Breakeven: A Sad Opening Story

By chellemmanuella

170K 9.2K 855

[Selesai direvisi 9 Februari 2016. Beberapa part diprivate] Jessica Aurelia. Bukan perempuan matrealistis, bu... More

Prologue
Teman Setelah Putus
Prinsip Konyol
Ini Bukan Dongeng
Titik Impas
Time Will Heal
A Phone Call
Comfort Zone
Gone
Came Back At Birthday
Bonus Part : 1 Year Ago...
Hangout with Daniel
Epilogue
Alternate Ending [2]
A Huge Thanks To...
Last Thing...
Penjelasan and Stuff
UPDATE!

Tidak Baik-Baik Saja

7.3K 600 33
By chellemmanuella

Terhitung sejak telepon-telepon 5 menit yang canggung itu, Daniel jadi lebih sering mengirimiku SMS. Meng-greet duluan, menelepon sambil menirukan suara robot atau suara bencong kejepit bajaj. Terkadang ia sungguhan membuatku tertawa.

"Haluuu...."

Aku tergelak sambil menutup mulutmu. "Haluuu..." balasku.

"Lagi apaaa?" tanya Daniel, masih dengan nada yang sama.

"Lagi makan. Sama Rerey dan yang lain!" jawabku santai. "Abis futsal?"

"Iya nih, sama anak-anak yang lain. Alfian juga barusan ikut. Dia bilang kabar Almira baik."

"Oh, syukur deh! Kita mah tinggal tunggu undangan mereka aja!"

Daniel tertawa di ujung telepon sana. Jenis tawa yang membuat aku semakin merindukannya. "Iya, nanti bisa kita recokin pernikahan mereka."

"Lo pasti yang paling banyak makan!"

"Woy, ngaca!"

Aku tertawa terbahak-bahak. "Iya, nanti semua gue yang makan. Lo cemilin kerupuk aja ampe radang!" candaku.

Sebuah suara terdengar dari speaker ponsel Daniel. "Eh, Jess, sambung nanti lagi, ya!"

"Oke! Dadah alay!"

"Lu alay!"

Pip.

Semua nampak baik-baik saja, seperti sebuah putus baik-baik dan bersahabat setelahnya. Seperti sebuah hubungan becanda yang nampaknya lebih nyaman dengan pertemanan tanpa ikatan. Tapi tidak seperti itu yang kurasakan.

Kadang aku harus menahan tangis saat ditelepon Daniel. Aku harus menahan kegembiraan yang kurasakan karena aku tahu saat ini dia bukan siapa-siapa lagi selain temanku.

Aku baru saja pulang dari kuliah. Daniel meneleponku saat aku ada di jalan. Kami menelepon sepanjang taksi berjalan dari kampusku ke rumah. Diana lagi-lagi ngalor ngidul dengan temannya. Kini dia sedang bercokol di rumah temannya yang punya anak berumur 3 tahun, yang konon kata Diana, sudah menyukai One Direction.

Ok masa bodo Diana, masa bodo dengan semua fangirling lu.

Badanku rasanya lelah setengah mati. Aku melempar tasku ke kasur, kemudian badanku. Aku menyelonjorkan tubuh sambil menikmati AC.

Baru saja aku santai, intro dari lagu Rather Be menggema di kamarku. Buru-buru aku merogoh tasku dan meraih HPku. Daniel. Lagi?

"Halo, Mas! Bisa dibantu?" candaku.

"Iya nih, Mbak. Saya mau pesen... temen ngobrol, boleh?" Daniel membalas.

Aku tergelak. "Padahal baru tadi teleponnya dimatiin," celetukku. "How's your day going, bro?" sapaku.

"So far so good... mata kuliah hari ini gak banyak-banyak amat. Jadi gue pulang cepet!"

"Samaa!"

"Hahaha!"

Akhirnya obrolan mengalir seperti biasanya. Daniel bercerita tentang betapa beratnya kuliah Teknik, dan aku bercerita betapa serunya kuliah Komunikasi. Kami saling bertukar cerita soal keseharian kami.

"Apa kabar Tante Fey?" Daniel menanyakan kabar Mama.

"Au tuh, tambah rindu sama belahan jiwa. Baru pulang dari Solo bulan depan. Kabar Tante Era gimana?" tanyaku balik.

Daniel diam. Agak lama sampai dia menjawab, "baik, tapi lagi sering ngomel. Bahkan dia ngediemin gue..."

"Why?"

Ada keraguan dalam keheningan yang Daniel ciptakan. "She likes you... a lot. Jadi dia marah banget sama keputusan gue," kata Daniel akhirnya.

Tante Juna... aku kembali teringat wanita yang ramah dan begitu baik padaku itu. Dia benar-benar sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. Dan sekarang dia memarahi Daniel karena memutuskanku.

"But we're growing up, right, Jess? Gue dan lo sama-sama punya pilihan akan sesuatu." Daniel tertawa canggung. "Right?" ulangnya.

Aku diam. "Yeah, right...." jawabku enggan.

Ada keheningan panjang antara kami berdua setelah percakapan tersebut. Aku memelintir anak rambut yang menjuntai di telingaku sambil menunggunya berbicara. Asumsiku, Daniel juga melakukan hal yang sama di ujung telepon sana (bukan melintir-melintir rambut dengan gaya ala bencong, tapi maksudnya sama-sama menunggu salah seorang untuk membuka pembicaraan).

"Jess," kata Daniel akhirnya. "I'm sleepy..."

"Sama."

"Bye."

"Bye."

Dan telepon pun ditutup.

Aku melempar HPku ke arah selimut. Aku meraih bantal kepala dan memendam wajahku dalam-dalam. Keputusan. Dewasa. Perpisahan.

Air mataku mengalir malam itu.

***

"Jessicaaaa!"

"Danieeel!"

Kami berdua tertawa setelah saling memanggil panjang-panjang dengan nada aneh dan logat dibuat-buat seperti orang mabuk.

"Lagi apa lo?" tanyaku.

"Lagi ngerjain tugas. Lo inget dosen gue yang rada pikun itu?"

"Hm!" jawabku bersemangat. "Inget banget!"

Daniel tertawa di ujung telepon sana. "Masa hari ini dia manggil gue apa? Dia manggil gue Ariel! Lah buset, apa muka gue mirip putri duyung?"

Aku terkekeh. "Enggak, kok. Muka lo mirip dugong yang di Sea World!"

"Sialan!" sembur Daniel.

"Eh, Dan?"

"Yo?"

"Lo pernah mikir gak sih?"

"Mikir apa tuh? Mikirin elo? Sering kali!"

"IH, bukan itu. Serius napa!" hardikku.

Daniel terkekeh. "Oke sori. Lanjutkan!"

Aku menghela napas dan memeluk bantalku erat-erat. "Engg... lo pernah mikir gak sih, kalau terkadang sesuatu yang lo percaya saat ini, suatu hari nanti akan hancur berkeping-keping di depan mata lo?" tanyaku.

Diam panjang di ujung telepon sana.

"Halo?" panggilku.

Bunyi helaan napas. "Jess, kadang apa yang kita manusia percayai dengan segenap ambisi kita memang akan sangat mengecewakan bila gak bisa kita penuhi. Tapi... gue... gue tahu akan sakit bila suatu hari nanti melihat harapan gue pecah berkeping-keping. Tapi selama masih ada waktu, gue mau menikmati masa di mana gue bisa berharap."

Dan maka itu Daniel, biarkan aku berharap kita bisa kembali seperti dulu. Itu yang mulutku ingin keluarkan. Tapi semua kata-kata itu kutelan kembali bulat-bulat.

"Nah, lo gak makan?" tanya Daniel.

"Gak, belom laper."

"Gue makan ya, Jess?"

"Oke."

"Bye!"

"Bye!"

Pip.

Setetes...

Dua tetes...

Kini mataku, pipiku dan bantalku basah berderai air mata. Aku memendam wajahku dalam bantal dan menangisi penyesalanku sepuasnya.

Kata yang kutelan bulat-bulat barusan, meski bodoh adanya, tapi aku berharap kata-kata itu meluncur dan sampai ke telinga Daniel.

Aku menyalakan laptopku dan membuka Wattpad. Terkadang ada kenikmatan yang berbeda dari membaca Wattpad di laptop dengan di ponsel. Beberapa cerita menarik yang sebisa mungkin bukan romance membuatku hanyut. Sebisa mugkin aku melupakan Daniel. Apapun tentang kenyataan kalau kita udah beda.

Tapi bahkan kalimat sesimpel apapun di cerita manapun, selalu mengingatkanku akan dirimu.

***

Aku terlalu memaksakan diri. Yes I am.

Percakapan di telepon yang membicarakan keseharian masing-masing masih terus berlanjut antara aku dan Daniel. Lagu-lagu riang juga makin sering muncul di Pathnya. Kesibukannya juga makin bertambah. Beberapa temannya dengan usil melaporkan padaku bahwa sekarang kalau hangout, gerombolan mereka sering mengajak cewek, dan ada satu cewek yang cukup akrab dengan Daniel. Ya, cewek tembam yang mungil itu.

Namun, percakapan satu jam di telepon itu masih sering terjadi setiap malam. Entah kenapa, rutinitas menelepon ini maalh jadi sesuatu yang menghiburku di tengah gosip-gosip usil tentang perempuan mungil itu. Aku tidak peduli lagi dengan perempuan mungil itu.

"Jess?"

Aku tetap mengetik sambil tersenyum kecil. Daniel sedang memfoto orang yang belahan pantatnya kelihatan saat naik motor. Dasar cowok usil.

"Jessica?"

"Hmm?" gumamku menyahut. Tapi mataku masih tetap pada layar.

"JESS!"

"YES!" jawabku agak meninggi. Apa-apaan sih, Eriska menggangu gue dan waktu gue sama Daniel?

Eriska memutar bola matanya. "Taruh dulu deh tuh HP. Kita lagi serius ngomongin soal UAS nanti. Lo gak ngeri apa, tugas akhir semester kita belum selesai?"

Ah, kirain apaan. Aku akhirnya kembali meraih ponselku dan mengetik. "Ya, ya. Nanti kita kerjain bareng, ya!" Dan aku kembali sibuk dengan ponselku.

Suasana kamarku kini hening. Entahlah, mungkin tiga perempuan ini kehabisan makanan dan topik. Dan untuk tugas akhir, aku bisa mulai bekerja dua jam lagi setelah topik belahan pantat dengan Daniel ini berakhir.

"Gue mau pulang."

"Nyokap gue gak bolehin gue pulang malem."

"Jess, bokap gue udah di bawah."

"Ya, ya, ya. Hati-hati kalian!"

Dan aku kembali sibuk bersama Daniel.

Ah, kalau seperti ini, apa gunanya aku jealous dengan perempuan pendek dan tembam itu?

***

Dulu, Daniel sering iseng memotong pembicaraanku ketika aku sedang berbicara.

"Iyaaa jadi gitu lho. Kamu harus tahu, tuh cewek bolooott banget! Masa aku bilang, 'eh, lu punya annual pass gak?' terus dia malah jawab, 'eh yaudah sih, kalau gue gak bayar uang kas, emang urusan lo?'. Laaah, kata aku, siapa yang suruh lu bayar uang kas? Emang gue siapa? Sekertaris RT?"

Di ujung telepon, Daniel hanya diam.

"Daniel?" panggilku.

"You know what, Jessica? That's why I love you... I love the way you talk about the world and everything on it."

Aku tersenyum. "I love you too."

Dan pembicaraan berlanjut.

Kini kami kembali menelepon dengan normal. Ya, tapi tanpa cinta yang sama seperti dulu. Mungkin sekarang, dia sudah 'menelepon dengan cinta' bersama perempuan lain? Atau minimal, dia sekarang sudah benar-benar melupakan aku.

Jujur, kadang, aku merindukan interupsi-interupsi itu. Aku merindukan setiap aku bertanya 'kenapa kamu diam', dan Daniel menyisipkan bunyi kecupan aneh lewat telepon, kemudian berkata tiga kata sederhana yang bahkan anak SD sudah sering ucapkan itu.

I love you.

Terkadang aku duduk di kamarku, atau di depan televisi, atau dimana saja... aku sering berpikir. Apa yang harus aku lakukan kalau MEMANG Daniel adalah bagian terbaik dalam hidupku? Dan apa yang harus aku lakukan kalau saat ini aku tersendat dan dia baik-baik saja?

Dia yang memutuskanku.

Dia yang ingin mengakhiri semuanya.

Mungkin nampak wajar saat orang-orang melihat dia baik-baik saja.

Tapi aku merasa... aku hancur berkeping-keping.

Falling to pieces.

Dan aku masih terus menangis setiap telepon demi telepon canggung itu berakhir. Aku masih terus menangis sunyi dengan airmata yang turun dan segukan ringan. Aku masih terus menutup wajahku dengan bantal dan menangisi rasa rindu itu. Interupsi itu. Bunyi ciuman aneh itu. Tiga kata sederhana itu.

Aku rindu semua itu.

Yah, sekarang aku harus menerima kenyataan kalau telepon yang kami lakukan adalah percakapan biasa-biasa saja.

Tapi, hey! Sisi baiknya, kami tetap sahabat. Iya, kan?

***

Yayaya sahabat sahabat. Lols.

Jangan lupa vomments, terutama comment! Ditunggu celotehan kalian :)

As always:

LINE : Chellemmanuella
LINE@ : All About Wattpad (@dup4420w)
Instagram : Chellemmanuella_
Ask.fm : Cherudesu

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 6.7K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
2.2M 33.5K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
2.8M 299K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
901K 38.5K 65
Elena Rosalina Smith memiliki seorang tunangan yang tiba - tiba di rebut oleh saudari tiri nya. Dan sebagai ganti nya, Elena terpaksa harus menikahi...