ALAÏA 2

By radexn

6.2M 940K 5.3M

[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ ❝ Dia kembali, membawa... More

Prolog
1. Aishakar X Atlanna
2. Bawel
3. Atmosfer Masa Lalu
4. Shocked
5. A Different Destiny
6. Moonstar
7. Masuk dalam Gelap
8. Sayang
9. Tak Seindah Lukisan
10. Hitam
11. Menyelam untuk Mati
12. Irvetta
13. Memang Seharusnya Jujur
14. Pengakuan
15. Sang Dewa Kematian
16. Bintang
17. Berharap yang Terbaik
18. Beku
19. It's a Bye
20. Snow
21. Our Beloved Atlanna
22. Insiden
23. Satu yang Bersejarah
24. Kita
25. Ingin Melepas Rasa
26. Imitasi
27. Baby Winter
28. Aku Bukan Kamu
29. Hurt
30. Haruskah Kita Usai
31. Retak
32. Amatheia VS Aphrodite
33. Us
34. Dear You, Ale
35. Διαίσθηση
36. Andai Kita Abadi
37. The Mermaid
38. Hectic
39. Aesthetic
40. Chaotic
41. Luka dalam Memori
42. Light
43. A Frozen Heart
44. Skyïa
45. The Sea is Calling
46. The Blue Diamond: Goddess of The Sea
47. Happy Birthdae
48. Angel
49. Berharap Hanya Mimpi
50. Cahaya Mata
51. The Most Beautiful Moment
53. Laut yang Tenang
54. Moonlight [END]
pre-order ALAÏA 2
Extra Chapter
NEW STORY
⚠️ SECRET CHAPTER 🔞
AMBERLEY
ALAÏA 3
NOVEL AMBERLEY (cucu Aïa)
ALAÏA UNIVERSE: "SCENIC"

52. Justice

49.7K 10K 22.6K
By radexn

52. JUSTICE

Alaia sedang senang. Kebahagiaannya bertambah atas kelahiran anak Atlanna dan Bintang. Lalu, ada kabar baik dari Lana yang tengah hamil.

Malam ini Alaia jalan-jalan mengitari Pantai Irvetta sambil bergandengan sama Langit. Di genggaman Alaia terdapat es krim cone rasa vanilla. Sesekali Langit memintanya, dan ada satu kejadian Langit menjilat es krim itu terlalu banyak sampai Alaia cemberut.

"Mau ke dermaga?" Langit mengajak.

Alaia mengarahkan mata birunya ke sana. Dermaga bukan lagi menyimpan memori tentang kisah bahagia, karena di sanalah satu peristiwa menyakitkan juga terjadi. Dae Lonan tertembak di dermaga dan meninggal di tempat.

"Ayo, Angit." Alaia menerima ajakannya.

Keduanya menaiki anak tangga sampai menapak di dermaga. Alaia mengeratkan pegangannya di tangan Langit kala mereka berjalan menuju ujung. Napas Alaia menjadi berat disusul pedih yang datang melapisi matanya.

Tangan Alaia bergetar memegang es krim dan dia tak minat menyicipnya lagi. Agar tidak jatuh dan berakhir mubazir, Langit melahap es sekaligus cone itu, langsung dia kunyah dan telan. Gigi Langit anti ngilu.

"Dae meninggal di sini. Di hari ulang tahunnya," lirih Alaia ketika berhenti di ujung dermaga.

"Aku sedih tiap inget dia. Rasanya kayak ditinggal anak sendiri, padahal aku enggak begitu akrab sama Dae." Alaia bertutur rendah.

"Terakhir kali aku ketemu dia di tepi Pantai Irvetta. Dia liat aku sebagai Dewi Laut. Katanya dia suka laut," ujar Alaia.

Langit merangkul Alaia dan mengusap lengannya. "Dae pasti ditempatin di tempat terbaik, Sayang. Sekarang dia bisa jelajahi lautan sebebasnya. Enggak perlu pake kapal selam."

Air mata Alaia menitik ke pipi. Ia dipeluk Langit dan kepalanya dibelai lembut. Tangisnya membuat ombak meninggi, langit bergemuruh, dan angin berembus kencang.

Langit mendekap Alaia untuk melindungi wajahnya dari serbuan debu dan cipratan air. Istrinya tak memikirkan alam yang menjadi suram karena kesedihannya, ia tetap menangisi Dae karena merindukan sosok yang telah hilang itu.

"Aia," panggil Langit sambil menangkup wajah itu dan ia hapus jejak air matanya.

"Kalo kamu sedih terus, nanti Dae ngerasa bersalah udah pergi. Gimana kalo dia jadi enggak tenang?" tutur Langit.

Alaia menatap Langit dan berkedip pelan satu kali. Langit menyeka air matanya lagi, kemudian Alaia tersenyum walau tatapannya masih dipenuhi kesedihan. Setidaknya alam kembali normal ketika Alaia mengukir senyuman.

Sekali lagi, Alaia membiarkan dirinya aman dalam pelukan Langit. Ia rela menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa di sini selain berpelukan. Alaia tak mau kehilangan. Ia paling takut kehilangan.

Kicau burung terdengar bersama samar-samar suara pria yang arahnya dari anak tangga dermaga. Alaia menoleh, ia memiliki pendengaran tajam tak seperti Langit yang sama sekali tidak mendengar suara itu.

"Dia meninggal di Pantai Irvetta. Tiga bawahan saya berhasil menewaskan dia dengan Revolver dan Raging Bull. Itu pistol terbaik untuk membunuh dalam sekali tembak."

"Tidak, lebih dari sekali. Enam kali tembakan. Dae Lonan mana mungkin bisa bertahan."

"Ini sejarah terbaik untuk kita. Keluarga Lonan mati di tangan kita, hahahaha! Jangan lupa kekayaannya harus kita raup, dan jangan tinggalkan sepeser pun untuk istrinya."

Alaia bergerak ke sumber suara dan Langit mengikuti. Langkah Alaia terbilang santai, tetapi api amarah mengitarinya. Manusia tak bisa melihat simbol merah di lengan Alaia yang mengartikan dia murka.

Di bawah situ, Alaia bertemu empat pria tua berpakaian rapi sambil merokok dan tertawa membicarakan kematian Dae. Mereka adalah penjahat yang tak bisa terima bila keluarga Lonan lebih jaya dari mereka. Orang-orang itu merupakan musuh Aegir, Papa Dae.

"Hai." Alaia berdiri di anak tangga teratas, ia menatap polos empat orang tadi.

Mereka menoleh serempak bebarengan Langit berhenti di belakang istrinya. Alaia turun sambil mengukir senyuman cantik yang membuat mereka tak berhenti mengamatinya terus. Langit tidak akan mengusik acara Alaia, jadi dia bersandar ke pagar dermaga sambil bersiul.

"Apa kalian mau tau sesuatu?" Alaia mengedip imut, ia kini berdiri menghadap mereka.

Salah satu pria menyahut, "Anak kecil jangan ganggu kami. Pulang sana!"

"Hey, biarkan dia dulu. Ada apa?" Satu pria lain menyambar.

Alaia berkata tanpa beban, "Aku dengar semua percakapan kalian tentang Dae Lonan."

Langit menyaksikan tontonan ini dengan serius. Empat pria tersentak dan tidak percaya karena mereka telah memastikan suasana di sini sepi pengunjung, sehingga tak akan ada yang mendengar obrolan itu.

"Sekarang kalian tertangkap! Aku enggak akan bebasin kalian." Alaia berseru senang.

Sedetik setelah Alaia mengucapkan itu, mereka mengeluarkan senjata api yang tersembunyi di dalam saku jas. Mereka kompak mengarahkan pistol ke Alaia dan siap-siap menekan pelatuk. Alaia tidak takut, justru dia maju.

"Go Alaia! Go Alaia! Go Alaia!" Langit bersorak sambil bisik-bisik.

Sambil mengangkat dagu dan bersedekap, Alaia berkata, "Aku enggak takut sama pecundang yang beraninya pakai senjata."

"Katain cupu, Aia," ucap Langit lewat telepati.

"Cupu." Alaia mengejek.

Mereka merasa dihina dan tanpa pikir panjang langsung meluncurkan peluru ke Alaia. Peluru itu menembus dada kanan Alaia, membuatnya meringis kuat dan membungkuk kesakitan. Alaia menyentuh dadanya seraya ia tersungkur ke pasir, membuat pria-pria itu menertawakannya.

Baru saja senang melihat Alaia hampir mati, empat orang tadi tersentak saat Alaia kembali berdiri tegap dan melempar peluru yang semula masuk ke badannya.

Peluru itu jatuh di dekat kaki satu pria yang diperkirakan pemimpin tindak kejahatan dari rencana pembunuhan Dae.

"Not that easy, Losers." Alaia tersenyum miring.

Mereka benci disebut pecundang. Mereka mau dipandang tinggi oleh setiap orang, menguasai segala kekayaan di Bumi, dan menyingkirkan manusia yang membuat mereka rugi.

Dae itu pintar dan sangat-sangat kaya, makanya mereka mengincar Dae setelah berhasil membunuh orang tuanya lebih dulu.

Komplotan Dani memang diisi para bajingan tak berakal dan tidak memiliki hati. Namun, manusia sejenis itulah yang Alaia suka. Suka untuk ia musnahkan.

"Kau ini siapa sebenarnya? Keluarga Dae Lonan?!" Satu pria kurus menyentak Alaia.

"Bukan urusanmu aku ini siapa," cetus Alaia.

"Kalau gitu, jangan cari gara-gara!" omel mereka.

"Kalian yang lebih dulu cari gara-gara. Aku minta keadilan atas kematian Dae Lonan. Aku enggak mau kalian bebas." Alaia berkata.

Lantas Alaia ditertawakan. Mereka menganggap omongan Alaia konyol bagai lelucon kuno. Ucapan Alaia dianggap angin lalu yang tak akan mungkin terjadi. Mereka mempunyai kekuasaan sehingga aman dari incaran polisi. Membunuh orang bukanlah perkara sulit bagi mereka.

"Not that easy, Baby girl." Mereka mengulang ucapan Alaia, hanya mengganti sebutan di akhir.

Di dermaga, Langit memincingkan mata mendengar ucapan itu. "O asu," umpatnya.

Alaia tak membiarkan kepalanya tunduk seolah ada mahkota di sana. Ia maju selangkah lagi. Kata Alaia, "Kalian yakin setelah ini masih bisa berkeliaran bebas?"

"Sayang, kami enggak takut apa pun! Siapa yang berani lawan kami?" kekeh mereka.

"Bahkan para penyidik yang menangani kasus Dae Lonan tutup mulut setelah tau siapa otak dari pembunuhan itu. Tiga orang yang menembak dia memang berhasil ditangkap dan diberi hukuman mati. Tapi, lihat, kan, kami berempat masih ada di sini. Bebas hirup udara segar sambil bercanda tentang Dae Lonan! Hahahaha!"

"Kami berencana merusak makamnya, atau sekalian hancurkan jasadnya? Itu akan menjadi kisah menyenangkan sepanjang masa." Pria jahat itu bertutur antusias.

"Sebenarnya saya belum puas dia hanya ditembak," cetus pria bertumbuh tambun.

"Jangan biarkan Dae tenang." Mereka terus-menerus berkata tidak baik.

Alaia bungkam sebentar. Ia melirik langit pekat di atas sana dan menjadi sedih karena Dae harus meninggal akibat rencana busuk orang-orang ini. Alaia tak akan membiarkan mereka bersenang-senang.

"Kalian pikir itu hebat, ya?" Alaia memiringkan kepala.

Mereka kembali tertawa. "Sangat hebat. Hehehehe."

"Apa rasanya nembak orang semudah itu?" tanya Alaia.

"Menakjubkan!" Mereka masih terus meremehkan kematian Dae.

"Terus, apa rasanya ditembak sampai mati?" Alaia melangkah maju dua kali.

Tawa mereka perlahan sirna, berganti senyuman nakal dan menyeramkan bak psikopat yang akan menyiksa korban. Mereka menatap Alaia seperti itu. Bukannya takut, Alaia malah tambah geram, tapi masih menahan diri.

"Kau mau merasakan?" Mereka menawarkan.

Senyum Alaia muncul lagi sembari ia menjawab, "Seharusnya aku yang bilang begitu."

Dengan gerakan cepat, Alaia mengeluarkan kekuatannya yang membanting mereka ke pasir. Empat pistol itu Alaia rebut dan ia remuk menggunakan tangan kosong. Hanya dua pistol yang tersisa di genggamannya dan sengaja ia biarkan tetap utuh.

"Ini Revolver dan Raging Bull, ya? Dua pistol yang dipakai buat bunuh Dae." Alaia bertutur sambil mengangkat pistol sejajar dengan perutnya.

"Kalian mau coba?" Alaia mendekat dan mereka segera beranjak.

Satu pria menghubungi rekannya untuk datang, tapi hal itu ketahuan Alaia dan satu tembakan langsung meluncur ke udara. Kaget, pria itu sontak melempar ponselnya. Mereka tidak bisa lari karena Alaia menyodorkan dua pistol sekaligus ke arah mereka.

"Mau peluru atau nyebur ke laut?" Alaia memberi pilihan.

Mereka memikirkan cara untuk merebut pistol tersebut agar bisa menyelamatkan diri. Akan tetapi, Alaia tak membiarkan itu terjadi. Ia memaksa mereka untuk memilih satu dari dua opsi tadi.

Segeralah mereka beranjak ke dermaga dan melewati Langit. Mereka pikir lebih baik terjun ke laut, lalu berenang ke tepian, daripada sekarat atau bahkan mati karena tertembak.

Di dermaga, Alaia masih terus mengarahkan pistol ke mereka. Langit mau ikut tempur, tetapi Alaia melarang dan meminta dia tetap di dekat tangga dermaga. Alaia akan menghadapinya sendiri demi keadilan Dae.

"Setelah kami lompat ke air, kembalikan pistol itu!" seru seseorang.

Alaia belum merespons sampai mereka berpijak di ujung, dan satu kali langkah lagi akan jatuh ke laut. Sesudah mereka sama-sama masuk ke air yang teramat dingin, barulah Alaia menjawab ucapan itu.

"Enggak mau," ucap Alaia.

Ia berjalan ke ujung seiring bola matanya berganti merah. Alaia menembak mereka masing-masing sebanyak enam kali tanpa henti. Selanjutnya Alaia memanggil bangsa siren untuk menghabisi mereka, seperti mereka menghabisi nyawa keluarga Lonan, dan berniat meraup habis harta peninggalan Dae.

"Have a good dinner, Sirens," tutur Alaia—atau tepatnya Amatheia.

❄️ 🤍 ❄️

Tawa bayi memenuhi kamar. Atlanna sedang mengajak putrinya bercanda dengan boneka Libi. Mata bulatnya menatap orang tua dia dengan penuh cinta dan ketulusan yang murni. Gelak tawanya menghadirkan getaran menyenangkan yang menghangatkan dada Atlanna maupun Bintang.

"Siapa kesayangan Mama dan Appa?" Atlanna berucap menggunakan nada yang lucu. "Brittany Amberley Raja!"

Bintang tersenyum dengan sederet gigi yang terpampang. Ia menoel-noel pipi anaknya memakai ujung telunjuk yang tentunya bersih. Lalu, Bintang menciumnya di leher dan menimbulkan tawa lagi.

Ada hal unik mengenai Baby Moonstar. Ia tidak betah bila tubuhnya dilindungi banyak kain. Anak itu akan menangis keras kalau dipakaikan baju tebal guna menghangatkan tubuh. Ketika hanya diberi baju tipis, dan suhu kamar amat dingin, ia baru tenang.

Atlanna berpikir itu wajar karena bayi lebih tahan dingin dibanding orang dewasa. Namun, ini terlalu dingin untuk disukai seorang bayi.

"Appa, kamu harus liat ini." Atlanna memegang kedua tangan mungil anaknya.

Ia membalik tangan itu untuk melihat telapaknya. Kedua telapak tangan Baby Moonstar memiliki dua tanda lahir. Tapi ... bentuknya tak seperti tanda lahir dan sangat samar.

Di satu tangan terdapat simbol snowflake, satunya lagi salib terbalik. Dua-duanya masih belum terbentuk jelas.

"Dia nurunin kita banget, ya," tanggap Bintang.

Atlanna mesem dan menyahut, "Iya, Appa."

Karena sudah malam, Atlanna mengangkat si Mungil untuk ia beri susu. Ia duduk di kasur dan bersandar pada headboard. Bintang memerhatikan istrinya yang telaten mendekap anak mereka, kemudian mengeluarkan satu buah dadanya dan memberikan nutrisi terbaik buat Baby Moonstar.

"Kalo Baby udah bobo, kamu langsung tidur. Biar aku yang urus semisal dia bangun." Bintang berkata.

Atlanna tersenyum hangat. "Makasih, Appa."

"Kenapa bilang makasih?" Bintang menyahut seraya meraih tangan Atlanna untuk menghirup jari-jarinya yang harum.

"Udah bantu aku," kata Atlanna.

"Itu kan kewajiban aku juga, Sayang. Kita sama-sama rawat dia. Kamu enggak terlalu capek, aku juga enggak. Jadinya imbang." Jawaban Bintang melegakan Atlanna.

Bintang menemani Atlanna sebentar sebelum ia pergi ke dapur untuk cari minuman. Atlanna menunduk, memandangi wajah Baby Moonstar yang tenang. Ia mengecup kening dan berkata betapa ia menyayanginya.

Di dapur, Bintang mengambil dua susu kotak rasa pisang untuknya dan Atlanna. Ia baru akan keluar dari dapur, tapi langkahnya terinterupsi dan ia berbalik arah. Bintang berjalan ke wastafel sembari mengamati refleksinya pada cermin.

Bintang mengernyit. Ia baru menyadari seharian ini Nyx Reaper tidak berulah. Sekadar mengucapkan selamat atas kelahiran cucunya pun tidak.

"Baba." Bintang memanggil.

Karena tidak mendapat sahutan, Bintang mengulang. "Ba? Gue mau ngobrol."

"Atlanna udah lahiran. Baba enggak ucapin selamat? Baby Moonstar bisa ngambek, nih, enggak diucapin kakeknya," celetuk Bintang.

Senyap. Nyx tak menanggapi. Tidak juga memberi sinyal bahwa rohnya ada di sini.

Bintang mengitari seisi dapur, keluar dan berlari ke ruang tengah, ke halaman belakang, ke kamar dia dan Atlanna, ke kamar Baby Moonstar, ke semua kamar mandi, ke halaman depan rumah, sampai ke pohon tempat Kholivar biasa bertengger. Seluruh isian rumah telah Bintang jelajahi dan tak menemukan Nyx.

Aneh. Segera Bintang mengirim telepati ke Alaia. "Al, Nyx enggak ada di badan gue. Dia enggak ada di sekitar gue."

❄️ 🤍 ❄️

Alaia menerima telepati Bintang tepat saat ia dan Langit baru akan masuk ke mobil. Mereka hendak pulang setelah berlama-lama berduaan di Pantai Irvetta. Oleh sebab mendapat pesan dari Bintang, Alaia berbalik lagi dan meninggalkan Langit di parkiran.

Langit tanpa berkata-kata langsung mengikuti ke mana pun Alaia melangkah. Ia pikir Alaia akan ke dermaga karena masih ingin mengenang Dae. Ternyata tidak. Alaia berhenti di jarak tiga meter dari hamparan buih laut.

"Nyx," panggil Alaia dalam hati.

Betapa kaget Langit melihat ada sosok melintas di depannya dan melayang cepat mendatangi Alaia. Langit menahan gerak kakinya ketika roh itu berhenti di hadapan istri dia. "Saha eta?" gumam Langit.

Alaia terperangah saat pertama kali bertemu Nyx Reaper dalam wujud roh tanpa raga. Ia baru tahu bahwa Nyx memiliki paras rupawan dan muda, tak seseram julukan dia. Rambutnya gondrong mencapai bahu, tatapannya tajam berbola mata hitam menyeluruh, bibirnya mungil seperti Bintang, alisnya tebal, hidungnya kecil dan mancung. Berbeda dengan Bintang yang berwajah asia, Nyx sangat kebaratan.

Nyx tidak memiliki warna pada sekujur tubuh. Ia hanyalah roh. Dia hanya bayang hitam yang tak bisa disentuh. Selain itu, dia punya sepasang sayap besar dan mengenakan jubah. Nyx serba hitam, cuma lambang salib terbalik di keningnya yang sesekali menyala merah.

"Eta jurig?!" Langit memekik tertahan, dia jadi heboh sendiri.

Alaia dan Nyx saling pandang. Roh itu tertunduk dan sayapnya bergerak turun menandakan suasana hatinya buruk. Alaia tak tau apa yang Nyx alami sehingga tiba-tiba ia meninggalkan Bintang.

"Nyx, kamu keluar dari tubuh Bintang? Kenapa?" Alaia bertanya langsung pada poinnya.

Nyx menjawab, "Udah saatnya gue lepas Bintang. Dia punya keluarga sendiri, Al. Dia bisa jaga diri, anak, dan istrinya tanpa gue."

"Kamu enggak akan jauh-jauh dari dia, 'kan? Kamu enggak bisa jauh dari Bintang." Alaia bertutur.

Nyx mengangguk. Ia hanya keluar dari raga Bintang, bukan memutuskan hubungan dengan Bintang.

"Terus, setelah ini kamu mau tinggal di raga siapa?" tanya Alaia.

Sayap Nyx terangkat kembali dan kepalanya bergerak menghadap wajah Alaia. Ia berkata, "Gue nunggu kelahiran anak dari seseorang, dia yang baru ditinggal suaminya."

Mata Alaia berbinar, ia tau siapa yang Nyx maksud. Ini tak pernah Alaia pikirkan sebelumnya karena terlalu larut dalam kesedihan dan beban pikiran lain. Ia dan Nyx terlibat saling tatap sangat lama, sampai akhirnya Alaia mengangguk tanda setuju.

"Gue mau jaga dia lewat anaknya, biar enggak ada yang usik keluarga mereka lagi." Nyx bertutur tulus. "Buat Dae."

Continue Reading

You'll Also Like

78.1K 7.1K 14
Sebuah Kisah dua pemuda dengan perbedaan Tinggi 50cm💜 Main Cast : Park Jimin, Jeon Jungkook. Other Cast : Kim Namjoon, Kim Seokjin, Kim Taehyung...
3.2M 211K 12
{SUDAH TAMAT) Vee berniat untuk menyelamatkan nama baik Valery yang tiba-tiba menghilang setelah mereka sepakat untuk menikah. Cinta membuat Vee menj...
79.7K 3K 27
Kisah seorang gadis bernama Luna yang mengidap Social Anxiety Disorders (SAD) atau Gangguan Kecemasan Sosial dan takut terhadap sentuhan atau Hapheph...
874K 53.5K 43
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...