Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

849K 90.4K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 34: Things will happen when it has to happen

14.4K 1.4K 59
By storiesbyyola

LUNA

Aku sadar akhir-akhir ini tidak hanya pola makanku yang berantakan, tetapi pola tidurku juga. Pekerjaan hampir menyita seluruh waktuku, pressure dan ekspektasi tinggi dari Mas Jero mau tidak mau harus membuatku bekerja sepuluh kali lipat lebih keras untuk memenuhinya. Sejak kembali dari cuti menikah, entah kenapa Mas Jero seperti dikejar sesuatu karena ingin semua laporan proyek-proyek yang kami pegang selesai dengan cepat. Katanya, mengejar extramiles.

Sejak menginjakkan kaki di kantor pagi ini, aku sudah merasa ada yang salah dengan tubuhku. Oh, lebih tepatnya, beberapa hari terakhir tubuhku seperti sedang mengajukan demo massal serta protes tiada henti karena terlalu diforsir hebat.

"Lun, coba gue mau lihat kerjaan lo." Mas Jero mendadak sudah berada di dekatku, menarik kursi entah punya siapa dan mengambil mouse, menggulir hasil analisaku atas prakiraan dampak penting hipotik. "Debu dan penurunan kualitas udara... ini perhitungan volume gas buang atas mobilisasi peralatan dan material dicek ulang, ya. Jangan sampai ada yang salah hitung."

Aku mengangguk sigap. "Oke, Mas."

"Suara lo kenapa lemes banget? Tumben," komentar Mas Jero seraya menengok sekilas ke arahku. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Mas Jero sudah menambahkan beberapa komentar terkait pekerjaanku. "Ini luas wilayah persebaran dampaknya menurut gue cukup luas dan sifatnya juga kumulatif, jadi dampaknya termasuk kategori penting. Nanti diganti, Lun."

Lagi-lagi, aku membeo. "Iya, Mas."

Mas Jero masih memberikan review penting terkait hasil pekerjaanku selama beberapa menit sebelum dia kembali ke ruangannya untuk menyiapkan bahan meeting dengan atasan. Sebelum pergi dia sempat berpesan, "Abis ini lo istirahat dulu, deh. Pulang tenggo aja, nggak usah lembur. Muka lo pucat banget. Gue ngeri lo pingsan."

Yang dengan cepat, langsung kuiyakan karena minggu ini jarang sekali aku bisa pulang di bawah jam sembilan malam. Aku segera mengirimkan pesan kepada Aksa, mengatakan bahwa aku pulang tepat waktu hari ini dan balasan darinya datang tidak lama kemudian. Tepat ketika jam menunjukkan pukul enam sore, mobil Aksa sudah terparkir di area pick up kantorku.

"Hai," sapaku lemah ketika memasuki mobilnya. Aku mengembuskan napas seraya memijat pelipis. Kepalaku terasa pusing dan ingin meledak sejak makan siang. Dengan lesu, aku menarik safety belt melewati tubuh, menurunkan sandaran jok, dan menyandarkan kepala pada pintu, berharap hal itu dapat menghilangkan sensasi pusing yang kualami beberapa jam terakhir.

"Sakit?" tanya Aksa dengan mata yang menyipit. Dia memiringkan tubuhnya. Tiba-tiba, tangannya terjulur menyentuh keningku. "Kamu sakit," desisnya, mengonfirmasi. "Badan kamu panas banget dan kamu keringetan. Udah sejak kapan begini?"

"Tadi siang," jawabku singkat seraya memejamkan mata. "Aku mau tidur dulu, Sa. Kepalaku pusing banget. Nanti bangunin aku kalau udah sampai di apartemen."

Hal terakhir yang kudengar sebelum tidur terlelap adalah decakan kesal dari Aksa seiring dengan mobil yang mulai melaju. Aku tidak tahu sudah berapa lama tertidur karena ketika Aksa mengguncang pelan tubuhku, aku merasa belum lama tidur nyenyak. Aku mengerjapkan mata, berusaha menyesuaikan pandangan. Ketika melihat sekitar, aku merasa asing dengan lingkungannya. Ini jelas bukan parkiran apartemenku.

"Ini di mana?" tanyaku bingung, seraya berusaha menegakkan tubuh. Aku merintih pelan ketika rasa mual mulai menyergapku. Aku menutup mulut, berusaha menahan diri untuk tidak muntah di mobil Aksa. "Sa, ada plastik?"

Aksa langsung membongkar dashboard dan menyerahkan satu plastik hitam kepadaku. Detik kemudian, dia keluar dari mobil, membuatku sedikit heran. Awalnya, aku mengira dia keluar karena tidak ingin mencium bau muntahanku memenuhi mobilnya, tetapi dugaanku salah karena Aksa justru berjalan memutari mobil dan membuka pintu mobil di sisiku.

"Bisa jalan?" tanyanya dengan kedua tangan berada di pinggang. Bibirku sontak melengkung ke atas beberapa senti melihat pemandangan di depanku. Aksa, dengan kemeja slim fit dan celana bahan, menatapku cemas sekaligus geram. "Sekarang kita di rumah sakit. Aku nggak bisa anterin kamu ke apartemen. Nggak ada yang bisa pantau keadaan kamu."

Kontan, bola mataku membulat. "Kenapa harus ke rumah sakit?" protesku. "Aku bisa minta Lisa buat mampir atau mungkin pulang ke Bintaro naik taksi."

"You left me with no choice," sahut Aksa sambil mengulurkan tangan kepadaku. "Bisa bangun, nggak? Badan kamu itu panas banget, Lun. Kayak kebakar. Aku bahkan heran kamu masih bisa berdiri dan jalan."

Aku menatap Aksa dan uluran tangannya secara bergantian. Tahu jika saat ini tidak ada yang bisa kulakukan untuk membantah niat baiknya, aku mengalah dan memegang tangannya. Sepertinya, lebih baik aku memang menemui dokter supaya Aksa bisa terlihat lebih tenang.

"Jalannya nggak usah sepelan ini juga kali," gurauku susah payah ketika Aksa berusaha mengambil langkah sekecil mungkin. "Aku bukan wanita hamil yang mau melahirkan sampai harus dituntun dan jalan sepelan ini."

"Masih bisa bercanda ya, Lun?" gerutu Aksa, kesal.

Aku tersenyum kecil meski tidak dipungkiri jika Aksa tidak menuntunku seperti ini, mungkin aku sudah jatuh di aspal karena semua yang ada di sekitarku rasanya seperti berputar. Melihat Aksa berdiri di sampingku sekarang dengan wajah kalut bercampur khawatir, mengantarkan rasa hangat ke hatiku. Sudah berapa lama sejak ada orang yang memperhatikanku sebaik dia memberi perhatiannya padaku sekarang?

Aksa memaksaku masuk ke IGD dan dokter yang sedang berjaga langsung memberikan penanganan utama. Aku tidak begitu sadar apa yang mereka lakukan karena semakin lama aku terbaring di bangkar, pandanganku semakin buram hingga aku terpaksa memejamkan mata dan menyerah pada kegelapan.

*

"Gejala tipes. Aku heran kamu masih bisa ngantor dari pagi." Aksa menggelengkan kepala ketika aku sudah terbangun di ruangan yang berbeda dari sebelumnya. "Dokternya bilang malam ini kamu harus rawat inap dulu."

"Kamu itu tinggal sendirian di apartemen, Lun. You need to take a better care of yourself," ujar Aksa panjang lebar sebelum aku sempat mengeluarkan suara. Sejak beberapa menit terakhir, dia tidak henti mengulang kalimat yang kurang lebih intinya sama yaitu aku harus memperhatikan kondisi tubuhku sendiri. "Kalau kamu pingsan di apartemen gimana? Bahaya banget kalau suhu badan kamu udah setinggi itu. Kamu bisa kejang tahu, nggak?"

"Ya, tapi buktinya kan, aku nggak kenapa-kenapa. Masih bisa berdiri, jalan ke IGD sendiri—walaupun harus dituntun kamu." Aku buru-buru meralat kalimatku ketika Aksa melotot kesal. "Abis istirahat dan minum obat juga bisa pulih lagi."

Aksa menatapku skeptis. Dari ekspresinya, aku tahu bahwa dia sama sekali tidak berniat untuk berhenti mengomeliku karena abai terhadap diri sendiri. Tidak ingin terjebak dalam situasi ini terlalu lama, aku langsung meraih tangannya dan memelas menatapnya.

"Jangan marah-marah terus," rajukku. "Kepalaku jadi makin pusing."

Napas Aksa berembus pelan. Ekspresi tegang di wajahnya pelan-pelan meluntur. Dia mendekatkan tubuhnya ke ranjangku lalu menarik selimut hingga melewati dada. "Istirahat, Lun. Lisa lagi ngurus administrasi. Kata Lisa, orang tuamu ternyata lagi ke luar kota dan baru pulang dua hari lagi. Untung aku nggak anterin kamu ke Bintaro. Udah paling bener kalau kamu di rumah sakit biar ada yang jaga dan urusin."

Rentetan omelannya masih berlanjut hingga ponselnya berbunyi. Aksa mengatupkan bibir lalu mengambil ponselnya. Sekilas dahinya terlihat mengernyit sebelum akhirnya dia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celananya.

"Kerjaan, ya?" tanyaku.

"Bukan," balasnya sambil duduk di pinggir ranjangku. Dia mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan hangat. "Istirahat, Luna."

Aku menganggukkan kepala tanpa membantah ucapannya. Sambil menyamankan posisi, aku memejamkan mata. Berusaha untuk tidur dan mengabaikan bayangan mengerikan ketika Lisa datang menjenguk. Dia pasti akan mengomel habis-habisan. Untuk hal itu, dia memang memiliki banyak kesamaan dengan Mama. Kalau sudah sakit seperti ini, Lisa dan Mama akan bergantian untuk mengomeliku sedangkan Papa bertindak sebagai penyelamatku.

Namun, belum sempat aku terlelap, suara pintu kamar yang dibuka membuat mataku kembali terbuka lebar. Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat Lisa dan Adam berjalan menghampiriku.

"Kerja terus aja sampai tipes, Lun," sindir Lisa seraya menggeleng kesal. Aku menyengir tidak berdosa ketika dia memukul kakiku. Dilihat dari pakaiannya, tampaknya Lisa dan Adam langsung datang ke rumah sakit setelah pulang dari kantor. "Untung ada Aksa. Kalau nggak ada, kayaknya sebelum bener-bener pingsan, lo nggak akan pergi ke rumah sakit."

"Langsung dari kantor, Lis?" tanyaku sekalem mungkin.

"Iya! Belum sempat ke rumah. Kejebak macet di jalan dan Aksa nelepon kalau—" ucapan Lisa terhenti. Matanya menyipit begitu melihat Aksa yang masih menggenggam tanganku erat. Dia mengalihkan tatapannya padaku dan Aksa bergantian, sebelum lanjut berbicara dengan tenang. "—lo masuk rumah sakit. Gue udah kabarin Mama dan Papa dan mereka usahain buat pulang besok. Sementara ini gue yang jagain lo dulu." Dia melirik Aksa sekilas. "Atau gue pulang aja kali, ya? Kayaknya udah ada yang jagain."

"Sembarangan!" semburku. "Aksa besok masih harus kerja. Nggak bisa nginep."

"Lo pikir gue besok ngapain? Liburan? Gue juga harus kerja!" cerca Lisa dengan gaya yang berlebihan. Sangat mendramatisir. Kemudian, dia menoleh kepada Aksa. "Lo kalau mau pulang sekarang nggak apa-apa, Sa. Anak bandel ini biar gue sama Adam yang urus."

Perumpamaan Lisa sukses mengundang tawa semua orang yang ada di ruangan, kecuali aku yang tersenyum kecut. Citraku memang selalu rusak jika sedang bersamanya.

"Makan malam dulu lah, Sa. Jangan langsung pulang," celetuk Adam. "Gue udah pesan makanan. Driver-nya lagi jalan ke sini."

"Boleh," sahut Aksa tanpa berpikir panjang. Kemudian, dia menumpu pandangannya padaku. "Kamu juga nanti sekalian makan ya, Lun. Kamu juga belum makan malam soalnya. Biar nanti bisa minum obat terus langsung tidur."

Aliran darahku terasa mengalir lebih cepat dan berhenti di kedua pipiku ketika Aksa tidak ragu memberikan perhatian kepadaku terang-terangan di depan Lisa dan Adam. Bahkan, pasutri itu hanya melongo, tampak menerka hubunganku dengan sahabatnya sejak di bangku kuliah ini.

"Jangan lupa kabarin orang kantor kalau kamu harus di-opname sampai besok," perintah Aksa sambil mengelus kepalaku. Tiba-tiba, matanya menyorot dengan tegas. "Besok kamu juga harus istirahat kalau misalnya udah boleh pulang. Jangan lanjut kerja di apartemen."

"Iya," timpalku singkat. Bingung harus menjawab apa lagi karena aku tahu omelannya akan semakin panjang jika aku membantah. Aku menyerah dengan tidak rela ketika Aksa mengulurkan ponselku. Padahal pekerjaanku masih banyak. Ada laporan yang harus aku revisi malam ini agar bisa diserahkan ke Mas Jero lusa. "Tapi, Sa. Malam ini aku rencananya—"

"Udah masuk kamar gini masih mau kerja?" tudingnya, tepat sasaran.

"Nggak," cicitku lalu menunduk untuk mencari kontak Mas Jero dan memberikan pesan kepadanya kalau aku harus dirawat inap karena gejala tipes. Mungkin selain digoda habis-habisan oleh Aksa, kemarahan dan gerutuan Aksa saat ini adalah momen langka lain dimana aku tidak bisa berkata-kata di hadapannya.

"Udah?" tanya Aksa begitu aku selesai mengetik.

Aku mengangguk kaku.

"Bentar. Aku nunggu balesan Mas Jero dulu," selaku ketika Aksa ingin mengambil ponselku.

"Love birds," cetus Adam sambil mendecak pelan. Wajahku kembali memanas saat iparku itu menggelengkan kepala melihat kelakuan kami. "Mending lo turutin omongan Aksa sebelum kepalanya makin berasap, Lun," katanya lalu menunjuk Aksa. "Dan lo, Sa, temenin gue ke bawah ambil makanan sekalian beli kopi."

Aksa beranjak dari tempatnya kemudian berlalu keluar dari kamarku dengan Adam. Aku hanya bisa tertawa gugup saat para lelaki itu meninggalkanku berdua dengan Lisa. Kembaranku itu masih berdiri di ujung bangkarku dengan senyum terkulum menghiasi wajahnya. Aku sudah bersiap diri untuk menerima segudang pertanyaan—mengingat dia akhir-akhir ini beberapa kali berusaha menjodohkanku dengan sahabatnya itu.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Lisa terkekeh singkat sebelum berjalan ke sofa yang berhadapan dengan kasurku. Aku sontak mengernyit karena reaksinya yang jauh dari bayanganku. Walaupun sedikit bingung, bukan berarti aku tidak lega melihat responsnya. Saat ini, aku masih belum memiliki banyak tenaga untuk bercerita kepadanya mengenai apa yang terjadi antara aku dan Aksa. Mengingat terakhir kali kami berbincang mengenai Aksa dengannya di telepon, aku menanggapi dengan jengkel sehingga Lisa memberikan ceramah panjang lebar, sepertinya pembicaraan kami nantinya tidak akan mudah. Lisa pasti akan menuntut banyak penjelasan.

Lamunanku terbuyar ketika ponsel yang ada di tanganku berdenting beberapa kali. Satu pesan dari Mas Jero yang mengatakan bahwa revisi laporanku untuk sementara akan dia handle, tidak lupa dengan pesan yang menyuruhku untuk beristirahat dan doa agar lekas sembuh. Pesan lain yang masuk ketika aku mengirimkan balasan kepada Mas Jero berhasil membuatku terpaku. Dengan dada yang bergemuruh, aku membuka pesan itu.


Damar: Lun, aku boleh minta waktu kamu buat ketemu dan ngobrol?

Damar: Nggak akan lama, kok. Mau ya, Lun?


Aku menggigit bibir bawahku usai membaca pesan tersebut. Meskipun pikiranku berkecamuk dipenuhi pertanyaan mengenai apa tujuan Damar yang sebenarnya, aku berusaha untuk menyingkirkan berbagai prasangka dan memutuskan untuk tidak menanggapi pesannya.


*


AKSA

Dibandingkan Haris, mungkin Adam bukan tipe orang yang suka ikut campur apapun masalah yang dihadapi orang-orang terdekatnya. Tidak seperti Kevin yang sering memberikan komentar menusuk, Adam lebih suka memperhatikan dengan tenang. Dia tidak akan bertanya, tidak akan memberikan opini—kecuali diminta dan dibutuhkan, dan cenderung lebih sering mengamati situasi.

Saat kami berangkat ke Australia tujuh tahun yang lalu untuk melanjutkan studi, di saat aku patah hati karena Amanda dan pikiranku berantakan akibat menyakiti Luna, Adam tidak berbicara apa-apa. Aku tahu kalau dia menyadari ada yang salah denganku, terutama saat aku lebih sering menghabiskan waktu di asrama daripada pergi dengan Amanda di hari libur, tapi sikapnya yang acuh tak acuh itu membuatku sedikit banyak lupa dengan masalah yang kuhadapi. Adam memang tidak pernah bertanya apapun, tapi dia selalu memastikan aku hidup dengan benar—makan teratur, tidur nyenyak, dan tidak mengabaikan tujuan utamaku datang ke negara itu untuk bersekolah.

Hingga akhirnya aku berhasil menata kembali hidupku, satu malam di bar yang ada di ujung kota Melbourne, ditemani dua gelas bir, barulah Adam bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja, saat itu aku tidak membawa nama Luna ke dalam ceritaku. Semua yang kuceritakan hanya berkisar di antara hubunganku dan Amanda yang berakhir dengan sangat berantakan karena ujian yang sesungguhnya datang saat aku bertemu dengannya lagi di Australia. Aku masih cukup waras untuk tidak menyelipkan cerita mengenai aku yang telah mematahkan hati calon saudara iparnya itu.

Kali ini, aku merasa seperti dihadapkan oleh situasi yang sama seperti tujuh tahun yang lalu. Bedanya, sekarang kami berada di rumah sakit di Jakarta, ditemani dua gelas kopi yang masih panas. Dengan topik yang jauh berbeda. Bukan lagi tentang patah hatiku karena diselingkuhi oleh Amanda atau sex tape berdurasi sepuluh detik yang dikirimkan oleh laki-laki yang menidurinya di bulan pertama aku menginjakkan kaki di Australia. Bukan lagi tentang kerisihanku karena Amanda masih berusaha memperbaiki hubunganku dengannya ketika dia tahu tidak ada lagi yang tersisa di antara kami. Bukan lagi tentang topik menyakitkan yang selalu berusaha kuhindari dan kulupakan.

"I guess you're going well with Luna," celetuk Adam setelah kami memulai pembicaraan basa-basi tentang pekerjaan dan kesibukan lainnya. Dia menyesap kopinya dengan tenang. Berbeda denganku yang sudah berjaga-jaga tentang apa yang akan dia katakan selanjutnya. "Just don't hurt her. She had been through a lot. Most of it wasn't easy. I will kill you for sure if you hurt my sister."

I know he wouldn't make it easy. Mengencani Luna berarti akan ada dua orang yang terang-terangan memperhatikan gerak-gerikku dan tidak ragu untuk mengejarku hingga ke ujung dunia jika aku menyakitinya—meski dua orang yang kumaksud itu adalah sahabatku sejak bertahun-tahun lamanya.

Namun, sebelum mengenalku, mereka lebih dulu mengenal Luna dan hadir dalam hidupnya. Aku berusaha memahami posisi mereka sebagai keluarga Luna. Meski status Adam hanyalah sebatas saudara ipar, tapi aku tahu dia menyayangi Luna layaknya saudara sendiri.

"Gue tahu," balasku senetral mungkin. "I promise I will treat her right."

Adam mengangguk puas meski sorot matanya menunjukkan sebaliknya. Dia masih ragu. "Sejak kapan?"

"A few weeks."

"Gue jujur nggak tahu harus ngomong apa, Sa." Adam mendengus. "After years you spend your time alone with your big pile of work, I can't be happier when you finally have the courage to love someone. I'm glad you want to try to have a relationship again—a serious one, I hope. But, we talk about Luna here. She needs someone who can give her every love she deserves. She needs someone who can guarantee that she is in his future. Meanwhile, I know you never have an intention of marrying someone—hell! You even try to change the subjects everytime we talked about marriage and commitment. Honestly, I don't want to be an annoying brother who will do anything so his sister doesn't get hurt, but—again, this is Luna—I need some assurance from you."

"What kind of assurance do you need?" Aku mengusap permukaan atas cangkir. "People can change, Dam. Kalau misalnya gue macem-macem ke Luna, lo juga tahu harus cari gue ke mana."

"Gue bukannya nggak suka atau nggak setuju lo sama Luna ya, Sa," ralat Adam dengan raut wajah yang lebih santai dari sebelumnya. Mungkin dia tidak ingin membuatku tersinggung. "Gue senang aja selama kalian berdua juga senang menjalaninya, tapi gue tahu masa lalu kalian. Gue tahu gimana hubungan lo dan Amanda dulu. Gue juga tahu gimana hubungan Luna dengan mantan-mantannya dulu. This wouldn't be easy for you two. Kalian harus kompromi dan saling memahami masa lalu masing-masing yang membuat kalian jadi pribadi yang seperti sekarang."

Aku tersenyum tipis. "Luna udah cerita. Gue juga, Dam. Don't worry too much."

"Termasuk kenapa dia sama Damar putus?"

"Iya." Aku refleks mengepalkan tangan yang berada di atas meja begitu bayangan Luna yang menangis di hadapanku setelah tidak sengaja bertemu dengan Damar di resepsi pernikahan atasannya kembali memasuki pikiran. "Brengsek banget itu orang."

Adam melengos. Sama kesalnya. "Kalau gue tahu dia nyakitin Luna sampai segitunya, gue pasti nggak akan izinin dia buat temuin Luna lagi. Sinting kayaknya dia. Nggak nyangka juga gue ternyata dia bisa main tangan padahal di depan gue dan Lisa baik banget."

"He showed his true colors in the end."

Adam menaikkan alisnya lalu mengangguk pelan. "I guess we are on the same page. You, me, and Lisa. We want the best for Luna. The happiness she truly deserves." Seketika, dia menyeringai ke arahku. "Is it too early to say 'welcome to the family'?"

Aku tertawa singkat. "Nothing is too early. Things will happen when it has to happen."

"Melihat lo nggak lagi menghindar dengan pembicaraan ini, kayaknya emang pola pikir lo udah berubah, ya?" Adam ikut tertawa. "Apa sebentar lagi gue bakal menyaksikan momen dimana lo bakal get down on one knee?"

"Mungkin."

Tidak hanya membuat diriku sendiri terkejut karena secara tidak sadar memberikan jawaban yang ambigu, Adam juga ikut terperangah. Namun, aku tahu aku sama sekali tidak menyesali ucapan itu. It seems like I really fall head over heels for Luna.


*

Notes:

Coba tebak itu ngapain Damar chat-chat Luna minta ketemu? Mau ngobrolin apa dia? Mending Luna respons Damar gimana? 

Aksa gimana itu maksudnya ngomong mungkin di akhir? Beneran niat mau lamar Luna? Hm... gimana nih menurut kalian?

Dinikmati dulu ya momen manis Luna x Aksa sebelum negara api menyerang hahahaha

Btw, draft L:TBE sebenernya udah ada banyak banget. Aku udah nulis sampe bab sekian dan sekarang aku lagi nulis bab terakhir. Aku seneng banget pas ending cerita ini mulai keliatan di depan mata dan aku bisa mulai naskah selanjutnya yang masih berkisar di chicklit dan kali ini genre office romance-nya berasa banget (iya, aku udah punya kerangka besarnya dan outline sampe bab 10 udah siap).

Buat cerita selanjutnya mending aku gelar lapaknya kapan ya? Enaknya kapan nih? Ada yang bisa nebak tokoh utama buat cerita selanjutnya itu siapa? (clue: orangnya udah muncul beberapa kali di sini)


Continue Reading

You'll Also Like

1M 91.4K 35
[Status: Completed] "Bunda pengen ngeliat kamu menikah tahun depan." Kara, perempuan, 24 tahun. Masih single dari lahir. Dilema karena Bunda memintan...
1M 149K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
Memorable By anakbungsu

General Fiction

605 88 12
Nadia, cewek penuh semangat dan kebahagiaan. Yang seperti tidak pernah memiliki lelah, menyukai ketua BEM paling kece dikampusnya, yakni Reno. Yang m...
Pretend By fee

General Fiction

1.6M 166K 37
Andina Prameswari bersandiwara menjadi kekasih Gilang Galia Gamadi, jodoh yang disiapkan oleh calon adik iparnya. Setidaknya Andin harus berpura-pura...