Love: The Butterfly Effect [C...

By storiesbyyola

978K 99K 3.3K

Luna dan Aksa menorehkan kisah rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun. Mereka dipertemukan pertama kali d... More

Prolog
Ch. 1: The hero who I thought only exist in Romancelandia
Ch. 2: You're really something
Ch. 3: More beautiful than I ever imagined
Ch. 4: Moderated caucus
Ch. 5: I don't need to find someone else
Ch. 6: You deserved it
Ch. 7: Sometimes the little things matter the most
Ch. 8: Nothing less, nothing more
Ch. 9: Before sunrise
Ch. 10: I can explain
Ch. 11: I messed up so bad
Ch. 12: So, you don't want to say goodbye?
Ch. 13: It's been a long time
Ch. 14: I didn't have a girlfriend
Ch. 15: Privilege
Ch. 16: I know how it feels
Ch. 17: Lunch
Ch. 18: Who did this to her?
Ch. 19: Can we be friends?
Ch. 20: Wake up call
Ch. 21: Closure
Ch. 22: No hard feelings
Ch. 23: More than enough
Ch. 24: Q&A
Ch. 25: About fried rice
Ch. 26: One step at a time
Ch. 28: Peace of mind
Ch. 29: Give us a try
Ch. 30: Unexpected invitation
Ch. 31: The things she keep inside
Ch. 32: I'm yours
Ch. 33: I'm losing my common sense
Ch. 34: Things will happen when it has to happen
Ch. 35: Her fears
Ch. 36: Someone from the past
Ch. 37: Trust and honesty
Ch. 38: The world is spinning around me
Ch. 39: Broke into million tiny pieces
Ch. 40: No reason to continue
Ch. 41: Sound of a broken heart
Ch. 42: I don't know what to do
Ch. 43: Can time heal a broken heart?
Ch. 44: It's never too late to try
Ch. 45: Make things right
Ch. 46: A chance to make things right
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4

Ch. 27: Seems like you are the only exception

15.7K 1.8K 59
By storiesbyyola

LUNA

Langkah kakiku terhenti begitu jarakku dengan Aksa hanya tersisa dua langkah. Haris yang lebih dulu menangkap keberadaanku. Ketika dia melambaikan tangannya kepadaku, aku tahu bahwa aku sudah kehilangan kesempatan untuk melarikan diri. Seolah kakiku dililiti oleh batu dengan berat ratusan ton, aku menyeret kaki sambil berharap mereka tidak akan bertanya macam-macam perihal kehadiranku—atau yang lebih parah, memberitahu pertemuan ini kepada Lisa.

Aku melemparkan tatapan tajam kepada Aksa begitu mengambil tempat duduk kosong di sampingnya. "Gue kira lo sendiri," bisikku setelah menyapa Haris dan Kevin yang sedang menyantap makanannya.

Aksa memundurkan tubuhnya. Keningnya berkerut. "Emang gue tadi nggak bilang kalau ada Haris dan Kevin?" tanyanya bingung. Aku mendesah pelan lalu memutar kedua bola mata. "You look different," komentarnya. Tubuhku berjengit ketika Aksa menyentuh rambutku. "Potong rambut?"

Aku menganggukkan kepala sementara jantungku tiba-tiba berdetak kencang. "Minggu lalu baru potong soalnya rambutnya udah kepanjangan, bikin gerah. Modelnya juga udah nggak jelas jadinya sekalian aja dirapihin."

Aksa masih memaku pandangannya padaku sedangkan bola mataku sudah bergerak ke segala arah, termasuk ke arah dua laki-laki yang duduk di hadapan kami—yang saat ini sepertinya merasa sedang mendapatkan tontonan gratis yang menarik. Aku menahan napas ketika Aksa merapikan rambutku lalu mengelus kepala belakangku dengan lembut.

"This new haircut suits you better," tuturnya. Lesung pipinya menekuk ke dalam. Aku segera menghirup udara yang ada di sekitarku ketika Aksa menjauhkan tangannya dari kepalaku. "Mau pesan sesuatu? Yaki gyoza-nya enak kalau lo mau nyemil-nyemil."

Ini tidak adil. Bagaimana bisa Aksa bersikap biasa saja setelah perbuatannya tadi nyaris membuatku kehilangan kemampuan untuk bernapas normal? "Nggak usah," tolakku setelah mengumpulkan kembali kesadaranku. "Porsinya kebanyakan."

"Makan punya gue aja kalau gitu," ujarnya seraya mendekatkan sepiring gyoza yang masih tersisa empat buat ke depanku. Sebelum aku sempat menolak, Aksa sudah memanggil pelayan untuk meminta sepasang sumpit baru. "Ini sumpitnya."

Aku memiringkan kepala kemudian menerima sumpit itu ketika Aksa mengangsurkannya kepadaku. Begitu mataku bersitatap dengan Haris dan Kevin, mereka hanya bisa menggeleng pelan dan saling membuang muka dengan raut wajah yang terlihat seperti sedang menahan tawa. Dan kurang lebih aku bisa menebak alasan di balik sikap mereka. Dengan pipi yang mendadak terasa memanas, aku mengambil gyoza yang ada di depanku kemudian menyantapnya. Setidaknya, kini aku bisa melakukan pengalihan dengan cara menghabiskan gyoza ini.

"Lo putus sama Damar, Lun?" tanya Haris tanpa basa-basi.

Gyoza yang baru saja meluncur melalui tenggorokanku langsung memaksa naik lagi ke atas ketika aku tersedak dan batuk beberapa kali. Aku menepuk dadaku dengan tangan sedangkan tanganku yang lain menerima segelas air yang diberikan oleh Aksa—mungkin itu minuman miliknya. Entahlah. Aku tidak peduli. Karena, saat ini, yang kuinginkan setelah batukku mereda dan seluruh makananku sudah tertelan semestinya adalah menimpuk kepala Haris dengan sumpit yang berada di tanganku.

"Nanya ke orang itu ada etikanya ya, Ris!" semburku kesal yang disambut dengan gelak tawa oleh orang yang baru saja aku omeli itu. "Kali ini lo tahu dari mana? Siapa sumber gosipnya?" Aku memicingkan mata ke arah Aksa. "Lo cerita ke mereka?"

"Nggak!" elak Aksa cepat dengan wajah yang keberatan. "Bukan gue."

"Nggak ada yang kasih tahu, Lun. Gue cuma asal menebak soalnya foto-foto lo sama Damar udah nggak ada lagi di Instagram." Haris menjauhkan mangkuk ramennya yang sudah kosong. "Pertanyaan gue tadi sifatnya buat mengonfirmasi. Kalau dilihat dari reaksi lo yang heboh begitu, kayaknya beneran putus ya, Lun?"

"Menurut lo?" tanyaku balik, jengkel.

Aku memutar kedua bola mataku kemudian memilih untuk bungkam. Tanpa berniat memenuhi rasa penasaran Haris, aku kembali meneguk air putih.

Meski sudah lebih dari dua bulan hubunganku dengan Damar berakhir, aku masih enggan untuk membicarakan sesuatu yang menjadi bukti nyata kegagalanku dalam mempertahankan suatu hubungan serius. Belum lagi pembicaraanku dengan Damar yang terakhir kalinya masih sering mengusikku. Walaupun Lisa dan Adam berkali-kali mengatakan bahwa ambisiku bukanlah sesuatu yang patut disalahkan, tetap saja aku tidak bisa memungkiri bahwa ambisi itu juga yang menyebabkan hubunganku dengan Damar berakhir.

Seolah mengerti rasa ketidaknyamanku, aku merasakan Aksa menepuk punggungku, seperti berusaha menenangkanku. Aku menoleh kepada Aksa yang sedang menegur Haris dan mulutnya—yang kalau mengutip perkataan Aksa, terlalu sampah. Aku menghela napas pelan. Meski terdengar tidak masuk akal, gestur kecilnya itu berhasil membuat suasana hatiku sedikit membaik.

"Melihat Haris bikin orang tersinggung nggak tahu kenapa bukan hal yang aneh lagi," celetuk Kevin sambil berdecak. Aku hanya tersenyum tipis mendengar keluhannya itu. "Apa kabar, Lun? Udah lama juga kita nggak ketemu."

"Lo nggak datang waktu pernikahan Lisa, ya?" tanyaku.

"Ada dinas ke luar kota," balas Kevin ringan. "Omong-omong, tiga bulan lagi gue mau menikah." Mataku membulat ketika mendengar ucapannya. "Berhubung masih ada sisa undangan, nanti undangan punya lo, gue titipin ke Aksa, ya?"

"Congrats, Kev!" ujarku tulus. "Soal undangan itu gampang, lah." Aku mengibaskan tangan seraya tertawa singkat. "Lo juga bisa titipin ke Lisa atau Adam. Atau ke Haris juga nggak apa-apa. Soalnya gue ada proyek di perusahaannya, jadi lebih gampang kalau mau janjian."

Kevin mengangguk. "Oke. Nanti gue titipin ke Aksa atau Haris aja."

Sekitar lima belas menit setelah aku bergabung dengan mereka, Haris berpamitan untuk ke kamar mandi sedangkan Aksa beranjak untuk menyelesaikan pembayaran di kasir. Aku menopang dagu sambil melihat Aksa yang sedang mengantre. Tangannya bertumpu pada pinggang sedangkan tangannya yang lain sibuk memegang ponsel di telinga. Dilihat dari wajahnya yang tampak tegas, sepertinya itu telepon yang berhubungan dengan pekerjaan.

"You guys look good together," cetus Kevin, membuatku menoleh ke arahnya.

Aku mengernyit lalu tertawa pelan. "Gue sama Aksa nggak ada apa-apa," ujarku, mengalihkan pandangan dari sosok laki-laki yang selama beberapa minggu terakhir rutin menghubungiku di sela-sela kesibukannya. "Cuma teman, Kev."

"Nggak ada yang tahu ke depannya gimana," balasnya dengan senyum tertahan. "Ini mungkin terdengar menjijikan dan gue juga ogah banget buat ngomong gini di depan Aksa—tapi, gue senang melihat Aksa mau coba buat memulai hubungan baru. Setelah dia putus dengan Amanda, dia nggak pernah kelihatan ada niat buat pacaran lagi. Walaupun gue sama Haris udah kenalin dia sama beberapa teman kami, ujung-ujungnya berhenti di tengah jalan. Aksa terlalu pasif."

"Terlalu pasif?" Tawaku tersembur begitu saja. Mengingat apa yang dia lakukan kepadaku selama beberapa minggu terakhir, kata pasif adalah kata yang tidak cocok untuk menggambarkannya. "Dia sama sekali nggak kelihatan pasif."

"Seems like you are the only exception."

Jantungku melewati satu detakan ketika mendengar penuturan Kevin. Mulutku terbuka tetapi tidak ada kalimat apapun yang mampu kukatakan untuk menanggapi ucapan laki-laki itu, maupun menyuarakan berbagai pertanyaan yang akhir-akhir ini menetap di benakku. The only exception.

Aku melonjak kaget ketika sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku mengangkat kepala, mendapati Aksa berada di sampingku, ikut terkejut karena reaksiku yang terlalu berlebihan.

"Kenapa?" tanyanya bingung, yang kujawab dengan gelengan cepat. Dari sudut mataku, aku melihat Kevin menutup mulutnya seolah sedang menahan diri untuk tidak melepas tawa. "Mau pulang sekarang? Supaya lo bisa cepat-cepat istirahat juga. Capek kan, udah kerja seharian."

"Boleh," sahutku singkat.

Tak lama kemudian, Haris kembali dari toilet dan kami bertukar salam perpisahan. Sebelum benar-benar berpisah, aku melihat Haris berbicara sebentar di telinga Aksa dengan suara yang rendah. Entah apalagi yang dilakukan oleh laki-laki dengan tingkat kejahilan di atas rata-rata itu karena detik selanjutnya, Aksa langsung menyikut rusuk sahabatnya itu, membuat Haris mengaduh meski senyum iseng khasnya itu masih menghiasi wajahnya.

"Bye, Lun!" teriak Haris ketika Aksa berjalan ke arahku.

Aku mendengus dan melambaikan tangan kepada Haris sebelum berjalan menuju tempat parkiran dimana Aksa menyimpan mobilnya. Suara radio yang memutar lagu-lagu terkini mengiringiku selama perjalanan menuju ke Bintaro. Sesekali Aksa mengetuk setirnya mengikuti irama lagu atau bersenandung lirih, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Dia berusaha memulai berbagai perbincangan denganku, tetapi pikiranku kali ini sedang tidak dapat diajak bekerja sama. Alih-alih memberikan perhatian pada perkataan Aksa, kepalaku justru mengulang perkataan Kevin beberapa saat lalu di Ikkudo Ichi. Seems like you are the only exception.

Aksa sepertinya juga menyadari bahwa pikiranku sedang berkelana entah ke mana karena dia tidak memaksa untuk melanjutkan perbincangan. Hingga mobilnya berhenti di depan rumahku, aku masih duduk di tempat, berusaha mencerna dan mengartikan apa yang Kevin katakan. Serta mencoba untuk mencocokkanya dengan sikap Aksa kepadaku beberapa minggu terakhir.

Begitu semua hal yang kupikirkan mengarah pada kesimpulan yang mengerikan, mataku langsung mengerjap cepat. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha mengusir perasaan itu. Berusaha untuk melupakan perkataan Kevin. Berusaha untuk tidak menganggap bahwa perilaku Aksa padaku mengarahkan kami ke sesuatu yang dulu tidak pernah sempat kami dapatkan.

"Hei." Kesadaran diriku kembali ketika Aksa menyentuh lenganku. Dia mengusap lenganku lembut, turun hingga ke pergelangan tanganku, dan menggenggamnya dengan hangat. "Kenapa? Masih kepikiran soal omongan Haris?"

Aku menatapnya bingung. Omongan Haris? Omongan yang—oh! Pertanyaannya tentang hubunganku dengan Damar itu? Walapun aku memang sempat kesal dan tersinggung dengan pertanyaannya, tapi bukan hal itu yang membuat pikiranku kusut saat ini. Namun, belum sempat aku memberikan jawaban, Aksa sudah kembali bersuara.

"Maaf ya, Lun. Haris emang kadang suka begitu. Gue tadi udah sempat tegur dia," ujarnya merasa bersalah. Dia mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. "Lain kali kalau lo merasa nggak nyaman, lo bisa tegur dia secara langsung atau lo nggak perlu sering-sering interaksi sama dia."

"Nggak harus sampai segitunya, kok," tukasku. "Gue nggak apa-apa."

"Oke." Aksa mengangguk pelan. Namun, dilihat dari ekspresinya, tampaknya ada sesuatu yang membebaninya. Dia mengembuskan napas berulang kali. Cukup kencang hingga aku tahu dia sepertinya sedang resah. Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannya, membuatnya mendongak dengan sorot mata yang sulit untuk kubaca. "Did he hurt you that bad?"

"Haris?" tanyaku bingung.

"Damar," ralatnya.

"Oh." Aku mengedipkan mata, tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti ini darinya. "Mungkin? Gue nggak tahu, Sa. I try to don't think much about that."

"Oke. Tapi, kalau... kalau misalnya lo butuh pendengar, lo bisa hubungi gue kapan aja." Aksa menghela napas. Dia memindahkan tangannya untuk mengelus sisi kepalaku. "Gue nggak tahu apa yang udah Damar perbuat sampai lo terlihat selalu murung setiap ada pembahasan tentang dia. Gue tahu mungkin lo butuh waktu lama buat percaya sama gue lagi. Gue sadar kalau apa yang gue lakuin ke lo dulu bukan sesuatu yang bisa lo lupain begitu aja meskipun gue udah minta maaf berkali-kali, tapi gue bisa nunggu, Lun," tuturnya lembut, berbeda dengan keresahan yang terpancar jelas di bola matanya. Jantungku bertalu-talu. Darahku berdesir dengan kencang ketika Aksa menatap lurus ke manik mataku. "Take as much time as you need. I will wait for you."


*

Notes:

Chapter ini seharusnya digabungin sama chapter sebelumnya, tapi kalau digabung jadi panjang banget makanya akhirnya dipisah. 

Coba dong yang udah baca sampai sejauh ini, menurut kalian hubungan Aksa dan Luna itu gimana? Apa yang kalian mau ke depannya buat hubungan mereka? 

Setelah Aksa ngomong gini, menurut kalian Luna harus bereaksi kayak gimana? Jadi canggung dan jauhin Aksa atau jadi terbuka sama Aksa?


Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 149K 46
Masa lalu ada di belakang, tertinggal bersama dengan segala pahit dan manisnya. Tapi kamu adalah masa depanku, dan saat tanganku ada dalam genggamanm...
1.4M 114K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
4.1M 30.7K 34
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
2.3M 319K 42
(Cerita Pilihan @WattpadChicklitID Bulan Januari 2023) Afif Akelio Ramaza Hi, Sherina. Saya udah lihat profil kamu. Bisa datang wawancara ke kantor d...