Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

846K 90.3K 3.1K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 27: Seems like you are the only exception
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 32: I'm yours

16.8K 1.7K 71
By storiesbyyola

AKSA

Setelah hubunganku dan Amanda berakhir, aku cenderung menutup hati. Sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan baru. Amanda memang bukan cinta pertama atau pacar pertamaku, tetapi untuk pertama kalinya, aku mulai serius memikirkan masa depan hubunganku. Setiap rencana masa depanku selalu ada Amanda di dalamnya. Sepanjang dua tahun kebersamaan kami, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuknya sehingga perselingkuhan yang dia lakukan terasa tidak masuk akal dan sulit untuk kuterima.

Malam itu seharusnya seperti malam-malam biasanya—menghapus rindu terhadap satu sama lain melalui sambungan Skype. Seharusnya malam itu aku menenangkan Amanda yang selalu merengek karena rindu dan tidak puas melihatku hanya lewat layar laptop. Seharusnya malam itu kami berbahagia setelah aku memberikan kejutan kepada Amanda perihal keberangkatanku ke Melbourne yang dijadwalkan lebih cepat dari jadwal sebelumnya. Seharusnya malam itu bukan akhir dari hubungan kami. Sampai akhirnya, Amanda memberikan pengakuan yang sukses membuatku tercengang, berharap yang kudengar adalah lelucon yang biasa dia lakukan kalau sedang bosan dan butuh hiburan.

"I slept with someone. Aksa, I'm sorry. It just happened."

Aku ingat kala itu seluruh tubuhku langsung terasa kaku. Aku bahkan ragu jantungku masih berdetak semestinya. Meski beberapa detik telah berlalu sejak pengakuan itu keluar dari bibir Amanda, aku masih terdiam, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Namun, sepertinya Amanda salah mengartikan reaksiku. Bukannya menghentikan ucapannya, dia justru memberikan pengakuan lain.

"It happened one month ago. Aku homesick dan orang ini selalu ada buat aku. Dia orang Indonesia juga—dan dari awal kuliah di sini—jadi dia tahu dan ngerti apa yang aku rasain. Awalnya kami cuma beberapa kali makan bareng atau explore Melbourne kalau sama-sama nggak ada jadwal kelas. Beberapa kali dia nemenin aku ke bar kalau lagi suntuk, tapi aku berani sumpah awalnya nggak ada apa-apa di antara kami walaupun dia pernah menyatakan perasaannya ke aku," kata Amanda dengan tenang seolah dia sudah menyiapkan diri untuk momen ini berhari-hari. "But, someday, I drank too much. We were caught up in the moment, and when I woke up the next morning, it was too late. We slept together that night, but it was a mistake, Sa. Aku udah berusaha jauhin dia setelah itu karena aku merasa bersalah sama kamu, tapi dia masih ngejar-ngejar dan pas tahu kamu bakal lanjut kuliah di sini semester depan, dia mengancam aku, Sa. Dia mau kasih tahu ke kamu apa yang kami lakukan. Sa, aku tahu aku salah. Aku minta maaf."

Aku ingat, waktu itu aku sempat bertanya mengenai perasaan Amanda kepada laki-laki itu dan apakah mereka pernah melakukannya lagi setelah kesalahan satu malam itu. Meski tidak mengaku di awal, setelah berbagai desakan, barulah dia mengatakan itu bukan terakhir kalinya mereka tidur bersama.

And the next thing I knew, I broke up with her. Amanda meminta maaf berkali-kali dan berusaha memberikan penjelasan, tetapi semua penjelasan itu justru memperkeruh situasi karena di telingaku, apa yang dia katakan tidak lebih dari sekadar excuse.

Ketika dia menemuiku di bandara sebulan setelahnya, dia hanya mengulang semua yang pernah dia katakan. Berharap penjelasan itu bisa membuatku berubah pikiran. Sayangnya, keputusanku sudah bulat. Aku sudah tidak mau memiliki hubungan apapun dengannya. Not only because she slept with someone else, but because she cheated. She cheated on me and for one month after she slept with another man, she lied on me—pretended like nothing happened and acted like she never made mistakes.

Minggu-minggu awal di Melbourne bukanlah minggu yang mudah. I was heartbroken. Belum lagi masalahku dengan Luna yang tidak menemukan titik terang. Selain patah hati karena Amanda, rasa bersalah karena telah menyakiti Luna ikut menggerogoti hatiku. Belum lagi, dua minggu setelah aku menginjakkan kaki di Australia, Papa dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya. Dan hal itu semakin membuatku kesulitan untuk beradaptasi di lingkungan baru. Aku sibuk melupakan Amanda dan Luna serta mengkhawatirkan kondisi Papa yang tidak kunjung membaik.

Adam adalah saksi hidup bagaimana sulitnya aku menyembuhkan luka yang diberikan Amanda dan bagaimana aku menata ulang hidupku setelah berminggu-minggu menjalani hari-hari tanpa jiwa. Di saat yang sama, aku juga berusaha mengenyampingkan masalahku dengan Luna. Berusaha melupakan apa yang pernah terjadi di antara kami selama seminggu berlibur di Malang—meski usahaku sia-sia karena this is Luna. The girl with a pretty smile and cheeky comments. The girl who makes me laugh and smile again after weeks of agony. Ditambah, Haris dan Adam tampaknya tidak pernah kehabisan topik mengenai Luna setiap berbicara denganku, membuat upayaku untuk melupakannya semakin sulit.

Lalu, minggu berganti bulan kemudian beralih menjadi tahun. Meski perselingkuhan yang dilakukan Amanda sudah lama terjadi, aku masih mengalami kesulitan untuk membuka diri ke orang lain. Walaupun teman-temanku sudah mengenalkanku dengan beberapa wanita, aku selalu menanggapi seadanya. Pekerjaan yang memakan sebagian besar waktu juga membuatku terlalu lelah untuk menjadwalkan kencan. Hingga akhirnya wanita-wanita itu yang lebih dulu menyerah dan mengambil langkah mundur.

Aku tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan baru sejak saat itu. Tidak pernah memiliki keinginan untuk mengejar seorang perempuan dan kemudian dikenalkan ke seluruh anggota keluarga. Namun, situasinya berubah sekarang sejak Luna hadir. Luna mungkin tidak menyadari kalau kehadirannya mempengaruhiku sehebat itu. Dia membuatku memikirkan ulang berbagai rencana masa depanku. Mendorongku untuk keluar dari zona amanku dan berani mempertaruhkan segala risiko agar dapat bersamanya.

"Sa, bentar dulu." Luna menahan lenganku ketika akan membuka pintu mobil. "Aku deg-degan banget. Sebentar dulu. Kalau misalnya Tante Erna atau saudara-saudara kamu nggak suka sama aku gimana?"

Aku nyaris tertawa saat melihat ekspresinya yang bercampur gugup dan panik, tapi sadar hal itu tidak akan membantunya sehingga aku hanya bisa mengusap puncak kepalanya. "Mama justru yang paling berharap kamu datang hari ini, Lun. Kak Anye dan Jojo juga nggak sabar ketemu kamu. They will like you for sure."

Luna menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Dia menarik napas lalu mengembuskannya beberapa kali untuk menenangkan diri. Kemudian, dia memutar tubuhnya ke arahku. "Rambutku rapi nggak? Aku nggak underdressed kan, ya?"

"Kamu cantik banget." Aku mencuri kecupan di pipinya, membuatnya mendelik meski wajahnya sudah memerah. Tatapanku beralih pada piring kaca yang ada di pangkuannya. "Kak Anye dan Jojo pasti suka kamu karena kamu udah bawain makanan kesukaan mereka."

"Kalau nggak enak gimana, ya? Aku udah lama banget nggak masak ini."

"Pasti enak, kok. Baunya aja udah bikin aku laper daritadi."

Setelah lima menit lamanya meredakan kegugupan, akhirnya kami turun dari mobil. Aku tersenyum kecil kala melihat Luna menghela napas beberapa kali. Ini pertama kalinya aku melihat dia segugup dan setegang ini.

"Luna," sambut Mama heboh ketika kami memasuki rumah.

Mama memeluk Luna lalu menariknya ke ruang keluarga. Sejak memergokiku dan Luna di Sushi Hiro beberapa hari yang lalu, Mama yang paling semangat menunggu hari ini datang dan membahas Luna setiap ada kesempatan.

"Happy birthday, Tan. Semoga panjang umur dan sehat selalu, ya." Luna tersenyum manis. Dari gesturnya, mungkin tidak akan ada yang percaya kalau beberapa menit yang lalu dia sempat dilanda kepanikan.

"Aduh, pasti capek ya, jauh-jauh ke Depok. Duduk dulu, Lun."

"Aku nggak capek kok, Tante."

"Luna cuma duduk manis, Ma. Yang nyetir bolak-balik itu aku. Harusnya aku yang capek dan disuruh duduk," gurauku yang langsung dihadiahi pelototan oleh Mama.

Luna langsung berkenalan dengan Anye dan Jojo serta pacarnya yang telah menunggu kedatangan kami. Mereka sudah menunggu kehadiran Luna sejak aku memberitahu akan membawanya datang hari ini.

"Tante, ini aku bawa lasagna," ujar Luna seraya menyodorkan piring oven besar berisi lasagna yang masih hangat. Dia memasaknya sendiri di apartemen padahal aku sudah mengatakan untuk tidak membawa apa-apa. Kondisinya kurang fit beberapa hari terakhir dan aku tidak ingin dia semakin kelelahan karena harus memasak dari pagi. "Aku masak sendiri tadi. Semoga rasanya cocok di lidah Tante dan keluarga."

"Padahal udah dibilangin nggak perlu bawa apa-apa," sahut Mama sambil menerima lasagna itu. Sedangkan Anye dan Jojo sudah merapat untuk membuka plastik alumunium yang menutupi piring itu. Keduanya langsung terperangah. "Makasih ya, Luna. Dari baunya enak banget persis kayak yang dijual di restoran."

Aku hanya diam memperhatikan ketika Luna sudah dimonopoli oleh Mama. Bahkan, dia sudah menghilang ke dapur bersama Mama dan pacarnya Jojo. Sepertinya dia sudah lupa dengan kegugupan yang sempat dia keluhkan begitu mobilku terparkir di halaman rumah.

"Ini cewek yang sempat lo kasih tahu ke gue, Bang? Yang udah punya pacar itu?" cerca Jojo setelah ruang keluarga hanya tersisa aku, dia, dan Anye. "Lo jadi selingkuhan?"

"Lo pikir gue mau jadi selingkuhan?" desisku kesal. "Dia udah putus sama pacarnya."

"Terus lo langsung mepetin dia? Cepet juga gerakan lo, Bang," komentar Anye sambil menganggukkan kepala layaknya pengamat ahli. "Udah pacaran?"

Aku menggeleng pelan.

"Lo ditolak sama dia?" ledek Jojo.

"Menurut lo?" tanyaku balik dengan tajam. "Kalau dia nolak, mana mau dia datang ke sini."

"Lah? Katanya belum pacaran?"

"Emang belum."

"Oh." Jojo dan Anye menyahut bersamaan. "Masih PDKT ternyata."

"Gue kira udah pacaran soalnya Mama heboh banget dari kemarin," timpal Anye lagi. "Tapi kayaknya kalau lo nembak dia pun, kemungkinan besar lo diterima, Bang. Kalau dia nggak punya perasaan apa-apa ke lo mana mungkin dia mau dibawa ke acara keluarga begini."

Aku menghela napas. Sejujurnya, aku juga sempat memikirkan hal yang sama, tetapi aku tidak ingin terlalu banyak berharap sampai Luna memberikan jawaban. "Mungkin."

"Jangan pesimis gitu dong, Bang!" ledek Anye lalu tergelak.

"Udah lama nggak ngedeketin cewek begini, nih. Tumpul semua radarnya," tuding Jojo. Sudah kubilang kan kalau Jojo ini kadang suka lupa dengan posisinya sebagai anak bungsu di rumah. Di beberapa kesempatan, dia berbicara denganku atau Anye layaknya teman sebaya. "Kejar terus sampai dapet, Bang. Kapan lagi gue bisa punya kakak ipar secantik itu?"

"Wah! Bisa-bisanya ngelirik cewek lain padahal ada ceweknya sendiri di sini!" seru Anye. "Hati-hati tuh, Bang. Nanti lo tinggal Luna bentar, si Jojo udah mepet-mepet ke cewek lo."

"Kak!" seru Jojo tidak terima. "Gue nggak gitu, ya!"

"Gue laporin ke cewek lo," sahutku iseng sambil beranjak dari tempat diikuti oleh Anye.

Jojo menyusul tidak lama setelahnya dan menghampiri pacarnya yang sedang mengobrol dengan Luna di dapur. Langkah kakiku refleks terhenti saat Mama menghampiri Luna dengan lasagna yang sudah dipotong dan ditempati di piring-piring kecil. Keduanya langsung terlibat perbincangan seru mengenai tips dan trik memasak lasagna agar rasanya sama persis seperti yang dibuat Luna.

Entah kenapa, semua ini terasa tepat.

Melihat Luna berada di rumahku, mengobrol dengan Mama dan Anye perihal masakan, bercanda tawa dengan Jojo dan pacarnya, kemudian tersenyum padaku ketika pandangan kami bertemu. This feels right. I never dreamed of this moment happening, but I will do anything to see this kind of moment happen again in the future.

*


LUNA

Keluarga Aksa menerimaku dengan hangat bagaikan anggota keluarga sendiri. Kecemasanku lenyap tak bersisa begitu keluarganya menyambutku dengan ramah. Sepanjang makan siang, kami membicarakan banyak hal yang membuatku lebih mengenal Aksa dan keluarganya. Setelah membereskan meja makan dan piring kotor bersama Kak Anye, Jojo menunjukkan halaman belakang yang dipenuhi pot-pot bunga mawar serta kolam kecil di ujung yang berisi ikan-ikan.

"Hei." Aksa merengkuhku ketika aku sedang melihat kolam ikan kecil yang ada di halaman belakang sambil menghabiskan es campur yang dibuat Jojo. "Keluargaku heboh banget, ya?"

Aku menoleh lalu tertawa pelan. "Justru karena heboh jadinya lebih berwarna," sahutku. "Aku dengar dari Jojo kolam ikan itu kesayangannya Papa kamu. Setelah Papa kamu meninggal, kamu dan Jojo yang gantian buat bersihin dan merawat ikan-ikan di dalamnya."

Aksa memandang tempat yang kusebutkan dengan tatapan menerawang. Senyum kecil menghiasi wajahnya. "Setiap pagi Papa nggak pernah absen buat kasih makan dan ngobrol sama ikan-ikannya sebelum kerja. Itu salah satu kegiatan favoritnya buat hilangin stress."

"Do you miss him?" tanyaku sambil menengadahkan kepala.

"I miss him a lot." Suaranya terdengar sendu. "Papa meninggal beberapa bulan setelah aku pergi ke Melbourne. Kesehatannya emang nggak baik karena penyakit jantung yang dideritanya dua tahun terakhir. I even couldn't see him at his last moment karena pesawatku delay."

Tidak kuat melihatnya bersedih seperti ini, aku memeluk Aksa dari samping. "Papa kamu pasti udah nggak kesakitan lagi sekarang. Beliau juga pasti bangga karena kamu tumbuh sebaik ini."

Aksa mengembalikan tatapannya padaku lalu merengkuhku. "I know," sahutnya singkat. Tiba-tiba, alisnya tertaut. "Nggak ada yang nanya atau ngomong macem-macem sama kamu kan, selama aku tinggal tadi?"

"Macem-macem itu yang kayak gimana?" Aku bertanya balik dengan senyum kecil. Teringat perkataan Jojo saat kami berbincang sebentar beberapa menit yang lalu, aku melanjutkan. "Selain Jojo yang kasih tahu kalau ini pertama kalinya kamu bawa cewek ke rumah dan bilang kalau Tante Erna senang banget aku mau datang ke sini, nggak ada lagi yang macem-macem."

"Itu anak," gerutu Aksa lirih.

"Beneran, Sa? Aku yang pertama?"

Aksa mengangguk tanpa ragu. "Pertama dan aku harap yang terakhir juga, jadi aku nggak perlu bawa cewek lain ke rumah buat dikenalin ke keluarga."

Walapun aku tersanjung dengan ucapannya, aku tidak bisa untuk tidak menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi bersemayam di benakku sejak mendapatkan informasi yang kudapatkan dari Jojo. "Amanda nggak pernah ke sini?"

"Jarang ada momen yang tepat buat ajak dia main ke rumah. Sekalinya ada, dia yang nggak bisa atau mungkin nggak mau, ya?" Aksa mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Aku pernah ajak dia beberapa kali buat main ke sini, tapi selalu ada aja alasannya. Mungkin dia nggak siap."

Aku termenung. Aksa berdiri di sampingku dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantung celananya dengan tatapan yang tertuju pada kolam ikan. Keheningan menyelimuti. Aku terdiam, sibuk dengan pikiranku sendiri sedangkan Aksa terlihat sedang melamun.

"Sa," panggilku pelan dengan pandangan tertuju lurus ke arah depan. Aku mengeratkan peganganku pada gelas untuk mengusir kebimbangan yang sedang kurasakan. Sebuah pertanyaan terus memenuhi pikiranku selama beberapa hari terakhir. Aku tahu ke depannya mungkin sulit bagiku menemukan momen yang tepat untuk bertanya kepadanya sehingga setelah berpikir lama, aku membuka suara. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Mau nanya apa?"

Aku membuang napas lalu menengadahkan kepala, menemukan pandanganku dengannya. "Tujuh tahun yang lalu," mulaiku sambil menarik napas. Sedangkan ekspresi Aksa terlihat sulit untuk dijelaskan, tapi dari kilat matanya, mungkin dia tidak akan menyukai pembicaraan ini. "Apa aku yang salah baca situasi, Sa? Apa cuma aku yang merasa tertarik? Karena, setelah aku pikir berulang kali, aku nggak ngerti, Sa. Aku nggak ngerti kenapa kamu bersikap manis seolah kamu tertarik sama aku padahal nyatanya kamu cuma anggap aku sekedar teman."

Aksa mengusap wajahnya dengan satu tangan. Sorot matanya meredup. "This is gonna be another difficult conversation for us," katanya.

Dia mengulum bibir lalu kembali berbicara. "Awalnya aku penasaran sama kamu, Lun. Lisa sering banget cerita tentang kamu dan saat pertama kali kita ketemu, aku penasaran buat membuktikan semua omongan Lisa tentang kamu. Ternyata, setelah kita ngobrol banyak di kereta, aku sadar Lisa nggak melebih-lebihkan apa yang dia ceritain dan rasa penasaran itu tiba-tiba berubah jadi keinginan buat mengenal kamu lebih jauh. It would be a total denial if I told you I don't have any interest on you. Tapi, Luna, waktu itu situasinya nggak tepat. What I felt about you was off the chart. It's beyond my expectation. Dengan kondisi hubunganku dan Amanda yang masih nggak jelas, aku takut perasaanku ke kamu itu nggak tepat."

Jantungku berdetak kencang begitu mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang pernah menghantuiku cukup lama tujuh tahun yang lalu. It wasn't just me back then. "Kenapa nggak tepat?"

"Aku takut perasaanku ke kamu itu cuma euforia sesaat. After weeks of self isolating, terus ketemu kamu yang bikin aku merasa hidup lagi, aku takut apa yang aku rasain ke kamu itu cuma perasaan senang sesaat. Itu yang bikin aku langsung menarik diri pas tahu perasaan kamu. Aku emang nyakitin kamu waktu itu, tapi aku nggak bisa nyakitin kamu lebih jauh lagi kalau misalnya aku terima perasaan kamu dan di akhir aku baru sadar perasaanku ke kamu nggak sebesar itu." Aksa tiba-tiba menarik tanganku dan menggenggamnya. "Aku nggak mau buru-buru, Lun. Rasanya nggak tepat kalau aku mulai sesuatu sama kamu di saat aku belum merasa sepenuhnya selesai dengan Amanda. Ditambah waktu itu aku juga mesti harus lanjut kuliah satu setengah tahun di Australia. Setelah Amanda selingkuh pas lagi LDR, aku nggak siap kalau harus jalanin LDR lagi."

"Kamu seharusnya bisa jelasin ke aku kalau rasa tertarik kamu itu nyata, Sa," ujarku.

"Luna, nggak semudah itu," selanya dengan suara yang terdengar lelah. Aksa melepaskan genggamannya. Dia membelakangiku dengan tangan yang tertumpu di pinggang. Bahunya naik turun dengan cepat, membuatku sadar kalau dia sedang berusaha mengendalikan emosinya. "Kalau misalnya aku jelasin ke kamu di bandara, pas kita ketemu terakhir kalinya atau mungkin beberapa bulan setelahnya, apa kamu yakin kamu bisa terima penjelasanku dengan kepala dingin? Bahkan, sekarang aja pembicaraan kita tentang hal-hal yang terjadi tujuh tahun yang lalu bukan pembicaraan yang mudah kan, Lun? It brings back bad memories. It makes you remember the pain and makes me remember the guilt because I hurted you that bad."

Aku bergeming, masih menatap punggungnya dengan nanar. Merasa pembicaraan ini akan berakhir buruk jika aku tidak bisa mengendalikan emosiku, aku menutup mata dan mencoba meredakan emosi yang sempat naik ke permukaan. Setelah merasa lebih tenang, aku berjalan agar dapat berdiri di hadapan Aksa. Aku mengelus lengannya—persis seperti apa yang biasa dia lakukan ketika sedang menenangkanku.

"Kalau nurutin kemauanku, aku pasti pengen jelasin semuanya ke kamu, Lun," tuturnya, terdengar lelah. "Aku pengen masalah kita selesai sebelum aku pergi ke Australia. Supaya hubungan kita bisa balik ke semula, tapi dulu kamu sendiri yang bilang kalau kamu nggak bisa lagi menganggap aku sebagai teman. Aku berusaha hargai keputusan kamu dan aku juga mikir mungkin lebih baik kita ambil jarak dulu. Di sisi lain, aku juga harus memastikan perasaanku ke kamu. Aku nggak mau kalau ujung-ujungnya menganggap kamu sekadar pelarian karena kamu harus dapet posisi lebih baik dari itu, Lun. You deserve more, deserve better. You deserved anything but me seven years ago. Makanya aku nggak pernah ganggu kamu lagi setelah pertemuan terakhir kita di bandara. I was such a mess and you deserve a perfect man to accompany you every step of the way."

Aku menutup mulut, berusaha menahan tangis begitu mendengar ucapannya.

"Setelah kita lost contact, aku berusaha lupain kamu. Mikir kalau mungkin pertemuan kita di Malang nggak lebih dari sekadar pertemuan sesaat antara dua orang asing. I tried to get my life in order after the damages Amanda have done, after I hurted you, and I could say it's not easy for me. I overwhelmed, but I can't do anything besides did my best to live every single day," ungkap Aksa.

Setelah matanya menyorot kosong beberapa detik yang lalu, tiba-tiba dia tertawa miris. "And then, we met again at Lisa's wedding reception. I would be lying if I said I never miss you, Lun. I did, tapi waktu itu, lagi-lagi kita dipertemukan di situasi dan kondisi yang nggak tepat, kan?" Aksa tersenyum pahit. "Kamu pacaran sama Damar dan kalau boleh jujur, aku cemburu. Aku nggak suka lihat kamu sama dia, tapi aku sadar aku nggak punya hak apa-apa. Aku berusaha hargai pilihan kamu. Aku berusaha relain kamu selama kamu emang bahagia."

"I wasn't happy back then," lirihku.

Aksa mengangguk pelan. Dia mengembuskan napas kasar sebelum melemparkan senyum padaku. "Kalau kamu emang bahagia sama Damar, kita nggak akan pernah bisa ada di titik ini, Lun. Setelah putus sama Amanda, aku nggak pernah berpikir dan punya keinginan buat memulai hubungan lagi dengan siapapun, tapi semuanya berubah sejak kita ketemu lagi—sejak aku tahu kamu putus sama Damar," katanya dengan nada yang melembut. "Jadi, jawaban atas pertanyaan kamu, tujuh tahun yang lalu bukan cuma kamu yang merasa tertarik. I also felt the same but it wasn't a right time for us. Aku minta maaf kalau misalnya keputusanku dulu nyakitin kamu, Lun. Aku tahu kamu nggak bisa lupain kesalahanku dulu karena udah nyakitin kamu, tapi aku berusaha buat perbaiki itu sekarang. Terlepas dari semua yang terjadi dulu, kamu harus percaya satu hal, Lun. Perasaanku ke kamu, dari dulu sampai sekarang, itu semua masih ada. Masih utuh. Bahkan terus bertambah setiap harinya. That's why I ask you to give us a try."

*

Aksa menjadi jauh lebih pendiam sejak pembicaraan kami di halaman belakang. Walaupun dia tidak menunjukkan hal itu di depan keluarganya, tapi aku tahu obrolan kami itu berhasil mengusiknya. Di sisi lain, pikiranku semakin penuh sejak pembicaraan itu. Perjalanan di mobil yang biasanya dipenuhi oleh obrolan maupun suara-suara sumbang mengikuti lantunan lagu di radio kini terdengar senyap. Hingga Aksa memarkirkan mobilnya di parkiran apartemenku, aku masih enggan bergerak.

"Makasih ya, Lun, udah mau repot-repot terima undangan Mama buat ke rumah," celetuk Aksa dengan senyum simpul.

Aku mengangguk. "Sama-sama, Sa."

"Soal obrolan kita tadi di halaman belakang," Aksa mengembalikan tatapannya ke depan. "Aku bisa ngerti kalau kamu nggak bisa terima penjelasanku. After all, it was my fault. Kalau kamu butuh waktu buat mikirin semua yang terjadi di antara kita, aku bisa terima keputusan kamu. Aku nggak akan hubungi kamu sampai kamu yang hubungi aku duluan."

Aksa selalu seperti ini. Dia selalu mengutamakan diriku di atas segalanya dalam hubungan ini. Dia selalu mengedepankan kenyamananku. Dia selalu menungguku dengan sabar untuk membuka diri padanya. Dia tidak pernah mendesakku untuk mengerti dirinya. Dia tidak pernah memaksaku untuk memiliki pandangan yang sama dengannya. Dia tidak pernah memaksaku untuk memahami keputusan yang dia ambil tujuh tahun yang lalu atas hubungan kami. Dia tidak pernah memintaku untuk menerima penjelasannya meski dia berharap aku dapat menerimanya. Dia selalu mengembalikan semua keputusan padaku dan apapun keputusan yang kuambil—seburuk apapun itu—dia selalu menghargainya.

Mungkin pembicaraan kami dua jam yang lalu bukanlah pembicaraan yang mudah, tapi berkat hal itu, aku mulai memikirkan segala hal yang Aksa lakukan dan berikan kepadaku selama beberapa waktu terakhir. Semua kebaikannya, pengertiannya, dan kesabarannya.

"Tadi Mama kamu nanya soal hubungan kita—lebih tepatnya nanya status kita gimana," tukasku setelah terdiam untuk beberapa lama. "Bukan cuma Mama kamu, tapi Kak Anye dan Jojo juga nanya hal yang sama."

"Maaf, ya. Padahal aku udah kasih tahu mereka buat jangan nanya-nanya hal kayak gitu ke kamu," sahut Aksa berat. "Soal keluargaku, kamu nggak perlu khawatir sama mereka. Nggak perlu merasa terbebani juga karena pertanyaan mereka. Aku udah janji buat kasih kamu waktu buat mikir tentang hubungan kita ke depannya."

Meski ada sedikit keraguan yang masih menyelimuti perihal masa depan, tentang bagaimana hubungan ini akan berujung nantinya, untuk saat ini aku ingin melupakannya sejenak. Meski sedikit takut memulai hubungan baru karena tidak ingin kembali disakiti, di detik ini, aku tidak ingin membiarkan rasa takut itu mendominasi. Untuk sementara, aku ingin melupakan segala keraguan, kekhawatiran, dan ketakutan yang melingkupiku.

"Well," aku menoleh, membuat Aksa juga memaku pandangannya padaku. "You can tell them that I'm yours. If you want."

Mulut Aksa terbuka lebar. Dia mengerjapkan matanya bingung. Detik kemudian, senyum lebar terbit di wajahnya setelah dia berhasil mencerna situasi. Berbeda dengan ekspresinya yang terlihat murung dan penuh beban selama beberapa jam terakhir, kini raut wajahnya terlihat bahagia seolah dia baru memenangkan undian lotre bernilai jutaan rupiah.

"Kamu—" Aku mengangguk, mengiyakan apapun yang berada di pikirannya sekarang. Aksa mengusap wajahnya lalu menatapku lagi dengan tidak percaya. Reaksinya itu membuatku ikut tersenyum, tidak menyangka dia akan terlihat sebahagia ini atas jawabanku.

"You're mine," ulangnya beberapa kali.

"I'm yours," ujarku menekankan.

Dia memelukku dan mencium puncak kepalaku beberapa kali. "Thank you. Thank you for giving me a chance to make it up to you."

Aku tertawa bahagia di pelukannya. Ikut merasa senang karena hatiku terasa penuh, tidak lagi kosong seperti beberapa bulan terakhir. "Kamu nggak perlu menebus apapun, Sa."

"But, still, you deserve only the good things in the world," bisiknya di telingaku.

Aksa melepas pelukannya. Tangannya merangkum wajahku sementara matanya menatapku lekat dengan teduh. Masih dengan sudut bibir yang tertarik sempurna ke atas, netraku tertuju ke arahnya, berusaha mengingat semua tentangnya di detik ini.

"I told you," ujar Aksa, menyipitkan mata. "Don't ever look at me like that."

Aku menelan ludah susah payah sambil berusaha menenangkan detak jantungku ketika Aksa menatapku intens. "Emangnya kenapa?"

"Because when you look at me deeply with those longing eyes, I have to say goodbye to my self-control—I even don't have enough self-control when it comes to you, to begin with."

Aku menahan napas, mendadak merasa tidak ada cukup oksigen di mobil ini ketika tatapan mata Aksa berpindah ke bibirku. Sontak, aku mengulum bibir ketika Aksa memajukan wajahnya, menyisakan hanya sedikit jarak yang tersisa di antara kami. Aku menunggu dengan penuh antisipasi sedangkan Aksa masih menatapku ragu. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mencium aroma adiktif dari parfum yang dia pakai. Woody.

"Luna," panggilnya serak. "May I?"

Aku hanya mengangguk pelan karena kehilangan suara. Tanganku langsung meraih lehernya. Jantungku nyaris berhenti berdetak ketika bibir kami nyaris bersentuhan. Begitu Aksa memejamkan matanya, aku melakukan hal yang sama dan tidak membutuhkan waktu yang lama sampai bibir kami bertemu.

This is not my first kiss, but this is the first time I felt like something melt inside me when I kiss someone. His kiss is like an eternal bliss never to be forgotten. And I'm pretty sure I will remember the moment when our lips touched and that memory will last forever. 

*


Notes:

AAAAHHH FINALLY! Kapal Luna dan Aksa berlayar guys! 

Ini THR dari aku buat kalian ya ;) Minal aidzin wal faidzin teman-teman semua dan selamat merayakan lebaran bersama keluarga dan orang-orang tercinta!^^

Ketemu lagi sama aku di weekend minggu depan ya, see u soon!

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 116K 36
Tentang Dendi Paramayoga yang mencoba menjalani hidup dengan luka yang masih terbuka dan masih menyimpan rasa pada mantannya yang sudah menikah. Tent...
115K 11K 70
Spin-off CONNECTED Namanya Demas, manusia dingin yang sialnya membuat jantungku kehilangan ritme. Aku jatuh cinta padanya. Namun, dia juga yang memb...
18.5K 1.6K 43
[Dewasa Muda - Romansa] - [Tamat] Kalandra Efigenia, anak tunggal yang sukses menjadi 'content creator' di media sosial. Sayangnya, sifat yang ditunj...
948K 98.2K 66
Sekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik slimfit incarannya delapan tahun silam mun...