Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

848K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 35: Her fears

13.4K 1.3K 26
By storiesbyyola

LUNA

"Lo ngapain ngecekin HP terus?" protes Lisa kesal. Setelah menemaniku semalaman kemarin, dia kembali datang hari ini sepulang kerja karena Mama dan Papa ternyata baru bisa pulang besok dari luar kota. "Gue laporin ke Aksa kalau lo masih ngecek kerjaan. Biar diomelin lagi kayak kemarin."

Aku merengut lalu menaruh ponselku di meja karena dugaannya tidak bisa kupatahkan. Aku memang baru saja mengecek grup kantor untuk mengetahui progress proyek-proyek yang masih berjalan. Sesekali aku menjawab di grup ketika Mas Jero bertanya mengenai pekerjaanku yang sementara dia handle karena Hanifa dan Dewa sudah overload. Meski pertanyaan yang diajukan Mas Jero itu tidak tertuju kepadaku, aku masih tetap menjawabnya. Mas Jero sampai mengancam akan mengeluarkanku dari grup untuk sementara waktu agar aku bisa fokus pemulihan ketika aku masih aktif menanggapi segala pertanyaannya.

Mataku menatap lurus ke langit-langit ruangan rawat inapku. Aksa mengabari kalau hari ini dia tidak bisa datang menjenguk karena harus lembur. Sebagai gantinya, dia berjanji akan mengunjungiku di apartemen sepulangnya aku dari rumah sakit. Teringat sesuatu, aku memperbaiki posisi ranjangku agar aku bisa duduk.

"Lis," panggilku lirih sementara Lisa yang sedang menggulir layar ponsel untuk memesan makanan akhirnya mendongak. "Kok lo nggak nanya apa-apa?"

Lisa menatapku balik. "Tentang apa?"

Aku mengulum bibir. "Aksa."

"Oh, itu." Lisa mengangguk beberapa kali kemudian fokus pada ponselnya lagi. Aneh. Biasanya dia yang paling bersemangat kalau sudah membahas hal-hal seperti ini. Dia yang selalu mendesakku untuk berbicara dengan menggebu-gebu. Ketenangannya tampak beribu kali lipat jauh lebih mencurigakan. "Adam udah peringati gue buat nggak nanya apapun tentang kalian. Waktu terakhir kali kita teleponan itu dan lo ngomel-ngomel, Adam juga ngomel ke gue karena terlalu ikut campur."

"Oh." Aku menyahut singkat dengan perasaan yang sedikit gamang.

"Kenapa? Kecewa karena gue nggak nanya?" ledek Lisa.

Aku mendengus sebal.

"Well, since you mentioned about it first, I guess you wanna talk about it, don't you?" Lisa menaruh ponselnya di atas meja. Mungkin sudah selesai memesan makanan atau dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyuarakan pertanyaan yang hinggap di pikirannya. "Dimulai dari mana, ya?" Lisa mengelus dagunya. "Kita mulai dari liburan tujuh tahun lalu ke Malang kali, ya?"

This is it. Aku meremas jari-jariku sendiri lantas membuang pandangan. "I got caught up in the moment."

"Lo naksir dia, Lun?"

Aku mengangkat bahu. "Sort of."

"Kenapa lo nggak bilang ke gue?" tanya Lisa dengan nada tinggi, tampak kaget. "Gue emang pernah nebak kalau kalian ada apa-apa, tapi waktu itu Aksa kan, masih sama Amanda—eh, waktu itu udah putus tapi dia nggak bilang siapapun—wait! Gue nggak ngerti, Lun. Gimana caranya lo bisa suka sama Aksa pas semua orang masih ngira dia punya pacar? Dia cerita ke lo kalau dia udah putus?"

Aku menggeleng pasrah. "Dari awal gue justru nggak tahu kalau Aksa punya pacar, Lis. Sama kayak kalian—gue juga clueless, nggak tahu apa-apa sedangkan selama liburan, dia... begitu, lah. Gue sempat ngaku kalau gue baper sama dia—" Lisa menganga lebar. "I know I was stupid. Seharusnya gue nggak ngomong begitu, tapi gue nggak bisa mikir apapun saat itu. Dia bilang, dia cuma anggap gue sebagai teman."

"Kenapa selama ini lo diam aja dan nggak cerita apapun?"

"Gue malu," akuku, tertawa kaku. "Itu kan, sama aja kayak gue ditolak."

"Tapi gue ini kembaran lo! Seharusnya lo nggak perlu malu."

"Tapi Aksa itu teman lo. Gue nggak mau bikin pertemanan kalian jadi berantakan.

"Alasan diterima," tukas Lisa setelah berpikir beberapa saat. "Jadi, selama ini kalian salah paham karena Aksa nggak menjelaskan apapun ke lo—persis seperti dia nggak cerita apapun ke gue dan anak-anak yang lain tentang hubungannya. Itu anak kebiasaan, deh! Harus ditanya dan didesak dulu baru ngomong," racaunya. "Tapi sekarang dia udah jelasin ke lo, kan? Kenapa dia bisa putus sama mantannya dulu?"

Aku mengangguk cepat dan seketika pipiku bersemu. "Kalau dia nggak kasih penjelasan apa-apa, nggak mungkin gue sama dia bisa kayak gini sekarang—you know, we try to fix our relationship."

"And the problem is?"

Aku menengadah, melihat Lisa lurus. Agak terperangah karena dia mengetahui niatku yang sesungguhnya di balik pembicaraan ini.

"Duh, Lun! Lo pikir gue ini baru kenal lo kemarin sore sampai nggak tahu kalau lo pasti lagi banyak pikiran karena hubungan ini?" tanya Lisa sambil berdecak kesal. "Lo mana mau cerita masalah hubungan lo dengan sukarela kalau nggak ada tujuan lain di baliknya. Kenapa? Sekarang apa lagi masalahnya?"

Aku menunduk dalam, menimbang-nimbang apa yang akan kukatakan padanya.

"Karena masalah karier lo?" tanya Lisa lagi. "Aksa itu bukan Damar, Lun. Dia nggak akan mempermasalahkan hal-hal yang dulu pernah Damar permasalahkan. Justru gue yakin banget dia bakal jadi orang pertama yang mendorong lo supaya bisa berkembang. Apalagi, karier kalian juga kurang lebih di bidang yang sama. Dia pasti bisa ngerti sama semua kesibukan lo. Apa lagi yang lo pikirin?"

"Kalau nanti ujung-ujungnya putus gimana, Lis?" ujarku, mengalihkan pembicaraan. "Gue tahu dia nggak akan permasalahin hal itu, tapi nggak ada yang tahu akhirnya gimana."

Aku mendesah pelan kemudian menarik lututku untuk dipeluk. Walaupun Aksa selalu memperlakukanku dengan baik selama ini, kadang masih timbul ketakutakn yang tak bisa kuhindari. Takut jika hubungan ini akan berakhir tidak semestinya. Takut jika Aksa akan meninggalkanku lagi. Takut jika aku akan kembali patah hati karena dirinya lagi.

Meskipun aku tidak menyangkal bahwa kehadiran Aksa membawa kebahagiaan tersendiri, bukan berarti aku telah merasa sepenuhnya lega. Perasaan senang setiap bersama Aksa, sensasi berbunga-bunga dan kupu-kupu yang beterbangan di perut setiap Aksa melancarkan godaan padaku, maupun jantung yang berdebar-debar setiap bertemu dengannya tidak mampu menyingkirkan rasa takutku.

Lisa, seperti mengeri perdebatan batin yang sedang kualami, langsung berjalan mendekat. Duduk di sisi ranjangku dan menepuk lenganku pelan. Berusaha memberikan kekuatan.

"Udah capek mikirin kerjaan, capek juga ya, mikirin soal percintaan?" Lisa menyunggingkan senyum. "Pantesan aja sampai kena gejala tipes begini. Aksa harus tanggung jawab nih, karena turut berkontribusi bikin lo sakit," guraunya, membuatku menggembungkan pipi akibat salah tingkah. "Lo tahu nggak kenapa gue semangat banget buat jodoh-jodohin lo dan Aksa?"

Aku menggeleng. "Kenapa?"

"Karena lo dan Aksa pernah disakiti sedalam itu sama orang yang pernah kalian cintai. Dari pengalaman itu, kalian bisa saling memahami dan memperlakukan satu sama lain dengan baik supaya kalian nggak perlu mengalami patah hati yang kesekian kalinya. Aksa itu ya, Lun—gue ngomong gini bukan karena gue promosiin dia sebagai teman, tapi emang gini kenyatannya—dia tuh baik banget, Luna. Sekalinya sayang sama orang, pasti sayang banget. Pemikirannya dewasa dan dia punya bentuk penerimaan yang tulus."

Dan di dalam hati, aku menyetujui ucapan Lisa. Karena terlalu sempurna, aku selalu merasa sosok Aksa itu too good to be true.

"Makanya gue sempat kesel banget waktu tahu dia putus karena diselingkuhin. Itu si Amanda otaknya lagi miring atau gimana, gue nggak ngerti kenapa dia bisa selingkuhin orang sebaik Aksa," gerutu Lisa berapi-api.

"Aksa nggak pernah genit. Dia emang friendly, tapi kalau ada tanda-tanda cewek yang dia baikin menganggap kebaikannya itu hal yang spesial, dia pasti langsung bikin batas walaupun nggak secara terang-terangan," tutur Lisa lagi. "Beda sama Haris yang nggak pernah kosong—ada aja cewek yang dia deketin—Aksa itu beda. Dia nggak pernah sembarangan deket sama cewek kecuali emang dia mau sama cewek itu. Dia paling nggak suka ngasih harapan palsu ke orang lain, makanya kalau dia emang sekarang dekat sama lo—apalagi dia yang terus-terusan ngegas, berarti emang dia suka sama lo, Lun. Baik itu tujuh tahun yang lalu atau sekarang. Mungkin dia punya alasan kenapa dulu dia nolak lo padahal posisinya dia udah putus sama Amanda, tapi kalau emang dari dulu dia udah deketin lo, berarti emang perasaannya ke lo serius."

Aksa memang sudah menjelaskannya. Aku juga mengerti kenapa dia mengambil keputusan itu, tetapi bukan berarti rasa takutku dapat menghilang begitu saja.

"Lo termasuk orang yang beruntung karena udah disukai orang sebaik Aksa. Begitu juga sebaliknya. Aksa juga beruntung dapet kembaran gue yang satu ini walaupun suka bego banget kalau soal urusan cinta," kata Lisa semangat.

Aku mendelik. "Heh! Lo itu mau muji atau jelek-jelekin gue?"

Lisa terbahak. "Gue berani jamin seratus persen kalau Aksa nggak main-main soal perasaannya dan seharusnya lo nggak perlu takut apapun."

Aku menghela napas lalu termenung karena ketakutan itu masih belum sirna.

"Lo nggak tahu aja berapa banyak cewek yang terang-terangan modus deketin Aksa. Mental semua karena Aksa emang nggak tertarik sama mereka. Kalau sama lo kayaknya beda banget, ya? Dia yang semangat banget deketin dan ngejar-ngejar lo." Sejenak, Lisa menyatukan tangannya di depan dada. "Oh my god! Gue nggak nyangka kalau teman gue bisa jadian sama kembaran gue sendiri!"

"Heboh banget!"

"Jadi, yang bikin lo kepikiran itu karena takut kalian putus?" tanya Lisa tiba-tiba.

Kepalaku mengangguk cepat. "Gue takut disakiti dan ditinggal lagi."

Kontan, Lisa memutar bola matanya. "Risiko disakiti mah akan selalu ada kali, Lun!" peringatnya. "Setiap hubungan kan, nggak selamanya happy terus. Pasti ada masa-masa di mana kalian nggak sengaja menyakiti satu sama lain lewat kata-kata maupun sikap. Nggak perlu takut Aksa bakal ninggalin lo juga, karena gue tahu banget dia bukan tipe orang yang bisa ninggalin orang yang dia sayang begitu aja tanpa ada alasan yang logis. Yang terpenting itu, lo siap nggak mengambil risiko itu supaya tahu gimana ending hubungan kalian? Kalau lo terus mengedepankan rasa takut, selamanya lo bakal terus ada di fase ini. Nggak akan maju ke mana-mana. Padahal Aksa sendiri juga nggak mudah, lho, yakinin dirinya buat berkomitmen lagi setelah hubungannya sama Amanda penuh dengan drama."

Ini bukan pertama kalinya aku mendengar orang-orang terdekat Aksa mengatakan hal yang sama. Tentang Aksa yang tidak pernah berkomitmen dengan siapapun sejak putus dengan Amanda. Sejujurnya, hal itu juga menjadi salah satu pertimbangan kenapa aku berani menerima tawarannya untuk mencoba. Kalau dia memang tidak pernah terlibat hubungan dengan siapapun selama beberapa tahun belakangan dengan alasan tidak pernah menginginkannya, berarti perasaannya kepadaku kali ini benar-benar nyata, kan? Bukan hanya euforia sesaat seperti yang pernah dia takutkan ketika kami pertama kali bertemu tujuh tahun yang lalu.

"Separah itu, ya?" tanyaku.

Lisa mengangguk lalu mendecak beberapa kali. "Drama banget, Lun. Gue dengar cerita ini beberapa bulan setelahnya dari Adam karena mereka satu dorm waktu lanjut di Unimelb."

Raut wajah Lisa yang terlihat ngeri membuatku semakin penasaran. Meski Aksa pernah menceritakan bagaimana hubungannya dengan Amanda dulu, aku tidak tahu cerita detailnya dan aku enggan bertanya lebih lanjut karena tahu dia tidak nyaman membicarakannya.

"Si Amanda tidur berkali-kali sama selingkuhannya. Lo tahu kenapa dia ngaku sama Aksa?"

Aku refleks menggeleng. Baru sadar kalau sepanjang kami bersama, Aksa tidak pernah mengungkit perihal masa lalunya dengan Amanda lagi. Dia tidak pernah membicarakan seburuk apa hubungan mereka dulu berakhir. Itu pun hanya sekali. Aku hanya tahu Amanda selingkuh dan tidur dengan laki-laki lain. Hanya itu.

"Karena Amanda diancam sama selingkuhannya. Si cowok ini mau aduin apa yang pernah mereka lakuin ke Aksa karena Amanda nolak ajakan dia buat pacaran. Karena nggak mau Aksa dengar hal itu dari orang lain, akhirnya Amanda ngaku sendiri."

Mulutku terbuka lebar. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Amanda berharap, dengan dia ngaku, Aksa bakal maafin dia. Sayangnya Aksa udah terlanjur kecewa dan langsung minta putus. Tapi, emang dasarnya muka udah tebel, si Amanda masih ngejar-ngejar Aksa. Padahal Aksa nggak pernah ladenin dia lagi. Sampai akhirnya—" Lisa menarik napas dalam. "Aksa dikirimin sex tape sama selingkuhannya Amanda karena selingkuhannya ini cemburu. Walaupun udah males banget berurusan sama Amanda, tetap aja Aksa bantuin mantannya buat urusin masalah itu karena tindakan selingkuhannya Amanda udah termasuk kriminal. Revenge porn. Setelah urusan itu selesai, setahu gue Amanda nggak pernah lagi gangguin Aksa. Malu kayaknya. Lo nggak tahu masalah ini, Lun?"

"Aksa nggak cerita banyak, tapi gue tahu Amanda emang tidur sama cowok lain," desahku.

Meski aku bertanya-tanya alasan mengapa Aksa menyembunyikan hal sebesar itu, hatiku merasa sakit membayangkan Aksa harus menghadapi semua masalah itu sendirian. Tanpa ada teman berbagi. Apalagi, tidak lama setelahnya, ayahnya Aksa meninggal. Aku tidak tahu bagaimana bisa dia tetap berdiri tegak setelah semua masalah yang datang satu per satu ke hidupnya.

"Dia pasti nggak akan cerita sih, Lun. Menurutnya, masalah ini tuh, aib seseorang yang seharusnya nggak boleh disebar ke orang-orang yang nggak berkepentingan. Ini gue aja tahu dari Adam. Gue kasih tahu ke lo karena lo perlu tahu seberapa peliknya masalah dia dulu," ungkap Lisa dengan tatapan menerawang. "Gue sama anak-anak sempat mikir kalau Aksa itu trauma buat berkomitmen lagi karena bertahun-tahun setelahnya nggak pernah dia punya niatan buat cari pacar atau dekat sama cewek manapun. Dan kalau misalnya suatu saat nanti Aksa berani pacaran lagi berarti dia nggak main-main sama pacarnya itu."

Mendapatiku masih bungkam seribu bahasa, Lisa kembali berbicara. "Menurut gue, mendingan lo nggak perlu mikir yang aneh-aneh, termasuk ketakutan tentang hubungan ini nggak akan berhasil ke depannya. Kadang ketakutan itu cuma ada di pikiran lo doang, Lun. Jalanin aja dulu."

*


"Hei." Aksa menyapaku ketika aku membuka pintu unit apartemenku. Dia mencium keningku sekilas sebelum berjalan masuk, langsung menuju dapur dengan tangan yang menenteng plastik besar berisi makanan. "Aku take away dari restoran chinese yang biasa kita beli. Kamu mendingan duduk aja. Biar aku yang siapin makanannya. How's your feeling? Masih pusing atau demam?"

Aku mengernyit ketika Aksa sudah sibuk membongkar kabinet untuk mengambil piring dan sendok. Menata makanan yang dia bawa di atas meja makan. Kemarin, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Baru hari ini aku pulang ke apartemen setelah menghabiskan satu malam di Bintaro. Begitu tahu aku berada di sini, Aksa mengatakan dia akan mampir sepulang kerja agar bisa makan malam bersama.

Aksa masih sibuk memberitahu makanan apa saja yang dia beli sambil bolak-balik di dapurku layaknya tempat ini adalah apartemennya sendiri sedangkan pikiranku sudah penuh dengan obrolanku dengan Lisa beberapa hari yang lalu. Obrolan mengenai Aksa dan masa-masa sulitnya di Australia dulu karena mantannya. Tanpa dapat kukendalikan, rasa sedih dan sesak menyeruak begitu saja setelah mengingat obrolan itu.

Aku melangkahkan kakiku. Aksa berdiri membelakangiku, sedang membuka kulkas untuk mengambil minuman kaleng cincau favoritnya yang dia simpan di kulkasku. Tubuhnya menegang ketika aku memeluknya erat dari belakang. Tapi, tidak membutuhkan waktu yang lama hingga dia kembali rileks dan mengelus tanganku yang melingkar di pinggangnya.

"Kenapa, Lun?" tanya Aksa lembut. Dia membalikkan tubuhnya agar bisa menatapku. "Kamu kenapa? Kangen?"

"Kangen." Aku mencuri ciuman singkat di bibirnya. "Tapi, bukan karena itu."

"Terus kenapa?" sahut Aksa. "Kamu kalau udah begini bikin aku ngeri deh, Lun."

"Aku udah dengar ceritanya dari Lisa."

Aksa mengerutkan keningnya. "Cerita apa?"

"Tentang masalah kamu, Amanda, dan selingkuhannya waktu di Australia."

"Bukannya kamu udah tahu?"

"Kamu nggak cerita tentang sex tape itu."

Tidak adanya tanggapan dari Aksa memaksaku untuk menengadahkan kepala agar dapat menilai raut wajahnya. Seperti yang kuduga, ekspresinya langsung muram. Dari sekian banyaknya momen yang tercipta di antara kami, ini kedua kalinya aku melihat ekspresi murung dan keras terpatri di wajahnya. Dan dua-duanya diakibatkan oleh orang yang sama. Pembicaraan tentang masa lalu tampaknya akan selalu menjadi hal yang menakutkan bagi kami berdua.

"Kamu marah?" tanyaku, takut.

Aksa mengerjapkan mata lalu dia menggelengkan kepala. Detik kemudian, dia melempar senyum padaku. "Nggak marah. Cuma kaget aja," sahutnya lalu mengacak rambutku. "Aku sengaja nggak cerita masalah itu ke kamu karena aku nggak mau nyebar-nyebar aib orang lain. Walaupun aku nggak suka sama dia, bukan berarti aku bisa omongin hal itu. Aku juga males buat inget-inget hal itu. Nggak penting."

"Aku tahu kalau kamu bukan orang yang suka ngomongin masa lalu, Sa," ujarku seraya mengembuskan napas. "Tapi, hal-hal yang menurutmu nggak penting itu, bisa aja penting buatku. Dengan kamu cerita, aku bisa lebih kenal kamu. Bukan cuma kamu doang yang mau jadi pendengar buat setiap masalahku, aku juga mau punya posisi yang sama di hidup kamu."

Aksa melepaskan tanganku yang berada di pinggangnya. Dia melangkah mundur, menciptakan jarak di antara kami. Dan setelah menghabiskan banyak waktu dengannya, aku tahu ini adalah bentuk pertahanan dirinya ketika dia harus membicarakan hal yang tidak dia sukai.

"Padahal aku udah cerita semua hal yang bisa aku ceritain ke kamu, Lun," tukas Aksa. Alisnya tertaut. "Kerjaanku, keluargaku, teman-temanku, dan masa laluku sama Amanda. You know the gist of it. Masih kurang, Lun?"

"Bukannya kurang. Aku cuma ngomong doang, Sa," balasku. "Aku nggak mau hal-hal yang menurut kamu nggak penting itu, nantinya bisa jadi masalah di masa depan."

"Nggak akan terjadi masalah ke depannya yang berkaitan sama masalahku dan Amanda di Australia dulu, Lun," kata Aksa. Dia melipat tangannya di depan dada. "Aku dan Amanda udah selesai sejak lama. Kami nggak ada hubungan apa-apa lagi."

Aku memandangnya lama sebelum menganggukkan kepala untuk menyelesaikan pembicaraan ini. Jika aku tetap memaksa untuk membicarakannya, aku tahu pasti ini akan berujung tidak baik. Dengan hati yang gamang, aku berjalan menuju meja makan. Namun, langkahku terhenti ketika Aksa menahan lenganku. Dia mengembuskan napasnya dengan berat.

"Aku minta maaf karena nggak cerita hal itu ke kamu," gumam Aksa.

Aku menghela napas. "Kamu kayaknya lagi banyak kerjaan di kantor, ya? Sampai jadi sensitif banget dan nggak paham maksud dari omonganku," ujarku. Aksa menanggapi dengan ringisan pelan. "Aku ngomong gitu supaya kamu tahu kalau aku ada di sisi kamu kapanpun kamu mau cerita dan berbagi semua masalahmu ke aku—termasuk masa lalu yang nggak pernah gampang kamu ceritain ke orang lain. Aku mau memahami kamu, Sa. Sebesar kamu pahami aku tentang masa laluku dan Damar atau mantan-mantanku yang lainnya. Karena dengan begitu, aku bisa lebih tahu kamu, feel connected to you."

"Shit," umpatnya pelan.

Aku terkesiap, juga kebingungan.

Aksa menarikku mendekat hingga ujung kaki kami bersentuhan. Ekspresinya yang keras sudah melembut. Berganti dengan raut wajah penuh rasa bersalah. "Sorry if I'm being a jerk. Aku nggak akan kasih excuse apa-apa karena emang aku yang salah. I'm sorry."

Rasa kesal dan kecewa yang sempat bercokol di hatiku perlahan menghilang saat mata Aksa menyorotku penuh permohonan. Mungkin pembicaraan ini bisa saja berakhir dengan pertengkaran hebat kalau tidak ada yang mau menurunkan ego agar dapat berpikir jernih.

"Maafin aku ya, Lun?" pinta Aksa lagi. "Aku emang nggak terbiasa buat cerita hal-hal yang pernah terjadi di hidupku. Terutama hal-hal yang nggak mengenakkan, tapi ke depannya aku bakal usahain buat cerita itu ke kamu."

Aku masih terdiam, ingin melihat sampai sejauh mana dia membujukku meski aku sudah memaafkannya di detik pertama dia meminta maaf padaku.

"Sayang, maafin aku, ya?" Aksa memohon. "Aku janji nggak akan begitu lagi."

Aku mendengus lalu memukul perutnya dengan tinjuanku. "Awas aja kalau kamu nyebelin lagi," ancamku pura-pura kemudian melepaskan genggamannya pada tanganku dan berjalan ke meja makan. "Aku minta maaf juga karena nggak bisa baca situasi. Seharusnya kita ngobrolin yang ringan-ringan aja berhubung akhir-akhir ini kamu lagi capek karena banyak masalah di kantor."

"Permintaan maaf diterima," sambar Aksa dengan kerlingan jahil. Aku mendelik, mengundang tawa Aksa yang sedang mengambil gelas di kabinet.

Perhatianku teralihkan ketika ponsel Aksa yang berada di atas meja berdering. Sebuah nomor yang tidak dikenal menghubunginya. "Sa, telepon, nih."

Aksa menoleh sekilas. "Dari siapa?"

"Nggak tahu," balasku. "Nggak disimpan nomornya."

"Oh, biarin aja, Lun. Telepon spam mungkin."

"Nggak mau kamu angkat aja? Siapa tahu dari klienmu."

Aksa mengambil ponselnya setelah persiapan makan malam kami selesai. Dia mengernyit sebentar saat melihat panggilan itu lalu menaruh ponselnya lagi di atas meja ketika panggilan telepon itu terputus. "Spam kayaknya, Lun. Nggak mungkin dari klien karena aku simpan semua nomor klienku. Kalau mau nelepon juga biasanya mereka kasih kabar dulu."

"Aku suka kamu jarang lembur akhir-akhir ini dan punya banyak waktu luang buat aku," celetukku sambil memandangi Aksa yang sibuk memisahkan ikan asam manis dari durinya untuk ditaruh di piringku. "Lain kali mau makan malam di luar nggak? Kamu nggak bosen makan di apartemen terus?"

"Asalkan sama kamu, di mana aja aku nggak keberatan," goda Aksa jahil. "Di apartemen gini juga enak soalnya kita jadi punya privasi."

Mataku mendelik penuh peringatan saat Aksa mengedipkan sebelah matanya. Tanpa dijelaskan, aku tahu maksudnya. Sambil berusaha mengabaikan pipiku yang terasa memanas, aku menaruh beberapa sayur yang ada di meja ke piringnya sebelum kami menyantap suapan pertama bersamaan. Dan pembicaraan kami mengalir dengan mudahnya seolah kami tidak pernah terlibat perdebatan panas sebelumnya.

Pikiranku otomatis membandingkan pertengkaranku dan Damar dulu dengan cekcok yang baru saja kualami dengan Aksa. Damar cenderung selalu berteriak, tidak mau mengalah, dan terus memutarbalikkan perkataanku diselipi kata-kata yang membuat hatiku sakit. Emosinya baru reda ketika aku menyerah untuk membantah semua ucapannya. Sangat berbeda dengan Aksa yang masih bisa mengendalikan emosinya dan berbicara tanpa ada nada tinggi dan tanpa ekspresi.

Mengingat bagaimana kami menyelesaikan masalah dengan kepala dingin tanpa adanya lemparan kalimat yang menyakitkan membuatku tersadar bahwa ucapan Lisa memang ada benarnya. Mungkin ketakutan yang kumiliki, semuanya hanya berasal dari pikiranku saja. Itu semua tidak nyata. Hubungan kami akan baik-baik saja. Aksa tidak akan meninggalkanku. Dan mungkin kali ini, dalam hubungan ini, kami bisa sama-sama bahagia.

*

Notes:

Kalian pernah nggak ngalamin hal buruk pas pacaran kayak Aksa atau Luna? Gimana hal itu mempengaruhi kalian? 

Di sini, aku kasih tahu gimana perasaan Luna selama ini, apa aja yang berusaha dia sembunyiin dan dia pikirin sendirian kalau lagi nggak sama Aksa. Kalian pernah ngerasain hal yang sama kayak Luna nggak?

Ini kayaknya berantemnya Luna sama Aksa ya setelah mereka resmi pacaran tapi untungnya mereka langsung baikan saat itu juga wkwkwk tepuk tangan buat Aksa yang langsung sadar dia salah dan minta maaf hehe

Btw, kemarin nggak ada yang bener pas nebak setelah ini aku mau bikin cerita tentang siapa wkwk. Semuanya nebak Haris :D emangnya kenapa sih sama Haris? Apa yang bikin kepo sama dia?

Sayangnya, walaupun aku emang berencana bikin ceritanya Haris, karya abis L:TBE selesai bukan tentang dia. Ayo tebak lagi siapa wkwk yang menang nanti dapet Aksa (eh nggak deng nggak boleh nanti Luna marah hahaha)

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 146K 34
Pesahabatan yang dibangun Ane, Genta, dan Karen hancur lebur kala Karen-calon istri Genta-secara tiba-tiba membatalkan pernikahan saat persiapan suda...
1.1M 106K 22
[Completed] No. 1 at Metropop on 23rd Feb 2020! Meet Nila, a 27 yo, single since born yang dijodohin sama Eyang-nya dengan, Reiga, a 32 yo, cucu dari...
1.6K 494 42
Juara 1 Kategori Favorite Author pada ajang Author Got Talent 2022🥇 Bercerita tentang seorang gadis SMA bernama Murisa Saraswati. Dia adalah anak br...
575K 87.1K 49
Tentang Levant Elenio Devara, yang melemparkan payung. Si bos berhati es yang membenci semua orang, termasuk hidupnya sendiri. Tentang Rintik Hafa...