ALAÏA 2

Av radexn

6.2M 940K 5.3M

[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ ❝ Dia kembali, membawa... Mer

Prolog
1. Aishakar X Atlanna
2. Bawel
3. Atmosfer Masa Lalu
4. Shocked
5. A Different Destiny
6. Moonstar
7. Masuk dalam Gelap
8. Sayang
9. Tak Seindah Lukisan
10. Hitam
11. Menyelam untuk Mati
12. Irvetta
13. Memang Seharusnya Jujur
14. Pengakuan
15. Sang Dewa Kematian
16. Bintang
17. Berharap yang Terbaik
18. Beku
19. It's a Bye
20. Snow
21. Our Beloved Atlanna
22. Insiden
23. Satu yang Bersejarah
24. Kita
25. Ingin Melepas Rasa
26. Imitasi
27. Baby Winter
28. Aku Bukan Kamu
29. Hurt
30. Haruskah Kita Usai
31. Retak
32. Amatheia VS Aphrodite
33. Us
34. Dear You, Ale
35. Διαίσθηση
36. Andai Kita Abadi
37. The Mermaid
38. Hectic
39. Aesthetic
40. Chaotic
41. Luka dalam Memori
42. Light
43. A Frozen Heart
44. Skyïa
45. The Sea is Calling
46. The Blue Diamond: Goddess of The Sea
47. Happy Birthdae
48. Angel
49. Berharap Hanya Mimpi
50. Cahaya Mata
51. The Most Beautiful Moment
52. Justice
54. Moonlight [END]
pre-order ALAÏA 2
Extra Chapter
NEW STORY
⚠️ SECRET CHAPTER 🔞
AMBERLEY
ALAÏA 3
NOVEL AMBERLEY (cucu Aïa)
ALAÏA UNIVERSE: "SCENIC"

53. Laut yang Tenang

60.6K 9.3K 12.3K
Av radexn

hello, anak-anakku 🧸

selamat membaca! jangan lupa selalu comment dan vote yaa. thank you~

53. LAUT YANG TENANG

"Dae!" Amora berteriak, mengejar lelaki yang membawa kabur bunga kecil miliknya.

Di kejauhan sana Dae putar badan dan menunggu Amora mendekat. Istrinya lelah berlari-lari mengelilingi taman di halaman rumah ini. Karena tidak tega, Dae mendatanginya dan menyerahkan bayi bunga untuk Amora.

Senyum Amora kembali lagi setelah bunga balik ke genggamannya. "Enggak boleh ambil bunga aku."

"Itu cuma bunga kecil. Aku punya banyak bunga, Moya." Dae berkata.

Dae menuntut Amora ke sebuah tempat serba putih, kosong, tapi terdapat banyak sekali bunga berserakan di lantai. Bunganya berwarna-warni dengan jenis berbeda-beda. Amora takjub melihat keindahan itu.

"Semuanya punya kamu?" Amora menatap Dae.

"Iya, Sayang." Dae menjawab. "Aku enggak mencuri punya kamu. Aku dapetinnya dari banyak orang."

Amora terkekeh, lalu berjongkok untuk mengambil setangkai mawar merah. "Aku boleh minta yang ini?"

Dae tersenyum kecil. "Jangan. Itu udah kamu kasih ke aku, masa diminta lagi?"

Saat itu Amora tak mengerti ucapan Dae, jadi ia hanya menaruh bunganya ke lantai lagi. Amora mengamati sekeliling dan mencari objek lain selain bunga, tetapi tidak menemukannya. Lantas dia meraih tangan Dae yang terlindung tuxedo putih untuk digenggam.

Amora memainkan jemari Dae yang hangat. Seraya itu mereka lanjut berjalan di sepanjang lantai penuh bunga. Tempat ini tak ada ujungnya, tidak ada pula jalan keluar.

"Dae, pagi ini aku mual banget. Baby Lonan minta dielus kamu. Ayo, elus sekarang!" Amora mengusap perutnya.

Dae memenuhi permintaan itu dan berpindah ke belakang Amora. Ia berdiri di sana sembari mengelus perut Amora yang makin menonjol. Amora menyentuh tangan Dae di atas perutnya untuk merasakan sensasi lebih menenangkan.

Apalagi saat Dae menumpu dagunya di bahu Amora. Wajahnya mendekat ke leher Amora dan hidungnya menggesek pelan kulit mulus itu. Dae terus memeluk Amora dari belakang entah kapan akan melepas.

"Akhir-akhir ini aku kangen terus sama kamu, Dae." Amora mengaku.

"I miss you more," respons Dae.

"Kamu kenapa enggak pulang-pulang? Kamu bilang bakalan pulang, tapi setiap malam aku tunggu, kamu enggak pernah muncul lagi." Amora bertutur sedih.

Sekarang perempuan itu bergerak menghadap Dae. Matanya dilapisi air yang siap luruh ke pipi. Amora mengambil oksigen banyak-banyak sebelum melanjutkan unek-uneknya.

"Kamu enggak sayang aku lagi, ya? Kamu sengaja ninggalin aku?" celetuk Amora.

Dae mengusap mata Amora dan menjawab, "Aku harus pergi."

"Ke mana? Kenapa enggak pernah bilang?" lirih Amora.

Untuk pertanyaan itu Dae tak menjawab, hanya mengulas senyum seraya mengelus pipi Amora. Tatapan sendunya mengiris hati Amora yang memendam rindu tanpa tau harus mengatakannya seperti apa.

"Habis ini pasti kamu enggak pulang lagi. Pasti kamu hilang lagi entah ke mana." Amora menyetus setengah kesal.

Dae berkata lembut, "Aku enggak jauh dari kamu, Mamoya."

"Tapi, buktinya kamu enggak pernah ada di rumah. Biasanya tiap aku bangun tidur, aku liat kamu di samping aku. Kita sarapan bareng sebelum kamu berangkat kerja. Terus, malemnya aku tunggu kamu pulang. Kamu selalu peluk aku tiap tidur." Amora menangis. "Sekarang enggak pernah kayak gitu lagi. Dae enggak pernah pulang!"

Maka Dae membawa Amora masuk ke pelukannya dan menenangkan dia yang tangisannya sulit dikontrol. Bahu Amora sampai bergetar kuat dan napasnya tersengal-sengal. Dae belum mengeluarkan suara, ia hanya mengusap punggung Amora upaya meredakan tangis.

"Kalau gitu, enggak usah tunggu aku pulang." Dae berkata pelan.

"Kenapa?" Amora semakin kalap. "Kamu mau ninggalin aku? Katanya kamu mau sama aku terus!"

"Katanya kamu mau jaga aku dan Baby Lonan!" lanjut Amora.

"Kenapa sekarang kamu malah enggak mau pulang?" Amora mengusap matanya yang tak henti menciptakan derai air. "Apa aku bikin salah sampai kamu enggak mau dateng lagi? Aku bikin kamu marah, ya? Maafin aku, Dae. Aku harus apa biar kamu pulang?"

"Kamu enggak ada salah." Dae berkata.

Amora menyeka hidung tanpa melepas pandangan dari Dae. "Tapi, kenapa kamu pergi terus? Aku sendirian ... aku bingung harus apa kalau enggak ada kamu."

"Nanti kamu pasti terbiasa, Moya. Dicoba pelan-pelan, ya?" tutur Dae.

"Enggak mau!" Amora histeris.

Lagi, Dae menenangkan istrinya dalam rengkuhan erat dia. Amora berceloteh dan memohon padanya untuk kembali ke rumah, tapi apalah daya, Dae tak bisa. Ia tidak bisa meninggalkan rumah terbarunya yang saat ini ditetapkan hanya untuk dia.

"Jangan pergi jauh, Dae. Jangan tinggalin Moya," pinta Amora.

"Sejauh apa pun aku pergi, aku tetep balik ke kamu. Enggak ke mana-mana." Dae berujar rendah.

Amora terisak sembari bersitatap dengan Dae. Ia mengulurkan tangan ke wajah Dae untuk merasakan tiap lekuknya. Amora cemberut lagi karena tidak siap harus melewati hari dengan memendam rindu yang tak ada habisnya.

Dae meraih tangan Amora dari wajahnya dan ia pegang erat. "Ikhlasin aku," ucapnya.

"Kenapa kamu bilang kayak gitu?" Amora takut.

Dae meresapi pegangannya pada tangan Amora, lalu melepasnya seiring dia berjalan mundur meninggalkan istrinya sendirian di sana. Tanpa mengatakan sesuatu, tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia memandangi Amora dengan senyuman yang tak kunjung pudar, yang membuat perempuan itu makin menangis.

"Dadda!" pekik Amora.

Dari jauh, Dae mengangkat satu tangan memamerkan sesuatu berukuran kecil yang entah kapan ia rebut dari Amora. "Bayi bunganya buat aku, ya?"

Amora terlonjak dan bangun dalam keadaan kaget mendapat mimpi bertemu Dae. Ia terduduk di kasur dengan pandangan kosong. Ia menyentuh dada untuk ia tekan dan usap. Ketika Amora menoleh ke pigura foto Dae, air matanya turun begitu saja.

Ia turun dari ranjang dan menghampiri meja di mana foto Dae berada. Ini adalah foto yang sama dengan foto di rumah duka kemarin. Amora menaruhnya di sini padahal sudah dilarang Demian. Demian melarang karena takut Amora larut dalam kesedihan tiap menatap fotonya.

"Dae," gumam Amora sembari menyentuh kaca foto. "Kamu dateng ke mimpi aku lagi."

"Kali ini mimpinya kerasa nyata banget ... seakan-akan kamu tau keadaan aku di sini. Aku jadi makin kangen kamu," isak Amora.

"Mau dipeluk kamu, Dae ...," angan Amora.

Dua detik usai berkata seperti itu, Amora merasakan angin dingin menyergap tubuhnya, namun hanya sekilas. Ia menoleh, tidak takut, justru tangisnya bertambah kencang seraya ia memeluk foto Dae.

❄️ 🤍 ❄️

Ketebalan pecahan es di laut Irvetta tersisa kurang dari tiga sentimeter yang artinya akan segera hilang dan menyatu dengan air laut. Tidak ada salju yang turun padahal ini sudah masuk musim dingin dan sebentar lagi natal tiba.

Tengah malam Atlanna datang ke laut setelah kondisi tubuhnya lebih fit dan mood stabil pascamelahirkan. Ia ingin memenuhi panggilan yang mengundangnya ke pulau seberang. Tentu, Atlanna datang sendiri tanpa sepengetahuan orang lain.

Ia hanya berharap Baby terlelap sampai pagi. Kalau bayinya itu terbangun tengah malam dan mengejutkan Bintang, otomatis Bintang mengetahui Atlanna hilang dari rumah.

Pandangan Atlanna lurus menghadap lautan yang membentang amat luas. Ombak yang berdatangan membuat nyalinya menciut, sekalipun Atlanna terus meyakinkan diri untuk tetap menghadapi ini. Ia harus melawan rasa takut demi keselamatan diri karena yang menjadi faktor utama Atlanna datang kemari ialah Brittany Amberley, putri kecilnya yang membutuhkan peran dia sebagai seorang ibu.

"Ini darurat. Segeralah pergi ke pulau seberang. Es itu semakin tipis, kekuatanmu akan turut menipis." Suara asing ini muncul lagi dan hanya Atlanna yang bisa mendengarnya.

Atlanna tak tau ucapannya ini didengar atau tidak, tapi ia harus mengajukan pertanyaan penting. "Sebenarnya ada apa di pulau seberang? Kenapa aku harus ke sana?"

"Kau harus kemari untuk menyelamatkan dirimu sebelum es hilang dan kau ikut lenyap." Suara itu menanggapi Atlanna.

"Aku butuh kepastian! Tolong jawab, apa yang bakal aku hadapi di sana?" tutur Atlanna. "Aku perlu persiapan walau waktunya terlalu mendesak."

"Kau hanya perlu mempersiapkan diri. Berjuanglah sekuat yang kau bisa. Konsentrasi sangatlah diperlukan untuk menyusun strategi. Jangan sampai lengah," sahut suara tadi.

"Bila kau berhasil menyeberangi lautan dan tiba di pulau seberang dengan selamat, kau akan menerima hadiah yang selama ini kau cari. Untukmu, untuk kebahagiaanmu, untuk kebahagiaan keluargamu."

Bulu kuduk Atlanna meremang serempak. Ia menyahut pelan, "Aku harus lakuinnya sendiri?"

"Ini masalahmu. Jangan libatkan orang lain jika kau sendiri mampu. Asah kekuatanmu, jangan terlalu bergantung pada siapa pun, terlebih orang tuamu."

Atlanna menyapukan tatapan ke laut. Katanya, "Ibuku selalu tau apa yang terjadi sama anak-anaknya. Apalagi sekarang aku harus ke laut. Mamiw pasti bisa rasain itu, dan enggak menutup kemungkinan Mamiw bakal bantuin aku."

"Maka, jangan biarkan itu terjadi."

"Gimana caranya?" Atlanna cemas.

Suara itu tidak menjawabnya lagi. Apa yang Atlanna dengar hanyalah debur ombak dan embus angin menabrak pepohonan. Atlanna menunggu sampai bermenit-menit lamanya, tetapi pertanyaannya tetap tak terjawab.

"Hei, tolong! Ini pengalaman pertamaku. Aku takut salah langkah." Atlanna berseru, berharap mendapat respons dari suara misterius tersebut.

Waktu tak akan berhenti hanya untuk menunggu jawaban yang Atlanna perlu. Ia melemaskan bahu, lantas berputar pelan-pelan untuk memastikan keadaan sekitar Pantai Irvetta. Sunyi, tidak ada aktivitas, restoran Star Food & Bar juga sudah tutup. Sebelumnya Atlanna pernah datang ke sini dalam keadaan sesepi ini untuk menyeburkan diri ke laut. Namun, kali ini sepinya membuat rasa takut meningkat tiga kali lipat.

Atlanna melepas alas kaki, rambutnya sudah digulung sejak ia dari rumah, sekarang ia melangkah maju dan satu kakinya dijulurkan sampai menyentuh air laut yang datang bersama busa.

"Enggak terlalu dingin," katanya.

Padahal air laut teramat dingin bila orang lain yang menyentuh. Dinginnya seperti sebuah ember dipenuhi batu es, lalu diisi air yang tentu volumenya lebih sedikit dibanding jumlah es. Kira-kira sedingin itu.

"Kalau Mamiw tau dan bantu aku, berarti aku gagal? Aku bakal hilang bareng es-es itu?" Atlanna bertutur sedu.

Ia mengusap wajah dan menunduk lelah. Atlanna memikirkan cara agar Alaia tidak merasakan kehadirannya di laut. Benar yang suara tadi katakan, ia harus berkonsentrasi agar tak terjadi kegagalan. Atlanna sedikit ragu karena ia tidak mampu melawan kekuatan ibunya yang jauh lebih besar dari dia.

"Think, Atlanna, think!" Ia mengetuk pelipis pakai telunjuk sambil memejamkan matanya erat.

Ia tanpa sadar menggigit jempol ketika sedang panik berlebih. Lalu Atlanna menepuk-nepuk kening seraya mondar-mandir memikirkan cara untuk mencegah Alaia datang. Entah bagaimana, Atlanna harus mendapatkan ide tersebut sesegera mungkin.

"Mamiw itu bakalan peka kalau aku kirim sinyal tanda bahaya. Kalau aku sedih, Mamiw bisa rasain. Kalau aku kirim telepati, Mamiw pasti langsung muncul ke sini. " Atlanna bicara sendiri. "Kalau aku diem-diem aja, Mamiw enggak akan tau, 'kan?"

"Jadi, aku enggak boleh manggil Mamiw secara langsung ataupun lewat telepati. Aku enggak boleh juga panggil Papiw, Appa, dan Abang. Aku harus cegah pikiran itu muncul di otakku." Atlanna menyeloteh.

"Atlanna dilarang sebut nama mereka dalam hati! Oke, semoga aku bisa. Enggak, aku harus bisa!" Dia memekik di akhir kalimat.

Akhirnya, Atlanna menemukan jawaban. Matanya melebar dan berbinar terang. Tak bisa dipungkiri bahwa ia berantusias meskipun rasa panik tetap mengganggu pikiran.

"Great job. Sekarang, pergilah. Temui aku di pulau seberang." Suara ini muncul kembali.

"Ternyata kamu sengaja enggak jawab aku biar aku mikir, ya!" Atlanna menyahut cepat.

"Benar. Aku tau kau punya otak. Gunakanlah akalmu sebaik mungkin."

"Jelas aku punya otak, aku bukan bintang laut." Atlanna mendengkus, kemudian ia berjalan lagi menghampiri air laut yang bergerak mundur dan sebentar lagi kembali datang bersama gelombang pendek.

Ternyata tidak pendek karena tingginya setara tubuh Atlanna. Perempuan itu membulatkan mata dan baru akan berbalik badan untuk lari, tetapi terlambat.

Byur! Atlanna basah kuyup.

"Oke. Kita mulai sekarang." Atlanna mencoba percaya pada kemampuannya.

Ia tanpa pemanasan langsung menyebur ke air dan berenang penuh tenaga. Ia merasa tubuhnya bergerak cepat menjauhi daratan, kenyataannya gelombang itu membawa Atlanna ke daratan lagi dan membiarkannya terkapar di sana.

Atlanna tercenung melihat dirinya terdampar di atas pasir basah. Terus, dia menatap laut dengan alis terangkat satu. "Kok kamu gitu?!"

Ia berdiri dan mengepal tangan. Rautnya marah, tapi malah jadi lucu. Ia menghentak-hentak kaki saat menghampiri air laut lagi. Sambil berkacak pinggang, Atlanna mengomel ke laut, "Kalau gangguin aku, aku aduin ke Mamiw nanti!"

Habis mengatakan itu, Atlanna menerima tanggapan dari laut berupa datangnya ombak besar yang membuat tubuhnya oleng dan tersungkur ke pasir untuk kedua kali.

"Astaga!" Atlanna frustrasi.

Dengan sabar Atlanna bangkit dan menghampiri laut. Ia cemberut karena sedang ngambek ke laut, tapi tetap membutuhkan laut ini demi perjalanan ke pulau seberang. Untuk percobaan kesekian, Atlanna masuk ke air dan mengayuh kaki serta tangannya. Dan untuk kesekian kali juga dia didorong ombak sampai ke darat.

"Ish!" Atlanna kesal. "MAM—"

Seketika dia membekap mulut karena hampir memanggil Alaia. Atlanna melotot lebar-lebar merasakan panik, jantungnya sampai berdegup cepat dan mimiknya tegang. "Hampir aja ...," gumam Atlanna lega.

Atlanna merapikan anak rambut yang menempel di muka. Ia bangun diselingi ringisan ketika merasakan efek habis melahirkan. Atlanna menatap sendu laut tanpa berkutik. Ia rasa akan sulit berenang sejauh itu hanya dengan mengandalkan kayuhan kaki serta tangan. Atlanna butuh sesuatu untuk membantunya mengarungi lautan.

"Di sini ada speedboat atau kapal kecil enggak, ya?" Atlanna putar badan menghadap saung-saung dan toko di tepi pantai.

Ia berjalan ke sana untuk mencari benda yang dibutuhkan. Suara misterius melarangnya datang bersama orang lain, tapi tak melarang dia datang bareng kendaraan, bukan?

"Ada!" Atlanna memekik kala ia lihat tiga speedboat di depan sebuah saung.

Cepat-cepat ia berlari ke situ untuk mengambil satu. Sayangnya, benda-benda tersebut diikat oleh rantai yang digembok dan gembok itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari pemiliknya. Atlanna mendesah resah.

"Aku enggak mungkin rusakin gemboknya," ujar Atlanna.

Dengan lesu Atlanna meninggalkan saung. Ia jalan terseok-seok tanpa semangat yang sebelumnya ada. Tapi, ketika ia ingat bahwa waktunya hanya tersisa sedikit, ia seketika menegapkan badan dan lari kencang ke dermaga. Atlanna akan terjun dari dermaga.

Ia menutup mata saat berlari menelusuri dermaga hingga ke ujung. Tiba di ujungnya, Atlanna tidak menyadari adanya hawa dingin yang berbeda dari embusan angin biasa. Atlanna tak memikirkan hal lain selain mengejar waktu ke pulau seberang.

Maka, Atlanna melompat dan tubuhnya masuk ke air dengan sempurna. Ia bergerak cepat menjauhi kaki dermaga tanpa peduli pada gelombang yang mengganggu perjalanannya. Ia tetap mengayuh dan terus mengayuh sejauh mungkin.

Atlanna tidak bisa bernapas di dalam air dan ini menjadi masalah lain untuk dirinya sendiri. Ia terengah-engah karena mulai merasakan lelah berenang di laut yang tak mungkin bisa ia arungi hanya satu malam. Laut itu besar, Atlanna hanya sebuah titik kecil yang berusaha menyeberangi wilayah seluas ini.

Sesaat Atlanna berhenti. Ia menengok ke belakang, dan tercenung mengetahui dari tadi ia berenang hanya sejauh sepuluh meter dari kaki dermaga. Spontan Atlanna melemaskan tubuh hingga terombang-ambing di permukaan air.

"Kenapa berenang itu bikin capek banget? Kenapa enggak seringan pas aku mandi bola dulu?" celetuknya sambil menatap langit pekat.

Atlanna memejamkan mata sebentar. Ketika ia membukanya lagi, ia lihat sesuatu melintas di dekatnya. Itu adalah bongkahan es yang sudah sangat tipis, bahkan saat ia pegang es itu langsung pecah dan meleleh.

Dua detik kemudian, Atlanna membalik tubuh yang awalnya telentang. Dia coba menciptakan es baru memakai kekuatannya, tetapi tak berhasil. Kekuatan Atlanna berkurang seperti apa yang dibilang suara misterius mengenai kekuatannya yang akan melemah seiring es-es itu menyusut.

Sekali lagi Atlanna coba mengeluarkan sinar putih dari tangan. Ia pernah berhasil membekukan Aphrodite, pernah berhasil membangun benteng es yang kokoh, tetapi kali ini Atlanna gagal menggunakan kelebihannya tersebut. Lambang snowflake atau keping salju di telapaknya ikut sirna.

Itu artinya Atlanna harus pergi ke pulau seberang benar-benar sendirian ... tanpa bantuan dari kekuatannya.

"Ma—" Baru saja bicara, ia langsung tutup mulut. Atlanna memiliki kebiasaan menyebut Mamiw atau Papiw ketika ia resah, tapi sekarang ia tak boleh melakukannya. Ini membuat Atlanna makin terpuruk.

Kesunyian ini menambah kegelisahan serta kesedihan Atlanna. Ia menemukan pecahan es lagi, dan saat ia ambil es itu berubah menjadi air. Detik itu juga Atlanna menangis tersedu-sedu sambil kembali berenang.

"Es, ayolah muncul." Atlanna berharap sambil menatap telapak tangan.

Ia mengarahkan tangan ke depan untuk menciptakan es, dan lagi-lagi gagal. Atlanna berpasrah tetapi tidak menyerah. Ia berucap, "Semoga aku enggak terlambat ke pulau itu. Aku masih mau kumpul sama keluarga aku."

Semangatnya meningkat demi menutupi rasa sedih yang teramat sangat. Atlanna menyelam untuk menghindari gelombang besar yang menghadangnya terus. Namun, ia belum cukup pandai jelajahi laut sehingga Atlanna salah posisi dan berakhir tubuhnya menjadi sasaran ombak yang menerjang air.

Atlanna kesulitan bernapas. Ia bergerak ke permukaan dan langsung mencari oksigen. Atlanna ngos-ngosan seraya menyentuh dadanya yang sesak.

Saat baru akan mengayuh lagi, tangan kanan Atlanna dipegang oleh sesuatu yang cerah dan menarik tubuhnya makin jauh dari daratan. Atlanna menoleh, ia tak bisa melihat jelas makhluk itu karena benar-benar bercahaya sampai wujudnya tak nampak tertutup kilauan putih bercampur biru. Birunya mirip cahaya khas milik Alaia.

Sosok itu menolong Atlanna yang kesulitan berenang karena tak memiliki keahlian dalam kegiatan tersebut. Atlanna tak berkutik seakan dirinya membeku, bahkan mulutnya tak mampu mengeluarkan kata. Atlanna tidak tahu makhluk itu sempat ia lewati saat dia berlarian di dermaga tadi.

Atlanna menoleh ke belakang dan senyumnya sedikit mengembang karena ia tak melihat daratan lagi. Itu mengartikan Atlanna memiliki kesempatan besar menyeberangi laut Irvetta dan tiba di pulau seberang sebelum pagi. Ia berharap seperti itu.

Belasan menit berlalu, sosok cerah ini melepas pegangannya dari Atlanna. Mereka berada di tengah laut yang dipenuhi riak ombak akibat angin kencang. Makhluk itu membiarkan Atlanna melanjutkan perjalanannya sendiri.

"Wait!" Atlanna berseru ketika sosok tadi hendak pergi.

"Thank you so much for helping me swim this far," tutur Atlanna.

Dia tidak menanggapi. Kalaupun nyatanya ia mengangguk atau tersenyum, itu tetap tidak kelihatan oleh cerahnya sinar yang terpancar dari tubuh dia. Atlanna seperti bicara dengan siluman lampu.

Atlanna lalu bertanya, "Who are you?"

"God of the Underworld." Suaranya berat, terdengar tak asing bagi Atlanna, sampai perempuan itu terperangah.

hai, Babygeng! terima kasih kalian masih setia di sini. terima kasih buat 4M reads-nyaaa! aku bersyukur banget bisa bertanggung jawab tamatin cerita ALAÏA 2 padahal aku berkali-kali mau nyerah sama cerita ini karena beraaat banget 😭👍🏼 selama nulis ALAÏA 2 aku diserang banyak kepahitan pren 🥲 tapi aku tetep seterong karena ada Babygeng!!

PLEASE FOLLOW INSTAGRAM KAMI <3

FOLLOW TIKTOK:
@radenze
@langitshakaa

━━━━━━━━━━━━━━━

━━━━━━━━━━━━━━━

JOIN CHANNEL TELEGRAM @BABYG3NG

note:
terus dukung cerita ALAÏA 2 dengan share ke sosmed dan temen-temen kamu (cuplikan kecil atau ss (jangan terlalu spoiler)) yaaa! aku seneng banget kalo ALAÏA 2 disebar ke mana-mana 😄🤍

🌬 THANK YOU, BABYGENG! 🤍
see you again

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

501 461 6
Kisah yang menceritakan tentang seorang laki-laki humoris, keras kepala dan susah di atur. Namanya Alvaska Galandra Utara. Cowok yang memiliki berbag...
13.2K 1.4K 35
R : dasar pria menyebalkan yang benar saja dia tak tahu aku siapa CK, tentu di penjuru negeri bahkan dunia tahu jika aku adalah seorang artis terkena...
823K 39.7K 46
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
8.8K 247 8
Lirik dan terjemahan OST Who Are You; School 2015~