan pangeran berkuda, bukan pula cerita Rapunzel yang men...
184K 660 28
andrew seorang duda berusia 50 tahun diam-diam mengagumi menantunya sendiri yaitu elena. elena sering kali di tinggal dinas oleh suaminya , aldrich...