Dracula | Wen Junhui [NEW VER...

By sleepycaffein

25.8K 4.2K 310

[Another version of Daddyable Series] We have 3 secret words: 1. Milk, safe. 2. Latte, beware. 3. Espresso, R... More

DADDYABLE SERIES
Cast
0.1
0.2
0.3
0.4
0.6
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
1.8
1.9
2.0
2.1
2.2
2.3
2.4

0.5

914 213 8
By sleepycaffein

Langit yang mendung dan suasana yang suram adalah potrait keadaan bagaimana pemakaman Hana dan Ibunya berlangsung. Banyak kerabat dan tetangga yang datang untuk mengikuti pemakaman, satu persatu dari mereka mengucapkan bela sungkawa disertai dengan tangis yang saling menyapa.

Namun tak jauh dari sana, ada seseorang yang lebih berduka dan tenggelam dalam kesedihannya seorang diri. Shuya hanya mampu menenggelamkan wajahnya diantara lipatan tangannya yang dia gunakan untuk memeluk lututnya.

Malam itu, Shuya melihat sendiri tubuh Hana yang mengapung di sungai yang dingin itu. Menurut hasil penyelidikan, tidak ditemukan bekas luka apapun, sehingga disimpulkan bahwa penyebab kematian Hana adalah tenggelam. Namun, yang membuat kematian Hana menjadi lebih mengerikan adalah ditemukannya sebuah tulisan yang diukir dengan ranting pohon diatas tanah bersalju.

Dracula.

Hana dan Ibunya dibunuh oleh Dracula.

Shuya berkali-kali menyalahkan dirinya yang pergi malam itu. Jika saja, Shuya tidak pergi, mungkin dia bisa saja melarikan diri bersama Hana dan gadis kecil itu pasti masih ada disampingnya.

"Disini dingin, bangunlah."

Shuya mendongak dan melihat Jun dihadapannya, berdiri tanpa eskpresi, dan hanya fokus menatapnya. Namun Shuya begitu enggan untuk menatap balik kearah Jun.

"Tuhan masih sayang kamu. Bangkitlah, Shuya. Ini juga bukan harapan yang mereka inginkan."

Shuya mengepal kedua tangannya kuat-kuat dan bangkit berdiri sambil menatap Jun nyalang. "Tuhan masih sayang saya? Jangan bercanda! Kalo Tuhan sayang saya, harusnya Dia nggak menghancurkan hidup saya kaya gini! Jangan sok menggurui!"

"Tuhan ada tapi bukan untuk memperindah hidupnya," balas Jun, "dia hanya bisa menyayangimu dengan caranya sendiri."

"Tutup mulut anda!"

"Tawaranku masih berlaku jika kamu mau," ujar Jun sambil berbalik. "Ayo tangkap si brengsek itu."

Jun kemudian pergi, meninggalkan Shuya yang kembali terlarut dalam kesedihannya, hanya mampu menangis dibawah langit bersalju yang seakan-akan ikut menangisi kepergian Hana dan Ibunya.

🔍

Berhari-hari telah berlalu sejak pemakaman Hana dan Ibunya, namun Shuya masih juga belum menemukan semangatnya dalam menjalani hari-harinya. Bolos kuliah, bolos kerja, dan hanya berdiam diri di rumah tanpa makan dengan baik.

Jaemin, sebagai teman Shuya, bahkan harus bolak-balik memastikan bahwa gadis itu masih hidup dan tidak melakukan hal-hal yang aneh. Tak hanya itu, Jaemin bahkan sampai menyimpan alat-alat tajam dan berbahaya jauh dari Shuya, agar gadis itu tidak macam-macam.

"Hei, ayo masuk kuliah," rajuk Jaemin.

Dengan enggan, Shuya menepis tangan Jaemin yang tengah menarik tangannya itu dan kembali bergelung didalam selimut. Entah sudah berapa hari, Shuya membiarkan dirinya tenggelam dalam kesedihan akan kepergian dua orang yang paling disayanginya.

"Jaemin," panggil Shuya.

"Apa?"

"Aku mencuri uang orang lain."

"Hah?"

"Dua milyar won."

"KAMU GILA YAH?! BUAT APA?"

"Hei, Jaemin."

"Apa lagi?"

"Masukan saja aku ke penjara."

"Berhentilah bicara begitu, Shuya Lee!" ujar Jaemin menyibak selimut Shuya dan membuat gadis itu menatapnya. "Kamu selalu meracau mau mati, mau jadi penjahat, dan sekarang mau masuk penjara? Kamu masih hidup! Kamu harus jalanin hidupmu!"

Shuya menepis tangan Jaemin yang mencengkram kedua bahunya dan memandang anak laki-laki itu dengan kesal. "Kamu nggak tau rasanya."

"Makanya karena aku nggak tau, kamu harus berbagi denganku!" balas Jaemin kesal sambil menyibakkan poninya. "Kita udah bareng-bareng dari awal masuk kuliah, bolos bareng, ngerjain tugas bareng, kerja bareng, bahkan kita juga nyontek bareng!"

"Kamu yang nyontek ke aku, kita nggak nyontek bareng."

"Ya pokoknya sama aja! Jadi, kalo kamu nggak punya alasan buat lanjutin hidupmu, masih ada aku!"

"Apanya yang masih ada kamu?"

"Kita kan teman!"

"Bahkan temanmu sudah susah payah mengajakmu bicara pun, kamu masih nggak mau hidup yah?"

Jaemin menengok dan mendapati seorang pria tengah bersandar di pintu kamar Shuya.

"Paman siapa?" tanya Jaemin.

"Aku Moon Junhwi, aku...." Jun menimbang-nimbang kata apa yang pantas untuk mendeskripsikan dirinya serta hubungannya dengan Shuya, "....kenalannya Moeun-sshi."

Nam Moeun adalah nama Ibu Hana, mendengar hal itu Jaemin jadi sedikit menurunkan kewaspadaannya pada Jun karena anak laki-laki itu baru bertemu Jun pertama kali.

"Moeun-sshi sering bercerita soal Shuya, jadi aku agak khawatir kalau ini akan membuatnya terpukul. Aku datang berkala untuk mengeceknya."

Jun memang melakukannya, walau sebenarnya dia tak masuk dan hanya memperhatikan dari luar. Kali ini, dia masuk karena melihat sepeda asing di depan gerbang rumah dan takut terjadi sesuatu pada Shuya.

"Hei, kamu mau tubuhku?" tanya Shuya dan langsung dijitak oleh Jaemin.

"Mulutmu!" desis Jaemin kemudian menatap Jun sambil tersenyum canggung, "maaf yah, Paman. Shuya lagi nggak stabil."

"Gapapa, aku paham kok. Aku kesini untuk membawanya."

"Membawanya?" tanya Jaemin tak mengerti, sementara Shuya menatap Jun dengan tatapan mata yang kosong.

"Aku dengar dia ahli dalam komputer, jadi aku ingin dia bekerja untuk perusahaan tempatku bekerja. Tenang saja, perusahaannya terdaftar, kamu pasti tau Hayton Electro kan?"

"Ah, perusahaan elektronik itu yah?"

"Benar. Aku berusaha untuk membujuknya, tapi sepertinya sulit," ujar Jun memberikan kartu nama palsunya yang diperkenalkan sebagai direktur di Hayton Electro. "Ini kartu namaku."

"Ah iya," Jaemin menerima kartu nama tersebut dan mendekati Shuya. "Hei, kamu terima saja tawarannya hm? Sibukkan dirimu dengan bekerja dan kuliah, kamu bisa keluar dari pekerjaan paruh waktumu juga. Pokoknya kamu nggak boleh diam seperti ini terus."

Shuya hanya diam tak menjawab. Sejujurnya, dia pun ingin melakukan sesuatu untuk melupakan semuanya, tapi rasanya sulit sekali. Rasanya dia terus sedih setiap kali matanya menerawang jauh melihat seluruh sudut rumah ini.

"Aku nggak mau tinggal disini," ujar Shuya. "Aku nggak mau disini."

Jun diam sambil menatap Shuya. Pria itu jelas tahu bahwa gadis dihadapannya itu tengah merajuk untuk dibawa pergi dari rumah ini, tepatnya membawanya pergi dari kenangan di dalam rumah ini.

Hidup di dunia yang penuh bahaya dan menjadi bagian dari dunia itu, membuat Jun memahami bahwa kenangan adalah racun paling menyakitkan dan mematikan untuk setiap orang.

Karena yang telah pergi, tidak akan kembali lagi.

"Kamu mau tinggal di rumahku saja hm? Nanti aku bisa bilang orang tuaku kalo kamu nggak mau disini," ujar Jaemin.

Shuya menggeleng. "Itu merepotkan."

"Terus mau tinggal dimana?"

"Kamu bisa pakai apartemenku, kebetulan aku punua dan nggak terpakai. Itu kalo kamu menerima tawaran untuk bekerja denganku," ujar Jun.

Shuya menatap Jun lama sekali, kemudian bangkit dan menghampirinya. "Bawa aku pergi."

"Kemasi barangmu--"

"Ayo pergi."

"Pakaian? Barang-barangmu?"

"Pergi."

Jun menghela nafas. "Baiklah," kemudian Jun menatap Jaemin. "Apa besok kalian ada kelas atau semacamnya?"

"Hmm ... iya ada kelas," jawab Jaemin.

"Kalau begitu, akan kupastikan besok dia masuk. Sekarang pulanglah ... hm? Namamu?"

"Na Jaemin."

"Pulanglah, Jaemin. Aku akan mengurusnya."

"Sejujurnya aku nggak kenal Paman, aku juga masih ragu untuk percaya padamu, tapi kayanya Shuya emang kenal Paman. Jadi .... aku titip Shuya."

"Iya, jangan khawatir."

Jaemin melirik Shuya dan gadis itu hanya menganggukkan kepalanya, tanda bahwa dia akan baik-baik saja. Jaemin pun akhirnya pergi meninggalkan keduanya.

Sementara itu, Jun menatap Shuya yang masih berdiri dihadapannya. "Aku tidak akan bilang lagi. Sekarang, kemasi barang-barangmu."

"Semuanya ada Hana dan ahjumma. Aku nggak mau."

Jun meletakkan tangannya diatas kepala Shuya dan membuat gadis itu menatap matanya. Bisa Jun lihat disana bahwa kedua mata itu tak lagi bercahaya, pandangan yang meredup dan tak bernyawa.

Sepasang mata yang sama yang pernah Jun miliki ketika Ibunya tiada, namun bersinar kembali ketika putra pertamanya, Junho, lahir ke dunia.

Jun menghela nafasnya panjang. "Hidupmu masih panjang," katanya sambil menutup kedua mata Shuya dengan telapak tangannya, "mereka yang pergi mungkin nggak akan kembali lagi, tapi bukan berarti yang hidup harus mati dalam waktu yang masih terus berjalan."

🔍

Jun meletakkan jari telunjuknya didepan mulut sambil memicingkan kedua matanya kala Subin hendak membuka mulutnya saat melihat sosok Shuya memasuki markas.

Jun jelas tahu bahwa si bungsu dalam timnya itu akan memprotes kehadiran Shuya, sehingga dirinya sudah memberi isyarat duluan.

"Jadi, ini adalah Nona Gracias Shuya Lee," ujar Jun memerkenalkan diri Shuya pada rekan timnya, "dia akan jadi anggota baru ditim kita. Dia akan berada diposisi yang sama dengan Wonwoo dan Subin.

"APA-APAAN?!" pekik Subin yang segera dibekap oleh Byungchan yang cengengesan.

"Ayolah, maknae. Kita sudah sepakat untuk nggak mempermasalahkan keputusan Jun hyung hm?"

"Dimana kamarku?" tanya Shuya.

Jun menghela nafas dan kemudian memberikan Jennie kode untuk mengantar Shuya ke kabin yang memang disediakan oleh KBI.

Jennie kemudian mengangguk dan segera mengantar Shuya menuju kabinnya. Sebagai orang yang sudah bekerja cukup lama dibawah kepemimpinan Jun, Jennie jelas tahu bahwa ada sesuatu yang menarik dari Shuya, walaupun sekarang Jennie tidak melihat apa yang menarik dari Shuya selain tatapan kosongnya.

"Ini kabinmu. Kamu bisa tinggal disini selama kamu bagian dari KBI," ujar Jennie sambil memersilahkan Shuya masuk ke kabinnya, setelah dirinya mengajari gadis itu untuk memindai sidik jari di pintu agar kabin ini bisa sepenuhnya menjadi miliknya.

"Memang minimalis, tapi disini cukup nyaman. Kalo mau makan dan malas masak ada kafetaria, tadi kan udah melewatinya kan?"

"Hm," hanya itu respon Shuya sambil duduk ditepi tempat tidurnya.

"Kamu tau kan ini lantai berapa?" tanya Jennie memastikan Shuya tahu setidaknya dimana kantor tim mereka.

Shuya menatap Jennie dengan tatapan kosongnya. "Apa aku harus tau?"

Jennie mengulum bibirnya, kemudian tersenyum maklum. "Ini lantai B3, kita ada di bawah tanah dan lift menuju kesini harus pakai ID Card. Di lantai B1 dan B2 itu basement parkiran mobil, lantai 1 sampai 25 biasanya dikamuflase menjadi kantor umum, markas KBI itu nggak boleh ketahuan publik."

"Hayton Electro."

"Nah, itu adalah kamuflase markas kita. Pokoknya KBI ada dilantai B3 sampai B4."

Shuya tidak menaruh perhatiannya lagi pada Jennie, sehingga membuat wanita bermata tajam itu memilih pergi dari kabin Shuya. Ketika Jennie berbalik setelah menutup pintu kabin Shuya, dirinya bertemu pandang dengan Jun yang entah bagaimana sudah disana, bersandar di dinding samping pintu kabin Shuya.

"Bagaimana dengannya?"

"Dia seperti orang mati," balas Jennie sambil ikut bersandar didinding samping pintu kabin Shuya lainnya dan menatap Jun bingung. "Yakin mau rekrut dia? Dia bukan orang yang tahan tekanan loh sepertinya."

"Kamu juga dulu waktu bekerja disini begitu kan? Nangis terus gara-gara teman timmu mati satu persatu."

Jennie menendang kaki Jun kesal. "Aku masih muda waktu itu!"

Jun tersenyum kemudian mengusak kepala Jennie. "Seulgi noona membawa pizza, makanlah. Ada fussili kesukaanmu."

Jennie langsung kegirangan dan pergi untuk kembali ke kantor tim mereka. Sementara Jun mengetuk pintu kabin Shuya beberapa kali, sebelum akhirnya gadis itu membukanya.

"Apa?"

"Besok pergilah ke kampus."

"...Ya."

"Ikutlah denganku. Kita beli perlengkapanmu. Kamu kan nggak mau bawa barang-barangmu dari rumah itu."

Shuya pun akhirnya mengikuti Jun untuk pergi ke pusat perbelanjaan, bersama Byungchan dan Subin karena kebetulan mereka bertemu di basement dan ingin pergi ke pusat perbelanjaan juga. Jun pun meminta keduanya untuk masuk ke dalam mobilnya dan pergi bersama-sama.

Selama di pusat perbelanjaan, yang paling aktif adalah Byungchan untuk mengajak Shuya mengobrol, lagipula kemampuan Byungchan dalam berkomunikasi itu patut diacungi jempol. Sementara Jun dan Subin hanya menemani keduanya.

"Kenapa Byungchan masuk ke toko baju anak-anak?" tanya Jun.

"Itu buat Arsen dan Moses, katanya keduanya bertambah tinggi terakhir kali dia mengukur keduanya. Jadi, dia mau belikan beberapa baju."

"Harusnya dia menikah saja dengan sikapnya yang begitu," dengus Jun.

"Dia beneran masuk ke tim kita?" tanya Subin.

"Kamu sensitif banget sama hal ini, kenapa sih? Marah karena nggak jadi maknae lagi?"

"Dia kelihatan nggak bisa diandalkan."

Dulu kan kamu juga."

Subin hanya berdecak tak suka, sementara Jun hanya menghela nafas. Jun paham sekali kalau Subin itu sulit untuk berteman dengan orang lain karena masa lalunya membuatnya tak bisa mempercayai orang lain dengan mudah dan membuatnya tak mau memiliki kedekatan berlebih dengan orang lain, makanya Subin benci perubahan.

Jun mengusak kepala Subin dengan gemas. "Ingat apa yang kujanjikan padamu saat kamu bergabung dengan timku?"

Subin melirik Jun. "...Ingat."

"Gadis kecil itu pasti akan tumbuh dengan baik sepertimu, jadi tolong bimbing dia."

Continue Reading

You'll Also Like

346K 60.2K 51
I am a sinner, and you are my God. Originally written by Penguanlin, 2019. was #1 in Seonghwa, Hongjoong, San, ATEEZ #2 in Sohye
104K 8.7K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
141K 13K 12
Menurut Jeon Wonwoo cinta itu butuh proses. Storyline By : MINKUK97
70.9K 12.8K 59
"People who destined to meet, will meet someday" A Sequel from My Way - Baca My Way terlebih dahulu