Di dunia ini, seorang ibu pasti menyayangi anak-anaknya. Terkadang juga, mereka berpilih kasih dan memiliki kasih sayang yang berbeda-beda.
Bagi Jisung, sekarang ibunya lebih menyayangi anak barunya daripada dia. Padahal yang selalu bersama Haechan adalah Jisung. Bukan anak yang akan menjadi adiknya itu.
"Sial. Apa susahnya operasi? Yuta Sensei juga sudah bilang akan melakukan pemeriksaan lanjut. Kenapa tetap menolak?"
Jisung duduk di pinggir kolam pancuran. Dia mengambil beberapa batu di bawah kakinya dan melempar ke dalam kolam. Terus menggerutu sendiri, memikirkan kejadian sebelumnya.
"Lihat saja. Aku benar-benar akan mencari panti asuhan."
Satu batu dia lempar ke dalam kolam.
Jisung menghela napas. Memeluk tubuhnya sendiri. Menjatuhkan kepalanya di atas kedua lutut.
Dia sudah berlari dari rumah sakit beberapa jam yang lalu. Sejujurnya, dia takut tersesat. Oleh karena itu, selagi dia mengingat jalan ... Jisung berputar arah dan duduk di taman dekat rumah sakit.
Hari mulai menggelap. Anak-anak yang bermain di sekitarnya, perlahan-lahan pergi dan pulang bersama orangtuanya. Melihat anak-anak itu bergandengan tangan dengan ibu dan ayahnya, Jisung merasa iri. Dia tidak pernah memegang jari ayahnya saat kecil. Hanya ada ibunya. Dari dia lahir sampai sebesar ini.
"Di sini ternyata." Jisung mengangkat kepalanya. Dia melihat Yuta datang ke arahnya.
Di mata Jisung, Yuta terlihat keren ketika berjalan. Jas dokter yang biasa dia gunakan, tergantung di lengan kirinya. Kemeja merah itu terlihat pas di tubuh Yuta. Wajahnya juga tampan ditambah dengan senyuman yang dia berikan.
"Sudah dapat panti asuhannya?" tanya Yuta. Dia bergerak duduk di samping Jisung.
Mendengar pertanyaan Yuta, Jisung memajukan bibirnya. Dia sedang digoda oleh Yuta. Itu membuatnya kesal. "Sensei!"
Yuta tertawa kecil. "Kau sendiri yang bilang akan mencari panti asuhan."
Jisung tak menjawab. Dia menjadi semakin kesal pada Yuta. Remaja itu mengabaikan dokter di depannya dan memilih bermain dengan air.
"Aku tidak menyangka kau adalah anak dari Lee Min Hyung. Eh, tapi bukan tidak mungkin juga. Dia sangat terobsesi pada Donghyuck."
Yuta memulai pembicaraan yang membuat Jisung tertarik. Dia memutar tubuhnya, menaruh fokus sepenuhnya pada Yuta.
"Apa Sensei mengenal ayahku?"
Yuta mengangguk. "Ya. Kami berteman sejak awal masuk SHS."
Mengetahui hal itu, Jisung semakin mengorek informasi mengenai masa lalu kedua orangtuanya. "Kenapa Ayah bisa terobsesi pada Ibu?"
Yuta berdeham. Dia mencoba mengingat memori lama. "Dulu, ibumu beberapa kali mencari masalah dengan Min Hyung. Aku juga tidak terlalu mengerti, yang pasti ayahmu itu jatuh cinta saat ibumu memberikan perhatian dan selalu merawatnya dengan baik. Dia suka suara ibumu ketika bernyanyi dan dia benci jika ada orang lain yang mendengarkan suara ibumu juga."
Jisung memandang ke bawah. Dia terlihat gelisah, tetapi kemudian dia bertanya pada Yuta.
"Apa benar ayahku yang membuat Ibu bisu?"
Pertanyaan yang diberikan Jisung membuat Yuta terdiam.
"Sensei?"
"Ya. Ayahmu yang melakukannya."
Dada Jisung terasa berdenyut. Sejujurnya, dia memiliki harapan besar jika apa yang dikatakan oleh orang yang mengaku sebagai kakeknya itu salah. Dia ingin mendengar jawaban dari Yuta, jika bukan ayahnya yang membuat ibunya bisu. Akan tetapi, jawaban Yuta membuat harapan Jisung hancur seketika.
"Kenapa? Kenapa Ayah melakukannya?"
"Waktu itu, Ibumu menyukai orang lain dan dia akan bernyanyi untuk orang itu—"
"Lalu ayahku marah dan membuat pita suara Ibu rusak?"
Yuta bungkam. Jisung memotong kalimatnya dengan tepat.
"Ya. Dia melakukannya agar ibumu hanya bergantung padanya."
Jisung tertawa mendengar ini. Dia dan ibunya memiliki orang yang terobsesi pada mereka. Jisung sedikit beruntung. Chenle tidak melukai dirinya, tapi buruknya adalah dia melukai dirinya sendiri.
"Ayahmu bukan orang jahat. Jangan terlalu membencinya."
Yuta menepuk pundak Jisung, tetapi anak itu tidak terima dengan perkataan Yuta.
"Dia melukai ibuku. Bagaimana bisa aku tidak membencinya?"
"Aku tahu. Aku hanya bilang untuk tidak terlalu membencinya. Dengarkan baik-baik, bocah."
Yuta mengacak rambut Jisung. Gemas dengan anak yang memiliki temperamen tinggi.
"Ayo, kembali. Ibumu khawatir."
"Tidak. Dia hanya khawatir dengan anak di perutnya. Aw! Sakit, Sensei."
Jisung mengusap kuat kepalanya yang dipukul Yuta. Meskipun pelan, tapi tetap terasa sakit bagi Jisung.
"Cepat kembali."
Yuta tidak lagi banyak bicara. Dia langsung menarik Jisung untuk mengikutinya kembali ke rumah sakit. Tak ada hal lain yang mereka bicarakan sampai keduanya tiba di depan pintu kamar rawat Haechan.
"Masuk dan minta maaf pada ibumu. Jangan jadi anak durhaka."
Yuta kembali menasehati Jisung. Anak itu mengangguk lesu. Dia membuka pintu perlahan setelah Yuta pergi meninggalkannya.
Di dalam sana, Jisung melihat Haechan berbaring sambil menatap langit kamar. Suasana begitu sunyi. Hanya terdengar suara pemanas ruangan yang berada di dekat ranjang Haechan.
"Ibu," panggil Jisung.
Haechan yang sedang melamun, tersadar ketika Jisung memanggilnya. Dia berusaha untuk bangun, tetapi Jisung dengan cepat membantunya.
"Masih marah?"
Haechan langsung bertanya saat dia berhasil duduk. Jisung menjawab dengan malu. "Tidak."
"Ibu mau operasi, tapi Ibu tidak mau menggunakan uang kakekmu."
"Lalu? Uang siapa?"
"Yuta Sunbae. Ibu sudah berbicara dengannya tadi. Uang yang dibayar oleh kakekmu, sudah dikembalikan. Setelah sembuh, Ibu akan membayar uangnya."
Jisung tidak peduli uang siapa yang akan digunakan, yang paling penting adalah ibunya mau di operasi. Jisung mengangguk setuju. "Iya. Nanti aku akan bantu Ibu membayarnya."
Haechan menggeleng. "Kau sekolah saja. Ini urusan Ibu."
Jisung tahu ini. Dia tidak lagi memperpanjang dan mengiyakan perkataan Haechan. Nanti dia akan bekerja diam-diam di belakang Haechan.
"Satu lagi."
"Apa?"
"Ibu ingin meminta ayahmu untuk bertanggung jawab."
"Tanggung jawab apa? Tidak bisakah kita menjauh?"
Haechan kembali menggeleng. Dia menunjuk perutnya. "Adikmu ini butuh ayahmu. Ibu tidak ingin dia merasakan hal yang sama denganmu."
Dalam hatinya, Jisung ingin memaki ayahnya karena dengan seenak hati menghamili ibunya.
"Kita bicarakan itu nanti. Sekarang, aku ingin Ibu fokus dulu untuk operasi."
Haechan tersenyum mendengar Jisung. Dia menarik kepala Jisung dan mencium keningnya.
"Ah! Ibu! Kenapa menciumku?"
"Kenapa? malu?"
Jisung tak menjawab. Dia memalingkan wajahnya. Tidak ingin ibunya melihat dirinya.
Haechan mulai menggoda Jisung. Menarik-narik tubuh anaknya untuk melihat wajah Jisung yang memerah.
"Ibu! Jangan ganggu aku."
Haechan tersenyum lebar. Dia semakin mengganggu Jisung.
"Iya! Sini, aku cium."
Jisung berbalik dan memeluk ibunya dengan erat, kemudian mencium kedua pipi Haechan.
"Sudah!"
Jisung berpindah menuju sofa dan menidurkan dirinya di sana. Menyembunyikan wajah merahnya di dinding sofa.
Tbc
Karena gak ada yang ngasih stiker di komen. Jadinya gak jadi dobel up.
BABAY!
GAK DENG WKWKWK. CANDA. MAKASEH YANG UDAH NGASIH EMOT APA STIKER. GK TAU UEE APAAN TU. MAKASIHH BEUT. KIYOWOK SEKALI (˶‾᷄⁻̫‾᷅˵)
Uee mau makan doeloe. Nanti nyusul chapter selanjutnya. Makasihh all :*
BUBHAY!