MIMOSA

By an11ra

1.7K 190 17

Tidak ada satupun manusia yang bisa memilih siapa yang akan menjadi keluarganya, tetapi manusia bisa memilih... More

1.0
1.5
2.0

2.5

240 32 4
By an11ra

Aku berlari secepat yang aku bisa, sesekali melirik jam di  pergelangan tanganku dan otomatis membuat mataku makin membulat. Tinggal lima belas menit sebelum kelas Bu Tania dimulai dan diriku masih ada di parkiran. Jangan kira kepribadiannya seindah namanya, sebaliknya beliau adalah tipe dosen tegas yang dengan senang hati akan mengusir siapapun mahasiswanya yang datang lebih lambat dari dirinya.

"Tutup pintunya... dari luar!" Kata-katanya yang dihapal oleh semua mahasiswa yang pernah mengikuti kelasnya. Kesiangan datang itu sepertinya merupakan masalah yang sering dan banyak dialami orang Indonesia.

Masalah kedua dari dosen wanita ini selain wangi parfumnya yang awet bertahan di kelas walau orangnya telah pergi hampir setengah jam lalu. Kelewat harum bikin eneg, bukan? Beliau juga hanya memberi dispensisasi 3x absen. Jika lebih dari itu artinya 'jumpa di tahun depan' alias mata kuliah anda gagal dengan kenang-kenangan nilai E di transkip nilai.

Dalam hati aku menyalahkan Papi karena tidak memperbolehkan aku membawa kendaraan apapun selama tinggal di Jakarta. Papi takut aku membuat ulah saat jauh darinya. Lagian mana mungkin aku  berani kebut–kebutan di daerah orang. Nah, kalau sudah telat ginikan aku yang repot.

Absen-ku terancam, guys!

Mengabaikan dering ponsel yang terus–menerus berbunyi dari dalam tasku. Lagi ribet gini ada aja sih yang ganggu. Aku malah terus berlari bahkan tak perduli saat beberapa orang tersenggol. Menggumamkan maaf seadanya pada korban yang tertabrak olehku. Dalam hati aku agak bersyukur karena tinggal naik tangga menuju lantai dua secepatnya.

DUK

Seketika kepalaku terasa menabrak sesuatu yang padat-padat empuk. Masalahnya, kekokohan lawanku yang ternyata lebih kuat membuat badanku limbung seketika ke belakang. Refleks tangan kananku meraih kemeja orang yang ada di depanku dan untungnya orang itu juga menarik tanganku yang satu lagi agar badanku kembali berpijak dengan stabil di puncak tangga.

Jatuh dari tangga itu ngeri banget menurutku.

Uuups… hampir aja!” suara berat seorang pria membuat napasku tercekat seketika.

Kayak familiar sama suaranya.

"____" Aku menegadahkan kepalaku untuk memandang wajahnya dan membuat diriku speechlees seketika.

Pria itu menaikan satu alisnya saat balik memandangku “Kamu Mosa kan?” tanyanya sambil tersenyum dengan gantengnya.

Buru-buru mengatupkan bibirku yang terbuka karena shock. Bahaya kalau dia ilfeel saat melihat mimik wajahku yang cengo cenderung mupeng saat memandangnya.“Ka-kak Abyan masih inget nama saya? Ngapain dateng ke kampus, bukannya Profesor lagi di Amerika?” suaraku bahkan agak terbata karena takjub sambil meredakan gemuruh jantungku yang berdetak makin keras entah karena efek lari-lari atau malah efek lain yang aku tidak tahu pasti.

“Kamu juga inget nama sayakan, masa saya nggak boleh inget nama kamu. Justru karena Ayah masih di Amerika, jadi saya yang disuruh ambil berkas penting di mejanya,” jawabnya dengan senyum makin lebar.

Rezeki anak shalihah.

Pagi–pagi ketemu pangeran, senyumnya itu ya Alllah… Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?

“Iiiiish… Malah ngelamun. Kamu lagi buru–buru? Ngapain lari–lari di tangga? bahaya Mosa!” nasihatnya sambil mengoyang–goyangkan tanganku yang ada di gengamannya untuk menyadarkanku.

Buru–buru?

Lari–lari di tangga?

Alarm dalam otakku berbunyi saat mencerna ucapannya, mampus… gue terlambat!

Sorry Kak Abyan, Mosa duluan… Mosa telaaaaat!” jeritku panik.

Menarik tanganku dari genggamannya dan melanjutkan menaiki tangga sambil berlari menuju kelas di ujung lorong sebelah kiri. Tidak aku perdulikan lagi bagaimana pendapat Kak Abyan atas kelakuanku yang terasa tidak sopan barusan.

Absen-ku di ujung tanduk aaaarrrggg!

Kalau jodoh nggak akan kemana, bukan?

Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga... Kamu di sana, aku di sini, bertemu kita di kursi pelaminan... Eaa.

Melangkah masuk ke kelas sambil mengatur napasku yang tersengal–senggal karena berlari. Melirik jam tanganku lagi, sudah lebih dari sepuluh menit dari jadwal tapi kursi dosen masih kosong. Apalagi teman–temanku asik ngobrol sendiri. Kalau tahu begini ngapain juga aku lari–lari. Sepertinya, Bu Tania lebih kesiangan daripada diriku.

Berjalan gontai guna menduduki kursi kosong di sebelah Nando. Ku sandarkan kepalaku di bahunya sambil menutup mataku sejenak. Berusaha mengembalikan detak jantungku yang tak normal akibat berlari. Perlahan napaskupun kembali teratur. 

Kurasakan elusan ringan di rambutku “Angkat tangan lo dari rambut gue!” ucapku pelan tanpa membuka mata.

Nando terkekeh tapi dia menghentikan aktivitas tanganya di rambutku “Mosa sayang, orang lain tuh senang kalau dielus–elus. Gini nih kalau naksir sama cewek yang nggak ada romantis-romantisnya… nasib… nasib.”

Mengabaikan ucapannya, aku malah memeluk legannya dan mencari posisi lebih nyaman untuk bersandar. Sumpah, aku butuh tempat beristirahat setelah sibuk lari–lari. Tenang, ini bukan modus tapi salahnya sendiri karena sekarang ada di sebelahku.

“Bu Tania mana sih? Dia telat atau malah kelasnya dibatalin? Lagian Adista kemana, tumben belum datang?” tanyaku beruntun walau masih dalam kondisi mata terpejam.

“Bu Tania nggak bisa ngajar, tapi ada tugas dan sekarang lagi diperbanyak sama Zakir. Kalau Adista tadi ke toilet,” jawab Nando tenang.

“Ooohhh.”

Suara kursi di geser di sebelah kananku tak membuat diriku membuka mataku. Bodo amatlah. Pokoknya aku butuh rehat sejenak. Capek lari-lari, aku kan bukan maling jadi tidak terbiasa berlari-lari.

Aaauuuuuwww” menjerit kecil saat kurasakan sentilan tak manusiawi pada dahiku disusul rasa panas dan sakit menyegat. Mataku otomatis terbuka dan memincing memandang Adista yang terlihat santai setelah melakukan penganiayaan padaku “Adista kampret! sakit tahu!” umpatku sambil mengelus dahiku pelan.

“Lagian lo dari tadi gue telepon nggak di angkat–angkat!" ujar Adista.

“Oh, lo yang telepon, gue kira tadi debt collector, berhubung gue ngerasa nggak punya utang jadi yaa nggak gue angkat. Lagian tadi gue terlalu sibuk lari–lari, mana sempat buat angkat telepon,” jawabku sewot.

“Kalau lo angkat telepon gue, lo nggak perlu lari–lari lagi, Mosa!”

“Ck, mana gue tahu itu telepon penting. Paling nggak gue dapat hikmah dari lari–lari tadi."

"Hikmah turun berat badan maksud lo?"

"Oh, tentu bukan. Lagian badan gue udah body goal gini. Olahraga itu buat sehat Dis, lurusin coba niat olahraga lo!" balasku sombong lalu senyumku mengembang "Tadi gue ketemu Kak Abyan. Senang banget gue! Aaaaaaa..." lanjutku sambil memegang kedua pipiku.

Namun tanganku terasa di tarik paksa oleh Nando dan kini kami berhadapan muka “Woi… siapa lagi Abyan–Abyan ini?”

Memutar bola mataku malas “Tungkang baso langganan Adista!” jawabku asal.

Mata Nando yang sipit makin sipit bahkan nyaris tak terlihat. Berusaha sekuat tenaga agar tidak tertawa sedangkan Adista sebaliknya malah terkekeh geli. Mengenal sosok Nando sebenarnya membuatku merasa seperti memiliki teman sekaligus kakak yang possessive.

Walau kata Adista, pria Tionghoa ini memiliki niat lain padaku. Bukan terhalang agama karena Nando juga Muslim sepertiku. Akan tetapi aku tidak begitu yakin padanya apalagi melihat jajaran gebetan, pacar hingga mantan Nando yang kalau disuruh berbaris mungkin mirip kayak antrian bagi–bagi sembako gratis. Oke, berlebihan mungkin tapi sumpah, jumlah mereka itu lebih dari jumlah jari manusia termasuk jari kaki. Terburuknya adalah aku takut akan kehilangan dia jika hubungan kami memburuk nanti. Apalagi hingga saat ini aku tidak punya perasaan lebih padanya.

Kedengarannya memang jahat. Kehilangan teman yang aku tidak mau. Masalahnya, sejak dahulu temanku memang terbatas. Putus lalu berteman hanya dialami segelintir orang, sisanya putus lalu musuhan. Temanku sedikit, tentu semua karena ulah Papi dan rekan–rekannya yang tidak membiarkanku berteman bebas.

Teman–temanku terlalu takut melihat penampakan rekan Papi yang agak sangar. Mereka sering kali bergiliran menjemputku sepulang sekolah. Padahal aslinya mereka tidak semenyeramkan penampilannya.

Papiku preman? Hmm... bukan sih, dia itu pengusaha properti dan cafe cuma memang gayanya agak rock and roll. Badannya juga bertato, selain nama Mami sisanya motif tribal. Semenjak Mami meninggal diusiaku yang masih lima tahun. Papi yang membesarkanku jadi kepribadian diriku sebenarnya tidak benar-benar feminim. Aku juga bukan jenis cewek yang mudah baper karena anak-anak rekan Papi kebanyakan cowok.

Adista berdeham "Mosa, lo bisa mulai kerja senin besok sampai hari minggu, mau nggak? Ntar lo dihubungi sama sepupu gue," ucapnya mengalihkan pembicaraan.

Menarik tanganku dari cekalan Nando lalu menatap Adista sambil tersenyum senang “Mau sih tapi kuliah gue gimana? Titip absen yaa Adista yang cantik!” jawabku sambil mengedip–ngedipkan mata.

“Gue emang cantik dan kenapa pake kedip–kedip segala? kremian lo?”

Gaya puppies eyes gini masa dikira cacingan... Kurang asem dasar!

iiissshh… rugi gue puji–puji lo!”

Nando sekali lagi menarik tanganku hingga wajahku berhadapan dengannya lagi “Ngapain pake kerja segala? Lo kehabisan uang? Kenapa nggak bilang ke gue? Pokoknya nggak usah kerja, nanti gue transfer, sebutin berapa yang lo butuhin!”

“Enak aja! Emang gue kelihatan kayak kaum duafa yang butuh sedekah. Gue bukan kekurangan uang, tapi gue mau beli hadiah buat Papi dari hasil keringet gue sendiri." Menarik tanganku dari cekalannya lalu mengarahkan telunjukku tepat ke hidung mancungnya "Tapi inget, jangan kasih tahu Papi! Kalau nggak bisa jaga rahasia, gue bakalan kasih tahu Tante Ciara kalau bulan lalu, lo beliin tas branded buat si Sonya” ancamku dan tentu membuat mata Nando membesar semaksimal yang dia bisa. Orang sipit mau melotot yaa tetep segitu-gitu aja... Kasihan... Kasihan.

“Curang lo! Gue cuma khawatir sama lo, Mosa,” balas Nando sambil mendengus.

Menoyor kepala Nando “Gue sama Adista juga khawatir, ntar lama–lama lo berubah dari manusia jadi ATM berjalan. Lo itu mesti bedain antara baik sama bego!” ucapku kesal sedangkan Nando malah tertawa mendengar perkataanku.

Dasar playboy cap Panda!

Kepalaku menoleh saat terdengar bunyi derit kursi digeser “Dis, mau kemana?”

“Tuh si Zakir udah datang dan malah dia lagi bagi–bagi kertas tugas. Lo berdua sih berantem mulu!" Memasukkan handphone ke dalam tasnya lalu berkata, "Mosa kita makan sop buah yuu tapi di kantin Fakultas Hukum? Mumpung kelas berikutnya masih nanti jam 1 siang.”

“Bolehlah, asal jangan ke Fakultas Teknik. Kapok gue!”

Kesialan kadang datang beruntun bukan? Tidak ada yang bisa jamin di sana aku tidak sial lagi. Mencegah lebih baik dibandingkan mendapat masalah baru. Sungguh, aku ini jenis gadis yang suka ketenangan dan kedamaian hidup.

"Masa sih? Siapa tahu di sana ada Bang Iro?!" sambar Adista sambil menahan geli.

Sialaaaaan!

"Gue nge-fans sama Superman bukan IROn Man!" jawabku jumawa.

"Halaaaah!"

Girls… hari ini gue yang traktir. Ke Fakultas Hukum kan?” ajak Nando penuh semangat.

Alis Adista nyaris bertaut karena heran “Kok dia yang lebih semangat, padahal kan gue yang mau makan sop buah?”

Aku memutar bola mataku malas “Oh, dia cuma pengen ketemu sama ‘pelicin pakaian’ itu loh si Rapika–Rapika. Dia maba di sana kayaknya,” ucapku yakin tidak yakin.

Gantian Nando yang menoyor kepalaku pelan “Sialan lo Mosa, main ganti–ganti nama orang sembarangan! Namanya RANIKA bukan RAPIKA! Apa perlu gue eja!!!” sergah Nando penuh emosi, sedangkan aku terkekeh geli.

Peduli amat namanya siapa, saudara bukan, keluarga juga bukan!

----------- 27062022 --------------

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 94 45
Setiap kali hujan turun, jantungku berdetak sangat cepat, napaskupun berat, perasaan sedih, takut, kecewa saling berebut ingin menguasai dan selalu b...
152K 8.9K 40
Setelah kecelakaan mobil Kaden Bretton mengalami kebutaan temporer, dan Isla Moore berusaha mengakhiri hubungan mereka di saat dia harus menyamar men...
861K 6.1K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
161K 12K 18
Seri #6 Humaniorama [untuk usia 15 tahun ke atas] Buku ini berisi alasan-alasan klasik kenapa orang memilih untuk berpacaran. Kalau kamu?