Bad Boy and Silent Princess [...

By tiashaara

19.9K 2.9K 4.9K

Bagi Runa, kebahagiaan Juna adalah hal utama yang selalu dia dahulukan. Runa bahkan bisa melakukan apa saja u... More

Bumi Datang
Tentang Aruna
Kisah Dimulai
Rahasia Juna
Kebetulan?
Insiden
Kesedihan
Berantem
Sisi Lain
Bertemu Alan
Tantangan
Saturday Night
Sekeping Ingatan
Sweet Heart, I'm Coming
Rumor
Makan Siang
Kecurigaan
Planing
Curang
Sebuah Senyuman
Selalu Istimewa
Kebersamaan
Misi Dimulai
Misi Selesai
Semakin dekat
Semangat Baru
Pembuktian
Pengagum Rahasia
Kesan pertama
Ghaitsa Almaira
Kembali Hidup
Amplop Merah Muda
Pengakuan
Kebersamaan
Kurun Waktu
Minggu kelabu
Sisa Waktu
Selalu Ada Harapan
Mencari Kesempatan
Pulang Bersama
Kerja Kelompok
Sesi Latihan
Sedikit Terlambat
Berita Bahagia
Di Antar Pulang
Tersesat
Sebuah Tumpangan
Jatuh Sakit
Pantang Menyerah
Menghilang
Ini Kah Akhir?
Waktu Berjuang
Hidup dan Mati
Waktu Adalah Obat
Bumi Untuk Aruna

Kisah Yang Sama

310 52 7
By tiashaara

***

Aruna memegang erat tali tas gendong hitam yang dia pakai. Setelah tadi dia berusaha untuk mengambil sepeda yang dia tinggalkan. Aruna harus mendapati sepeda kesayangannya menghilang. Awalnya, Runa pikir dia lupa mengenai tempat meletakkan sepedanya. Namun, setelah berusaha sekeras tenaga. Ternyata sepedanya benar-benar hilang.

Runa mengembuskan nafas. Hatinya merasa sangat sedih. Rasanya ia ingin segera pulang dan meminta maaf langsung pada Alan karena telah menghilangkan sepeda pemberian sang ayah. Akan tetapi, ada janji yang harus Runa tepati. Karena janji itu, Aruna pun memilih berjalan kaki untuk menemui Gavin.

"Runaaa!"

Aruna mendongakk. Kedua alisnya tertaut. Presensi Gavin yang berlarian ke arahnya membuat dia kebingungan.

"Gavin. Ngapain lo ke sini?" tanya Aruna setelah Gavin berada lebih dekat dengan dirinya.

Gavin terdiam. Mampus! Gue mau jawab apaan. Nggak mungkin kan gue bilang kalo gue nggak sabar nunggu Aruna lebih lama.

"Gavin!" Aruna terlihat kembali memanggil teman sekelasnya yang sibuk terdiam.

"Ah, iya. Sori. Lo tadi tanya apa?" Gavin berusaha menguasi diri. Dia tidak boleh terlihat gugup di depan Aruna.

"Ngapain lo ke sini?"

"Gue nyusulin lo. Soalnya, lo lama banget. Gue takut lo kenapa-kenapa."

"Lo pikir gue lemah?" Bukannya senang karena di khawatirkan. Aruna malah merasa Gavin meremehkan dirinya.

"Bukan gitu." Gavin mengelak.

"Terus gimana?"

"Eh, kok lo jalan kaki? Sepeda lo mana? Lo kerampokan?" Gavin sengaja mengganti topik pembicaraan. Sepertinya pemuda itu tau bahwa dirinya akan mengalami kesulitan jika meladeni pertanyaan Aruna.

Aruna menghela nafas. Dia melirik Gavin sekilas sebelum memilih kembali berjalan santai. "Ilang."

"Kok bisa?" Gavin terkejut. Pemuda itu berusaha berjalan sambil menjaga jarak.

"Bisa. Buktinya sepeda gue nggak ada."

"Mau gue bantu cari?"

"Nggak perlu. Percuma. Sepedanya pasti udah diambil orang."

"Maaf ya."

Aruna menghentikan langkah kakinya. Dia memutar tubuh secara perlahan. Ditatapnya wajah Gavin yang dipenuhi rasa bersalah.

"Maaf? Ngapain lo minta maaf?"

"Gue minta maaf karena gue udah bikin sepeda lo ilang. Harusnya gue nggak nyusahin lo. Gue emang payah. Gue selalu bawa sial." Kepala Gavin tertunduk.

"Udah. Nggak usah lo pikirin. Sepeda itu emang berharga. Tapi nyawa manusia jauh lebih berharga."

Aruna kembali berjalan. Gavin pun mengikuti dari belakang. Pemuda itu tampak menarik senyuman. Keheningan pun menyelimuti. Dalam diam Gavin merasa ingin menceritakan sesuatu. Akan tetapi, apakah Aruna akan mendengarkan ceritanya?

"Runa," panggil Gavin pelan setelah memutuskan untuk mencoba bercerita pada Aruna.

"Hmm."

"Gue mau cerita. Apa lo mau dengerin?"

Hening. Aruna tidak merespon. Gadis itu juga tetap berjalan.

Kayaknya Runa nggak mau dengerin gue deh. Bodoh. Lo terlalu kepedean, sih Vin. Sakit hati kan lo sekarang. Gavin menggigit bibir bawahnya pelan.

"Lima menit."

"Ha?"

"Lo cuma punya waktu lima menit buat cerita."

Senyuman Gavin merekah. Hati pemuda itu berbunga-bunga. Dengan semangat dia mempercepat langkah kakinya agar Aruna bisa mendengar dengan jelas setiap hal yang mengganjal di hatinya selama ini.

"Gue punya rasa benci yang begitu banyak buat abang, adek dan orang tua gue. Terkadang, gue sadar rasa benci ini salah. Tapi, kenyataan selalu aja bikin rasa benci ini makin banyak."

"Boleh gue tau alasan lo benci sama keluarga lo?" Aruna memberi respon. Masalah keluarga yang sedang dihadapi oleh Gavin terdengar sangat kompleks.

"Boleh. Sebenarnya gue punya kembaran. Gue sama kembaran gue selalu di beda-bedain dari kecil. Gue nggak tau pasti alasan orang tua gue benci sama gue. Yang gue tau, setiap ada kesalahan apapun yang terjadi dan berkaitan sama kembaran gue. Selalu gue yang disalahin."

Aruna merasa kaget. Baru kali ini dia mendengar ada masalah yang begitu besar terjadi di dalam hubungan saudara kembar dengan keluarganya. Pasalnya, hidup Runa begitu damai dan menyenangkan. Dia memiliki kembaran yang begitu menyayanginya walau Arjuna tak pernah mengatakan itu secara langsung. Belum lagi, Alan dan Ara selalu membagi rata kasih sayang mereka secara adil. Alan dan Ara juga selalu mendukung dan tak pernah memaksakan kehendaknya pada Runa.

"Kenapa lo bisa menyimpulkan kalau orang tua lo benci sama lo?"

Gavin terdiam. Dia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan Aruna. "Karena mereka selalu nyalahin gue, dan lebih sayang sama kembaran gue."

"Cuma karena itu?" Aruna bertanya lagi.

"Iya, ada yang salah?" Gavin balik bertanya.

"Bukan salah. Tapi dalam sudut pandang gue, gue rasa ada miss komunikasi, deh. Udah pernah coba tanya langsung ke orang tua lo?" Aruna memberanikan diri menatap Gavin.

"Tanya apa?"

"Tanya tentang jawaban atas semua keluh kesah lo sama mereka."

Gavin menggeleng. "Gue nggak ada waktu buat tanya itu ke mereka. Lagian mereka aja udah ngusir gue. Bukannya itu sama aja dengan mereka benci dan nggak mau gue hidup lagi,'kan?"

"Lo diusir?!" kedua mata Aruna melebar. Fakta tentang kehidupan Gavin yang terasa begitu gelap. Sangat tidak sesuai dengan gaya hidup dan kebiasaannya yang terkesan ceria dan penuh warna.

"Iya. Gue diusir dari rumah."

"Terus lo tinggal sama siapa?"

"Gue tinggal bareng kakek sama nenek gue. Walau gue udah diusir. Gue masih punya kasih sayang dan kemewahan dari kakek sama nenek gue."

Terjawab sudah. Pertanyaan yang tadi sempat terbersit di dalam benak Aruna tentang kehidupan mewah yang Gavin jalani akhirnya bisa ia tau tanpa harus mengajukan banyak pertanyaan pada Gavin.

"Alhamdulillah, deh. Setidaknya lo nggak perlu jadi gelandangan,'kan."

"Oh,ya tentang masalah lo sama keluarga lo. Gue rasa gue nggak bisa ikut campur lebih jauh. Tapi, gue mau sedikit kasih saran buat lo. Itu pun kalo lo mau, sih." Aruna melanjutkan pernyataannya sambil berjalan lagi.

Sebenarnya dia tidak nyaman untuk ikut campur dalam masalah orang lain. Akan tetapi, karena Gavin sudah membagikan kisah hidupnya. Maka, Aruna akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi pendengar dan pemberi saran yang baik.

"Boleh. Gue malah udah nunggu saran ini dari lama." Gavin menjawab dengan singkat.

"Dengerin, ya. Hal pertama yang harus lo lakuin adalah buka hati lo. Buka selebar mungkin sampai rasa benci yang lo punya menghilang secara perlahan. Hal yang kedua coba temuin orang tua lo. Bicara dengan baik ke mereka. Ungkapin semua hal yang lo rasain. Seleksi setiap hal yang lo rasa bisa jadi pemicu kesalahan pahaman. Lakuin semua itu dengan santai, anggap aja lo lagi diskusi terbuka. "

Gavin terus saja mendengar setiap kata lembut yang keluar dari mulut kecil Aruna.

"Ini saran terakhir dari gue tapi harus lo lakuin di awal." Aruna kembali berhenti melangkah. Suasana tempat makan yang akan mereka datangi sudah terlihat dengan jelas.

"Apa sarannya?" tanya Gavin kemudian.

"Maafin diri lo. Cintai diri lo. Jangan pernah lagi insecure apalagi sampe niat bunuh diri. Paham?!" Aruna melayangkan tatapan tajam pada Gavin.

Gavin hanya bisa segera mengangguk seraya menjawab, "Paham."

"Bagus. Kita sampe. Selagi nanti gue makan. Gue nggak mau ditanyain tentang apapun. Jadi, jangan coba-coba ngusik waktu makan gue. Ngerti?!"

Gavin lagi-lagi mengangguk dengan patuh. Pemuda itu pun membiarkan Aruna berjalan meninggalkan dirinya seorang diri. Setelahnya, Gavin bisa mengembuskan nafas lega. Saran yang diberikan oleh Aruna terasa begitu menyejukkan. Suara Aruna terasa seperti air yang menyirami gurun pasir yang gersang. Saat ini, hati dan perasaan Gavin terasa begitu menenangkan.

***

Gavin mengusap mulutnya menggunakan tisu. Ia baru saja menyelesaikan makan malam pertamanya dengan Aruna. Gavin terus saja melirik Runa yang masih terdiam. Pemuda itu seakan takut untuk memulai pembicaraan. Mengingat, sebelum makan tadi Aruna sudah memberikan peringatan keras untuknya.

"Gue mau pulang."

Gavin yang sempat menunduk lantas menatap Aruna dengan terkejut.

"Sekarang?"

"Iya."

Ini Runa ngode buat dianterin pulang atau bukan ya? batin Gavin bertanya-tanya. Sikap Aruna yang sulit ditebak membuatnya kesulitan untuk mengartikan setiap hal yang Aruna lakukan.

"Ayo."

"Kok ayo?" Aruna memasang wajah bingung yang dibalas dengan wajah canggung dari Gavin.

"Lo mau gue anterin pulang, 'kan?" tanya Gavin memastikan.

Aruna menggeleng, "Ya enggak, lah. Gue cuma bilang aja. Bukan minta lo anterin pulang."

"Terus lo pulang sama siapa?"

"Ngapain lo tanya-tanya. Emang kita temenan."

Buset dah, pedes banget ni cewek cantik. Harus kebalin hati ini mah. Gavin menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Respon Aruna dengan wajah datarnya membuat mereka menjadi pusat perhatian.

Aruna sendiri berusaha tak acuh. Ia sibuk melihat ke arah ponselnya. Tadi, tepat setelah dia selesai makan, Aruna sudah menghubungi Arjuna untuk menjemputnya.

Gue udah sampe. Pesan dari Juna yang sedari tadi ditunggu akhirnya bisa Runa baca dengan bahagia.

Aruna segera memakai tas miliknya. Selanjutnya, gadis itu berdiri.

"Gue mau pergi. Gua harus bayar berapa?"

Gavin membelalakkan kedua matanya. Dia bisa merasakan banyak mata yang tertuju pada dirinya.

"Nggak perlu. Lo kan gue traktir."

"Yakin?" tanya Aruna memastikan. Pasalnya, dia tidak terbiasa di traktir oleh orang lain seperti ini.

"Iya."

"Yaudah, kalo gitu makasih. Gue pergi dulu, Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Gavin terus saja melihat kepergian Aruna. Langkah kecil yang Aruna ambil semakin memperbesar jarak antara dia dan Gavin.

"Arjuna." Gavin refleks memanggil nama Juna. Tatkala seorang pemuda keluar dari mobil dan terlihat berbicara panjang lebar pada gadis pujaannya.

"Sabar ya mas. Mas nggak kalah ganteng kok." lirikan tajam Gavin segera dia layangkan. Dua bocil yang Gavin rasa masih SMP langsung terdiam. Sepertinya mereka ketakutan dengan respon Gavin yang sama sekali tidak santai.

Disisi lain, Arjuna yang tengah menatap Aruna segera menaikkan sebelah alisnya, "Ngapain minta jemput? Bukannya lo pergi pake sepeda?"

"Sepedanya ilang."

"Kok bisa?"

"Ceritanya panjang. Lo pasti nggak mau denger kan." Arjuna langsung mengangguk. Dia terlalu malas mendengar cerita Runa jika panjangnya melebihi kereta api.

"Intinya, tadi gue ketemu orang yang keliatan mau bunuh diri. Gara-gara itu, sepedanya gue tinggal. Waktu mau gue ambil balik sepedanya ilang." Aruna menjelaskan dengan singkat. Juna itu gampang penasaran tapi juga malas. Jadi, sebagai saudara kembar yang baik, Runa tetap memberikan cerita versi singkat.

"Kisah lo sama kayak kisah Umi." Juna memperlambat laju mobil yang dia kendarai. Dia memang sudah terbiasa mengendarai mobil sejak usianya lima belas tahun.

"Ha?" Mata Aruna mengerjap. Memorinya melayang guna mengingat kisah yang Arjuna maksudkan.

"Oh, iya, Umi juga pernah ketemu orang yang mau bunuh diri di jembatan penyebrangan,'kan."

"Iya." Arjuna membenarkan.

Aruna hanya mengangguk-angguk. Gadis itu memilih diam seraya memerhatikan suasana di luar mobil. Arjuna pun fokus menyetir mobil. Tanpa Runa sadari kejadian yang pernah terjadi pada Ara dan dirinya memiliki benang merah yang semakin terlihat jelas akan menghubungkan hubungan tak terduga menjadi sebuah ikatan yang tak biasa .

***

Selamat malam
Aku update malem malem gini semoga tetep ada yang baca ya 🙂
Oh ya kalo lupa kalian bisa baca part sebelumnya

Terimakasih udah mau nunggu cerita Runa dkk

See you 😉

Continue Reading

You'll Also Like

6.2K 254 14
Ramadini, gadis 17 tahun yang baru mendapatkan simnya sekaligus diberi hadiah motor baru dari sang orangtua. Siapa yang gak kegirangan coba, mendapat...
376 89 12
Aida Zeana Uzma seorang gadis yang berhasil pulih dari gangguan jiwa usai kehilangan kekasih yang sangat ia cintai lalu apakah zeea dapat melanjutka...
656 76 34
Follow dulu biar kenal sama Sasa dan Dika disini. ☺ " Ada seorang anak perempuan yang tidak mau bercerita tentang dirinya kepada keluarganya. Ada a...
25.4K 2.8K 59
⚠️cerita sedang direvisi! Mari pindah ke sebelah⚠️ "aku tidak tau jika dia adalah idaman para wanita, yang aku tau, aku adalah wanita yang menjadi id...