BUL & BIN

By smstldhl

17.3K 1.9K 647

Misteri, Pengkhianatan, Peristiwa, serta Lika-Liku Kehidupan, Semuanya terkuak. Permasalahan yang tak kunjung... More

𝐁 𝐈 𝐍 𝐓 𝐀 𝐍 𝐆
𝐁 𝐔 𝐋 𝐀 𝐍
01.1. 𝐓𝐡𝐞 𝐛𝐞𝐠𝐢𝐧𝐧𝐢𝐧𝐠 𝐨𝐟 𝐞𝐯𝐞𝐫𝐲𝐭𝐡𝐢𝐧𝐠
02.2. 𝐓𝐨 𝐦𝐞𝐞𝐭 𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧
03.3. 𝐖𝐞𝐥𝐜𝐨𝐦𝐞 𝐭𝐨 𝐦𝐲 𝐥𝐢𝐟𝐞, 𝐛𝐚𝐛𝐲
04.4. 𝐑𝐞𝐬𝐭 𝐢𝐬 𝐨𝐯𝐞𝐫
05.1. 𝐍𝐞𝐰 𝐩𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞 𝐨𝐫 𝐨𝐥𝐝 𝐩𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞?
06.2. 𝐂𝐡𝐢𝐥𝐝𝐡𝐨𝐨𝐝 𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝𝐬
07. 𝐀𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐢𝐝 𝐋𝐢𝐧𝐞
08. 𝐌𝐢𝐬𝐬𝐞𝐝 𝐏𝐞𝐫𝐬𝐨𝐧
09. 𝐑𝐞𝐝 𝐟𝐥𝐚𝐠 𝐨𝐫 𝐭𝐬𝐮𝐧𝐝𝐞𝐫𝐞 𝐛𝐨𝐲
10. 𝐌𝐞𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐦𝐨𝐦 (𝐦𝐨𝐨𝐧)
11. 𝐃é 𝐉𝐚𝐯𝐮 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐭𝐡𝐞 𝐛𝐞𝐚𝐬𝐭𝐬
12. 𝐘𝐞𝐬, 𝐢'𝐦 𝐚 𝐯𝐢𝐥𝐥𝐚𝐢𝐧
13. 𝐏𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞'𝐬 𝐩𝐫𝐚𝐲𝐞𝐫𝐬 𝐚𝐭 𝐨𝐧𝐞 𝐭𝐢𝐦𝐞.
14.1. 𝐀𝐋𝐗𝐀𝐍𝐃𝐀𝐑𝐈𝐀 𝐗 𝐀𝐋𝐆𝐈𝐄𝐍𝐃𝐑𝐀

15. 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐚𝐛𝐨𝐮𝐭 𝐫𝐚𝐢𝐧.

261 39 27
By smstldhl

Hallo, luv!
Di chapter ini, ayo Vote n spam komen sebanyak-banyaknya!!!

100 komen bisa? Besoknya langsung update, biar kangen Bintang nya ga terlalu lama ㅋㅋㅋ


***

"APA?!" Pekik Vania merasa tak terima dengan ucapan Bintang.

Untuk kedua kalinya, dengan sengaja, gadis bernama Vania itu menggebrak meja membuat mereka menunjukkan reaksi terkejut. "Ini bahas apa sih?!" Protesnya.

Suasana kantin yang riuh seketika hening, atensi orang sekitar kini memperhatikan perkumpulan remaja yang sengaja menggabungkan meja dan kursi menjadi satu itu dengan tatapan heran. Mereka semua mulai berbisik, membicarakan perlakuan yang baru saja Vania lakukan seperti;

"Siapa yang gebrak meja?"

"Itu anak baru pindahan dari London, gak sih?"

"Apa sih? Kok gak jelas banget."

"Mereka lagi rebutan Bintang kali haha."

"Mukanya ketara calon ratu skandal banget."

Bukan hanya warga kantin, inti DANDEXLION dan empat gadis Anak Juminten serta Alvaro pun sama halnya seperti mereka. Mereka pikir, reaksi Vania sangat berlebihan.

"So-sorry, gak sengaja." Ucapnya dengan canggung. Setelahnya mereka semua berdecak sebelum berfokus pada diri masing-masing.

Kelvin mengelus dada. Pemuda cap playboy itu sempat melayangkan tatapan sinis pada Vania. Sialan, jantungnya hampir saja naik ke tenggorokan.

"Ini kita lagi bahas lomba basket kan?" Tanya Kelvin menatap Bintang dan Alvaro secara bergantian. "Kenapa kesannya lo berdua lomba buat dapetin Bulan?"

"Apaan?" Bulan menatap Kelvin dengan tatapan jengah, namun tenang di situasi namanya ikut terseret.

"Nggak, maksud gue-" Penjelasan Kelvin terpotong. Lelaki itu mengalihkan pandangannya pada Austin yang menyela ucapannya.

"Ok, gue faham." Austin menghentikan kunyahan, menoleh menatap Kelvin dengan tampang datar khasnya sebelum berdecih, malas menanggapi.

"Apa? Faham apaan lo?" Kini Ghevan ikut bertanya tanya. "Kelvin belum ngomong sama sekali."

"Diem, berisik." potong Austin cepat. Menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memotong ucapan Ghevan sebelum mulut lelaki itu lebih banyak bicara.

"Peraturan pertama, jangan pernah menganggap lawan lemah." Sela Alvaro dengan nada sarkastik. Menatap nyalang lelaki yang baru saja mengklaim sahabat kecilnya dengan sembarang. Bintang fikir, Bulan adalah barang yang sangat mudah untuk dimiliki?!

Lelaki itu tampak menyeringai menatap Alvaro yang menatapnya marah. "Siapa yang menganggap lawan lemah?" Tanyanya meremehkan. "Cuma sama-sama bersaing, kan? Buat ngerebut hadiah utama dari  permainan."

"Come on, lomba itu cuma permainan. Kita cuma lomba antar kelas, jangan terlalu di anggap serius lah. Menang kalah udah biasa. Kenapa lo berdua sampai segitunya?" Kelvin ikut menimpali.

Suasana disekitar mereka berubah seiring pembahasan topik obrolan mereka. Bulan, perempuan yang namanya ikut terseret itu mengunyah makanannya dengan pelan dan tenang sambil memperhatikan para lelaki yang tengah saling menimpali omongan. Sedangkan ketiga teman gadis itu melakukan kegiatan yang sama dengan dirinya. Ketegangan pun sedikit terselip tentunya.

"Kalian lagi bahas pertandingan kan? Atau bahas yang lain?" Vania cemberut. "Apa cuma aku doang yang gak ngerti kalian lagi bahas apa?"

"Bukan cuma lo doang kali, kita juga gak ngerti." Balas Vio dengan ceplas-ceplosnya.

"Lo anak baru?" Tanya Walla. Wajah gadis itu memasang tampang bingung, pasalnya dirinya baru melihat wajah perempuan yang tadi ikut berdebat dengan Bintang.

"Lo yang sekelas sama Alvaro, kan?" Fanny ikut bertanya. Lantaran dirinya juga ikut mendengar gosip yang menyebar luar seantero SMA HILLS yang katanya murid pindahan London pindah ke SMA mereka.

Vania mengangguk. "Aku murid pindahan," katanya membuat dua gadis yang tadi bertanya hanya bisa mengatakan kata 'Oh' lalu mengangguk kan kepala.

"Oh iya, aku juga teman kecilnya Bintang loh. Kita dulu sering main, Bintang sering main ke rumah aku juga. Makanya sekarang kita deket walaupun aku baru pindah ke sini." Jelasnya.

Mereka semua yang mendengarnya hanya mengangguk mengiyakan. Padahal, dari lubuk hati mereka, mereka tak berniat untuk bertanya apalagi tak butuh penjelasan kenapa gadis itu dengan cepat menempel pada Bintang.

"Tapi, aku masih bingung. Soal omongan Alvaro sama Bintang tadi maksudnya apa? Kalian nggak lagi bersaing buat dapetin Bulan kan?" Tanya Vania menatap wajah Bintang, Alvaro serta Bulan secara bergantian.

Bulan berhenti mengunyah, kedua alisnya mengerut. "Maksud lo?" Balasnya cepat.

Vania tersenyum manis. "Nggak pa-pa, Bintang punya aku, gak mungkin kan dia mau bersaing cuma mau dapetin kamu, Bulan?"

"Haa?" 

***

"Aduh ... pak Edi kok belum jemput, ya?" Bulan bermonolog. "Bisa lumutan gue kalo disini terus, mana sekolah udah sepi." ujarnya memelas.

Bel pulang sudah berbunyi sejak dua puluh menit yang lalu. Bulan masih duduk seorang diri di halte bus depan sekolah. Benar-Benar sendiri. Ketiga sahabatnya udah pulang sejak tadi. Padahal tadi, ketiga sahabatnya sudah mewarkan untuk pulang bersama, tapi Bulan tetap keukeh. Ia tidak mau ikut, karna alasan takut merepotkan sekaligus takut supirnya itu datang namun dirinya tak ada.

Kepala Bulan menengok ke kanan-kiri, memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Dengan harapan sang supir berada di antara kendaraan yang lewat.

Menghela nafas, pandangannya turun pada sepatu Converse yang ia gunakan. Kakinya mulai menendang-nendang kecil kerikil dengan ujung sepatu untuk menghalau rasa bosan.

Dalam lamunannya, Bulan nampak berfikir. Apa ia harus berputar arah memasuki SMA HILLS lalu mencari Alvaro untuk meminta lelaki itu mengantarkan nya pulang?

Menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan nya sendiri. Lagi-lagi gadis itu hanya bisa menghembuskan nafas. Lupa jikalau Alvaro tadi sempat memberitahunya bahwa lelaki itu ikut ekstrakulikuler basket yang memang diadakan hari ini karena teman barunya mengajak lelaki itu.

"Sumpah! Nyesel banget gue, gak ikut nebeng bareng Vio." Rengekannya menghentakkan kakinya beberapa kali.

Bulan merogoh tasnya, mengambil benda pipih berupa handphone, menghidupkan data seluler sebelum mengutak-atik untuk membuka aplikasi WhatsApp berniat mengecek room chat nya dengan sang supir, namun naas, hanya ceklis satu dengan last chat dirinya yang tak kunjung menjadi ceklis dua biru.

Beralih pada pesan yang disematkan, Bulan berniat mengirimi pesan pada Mamahnya. Namun, baru saja mengetikan pesan berupa 'Ma' dan belum sempat terkirim, suara bias lelaki terdengar berada di dekatnya membuat dirinya menghentikan aktivitas mengetiknya.

"Lo cewek yang pernah ke Markas gue?" Ucap Revan menghampiri Bulan yang tengah duduk dengan ponsel ditangannya. Cowok itu ingat betul wajah perempuan yang rivalnya seret untuk keluar dari Markas miliknya.

"Oh, anak sekolah sini ternyata?"

Bulan menoleh ke sumber suara. Alisnya mengernyit. "Lo ... cowok yang babak belur di markas lo sendiri?"

Ternyata lelaki yang berdiri tegap dengan sorot mata tajam yang bersuara tadi adalah musuh dari Bintang. Sorot mata Bulan beralih, melihat motor sport jenis--- entah jenis apa, setahunya sama seperti motor milik Bintang yang lelaki itu gunakan, terparkir apik dibahu jalan.

"Fuck, lo ngeledek gue?" Balas Revan dengan wajah sinisnya.

Bulan menyimpan kembali ponsel miliknya ke dalam tas, lalu fokusnya kembali terarah pada Revan.

"Lo ngerasa kalau gue ngeledek lo?" Sahutnya dengan angkuh. 

Mengangkat sebelah alisnya, Lelaki dengan jaket kulit berwarna hitam itu berdecih, tak terima apa yang gadis itu ucapkan. Meludah pada aspal untuk membuang rasa kesalnya sebelum menatap kembali wajah perempuan yang menurutnya sungguh berani, Revan terkekeh.

"Sialan." Umpatnya. "Segede apa sih nyali lo sampai bisa masuk markas gue?" Tanyanya meremehkan.

"Perempuan cuma bisa nangis, tapi kenapa lo bisa senekat itu?" Tanyanya lagi.

"Cuma bisa nangis?" Tanya Bulan.

"Ya."

"Ternyata di pikiran lo perempuan selemah itu, ya?" Bulan berdiri, melangkah agar bisa berhadapan dengan Revan, cewek itu sempat menyeringai. "Perempuan gak selemah itu. Mau coba?"

Revan mengernyit. Pemuda itu tampak bingung dengan pertanyaan gadis cantik di hadapannya.

"Rahang atau perut?" Tanyanya.

Revan menunduk, menatap gadis yang hanya sebatas dadanya sembari menautkan kedua alisnya, tak mengerti. "Maksud lo?"

Tangan Bulan terkepal kuat, bersiap akan melayangkan tinjuan pada rahang lelaki itu. "Kelamaan,"

BUGH!

Saking kuatnya, kepala Revan ikut tertoleh saat Bulan melayangkan pukulannya membuat lelaki itu mendesis memegang rahangnya. Pukulannya ternyata tak main-main.

"Gue benci banget lo nganggep perempuan itu lemah!"

Bulan tersenyum bangga, melipat tangannya dibawah dada. Tatapannya pun sama sekali tidak beralih dari wajah Revan yang tengah menahan sakit. Bulan berfikir, tak sia-sia selama ini dirinya mengikuti ekstrakurikuler Taekwondo yang membuat tubuhnya sering sakit apalagi pegal jika akan membuahkan hasil seperti ini. 

"Cewek Sialan!"

Setelah mengucapkan dua kata, satu tangan lelaki itu melayang, hendak meninju wajah mulus splendid yang Bulan rawat seperti anak sendiri. Bulan melebarkan matanya, tangannya refleks untuk menangkis serta tubuhnya yang langsung menghindar, melangkah mundur.

"What are you doing, man?!"

Bulan menatap Revan dengan pandangan marah. Tak percaya dengan tindakan yang lelaki itu sendiri. Untung saja tubuhnya memiliki refleks yang bagus. Jika tidak, tidak dapat dibayangkan wajahnya akan memiliki ungu lebam.

"Berani kok sama cewek?! Mau jadi banci?!"

Jujur saja, sebenarnya Bulan sama sekali tidak memiliki sifat dendaman bagi orang-orang yang menyakiti dirinya maupun perasaannya. Walaupun, dirinya teramat kesal sendiri dengan perbuatan sang pelaku. Seperti sekarang, gadis itu kembali melangkah maju lalu melayangkan sebuah tendangan pada perut Revan yang membuat lelaki itu memekik dengan tubuh yang mundur beberapa langkah.

BUGH!

"Lo?!" Revan menunjuk Bulan dengan satu tangan yang bebas memegangi perut.

"Apa?!"

"Gue udah kasih tawaran ke lo sebelumnya. Rahang atau perut, dan lo gak jawab salah satunya." lanjut Bulan nyolot. "Apa gue salah ngasih lo dua-duanya?!"

"Shhh ... Lo bakal tahu akib-"

"Bakal tahu akibatnya?!" Sela Bulan dengan kekehan. "Gak takut gue, sama modelan kaya lo." ujarnya dengan wajah datar.

Setelahnya, Bulan mengangkat kedua jari tengahnya tinggi-tinggi dihadapan Revan, membuat Revan melolotkan matanya tak percaya.

"BUAT LO, FUCEK!"

"Pulang."

Mereka berdua langsung menoleh, Revan menoleh ke arah belakang tubuh Bulan. Sedangkan Bulan membalikan badannya menghadap seorang dibelakangnya.

"Bintang?"

"Pulang." seru Bintang.

"Supir gue belum jemput."

"Bulan Alinadra, gue bilang, pulang!"

"Budeg?! Supir gue belum jemput!"

"Bulan? Oh, nama lo Bulan." Kekeh Revan membuat kedua insan yang tengah berdebat itu mengalihkan pandangannya. Alisnya mengernyit dengan bibir yang tersungging sebelah. "Cewek lo?"

"Bukan urusan lo," ucap Bintang sengit. "Pulang, gue anter." lanjutnya menggenggam tangan Bulan yang membuat sang gadis berontak, berniat melangkah pergi dari halte.

Namun, baru beberapa melangkah, Bintang menghentikan langkahnya berbicara tanpa membalikan badannya sedikit pun. "Urusan lo sama gue, gak usah ngelibatin orang lain."

Mendengarnya, senyum Revan semakin tersungging.

***

"Gerimisnya kenceng, kita neduh dulu." ucap Bintang dibalik helm full face nya. Ia sedikit menolehkan kepalanya agar orang yang sedang di boncengnya mendengar ucapannya.

"Hah? Apa?"

"Neduh." ulang Bintang sedikit meninggikan suaranya agar terdengar oleh Bulan.

"Hah? Lo ngomong apa sih? Suara lo renyek!" Tanya Bulan dengan sedikit berteriak.

Maklum, Bintang melajukan dengan kecepatan tinggi plus angin kencang membuat Bulan menjadi tuli seketika dan membuat telinga Bulan kurang jelas mendegar penuturan Bintang.

"Budeg."

"Apa, sih?!"

Tak mau menyahut lagi lantaran hanya percuma buang-buang suara, kepala Bintang menegok kanan kiri, mencari tempat atau ruko tutup untuk sekedar berteduh sebentar.

Sebenarnya, dirinya bisa saja menerobos hujan agar lebih cepat sampai dibanding harus menunggu reda. Namun, kondisi dengan membawa anak orang karena dirinya sendiri yang menawarinya untuk pulang bersama, tak mungkin dirinya menerobos hujan yang membuat gadis itu basah kuyup berujung demam.

"Turun," Titah Bintang.

Bulan menurut, cewek itu segera turun dari boncengan dengan seragam sekolah bagian depan yang sudah basah setengah. Diikuti oleh Bintang yang ikut turun dari motor setelah menaruh Helmnya pada spion. 

Bulan melangkah, berdiri dekat pilar toko agar tak terciprat oleh hujan. perempuan itu mengerutkan alisnya bingung ketika melihat Bintang yang menghampiri nya.

"Kok berhenti? Katanya mau beli nasi gudeg?"

Bintang mendengus. "Siapa bilang?"

"Lo."

"Gue gak bilang."

Memutar bola matanya malas, lebih tepatnya memilih tak menyahuti ucapan Bintang, langkahnya membawa tubuhnya ke depan dengan kepala mendongak menatap bulir-bulir air yang turun dari awan hitam dengan tenangnya.

Bulan tersenyum tipis, tangannya terulur untuk ikut merasakan dinginnya air hujan. Sehingga air yang ia tadah mengalir hingga siku.

Bulan jadi teringat masa kecilnya, ketika dulu dirinya sampai merengek bahkan menangis diteras rumah ketika tidak diizinkan untuk bermain hujan oleh Nastaya. Lantaran, Nasyata terlalu khawatir dirinya terkena demam.

Sehingga ketika dirinya sudah diujung kepasrahan, datanglah seorang lelaki yang umurnya lebih tua beberapa bulan itu mengintip dirinya yang menangis sendu, memegang tangannya, lalu membawanya ke jalan depan rumah secara diam-diam.

Lelaki itu, Alvaro Algiendra Abraham.

Ya, Alvaro waktu itu membawanya. Menyipratkan air hujan dari kubangan. Lalu Bulan mengejarnya , melakukan hal yang sama yang Alvaro lakukan--- sebagai ajang balas dendam sampai mereka tertawa di bawah hujan yang sedang deras-derasnya sebelum dua orang wanita meneriaki mereka karena basah kuyup.

Dua orang wanita itu, Mama Nastaya dan Mama Alvaro karena dulu mereka adalah dua sahabat yang saling bertetanggaan.

"Nanti baju lo basah."

Suara Bintang membuat Bulan kembali pada kenyataan. Perempuan itu terlalu asyik mengenang masa lalu yang membuatnya melupakan bahwa dirinya ada di masa sekarang. Bukan pada masa kecil yang belum mengetahui kerasnya kehidupan.

Tanpa menoleh dan tanpa mau menuruti ucapan lawan bicara, Bulan menyahut. "Udah terlanjur basah,"

Bintang memutar bola matanya jengah. Dibilanginnya malah ngeyel, dasar.

Bulan menarik kembali lengannya yang ia adahkan untuk hujan saat angin dingin menerpa permukaan kulitnya. Cewek itu bergidik, dingin. Karena memang, hari semakin sore dengan hujan yang menyelimuti membuat suasana tak seperti biasanya.

"Pakai," ucap Bintang. Menyodorkan Hoodie hitam yang tadi ia kenakan. Sedikit basah memang, namun masih bisa menghalau dingin. 

Bulan menoleh. "Gak mau."

"Lo kedinginan." Ujarnya.

Bulan mendengus. "Gue bilang, gak mau. Kenapa maksa banget?"

"Mau pakai sendiri apa dipakaiin?"

Bintang berbicara dengan sorot yang tak terkesan bercanda. Lelaki itu masih memasang wajah datarnya membuat Bulan melayangkan tatapan horor, ia langsung merenggut hoodie hitam yang Bintang sodorkan dan langsung memakainya cepat. Karena takut Bintang akan memakaikan nya sungguhan.

Bulan memperhatikan Bintang yang melangkah menuju belakang tubuhnya. Tak berniat bertanya, Bulan bersikap apatis. Hingga perlakuan Bintang selanjutnya membuat pupil matanya melebar.

Tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu, Sebelah tangan Bintang merangkul bahu Bulan dari belakang. Sedangkan tangan yang lain menaikan kupluk Hoodie yang di pakai sang gadis.

"Dingin?"

Bulan gugup setengah mampus. Perlakuan Bintang serta pertanyaan lelaki itu membuat tenggorokannya tertahan untuk mengeluarkan suara.

Karena pertanyaannya yang tak kunjung mendapat balasan, Bintang menaruh kepalanya pada kepala Bulan yang terlapisi kupluk Hoodie. Lelaki itu berdehem agar Bulan mau menjawab pertanyaannya.

"Hm?"

"Enggak!" Sahutnya secara refleks. "Bisa jauhan-"

"Dingin," suara Bintang lirih, membuat bulu kuduk perempuan itu meremang. "Gini aja, bentar."

Bulan mengigit bibir bawahnya, ia gugup. Aishh Sial, mengapa dirinya menjadi gugup seperti ini?

"Jangan pernah ladenin orang itu lagi." Titah Bintang dengan suara pelan. Matanya terpejam, suasana hujan, dingin dan dalam keadaan memeluk seseorang seperti ini membuat dirinya merasa nyaman. Bintang merasa ingin tidur.

"Siapa juga yang mau? Tadi cuma kebetulan." Sahutnya. "Lagian, kenapa lo bisa punya musuh sebesar itu?"

"Lo bakal tahu setelah lo benar-benar masuk ke dalam kehidupan gue, Alinadra."

***

"Sebentar,"

"Bisa turunnya?" Tanya Bintang sedikit menolehkan kepalanya ke belakang.

"Bisa,"

Bintang berhenti tepat di depan gerbang rumah bercat hitam, memilih untuk menahan motor gede nya dengan kedua kaki jenjangnya dari pada me-standar-kan motornya ketika Bulan turun dari boncengan.

Lelaki itu tampak menyugar rambutnya yang sedikit basah ke belakang. Rambut, seragam, serta sepatu lelaki itu sedikit kebasahan. Lantaran menerobos gerimis kecil demi pulang sebelum langit sore menjadi langit malam.

Tak hanya itu, alasan seragam pria itu basah lantaran dirinya memberikan helm dan Hoodie nya pada perempuan yang sering dirinya ganggu dengan suka rela.

"Helm lo," ujar Bulan memberikan helm full face ala anak motor tersebut pada sang pemilik. "Hoodie lo basah, gue ganti yang baru aja gimana?"

Bintang menyahut helm miliknya. Lelaki itu menaikan sebelah alisnya atas pertanyaan Bulan. "Gue gak mau barang baru."

"Oh ya udah, gue laundry dulu. Nanti gue balikin lusa, gak pa-pa?"

"Non!"

Perbincangan kedua insan berbeda gender itu terputus, mereka berdua saling menoleh bersamaan. Melihat pria paruh baya keluar dari mobil hitam dengan tergesa-gesa dengan raut wajah yang sangat amat ketara merasa bersalah.

"Non, aduh maaf." Ucap Pak Edi, pria paruh baya yang selama ini menjabat sebagai supir pribadi Bulan atas suruhan Nathan.

"Non, bapak minta maaf banget. Bapak telat jemput, Non. Tadi, ada kecelakaan di jalan, jadi macet parah." Ungkapnya merasa bersalah.

"Pak Edi gak pa-pa?"

"Enggak pa-pa, Non. Nanti bapak bilang ke Pak Nathan aja ya, bapak hari ini gak jemput, Non." Pak Edi berucap lesu. Meskipun majikannya itu tak pernah memarahinya, namun dirinya merasa tak enak hati.

"Nggak pa-pa pak, lagian kan yang penting aku udah ada di rumah. Tapi, handphone pak Edi kok gak aktif?"

"Handphone bapak ketinggalan di rumah, Non." Sahutnya. Lalu tatapannya beralih pada pemuda di samping Bulan. "Den, makasih ya udah anterin Non Bulan pulang, bapak gak tau harus gimana lagi kalau gak ada Aden,"

Bintang tersenyum kecil yang tak terlalu ketara. "Gak masalah."

"Aden mau mampir dulu? Baju Aden basah, nanti masuk angin." Tawar Pak Edi pada Bintang kala melihat keadaan baju pemuda itu.

Bulan melebarkan matanya, gadis cantik itu melirik Pak Edi serta Bintang secara bergantian. Bukannya pelit, namun jika dirinya membawa Bintang masuk ke dalam rumah lalu kedua orang tua nya pulang, bagaimana? Bulan bisa di curigai dengan beribu pertanyaan. Apalagi, Bulan sangat takut jika Bintang bercerita bahwa dirinya habis meninju seseorang sehabis pulang sekolah tadi pada Nathan maupun Nastaya.

Matilah.

Bulan akan mendapat kultum dua jam lamanya.

"Gak usah pak, saya langsung pulang." Sahut Bintang sembari memakai helm nya kembali membuat Bulan bernafas lega.

"Sekali lagi makasih ya, Den." Ucap pak Edi sekali lagi. "Bapak permisi duluan ya, mau masukin mobil dulu keburu malem," Lanjutnya yang di beri sahutan kata iya dari kedua insan tersebut sebelum berlari membuka gerbang lalu mengendarai mobil hitam tersebut masuk ke dalam pekarangan.

"Masuk."

Putri Nathan yang sedari tadi memperhatikan supirnya itu menoleh kembali, beradu pandang dengan lelaki yang baru saja mengucapkan sepatah kata.

Mata Bulan mengerjap beberapa kali, alisnya mengerut sedikit.

"Masuk, Alinadra." Titah Bintang menggunakan dagunya. "Mandi, makan, tidur. Gue pulang." Ucapnya menyempatkan diri untuk mengelus rambut lembab Bulan dengan pelan sebelum menjalankan motornya untuk pulang.

Bulan terbengong-bengong. Perempuan itu menyentuh rambutnya yang tadi di sentuh oleh Bintang dengan gerakan pelan dan juga ragu. Mulutnya ikut menganga. Tak lama kemudian, mulutnya tertutup kembali dengan kepala menengok punggung Bintang yang semakin menjauh dengan keadaan bingung seperti orang linglung.

"Non, ngapain? Ayo masuk, nanti masuk angin." Ucap pak Edi setelah menutup gerbang yang tadi dirinya buka membuat Bulan terlonjak kaget.

"Anj?! Udah gila gue!" Umpatnya memukul kepalanya sendiri. "Najis, salting dikit!"


***

Hello luv!!!

Sumpah, lupa kalau punya wetpet.

Draf cerita ini sebenarnya udah ada untuk beberapa chapter selanjutnya. Yg jadi masalahnya, aku ga sempet revisi, sekalinya revisi lupa update karena sibuk kerjaa yg gada liburnya.

I'm so sowryyyy guysieee🥺

By the way, TERIMA KASIH BANYAK BUAT KALIAN YG SELALU NUNGGUU

I LOVE U SO MUCH!!!

Spam komen, vote untuk dukung cerita ini ya!!!

Continue Reading

You'll Also Like

KENZO By Ginaa★

Teen Fiction

5.5K 2.6K 38
[Ada baiknya folow akunku dulu bro;) ] Sebut saja Kenzo karna memang namanya Kenzo. Kenzo Alvariz Dhaneswara cowok berandalan suka balapan sekali gus...
2.9K 635 7
Do Kyungsoo, gadis berusia 21 tahun tidak pernah menyangka masa muda yang seharusnya ia nikmati dengan bebas seperti gadis muda di luar sana harus be...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.6M 53.8K 24
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
570K 27.4K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...