Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

977K 98.9K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 36: Someone from the past

14.1K 1.4K 77
By storiesbyyola

AKSA

"Nanti tim akan bantu buat target screening-nya. Kalau target udah berhasil diidentifikasi, kita bisa kasih friendly offer," jelasku di tengah sesi tanya jawab bersama klien pada meeting pagi ini.

"Nanti negosiasinya berarti dibicarakan lebih lanjut antar BOD?"

"Betul, Pak," sahutku tanggap. "Kalau misalnya penawarannya ditolak, nanti kita bisa appeal dengan cara lain seperti umumin penawaran ini ke publik baru setelahnya kirim formal tender offer."

Sesi tanya jawab terus berlanjut hingga satu jam. Secara bergantian, aku dan manajerku bergantian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan tak ada habisnya oleh klien. Perusahaan konglomerat ini memiliki bisnis yang kompleks sehingga pembicaraan pada rapat terus melebar meski poin-poin penting yang harus diketahui oleh timku juga tidak terlupakan demi kelancaran proses merger.

Sebisa mungkin, selama rapat berlangsung, aku tidak menoleh ke sisi kananku jika tidak dibutuhkan. Agar mataku tidak menemukan sosok yang kuhindari—yang sejak rapat berlangsung terus-menerus menumpu pandangannya padaku.

"Ke depannya, kalau ada yang perlu didiskusikan, bisa langsung menghubungi Aksa atau saya, Pak," tutup manajerku setelah diskusi selesai.

Aku hanya memberikan senyuman kecil untuk menjaga profesionalitas meski kepalaku sudah sibuk mengalkulasikan tambahan pekerjaan selama beberapa hari ke depan. Setelah berjabat tangan dengan klien—termasuk perempuan yang tersenyum lebar sejak melihat kehadiranku—aku dan manajerku langsung keluar dari ruangan.

"Aksa!"

Napasku langsung berembus lelah diiringi dengan makian lirih ketika mendengar panggilan itu saat sedang menunggu lift. Dengan berat hati, aku memutar tubuhku dan mendapati Amanda berjalan cepat ke arahku.

"Kamu buru-buru banget. Masih ada kerjaan abis ini? Mau makan siang sama aku dulu?" tanya Amanda bertubi-tubi setelah berdiri di hadapanku. Seperti mengerti pandangan bertanya-tanya yang dilayangkan oleh manajerku, Amanda mengalihkan pandangan dariku dan berkata, "Saya dan Aksa teman kuliah, Pak. Udah lama banget nggak ketemu jadinya agak canggung."

Manajerku terperangah sebelum menganggukkan kepala. "Makan siang aja dulu sama Mbak Amanda sebelum balik ke kantor, Sa. Kerjaan lo juga masih gue review jadi nggak perlu buru-buru balik. Siapa tahu Mbak Amanda mau ngomongin soal kerjaan juga."

Aku melipat bibir seraya mengendalikan ekspresi wajahku. Sejak masuk ke ruang rapat yang disediakan oleh klien, aku sempat terpaku ketika melihat Amanda sudah duduk di dalamnya. Dia memperkenalkan diri sebagai salah satu staf divisi Business Development yang memiliki tanggung jawab besar dalam proses merger yang direncanakan perusahaan.

Sadar tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mengikuti permintaan manajerku, aku mengangguk walaupun merasa keberatan. Berbanding terbalik dengan antusiasme tinggi yang ditunjukkan oleh Amanda. Begitu sampai di lobi, manajerku langsung memisahkan diri. Meninggalkanku dengan Amanda yang sudah menyerocos, memberikan banyak pilihan untuk makan siang kami.

"Makan siang di food court aja," potongku begitu mengingat salah satu klienku tadi sempat memuji makanan yang ada di food court dan merekomendasikannya kepadaku untuk menu makan siang. "Saya abis ini masih ada kerjaan lain, Mbak. Nggak bisa lama-lama."

Amanda kontan menyipitkan mata. "Manajermu tadi bilang kerjaan kamu masih di-review. Kalau kamu mau bohong, nggak mempan di aku ya, Sa."

Aku mengembuskan napas berat. "Saya ada kerjaan lain, Mbak. Di tim saya ada anak baru yang masih butuh banyak bimbingan buat menyelesaikan semua pekerjaannya. Rencananya saya mau diskusi sama dia perihal kerjaan sambil makan siang, tapi karena Mbak Amanda juga ngajak saya makan siang untuk omongin pekerjaan, saya harus bagi waktu."

Dari raut wajah Amanda yang terlihat datar, aku tahu dia tidak suka dengan batasan yang kubuat dengan jelas. Tapi, semua ini memang dibutuhkan agar dia tidak menganggap penerimaanku adalah sesuatu yang spesial. Aku ingin dia tahu bahwa hubungan kami sudah lama selesai dan apapun yang akan dia lakukan, tidak akan membuatku mengubah keputusanku. Supaya dia sadar bahwa interaksi yang akan terjadi antara kami baik sekarang maupun ke depannya, tidak lebih dari sebatas pekerjaan.

"Oke. Food court aja kalau begitu," putusnya sambil berlalu.

Amanda bukanlah orang yang mudah menyerah jika dia sudah menginginkan sesuatu. Aku hapal sikapnya yang satu itu. Apabila dia sudah membuat target dan memilih objek yang ingin dia capai, dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Sialnya, kali ini objek yang dia inginkan adalah aku. Sejak terakhir kali bertemu di Plaza Senayan, dengan gencar dia melakukan segala cara untuk kembali. Termasuk mengirimkan pesan dan meneleponku beberapa kali. Meski tidak ada satu pun upayanya yang kutanggapi, dia tidak menyerah begitu saja.

"Kerjaan kamu di kantor sibuk?" tanya Amanda ketika kami sudah duduk berhadapan di dalam food court dengan makanan masing-masing. Beberapa orang yang mengenalnya sempat menyapanya sebelum melangkah menjauhi meja kami.

"Sibuk," balasku singkat.

"Omong-omong, kamu harus buka blokiran nomorku karena sekarang kita rekan kerja," kata Amanda, mengingatkanku dengan tindakanku memblokir nomornya beberapa hari yang lalu ketika dia meneleponku berkali-kali saat aku sedang bersama Luna. "Kamu harus berhubungan sama aku sekarang dan kamu nggak akan bisa lakuin itu kalau nomorku masih kamu blokir."

Sembari merutuk di dalam hati, aku berkata, "Berhubung saya nggak punya waktu luang yang banyak, lebih baik kita langsung omongin soal pekerjaan aja, Mbak. Ada hal penting yang harus Mbak Amanda diskusikan sampai ajak saya makan siang?"

Kedua tangan Amanda yang ada di atas meja seketika mengepal. Dia menatapku tajam. "Kamu mau sampai kapan pura-pura nggak ngerti, Sa?" tanyanya dengan nada rendah yang penuh dengan penekanan. "Aku ajak kamu makan siang bukan mau ngomongin soal pekerjaan. Aku ajak kamu makan siang bukan sebatas rekan kerja. Bukan karena alasan pekerjaan."

Aku menaruh sendok di atas piringku. Mendadak nafsu makanku hilang. Aku meneguk air yang ada di botol hingga tersisa setengah sebelum menyatukan kedua tanganku di atas meja lalu menemukan netra kami.

"Aku yang sebenernya nggak ngerti sama kamu, Man," tegasku, menanggalkan panggilan sopan yang sempat kusematkan sebelum namanya. Screw professionalism. "Aku nggak ingat kita punya hubungan lain sebatas rekan kerja. Jadi, seharusnya aku yang nanya kamu. Sebenernya kamu sekarang lagi ngapain? Kamu mau apa?"

"Kamu tahu apa mau aku, Sa."

"Kamu bakal terus-terusan kayak gini kan, Man? Selalu mementingkan keinginan kamu tanpa menilai gimana dampaknya ke orang lain. Nggak dulu, nggak sekarang, kamu masih jadi orang yang sama. Aku pikir, setelah kejadian itu, kamu bisa berubah, Man." Aku mendengus kesal. "I should have known. People can't change easily."

"Mau sampai kapan kamu terus ngungkit masalah itu?"

"Sampai kamu ngerti kalau kamu nggak bisa dapetin semua yang kamu mau," sahutku. Tidak peduli dengan raut wajah Amanda yang sudah terluka karena mendengar ucapanku.

Aku beranjak dari tempatku, berniat untuk meninggalkannya meski isi piringku masih tersisa banyak. Namun, niat itu urung ketika mendengar pertanyaan yang diajukan Amanda secara lantang.

"Karena cewek itu, Sa? Yang nggak sengaja ketemu waktu kita di Plaza Senayan?"

"Namanya Luna. Dan kalau kamu mau tahu jawabannya, aku bakal kasih tahu," tukasku. "Iya. Karena dia. Dia pacarku sekarang, Man." Aku menghentikan ucapanku saat menyadari Amanda terkejut dengan informasi itu. Tapi, aku tidak peduli lagi dengannya. "Dari jawabanku ini, harusnya kamu tahu kan, kalau kamu nggak akan bisa kembali walaupun kamu maksa?"

"Sikapmu keterlaluan, Sa! Mau sampai kapan kamu terus menghindar dari aku? Kalau kamu emang udah bisa lupain aku, harusnya kita bisa berteman lagi."

Aku mengernyit kemudian tertawa tidak habis pikir begitu dia berusaha melempar kesalahan padaku. Sadar pembicaraan ini tidak akan beranjak ke mana-mana, aku mengambil tasku yang ada di kursi. "Stop this, Man. You look very pathetic right now—terus-terusan mengejar orang yang kamu tahu orang itu nggak bisa terima kamu lagi apapun alasannya."

*

LUNA

Setelah minggu yang terasa panjang di kantor karena pekerjaanku yang menumpuk meski Mas Jero sudah menyelesaikan sebagian, aku hanya ingin menghabiskan akhir mingguku dengan bersantai di apartemen. Atau menghabiskannya dengan Aksa—seperti biasa—berdiam diri di apartemenku tanpa melakukan hal yang berarti. Hanya mengobrol untuk membicarakan hal-hal yang terjadi saat kami tidak bersama, memesan makanan dari restoran terdekat, movie marathon, kemudian makan lagi begitu masuk jam makan malam.

Bertemu dengan Damar masuk ke dalam hal terakhir yang kuinginkan. Mungkin karena pesannya tidak kubalas sebelumnya, dia akhirnya mendatangiku ke apartemen. Hubungan bertahun-tahun yang pernah kumiliki dengannya membuatnya lebih mudah mengetahui jam bangun tidurku hingga jam santaiku di akhir minggu. Dengan langkah kaki yang sengaja aku hentakkan, aku menghampiri Damar yang sudah menungguku di lobi.

"Langsung ke intinya aja, Mar," celetukku ketus sebelum memberikan Damar kesempatan untuk menyapaku. "Aku nggak tahu apa yang mau kamu omongin sampai kamu bela-belain datang ke sini tanpa kabarin aku sebelumnya, tapi aku harap itu hal yang penting."

Damar, seperti tidak tersinggung dengan gaya bicaraku, hanya mengangkat bahu dan melemparkan senyuman. "Aku udah chat kamu beberapa minggu yang lalu, tapi kamu yang nggak balas. Aku sengaja langsung datang supaya kamu nggak punya alasan buat menghindar."

Aku melipat tangan di depan dada. "Mau ngomong apa?"

"Ngobrol di Starbucks depan aja biar lebih enak," putus Damar seenaknya.

Sebelum aku menolak ajakannya, dia sudah berjalan lebih dulu meninggalkanku. Aku menganga lebar. Starbucks yang dia maksud berada di samping lobi apartemenku. Masih berusaha menjaga jarak, aku mengikuti langkah kakinya. Selagi dia memesan di kasir, aku menduduki tempat kosong yang ada di dekat jendela.

"Vanilla Latte kesukaan kamu," ujar Damar sambil mengangsurkan segelas kopi kepadaku. Aku melengos, masih enggan berada di satu tempat yang sama dengannya. "Senyum dong, Lun. Kalau orang lain lihat kamu yang manyun terus begini, bisa-bisa mereka kira aku maksa kamu supaya mau duduk di sini."

Kontan, aku menghela napas. "Mau apa, Mar? Mendingan kamu buruan ngomong. Nggak perlu basa-basi atau berusaha baik sama aku karena semuanya nggak akan mempan."

"Aku harus mulai dari mana supaya kamu bisa percaya sama omongan aku nantinya, Lun?" tanya Damar dengan lemah. "Aku minta kamu ketemu bukan tanpa alasan, Luna. Aku serius mau ngomong sama kamu. Aku udah berubah. Aku udah dapat pekerjaan yang jauh lebih baik dari perusahaan kita sebelumnya—udah kerja di tempat ini sekitar satu bulanan. I got my life in control now and I want you back."

Aku tersentak, sudah kehabisan kata-kata usai mendengar ucapannya. Setelah semua yang dia lakukan padaku, sekarang dia berani untuk memintaku kembali? Semudah itu? Sambil menahan geram, aku berkata dengan tegas. "We're done here. Nggak ada lagi yang perlu aku dengar dari kamu."

Secepat aku berdiri, secepat itu pula Damar beranjak dan menahanku. Dia memegang kedua bahuku meski kami dipisahkan oleh meja kecil. Aku tahu seharusnya aku tidak lagi merasakan apapun atas ucapannya, tapi sekarang aku merasa marah. Kesal karena merasa sedang dipermainkan olehnya. Dan meskipun aku benci dan enggan mengakuinya, rasa sakit yang sudah lama tidak menghampiri hatiku kembali muncul—mengingatkanku tentang apa yang pernah aku lalui sebelum hubungan kami berakhir.

"Aku belum selesai ngomong, Luna," sergahnya.

"Aku udah tahu inti pembicaraan ini, Mar," sanggahku. Menyadari seluruh pengunjung kini memerhatikan kami, tak terkecuali para barista yang ada di balik bar, aku menghela napas kasar lantas kembali duduk tegak. "Jawabanku masih sama kayak sebelumnya, Mar. Aku nggak bisa."

"Aku minta kesempatan terakhir ke kamu, Lun. Aku nggak bisa kalau nggak sama kamu. Selama beberapa bulan terakhir, aku udah evaluasi diriku sendiri. Aku tahu sikapku ke kamu selama kita masih pacaran nggak ada yang bisa dibenarkan. Aku yang salah. Aku sadar sebesar apa aku nyakitin kamu, makanya aku berusaha buat bangkit dan perbaiki diriku," jelas Damar. Dia menatapku penuh permohonan. Tatapan sama yang dia berikan saat aku memutuskan untuk menyelesaikan hubungan kami.

"Kamu yang jadi motivasi aku supaya bisa berubah. Aku nggak lagi mengeluh setiap ada masalah dan melampiaskannya ke orang lain. Aku nggak lagi menyalahkan orang lain atas kegagalanku. Aku berusaha buat jadi pribadi yang lebih baik lagi. Selagi aku memperbaiki diri, aku juga cari cara buat ubah karierku, Lun. Aku apply ke beberapa tempat dan perusahaan ini lebih baik dari sebelumnya. Lingkungan kerjanya sehat dan posisiku udah settle." Damar meraih tanganku. "Sekarang, setelah semuanya tercapai, kamu tujuan terakhirku."

"Hubungan bukan soal keinginan satu orang, Mar. Harus ada dua orang terlibat di dalamnya. Dulu, aku orang itu—orang yang terus bertahan walaupun aku tahu sebenernya nggak ada lagi yang dipertahanin. Dulu, pas aku mati-matian bertahan demi hubungan kita, kamu ke mana? Kamu ngapain? Sibuk meninggikan dirimu sendiri dengan cara yang nggak masuk akal." Aku menepis tangannya yang menggenggamku. "Kamu nggak bisa kayak gini—minta aku kembali ke kamu seenaknya. Aku bukan orang yang bisa miliki kalau kamu mau atau kalau hidupmu udah terkontrol, Mar. Aku bukan orang yang bisa kamu sia-siakan di saat kamu merasa hidupmu nggak bisa dikendalikan lagi. Aku bukan orang itu lagi."

"Kasih aku waktu. Aku bisa tunjukin ke kamu kalau aku udah berubah. Hubungan kita bisa balik lagi ke sedia kala—ke masa-masa di mana kita awal pacaran," pinta Damar. "Aku janji ini bakal jadi kesempatan terakhir yang aku minta ke kamu. Kalau setelahnya kamu nggak bisa balik lagi, aku bisa terima. But, at least, give me a chance to prove my words."

Aku menutup wajahku dengan sebelah tangan. Mendadak semua energiku yang tersisa sudah terbuang begitu saja karena pembicaraan ini ternyata lebih sulit dari yang kuduga.

"Dulu aku kecewa banget sama kamu, Mar. Bahkan, sampai sekarang, rasa kecewa itu masih belum reda," cetusku, membuat Damar terkesiap. "Aku kecewa karena kamu berperilaku kasar ke aku, tapi lebih dari itu, aku kecewa karena kamu nggak bisa menepati janji kamu sendiri. Kamu pernah janji kalau kamu nggak akan jadi orang yang sama kayak mantan-mantanku sebelumnya. Kamu janji bakal mendukungku buat terbang setinggi yang kumau, memenuhi semua impianku sekecil apapun itu. Kamu yang paling tahu kalau aku sulit membuka diri karena takut pasanganku merasa rendah diri lagi. Kamu yang buat aku percaya kamu itu orang yang berbeda. Ujungnya apa? Kamu nggak ada bedanya. Dan sekarang, setelah kamu buat aku kecewa sebesar itu, mempertanyakan semua yang ada di hidupku, kamu mau kembali? Segampang itu, Mar?"

Damar menundukkan kepalanya, terlihat bersalah. "Aku minta maaf."

"Setelah putus sama kamu, aku mulai balik ke masa-masa itu lagi. Mempertanyakan semua keputusan hidupku. It wasn't easy for me, bahkan ketika orang-orang terdekatku bilang nggak ada yang salah denganku, aku nggak bisa percaya semudah itu. I keep doubting myself, even until now. Kamu buat aku meragukan diriku sendiri setelah kamu buat aku percaya setengah mati ke kamu. Aku sekarang nggak tahu lagi, Mar, harus gimana. Aku nggak tahu harus menaruh kepercayaan ke siapa, bahkan sampai sekarang."

"Kita bisa memperbaiki semuanya, Lun."

"Aku udah nggak bisa, Mar."

"Kenapa?"

"Perasaanku udah nggak ada buat kamu."

"Perasaan itu bisa tumbuh lagi seiring waktu, Lun. Dulu kamu juga begitu waktu awal-awal kita dekat. Kamu selalu nolak aku, tapi seiring banyaknya waktu yang kita habiskan bersama, perasaan itu muncul, kan? Kita bisa ulang masa-masa itu lagi."

"Bisa kalau keinginan itu berasal dari dua orang. Kalau cuma datang dari salah satunya, percuma kan, Mar?" Aku nyaris berteriak. Dengan napas yang memburu, aku kembali berbicara dengan nada datar. "Kamu perlu tahu, Mar. Sejak kita mulai sering berantem dan kamu memperlakukanku dengan buruk demi memenuhi ego kamu yang setinggi langit, rasa sayangku ke kamu menyusut setiap harinya. Sekarang nggak ada lagi yang tersisa."

Damar terdiam untuk beberapa lama. Untuk sekian detik, hanya ada hening di antara kami. Hingga akhirnya, dia berbicara dengan tatapan tajam yang tertuju kepadaku. "Apa karena Aksa?"

"Aksa nggak ada—"

"Kamu pacaran sama dia, Lun?" selanya.

"Nggak usah bawa-bawa Aksa ke pembicaraan ini karena dia nggak punya andil apapun di dalam masalah kita," balasku sambil bersedekap dan menatapnya tidak kalah tajamnya.

"Kamu nggak bisa sama dia, Lun. Apa peringatan yang aku kasih ke kamu sebelumnya kurang jelas? Dia bukan orang yang baik. Dia nggak berhak dapetin kamu. Trust me, you will get hurt by him." Suara Damar melunak di akhir. Namun, bukannya reda, emosiku justru bertambah naik setelah mendengarkan kalimat akhirnya. "Jangan sama dia, Luna."

Ini kedua kalinya Damar memperingatiku hal yang sama. Dan aku mulai terusik dengan ucapannya. Namun, aku berusaha menghempaskan segala pikiran negatif yang ada setelah mengingat semua perlakuan Aksa kepadaku selama ini. Dia adalah orang paling tulus yang pernah kutemui. Damar mungkin mengatakan hal itu karena dia cemburu dan tidak terima dengan penolakanku.

Aku harus mempercayai Aksa.

"Kamu kenal Aksa sebaik apa, Mar, sampai berani bilang kalau dia bukan orang yang baik dan nggak berhak dapetin aku?" tantangku. Mungkin karena suaraku yang semakin lantang atau nadaku yang meninggi, Damar tampak terkejut. Matanya mengerjap. "Justru sebaliknya, Mar. Dia orang paling baik yang pernah aku kenal dan beberapa kali aku mikir kalau aku yang nggak berhak buat dapetin dia. Kamu nggak pantas ngomong kayak gitu tentang Aksa."

Damar mengusap wajahnya. Dia melepaskan napas berat sebelum menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. "I don't want you to get hurt."

Mulutku terbuka lebar. Merasa ucapannya itu tidak pantas keluar dari mulutnya. "Lucu banget, ya," sindirku. "Kalau kamu lupa, Mar, kamu juga salah satu orang yang pernah nyakitin aku. Kamu nggak punya hak buat ngomong begitu."

"Kamu nggak kenal dia, Lun. Aku takutnya—"

"Dan sekarang aku nanya balik, Mar. Kamu kenal Aksa? Berapa lama kamu kenal dia? Sedekat apa kamu sama dia sampai kamu bisa ngomong begitu? Kamu cuma ketemu dia dua kali dan di dua pertemuan itu, kalian nggak pernah ngobrol lebih dari sepuluh menit. Sekali lagi, aku tanya. Kamu kenal dia sebaik apa?" cercaku. Bibir Damar terkatup rapat dengan rahang yang menegang. Aku mendengus begitu melihat reaksinya. "See? Kamu bahkan nggak bisa jawab, kan?"

"Kamu sebaiknya tanya ke dia tentang ketulusannya berhubungan sama kamu."

"Stop talking nonsense. You don't have the right to!" kecamku.

Aku berdiri dari tempat dudukku kemudian meraih access card dan ponsel yang ada di atas meja. Mataku melirik pada minuman yang dibelikan Damar untukku. Minuman yang isinya masih utuh karena aku tidak ingin meminumnya.

"Aku harap ini jadi pertemuan terakhir kita, Mar. Aku udah bahagia sama Aksa. Jadi, aku mohon sama kamu buat jangan pernah datang lagi buat minta kesempatan yang kamu mau karena kesempatan itu udah sejak lama kamu buang dan sia-siakan," tandasku sebelum melangkah meninggalkan Damar yang masih terpaku di tempat.

Aku tahu seharusnya aku tidak merasakan hal seperti ini lagi, tapi patah hatiku yang disebabkan oleh Damar entah kenapa terasa seperti baru terjadi kemarin sore. Aku masih bisa merasakan setiap retakannya dengan jelas hingga saat ini. Dengan pikiran yang berkecamuk, aku mengusap sudut mata yang basah karena air mata.

Sambil menenangkan diri, aku mengecek ponsel. Aku menghentikan langkahku ketika melihat dua panggilan tak terjawab dari Aksa. Aku meneleponnya balik dan mengangkatnya di dering kedua.

"Halo, Sa," sapaku. "Kenapa?"

"Kamu di apartemen?"

Aku terdiam. "Lagi di Bintaro."

"Oh." Hanya hening yang terdengar beriringan dengan aku yang mulai mengambil langkah menuju lobi. "Pulang ke apartemen kapan?"

Aku menarik napas untuk menahan air mata lain yang akan jatuh. Aku tidak ingin Aksa melihatku di kondisi seperti ini. "Aku nggak tahu. Mungkin—"

Langkah kakiku terhenti ketika melihat Aksa sudah berdiri di lobi apartemenku. Tangannya memegang ponsel yang ada di telinga sedangkan tatapannya tertuju lurus ke arahku. Kontan, aku mematikan sambungan telepon kami. Bahuku terkulai lemas. Tenggorokanku terasa kering ketika aku berjalan menghampirinya.

"Kamu sejak kapan—"

"Aku telepon kamu tapi nggak diangkat," sela Aksa. "Tadinya aku mau ngajak kamu keluar sekalian kasih undangan pernikahan yang dititipin Kevin. Kamu abis dari mana?"

"Abis dari Starbucks depan." Aku mengambil undangan yang diangsurkan Aksa. Undangan berwarna emas dengan ukiran nama yang elegan di depannya. Kemudian, kami berjalan masuk begitu lift terbuka. "Aksa, aku—"

"Ngapain di Starbucks?" potong Aksa lagi.

"Aku tadi ketemu sama Damar di sana," tuturku setelah menimbang cukup lama. "Dia tadi datang ke sini tanpa kabar. Aku tahu dia pasti bakal datang lagi ke depannya kalau aku nolak permintaannya buat ngobrol. Makanya walaupun aku nggak kepengen buat ketemu dia, aku tadi penuhi kemauan dia."

Aksa mengangguk lagi. Dia mengelus puncak kepalaku. "Aku tahu."

Jantungku nyaris berhenti berdetak. Aku terpekur, kehilangan kemampuan untuk berbicara. Serta, menunggu apa lagi yang akan Aksa katakan karena dilihat dari wajahnya, aku tahu masalah ini tidak akan selesai dengan mudahnya seperti pertengkaran kami yang terakhir.

"Kenapa harus bohong kalau kamu lagi nggak ada di apartemen? Kenapa nggak ngomong jujur dari awal?" tanya Aksa. Meski ekspresi wajahnya masih terlihat tenang, caranya berbicara penuh dengan ketegasan dan penekanan. "Aku bukan orang yang cemburuan, Lun. Aku nggak akan larang kamu ketemu sama cowok—meskipun cowok itu mantan kamu. Walaupun aku nggak begitu senang kamu ketemu Damar—mengingat perilaku dia ke kamu dulu—aku percaya sama kamu. Kenapa harus ditutupin?"

Aku masih terdiam dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tahu seharusnya aku tidak menutupi pertemuanku dengan Damar, ataupun berbohong padanya perihal keberadaanku. Namun, aku tidak ingin Aksa melihatku seperti ini. Sekarang aku hanya bisa merutuki kebodohanku sendiri karena telah berbohong pada Aksa.

"Kenapa jadi nangis? Aku nanya baik-baik lho, Lun," timpal Aksa sambil menarikku masuk ke pelukannya. Dia menghela napas lelah. "Pas mobilku lewatin lobi buat cari parkir, aku udah lihat kamu dan Damar jalan ke Starbucks. Bohong kalau aku bilang aku nggak bertanya-tanya kenapa dia bisa datang ke sini dan ketemu kamu. Tapi, aku percaya kamu, Lun. Makanya aku nggak lagi telepon kamu. Nggak samperin kamu karena aku tahu kamu pasti punya alasan dan pertimbangan sendiri kenapa ketemu sama dia."

"Maaf," ucapku lirih dengan pandangan yang mengabur.

Tidak ada lagi yang bisa kuucapkan selain permohonan maaf. Meskipun dia berusaha berbicara selogis mungkin dengan ketenangan yang masih terjaga, aku sempat melihat kekecewaan melintas di raut wajahnya.

"Kejujuran itu penting di dalam suatu hubungan, Lun," ujar Aksa. Tangannya mengelus punggungku. "Kalau hal yang paling penting aja udah nggak ada di antara kita, buat apa hubungan ini terus berjalan?"

*

Notes:

Nah loh, gimana tuh hubungan Aksa x Luna nanti di next chapter? Aksa aja udah ngomong begitu.

Apa juga maksudnya Damar peringati Luna tentang Aksa?

Continue Reading

You'll Also Like

15.7K 2.3K 62
Galiena memiliki trauma terhadap sosial media. Masa lalunya yang begitu buruk membuat ia selalu berusaha menghindar dari segala hal yang bersangkutan...
707K 89.5K 42
Satya, single parent yang bercerai 9 tahun yang lalu ketika anaknya baru berusia 9 tahun. Ini cerita tentang hiruk pikuknya sebagai seorang ayah yang...
1.4M 111K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
2.4M 106K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...