Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri tahun ini hanya berlangsung sekali. Tidak ada pengulangan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hal tersebut membuat Hanin cemas. Sejak ia ditolak di jalur SNMPTN atau jalur raport, Hanin makin serius dalam belajar SBMPTN. Kala kegagalan menimpanya bulan lalu, Hanin merasa down. Sedih bukan main.
Namun, ia sadar. Usahanya selama tiga tahun di SMA belum maksimal. Sehingga belum bisa tembus menggunakan jalur tanpa tes.
Beruntungnya, Hanin di-support oleh Mama. Mama membantunya bangkit. Tak menyalahkan atau memarahi, karena gagal. Sehingga, Hanin bisa berani untuk melanjutkan langkah sampai di tahap ini.
"Good luck! Fokus. Gue yakin lo bisa!" ujar Dafan menepuk sebelah bahu Hanin. Menyemangati.
Hanin menarik napas dalam. Dan mengembuskannya perlahan. Setelahnya ia tersenyum tipis.
"Makasih. Gue masuk dulu, Kak," pamit Hanin. Melangkah menuju gedung bertingkat dua tersebut.
Dafan masih berdiri. Menatap tubuh Hanin yang masih mengantri untuk melakukan pengecekan berkas-berkas di luar gedung.
Tak bisa ia pungkiri, Hanin tampak mempesona dengan kemeja putih lengan pendek, dan rok hitam selututnya. Rambutnya ia ikat rendah ke belakang. Sederhana, tetapi mampu membuat hati Dafan sedikit bergetar.
Setelah melihat Hanin masuk gedung, barulah Dafan pergi dari tempat itu.
***
Gila! Hanin sedang berkejaran dengan waktu yang berlari sangat cepat. Hitungan mundur yang tertera di layar pojok atas komputer seolah tidak mau menunggunya lebih lama lagi.
5 menit tersisa. Dan Hanin belum mengerjakan 9 soal lagi. Hanin menggulir layar menggunakan tetikus. Membaca cepat dan berpikir lebih cepat.
Namun, dibaca berulang kali pun, soal yang memiliki kesulitan tingkat tinggi tersebut tak bisa ia pecahkan. Rasanya Hanin ingin menangis, saat satu per satu calon mahasiswa terlihat sudah santai di tempatnya.
Hanin harus lebih fokus. Tiga menit lagi.
Tak mau menyia-nyiakan waktu, maka Hanin memilih untuk pasrah. Memilih jawaban yang tersisa dengan jawaban seadanya. A. B. C. D. Ia ambil secara acak.
Detik ke 00.00, bahu Hanin merosot. Dua jam yang melelahkan. Ia bangkit dari duduknya. Mengambil tas yang dikumpulkan di suatu tempat. Lalu keluar dari gedung itu.
***
Ia tengah duduk di bangku depan gedung. Otaknya masih berputar-putar pada soal tadi. Soal kelompok Saintek benar-benar sulit bukan main. Namun, bukan berarti soal Soshum juga mudah. Ia paham akan hal itu.
Mendadak, ia teringat seseorang. Dafan. Di mana cowok itu? Katanya akan menjemputnya lagi. Namun, sekarang malah belum terlihat batang hidungnya.
"Pfft! Gue capek! Pen cepet pulang!" gumamnya pada diri sendiri.
Lalu ia memutuskan untuk mencari nomor yang semalam menghubunginya. Memang Hanin belum menyimpan nomor Dafan. Setelah ketemu di history panggilan, Hanin langsung menekannya.
Dua kali tak ada jawaban dari cowok itu. Apa cowok itu sengaja meninggalkannya di sini? Supaya ia pulang sendiri?
Ia sudah akan memesan ojek online. Namun, entah mengapa, ia ingin berkeliling ke kampus ini sekali lagi. Sebelum besok ia akan pulang ke rumah.
Maka, ia meregangkan tubuhnya sejenak. Mengumpulkan energinya kembali. Lalu tangannya mencengkram tali tas punggung erat-erat. Berjalan bersama orang-orang yang juga sedang melihat-lihat.
Lama kelamaan, Hanin merasa area yang kini ia datangi bukanlah yang kemarin Dafan tunjukkan. Hanin jadi makin bersemangat.
Makin berjalan jauh. Makin sedikit pula orang yang berlalu lalang. Hingga tak ada lagi gedung-gedung kampus yang berdiri. Berganti pepohonan tinggi yang menjulang.
"Kayaknya gue kejauhan deh! Balik aja lah kalo gitu."
Ia pun berputar. Menapaki jalan yang tadi ia lewati.
Namun, Hanin salah mengambil jalan. Justru arah tersebut makin menyesatkannya. Ia harus bagaimana?
Hanin pun mengeluarkan ponsel kembali. Sialnya justru tak ada sinyal di tempat itu.
Hanin ketakutan. Sendirian berada dalam hutan belantara. Tak tahu arah mata angin. Tak tahu pula harus ke mana lagi. Ia payah, dalam urusan mengingat jalan dan mata angin!
Di tengah kebingungannya, Hanin tak menyerah. Ia terus berjalan sesuai hati nuraninya.
Fokusnya terpecah pada layar ponsel yang digoyangkan berkali-kali. Berusaha menangkap sinyal.
Hingga ia tak tahu, ada akar pohon besar di depannya. Menyandung langkahnya. Ponsel yang ia genggam ikut terjatuh. Berdampingan dengan lututnya yang menggores akar tersebut.
Ia menepuk kedua telapak tangannya. Duduk berselonjor di atas tanah. Tak peduli lagi dengan kotor tanah tersebut.
Rasanya gadis itu ingin menangis. Namun tertahan, karena ada sesuatu yang mendarat di sebelah pundaknya. Hanin menegang di tempat. Berkebalikan dengan pacuan jantungnya yang makin kencang. Ia pun memejamkan mata. Bayangan hewan melata atau binatang buas lainnya melintas di otaknya.
"Lo kenapa?"
Suara seseorang terdengar. Membuat Hanin berani membuka kembali matanya. Menemukan cowok asing yang berlutut di depannya.
Bukan, itu bukan Dafan. Tapi orang lain dengan tangan menggenggam sebuah tanaman.
"Nggak sengaja kesandung akar," jawab Hanin.
Cowok itu mengulurkan tangan. Membantu Hanin berdiri. Juga mengambilkan ponselnya yang tergeletak di tanah.
"Lagian ngapain lo ke sini? Lo peserta SBM, kan?"
Hanin mengangguk. "Gue iseng."
"Ada-ada aja sih, jadi orang. Ayo, gue anter balik ke area kampus."
Hanin menurut. Ketika melangkah, Hanin merasakan perih mendera salah satu lututnya. Seketika ia berhenti dan melongok ke bawah. Rupanya, ada sedikit luka di sana.
"Tunggu sini bentar," ucap cowok itu, sebelum menghilang dari pandangan.
Beberapa saat setelahnya, cowok itu kembali dengan berlari kecil. Rambut lebatnya ikut bergoyang.
"Duduk bentar," pintanya.
Hanin duduk. Berselonjor. Lalu cowok itu membubuhkan sebuah daun yang telah diremas-remas dan mengeluarkan getah di atas luka Hanin.
Hanin meringis pelan, kala perihnya makin terasa.
"Gue Nio."
"Hanin," balas Hanin ikut memperkenalkan diri.
"Tunggu biar sedikit kering."
"Itu namanya daun apa?" Hanin bertanya penasaran.
"Binahong. Baik untuk menyembuhkan luka."
"Dari mana lo tahu?"
"Sejak gue kecil, jarang banget minum obat dari dokter. Nenek gue lebih sering ngasih obat herbal dari tumbuh-tumbuhan. Jadi, itu juga yang ngebuat gue bisa masuk Pendidikan Biologi."
"Oh, lo kating berarti?"
"Ga usah gitu. Sama aja," ujar Nio dengan kekehan.
Setelah beberapa saat mereka mengobrol, Nio mengantar Hanin ke gedung tadi. Memapahnya pelan. Dan sedikit menarik perhatian orang-orang yang berpapasan dengan mereka.
Sampai di depan gedung ujian tadi, Hanin melihat punggung Dafan tengah membelakanginya. Hanin menghunuskan tatapan kesal pada cowok itu. Kakinya terhenti, membuat Nio sedikit bingung.
"Itu temen gue," ujar Hanin seraya menunjuk Dafan dengan dagunya.
Nio memperlihatkan raut sedikit tersentak kala melihat Dafan. Namun, ia bisa mengubahnya kembali normal.
"Kalo gitu, gue anter lo sampe sini aja nggak papa?"
"Iya. Nggak papa. Makasih, Kak Nio."
Minggu, 6 Februari 2022
❤️❤️❤️❤️
Hai! Happy Weekend!
Wohohoho! Nio datanggg!
Kira-kira, kelanjutan cerita mereka bakal gimana, ya?
Tungguin bab berikutnya, ya!
Salam hangat,
IndAwsoka