Lucky Level

By Wan_So-Ro

5.8K 660 120

Di Jepang, sebuah studi mengatakan bahwa seluruh manusia memiliki level keberuntungan yang berbeda-beda. Luck... More

Zero
The Fortune Princess
Hari Pertama Sebagai Teman (Part 1)
Hari Pertama Sebagai Teman (Part 2)
Pemuda Yang Familiar
Dia Terasa Begitu Dekat
Potongan Puzzle (Part 1)
Potongan Puzzle (Part 2)
Kenangan Yang Terlupa (Part 1)
Kenangan Yang Terlupa (Part 2)
Kenangan Yang Terlupa (Part 3)
Kenangan Yang Terlupa (Part 4)
Onii-chan!!!
Sibling Relationship (Part 1)
Promosi
Sibling Relationship (Part 2)
Tanyakan Saja!
Ragu
Dia Berbahaya! (Part 1)
Dia Berbahaya! (Part 2)

Realita dan Kebahagiaan Semu (Part 1)

309 31 6
By Wan_So-Ro

~~ Lucky Level ~~

"Pagi, Nee-sama." Himawari dengan ceria turun dari kamarnya, menyapa dengan semangat Hanabi yang tengah sibuk ikut menyiapkan makanan bersama beberapa maid.

"Pagi, Hima-chan." Hanabi menoleh, tersenyum hangat pada putri kecil itu. "Kau akan sekolah hari ini?"

Himawari menarik kursi, duduk sembari mengangguk dengan semangat kepada Hanabi. "Tentu. Aku ingin banyak bercerita tentang Boruto-Nii kepada teman-temanku!"

"Kau sangat senang bisa bersama Boruto, ya?"

"Seperti Nee-sama."

Hanabi tertawa ringan, kemudian mengangguk samar. "Iya, sepertiku."

Himawari tersenyum, bertumpu dagu, menatap Hanabi dengan hangat. "Aku senang kalau Nee-sama bisa tertawa tanpa kepura-puraan seperti sekarang."

Hanabi sekali lagi hanya tertawa ringan, menarik kursi, lalu mengambil duduk tepat di depan gadis itu. Ia lalu menatap teduh keponakannya itu. "Itu benar."

"Pagi."

Hanabi dan Himawari menoleh, mendapati Konohamaru yang telah rapi dengan setelan jasnya tersenyum dengan cerah, mendekat.

"Pagi, Sayang." Hanabi menarikkan kursi, membiarkan suaminya itu duduk tepat di sampingnya.

"Pagi, Konohamaru-Nii." sapa Himawari.

"Pagi, Hima-chan." Konohamaru mengambil duduk di samping Hanabi, mengecup singkat pipi istrinya, tidak malu walau di depan keponakannya sudah merona tipis melihat adegan romantis itu. "Pagi, Sayang."

Hanabi menggembungkan pipinya, memperjelas rona mera musa di pipi putih seperti cahaya bulan itu. "Apa kau tidak malu? Ada Hima di sini."

"Di mana Tou-sama?"

"Tunggu, jangan mengalihkan pembicaraan..!"

Himawari tertawa kecil. "Jii-chan tadi malam langsung pergi ke Osaka. Sepertinya, Jii-chan harus mengurus beberapa hal setelah kembalinya Onii-chan ke keluarga ini."

Hanabi menatap datar Konohamaru. Aku yakin Konohamaru sudah tahu di mana Tou-sama. batin Hanabi.

"Oh, begitu. Kalau begitu, ayo kita makan." ajak Konohamaru, namun Himawari langsung menolaknya.

"Tunggu sebentar." Himawari mengangkat tangan, memasang pose 'stop' untuk Konohamaru. "Onii-chan belum datang."

"Ah, benar. Aku hampir lupa." ujar Konohamaru yang baru ingat kalau anggota keluarganya bertambah satu.

"Kyaaaa!"

"Apa itu?" Hanabi mengernyitkan dahi kerika mendengar jeritan seorang wanita dari lantai atas.

"Bukankah itu suara Yugao-san?" tanya Himawari.

"Sebaiknya kita memeriksanya." Konohamaru segera meluncur ke tempat asal jeritan itu berasal, Hanabi dan Himawari dengan cepat mengikuti dari belakang, penasaran.

---

Sesampainya di lantai atas, mereka mendapati Boruto di sana, tengah berlutut dengan tangan memegangi pipinya yang bengkak kebiruan. Sementara itu, Yugao berada tidak jauh dari sana, berulang kali berojigi sembari terus menerus meminta maaf pada Boruto.

Hanabi segera berlari mendekati Boruto, memeriksa apa yang terjadi dengan keponakannya itu. Dia terlihat sangat khawatir, seperti orang yang hampir kehilangan segalanya.

"Apa yang terjadi?!" Hanabi mengangkat kepala Boruto, menarik dengan lembut tangan Boruto agar dapat melihat apa yang terjadi dengan pipi bergurat si kuning itu.

Boruto tersenyum lembut, meski pipinya masih terasa panas. "Ah, aku baik-baik saja."

Tangan Hanabi bergetar, sebutir air mata mengalir di pipinya. "Pipimu terluka, bagaimana bisa kau bilang baik-baik saja?!"

Boruto kembali tersenyum lembut, mencoba menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja. "Aku baik-baik saja, ini hanya salah satu kesialanku di pagi hari. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku sudah terbiasa."

Himawari berjalan mendekati Yugao, menatapnya bingung nan khawatir. "Sebenarnya ada apa, Yugao-san?"

Yugao menunduk lebih dalam, tidak berani menatap mata indah Himawari. Dia tahu, kalau terkadang mata itu bisa semenakutkan mata para iblis. "Ma-maaf, Hime-sama. Saya pikir ada orang mesum yang mau masuk ke kamar para maid, jadi saya langsung ingin melumpuhkannya. Sa-saya tidak tahu kalau itu adalah Boruto-sama."

Konohamaru menoleh, mendapati kalau memang sekarang mereka tengah berada di depan kamar para maid. "Dia tidak berbohong."

"Jadi, begitu. Ya sudah, tidak apa-apa." Himawari mengulurkan tangannya, membawa Yugao agar tidak lagi menunduk kepadanya. "Ini hanya sedikit error. Jadi, Yugao-san tidak perlu sampai seperti ini."

"Maafkan aku, Hime-sama."

Himawari memeluk Yugao, menepuk-nepuk dengan lembut punggung Yugao. "Tidak apa-apa. Selain Nee-sama, Yugao-san juga sudah kuanggap sebagai ibu bagiku."

"Terima kasih."

Himawari melepaskan pelukannya, menatap lembut wanita itu dengan senyum tipis di wajahnya. "Sekarang sebaiknya Yugao-san beristirahat sebentar. Aku yakin Onii-chan tidak akan mempermasalahkan ini, dia baik-baik saja. Aku sudah pernah melihatnya, dia orang yang kuat."

Yugao mengangguk, lalu kembali berojigi pada Konohamaru, Hanabi, dan Boruto, sebelum akhirnya beranjak menjauh dari sana.

Konohamaru tersenyum tipis. "Kau benar-benar menyayanginya, ya, Hima-chan?"

"Tentu saja. Saat masih kecil, selain Nee-sama, saat senang atau menangis, Yugao-san lah yang selalu ada di sisiku. Dia sudah kuanggap seperti ibuku." Himawari berbalik, lalu berjalan mendekati Boruto.

Konohamaru mengambil ponsel dari saku jasnya, lalu menghubungi seorang maid untuk membawakan P3K dan apa saja yang dapat dipakai untuk mengompres luka lebam itu.

"Onii-chan, apa kau baik-baik saja?" Himawari menunduk, mengamati lebam itu. "Sepertinya sakit."

Boruto tertawa ringan, lalu menggeleng dengan cepat. "Ini tidak sakit dan benar, aku baik-baik saja, Hima."

Sementara itu, Hanabi menunjukkan dengan ekspresinya kalau dia tidak setuju dengan ucapan Boruto. Hanabi tidak sudi jika Boruto harus tersakiti seperti saat ini.

Apanya yang baik-baik saja? batin Hanabi. Matanya masih menatap khawatir Boruto. "Ayo kita ke rumah sakit."

"Ah, tidak perlu. Ini hanya luka kecil. Hanya dengan sedikit kantung es, aku akan baik-baik saja." ujar Boruto masih dengan senyum cerahnya.

Hanabi menyeka air matanya, menggeleng heran dengan sifat Boruto yang tetap tersenyum meski mendapat nasib buruk. "Bagaimana mungkin kau tetap bisa tersenyum setelah terluka seperti ini?"

"Karena kali ini, ada banyak orang yang mengkhawatirkanku." Boruto tertawa lepas, membuat Hanabi terenyuh. "Aku senang."

Konohamaru tertawa. "Dia benar-benar mirip Naruto-Nii, ya!"

"Permisi." Mereka menoleh, seorang maid relah datang membawa kotak P3K, handuk, dan sekantung es. "Konohamaru-sama, ini barangnya, sudah saya bawakan."

Konohamaru mendekat, mengambil barang-barang itu. "Terima kasih, ya."

Maid itu berojigi, berbalik, lalu pergi tanpa sepatah kata apapun lagi.

Konohamaru lalu memberikannya kepada Himawari. "Ini."

Himawari mengulurkan tangannya, menerima, wajahnya tampak bingung. "Kenapa aku?"

"Obati kakakmu, Himawari. Jika Hanabi yang mengobati, luka Boruto mungkin akan semakin parah."

"Itu bohong!" bantah Hanabi, membuat Konohamaru terkekeh menahan tawa.

Himawari tertawa kecil, mengangguk kemudian. "Baiklah, biar aku yang mengobati Boruto-Nii."

♢♢♢♢♢

Boruto duduk bersandar di sebuah sofa panjang yang ada di kamarnya, sementara Himawari dengan sabar mengompres lebam di pipi kakaknya itu di sebelahnya.

Sementara itu, Hanabi, yang sedikit tidak rela, dan Konohamaru, yang susah payah membujuk istrinya, akhirnya melanjutkan sarapan mereka dan menyerahkan semua kepada Himawari. Himawari tidak apa-apa, ia tidak lapar. Lagi pula, dia senang bisa dekat dengan kakaknya, Boruto.

"Ini." Himawari terkekeh ketika melihat Boruto meringis saat handuk dingin itu menyentuh kulitnya yang lebam. "Apa sakit?"

Boruto tersenyum. "Tidak, kok."

Himawari tertawa kecil. "Bagaimana bisa kau tersesat ke kamar para maid, Onii-chan?"

"Saat bangun aku lupa jika aku sudah pindah ke rumah ini. Jadi saat keluar kamar, aku tidak tahu jalan ke lantai bawah." jelas Boruto yang membuat Himawari tertawa lebih dan lebih.

Himawari mengangkat kompres, memasukkannya ke dalam wadah berisi air es, memerasnya, lalu kembali menyentuhkannya ke pipi memar Boruto. "Benarkah? Kalau begitu, bagaimana kalau setelah sepulang sekolah kita berkeliling rumah ini, Onii-chan?" saran gadis itu.

Boruto mengengguk, tersenyum dengan cerah. "Baiklah, aku mau."

Beep, beep! Beep, beep!

Suara itu terdengar, membuat Himawari menyadari sesuatu. "Ah? Onii-chan, bisakah kau memegangnya sebentar?"

Boruto mengangguk. "Tentu."

Himawari menyerahkan handuk itu kepada Boruto. Ia lalu meraih tasnya, mengambil posel canggih itu dari sana, mengecek.

"Ah, aku akan terlambat." Himawari bergumam, namun sayang Boruto masih dapat mendengarnya.

"Ah, aku baru sadar. Kenapa kau tidak segera berangkat, Hima?" tanya Boruto.

Himawari menatap khawatir Boruto. "Bagaimana dengan luka Onii-chan?"

Boruto tertawa ringan. "Ayolah, aku bukan anak kecil. Aku bisa mengompres lukaku sendiri, aku sudah terbiasa." ujarnya.

"Benarkah?"

Boruto mengangguk yakin. "Tentu saja!"

Himawari menghela napas. "Baiklah kalau begitu." Himawari beranjak, membawa tasnya, ia hendak keluar dari kamar Boruto, berhenti sejenak di ambang pintu untuk berpamitan padanya. "Onii-chan, aku berangkat."

"Iya. Hati-hati di jalan, semoga beruntung." Boruto tersenyum, melambaikan tangannya dengan semangat. "Bye, bye!"

"Bye, bye!" Himawari membalas lambaian tangan itu dengan lemas, berat pergi dari kakaknya, sebelum akhirnya keluar dan menutup pintu kamar itu.

Klek!

Baru saja adiknya keluar, suasana kamarnya menjadi sunyi, terasa sama seperti kamarnya yang lama, hanya saja kali ini kamarnya penuh dengan furniture yang lengkap tanpa ada kekurangan sama sekali.

Boruto bersandar, menghela napas, tangannya masih sibuk mengompres wajahnya. "Baiklah, hal buruk apa lagi yang akan menghampiriku hari ini?"

Drrt! Drrt!

Saku celana Boruto bergetar, seseorang baru saja menghubunginya. Ia meraih ponsel itu, mengeluarkan, lalu melihat sebuah nama terpampang jelas di layar ponsel miliknya.

Boruto seketika tersenyum hangat, lebih hangat dari pada sebelum-sebelumnya, lebih hangat dari pada senyumannya ketika melihat tawa adik kecilnya. Senyum itu spesial. Senyum itu adalah senyuman khusus yang hanya akan ia perlihatkan pada orang yang memiliki tempat khusus di hatinya.

Boruto menerima panggilan itu, dengan lembut menyapa seorang gadis di seberang sana. "Ah, halo Sumire-chan. Apa kabar?"

Gadis ungu itu adalah sang empunya ruang khusus di hati Boruto. Bahkan dengan satu panggilan telepon darinya, ia dapat dengan mudah menaikkan mood si pirang itu.

Hubungan mereka sangat dekat, namun sayang, mereka belum saling mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain. Meski mereka tahu perasaan mereka selaras, namun belum ada di antara mereka yang mengatakan kalimat "Aku mencintaimu.".

Boruto yang tidak mau membuat Sumire kesulitan dengan setiap nasib buruk yang harus ia hadapi dan Sumire yang tidak mau menjadi beban bagi Boruto menjadi alasan kuat bagi mereka.

Namun di luar semua itu, hubungan mereka tetap sangat baik. Setidaknya, hingga hari ini.

"Halo, Boruto-kun. Begini, bisakah kita bertemu? Ada hal penting yang harus kukatakan padamu." nada bicara gadis itu, meskipun samar, terdengar lebih berat dan bergetar dari pada biasanya. Namun, Boruto tidak menyadarinya.

Boruto tidak sadar, jika ada helaan napas yang tipis di seberang sana. Mungkikah suara debaran hati sudah menyamarkan suara itu?

Dengan perasaan senang, Boruto menjawab, "Tentu saja. Tapi, kenapa tidak kau katakan saja sekarang?"

Hening sejenak, hanya suara napas yang tersisa di sana untuk hanya beberapa detik. Namun, suara gadis itu kembali terdengar. "Aku tidak bisa."

Perasaan aneh itu sempat muncul, namun Boruto segera menggeleng dan membuang perasaan curiga itu jauh-jauh. "Baiklah, tidak apa-apa kalau begitu. Jadi, boleh kutahu di mana kita akan berbicara?"

"Ramen."

"Apa?" Suara gadis itu menipis dan hampir tidak terdengar, membuat Boruto harus memastikan jika Sumire baru saja mengatakan sesuatu. "Kau mengatakan sesuatu, Sumire-chan?"

"Ayo kita makan ramen dan pergi ke karnaval." pinta Sumire, terdengar sangat memohon.

"Karnaval?" Boruto membeo.

"Iya." Sumire menghela napas. Jelas sekali, itu terdengar bergetar hampir tak tertahankan. "Aku ingin boneka beruang yang besar, makan cotton candy, juga naik komidi putar, lalu makan ramen buatan Ayame-nee saat pulang. Aku ingin melakukan semua itu bersamamu hari ini, apa bisa?"

Boruto mengangguk. "Tentu saja."

"Terima kasih."

"Untuk apa?"

"Segalanya."

"Ha?" Boruto menjaukan teleponnya, takut jika ia salah dengar. "Hei, apa maksudmu, Sumire-chan?"

"Ah, aku harus segera bersiap-siap. Kita bertemu di depan pintu masuk karnaval, ya, Boruto-kun." Sumire terdengar buru-buru, yang pada dasarnya terdengar mengalihkan pembicaraan.

Dengan hati yang mulai tertanam firasat, Boruto meng-iya-kan gadis itu. "Baiklah, sampai jumpa."

Ponsel belum tertutup, meninggalkan nada sunyi yang terasa janggal, sebelum pada akhirnya, Sumire lah yang menutup telepon.

Boruto masih memandang ponselnya. Ia tidak tahu apa, tapi sedikit ada rasa aneh yang ia rasakan di dadanya. Mencoba tidak memikirkannya, mencoba untuk menghilangkannya, Boruto beranjak dari sofa, mandi dan bersiap untuk kencannya bersama Sumire hari ini.

♢♢♢♢♢

Sumire menunggu Boruto dengan tenang di depan pintu masuk karnaval yang tak jauh dari tengah kota itu. Duduk di sebuah bangku, sesekali ia mengedarkan pandangan, melihat apakah Boruto telah sampai atau hanya sekedar menikmati pemandangan di sekitarnya.

Hari ini gadis itu terlihat sangat manis, lebih dan lebih manis dari hari biasanya. Sumire mengenakan pakaian yang sangat pas untuk momen seperti saat ini, terlihat nyaman dan modis. Selain itu, Sumire kali ini memakai make up tipis di wajahnya dan membiarkan rambut ungunya tergerai, membuat kecantikannya yang lembut semakin jelas terpancar. Namun entah kenapa, senyuman itu terlihat sayu.

Lima menit menunggu, Sumire telah menghela napas untuk kesekian kalinya. Namun perasaannya seketika meringan, ketika ia melihat seorang pria pirang dengan mata biru baru saja turun dari bus dan melambaikan tangan kepadanya, tentu dengan senyum cerah khas miliknya juga.

Sumire berdiri, tersenyum hangat, balas melambai tangan kepada Boruto. Pria yang ia sukai itu masih sama, tidak ada yang berubah. Boruto tetaplah Boruto, pria sederhana nan baik hati yang sayangnya selalu menghadapi cobaan karena keberuntungan miliknya yang kosong.

Boruto menyeberangi jalan, berlari mendekati Sumire. Kali ini ia tidak terkena nasib buruk saat dalam perjalanan dan itu membuatnya tambah bersemangat untuk menghabiskan waktu bersama Sumire.

Boruto menyapa Sumire dengan hangat. "Selamat pagi, Sumire-chan."

"Selamat pagi, Boruto-kun." balas gadis itu.

Boruto merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan karena harus berdesak-desakan dengan penumoang lainnya tadi. "Apa kau menunggu terlalu lama, Sumire-chan?"

Sumire tertawa kecil, menggeleng pelan. "Tidak. Hanya sebentar, kok."

"Kau terlihat sangat imut hari ini, Sumire-chan."

Sumire tersentak, pipinya bersemu. "Terima kasih. Aku senang kalau Boruto-kun bilang seperti itu."

Boruto terkekeh, gemas melihat keimutan Sumire hari ini.

"Ah," Sumire berjalan mendekat dengan tergesa-gesa, ia menyadari lebam itu. Gadis itu menatap Boruto dengan khawatir, menyentuh dengan perlahan pipi bergurat itu. "Apa yang terjadi?"

Boruto tersenyum lembut. "Hanya pagi hariku yang normal."

"Normal apanya? Sebaiknya lebih berhati-hati."

"Ahaha..! Baiklah."

Boruto mengamit tangan gadis itu, membawa tangan itu lebih dalam menyentuh pipinya, membuat sang empunya sempat tersentak kecil. Mata mereka saling bertemu, manik violet itu hanyut dalam tatapan mata sebiru lautan yang terasa hangat.

Senyuman Boruto senantiasa di sana, tidak pernah sedikitpun berubah. Sekelebat rasa perih menyentuh hatinya, Sumire tidak kuat untuk tetus memandang wajah pria itu.

Sumire membuang muka, menarik tangannya dengan perlahan dari genggaman penuh kasih sayang Boruto. "Ba-bagaimana kalau kita masuk saja?"

"Ah, ide bagus."

Dengan wajah yang sama-sama memerah, mereka berjalan berdampingan memasuki karnaval. Seperti saat pertama kali mereka ke karnaval bersama, hanya saja kali ini, mereka terang-terangan menyebutnya sebagai kencan. Saling berpegangan tangan, seberapa kuat mereka dapat menahan debaran hati mereka yang terasa berbeda di saat bersama?

---

Karnaval, seperti umumnya, ramai dengan banyak pengunjung. Anak-anak hingga orang dewasa, semua datang untuk menghabiskan waktu yang menyenangkan.

Boruto dan Sumire berjalan santai, berkeliling mencari permainan yang akan mereka mainkan untuk pertama kali. Dan saat bertemu, permainan yang pernah mereka mainkan saat itu langsung menarik mereka.

Sebuah stand melempar kaleng dengan bola terlihat cukup ramai pengunjung. Itu wajar, karena hadiah utamanya benar-benar menarik, yaitu sebuah kalung dengan kristal hijau sebagai hiasannya. Itu terlihat indah dan mahal. Sangat sulit untuk mendapatkannya, yaitu harus bisa menjatuhkan tumpukan kaleng terbesar hanya dengan satu tembakan saja.

"Itu sepertinya sulit." Sumire bergumam ketika melihat setiap orang yang mencobanya pergi dengan tangan kosong. "Tapi itu menarik."

Boruto mendengarnya. Ia lalu menarik tangan Sumire, mendekat pada stand itu. "Ayo kita coba!"

"Eh? Tapi-"

Boruto menoleh, tersenyum lebar. "Kalau belum dicoba kita tidak akan pernah tahu, bukan?" ujarnya.

"Itu.." Sumire menghela napas. Tersenyum tipis, ia lantas mengangguk. "Baiklah!"

"Nii-san!" Boruto memanggil penjaga stand itu.

"Ah, apa kalian ingin mencobanya?"

Sumire mengangguk yakin. "Iya."

Penjaga itu tertawa. "Baiklah, karena kalian pasangan pertama yang ingin mencoba hari ini, maka kesempatan pertama gratis!"

"Eeeeh?!" Boruto terkejut, begitu juga Sumire.

"Benarkah?" tanya Sumire memastikan.

Penjaga itu mengangguk. "Tentu."

Boruto tersenyum senang. "Wah, kau beruntung, Sumire-chan."

Sumire menoleh, mengangguk senang. "Syukurlah..."

"Ini." Penjaga itu menyerahkan sebuah bola kepada Sumire.

Sumire menerima bola itu dengan sopan. "Terima kasih."

"Nah, sekarang silahkan lempar."

"Ayo Sumire-chan, kau pasti bisa!" Boruto mulai menyemangati.

"Baiklah!" Sumire mengangguk, sebelum akhirnya fokus ke arah tumpukan kaleng tiga tingkat di depan sana.

Gadis ini terlihat bersemangat, tapi sayang usahanya akan berakhir sia-sia. Soalnya, kan, kaleng-kaleng itu sudah direkatkan ke meja oleh pemilik stand ini. Penjaga itu menghela napas.

Sumire sudah selesai membidik, saatnya ia melemparkan bola tenis itu. "Hya!"

Bola bergerak kencang tak terarah, jauh meleset dari kaleng-kaleng sasarannya. Saat pengunjung lainnya dan bahkan penjaga stand itu mulai tertawa atau kecewa, keberuntungan Sumire mulai terlihat.

Bola itu memang tidak mengenai kaleng-kaleng itu, namun ia bergerak sangat cepat, memantul ke sana dan kemari. Hingga pada akhirnya, bola itu mengenai kepala sang penjaga dengan keras, membuat penjaga itu kehilangan keseimbangannya, pusing  dan tanpa sengaja menabrak meja, membaliknya, lalu membuat tumpukan kaleng itu porak poranda.

Orang-orang yang melihat seketika menjadi hening, masih memproses apa yang baru saja mereka lihat. Ketika mereka sadar kalau seorang pemenang telah muncul, mereka bersorak senang.

Sumire tertawa ceria, sejenak lupa hal yang harus ia lakukan nantinya. Seorang penjaga wanita dari stand sebelah datang, menggantikan penjaga pria yang terlihat pingsan di atas tumpukan kaleng dan meja yang sudah terbalik untuk menyerahkan hadiah utama, yaitu kalung itu.

Sumire menerimanya, kemudian mengangkatnya ke udara, membuat orang-orang kembali bersorak untuk keberhasilan Sumire.

Boruto datang mendekat, memberi ucapan selamat pada gadis itu. "Selamat, ya, Sumire-chan. Kau memang hebat!" ujarnya memuji.

Sumire tersenyum tipis. "Aku hanya beruntung, Boruto-kun."

Boruto memperhatikan kalung yang ada pada genggaman Sumure dengan antusias. "Itu kalung yang indah, pasti cocok untukmu!"

Sumire menggeleng lembut. "Tidak."

"Eh?" Boruto menatap Sumire bingung. "Kenapa?"

"Itu karena kalung ini yang akan cocok untukmu, Boruto-kun." Sumire memangkas jarak antara dirinya dan Boruto, berjinjit dan mendongak untuk memasangkan kalung itu pada leher Boruto. "Mari kita lihat."

"Eh?"

Sumire telah selesai memakaikan kalung itu. Gadis itu tersenyum puas, memang benar kalung itu terlihat cocok untuk Boruto. "Lihat, sangat cocok."

Boruto menunduk, tersenyum melihat kalung yang telah tergantung di lehernya itu. "Kau benar."

"Itu hadiah untukmu."

"Eh? Tapi, untuk apa?"

"Untuk semua." Sumire tersenyum cerah, membuat Boruto bingung dan sama sekali tak mengerti dengan apa yang Sumire pikirkan tentangnya.

"Sumire-chan, ini terasa..."

"Ayo kita naik itu!" Sumire menyela ucapan Boruto, menunjuk antusias sebuah komidi putar di sana. Sumire memeluk tangan Boruto, menarik pria itu untuk ikut bersamanya menaiki wahana yang wajib dinaiki saat ada karnaval seperti saat ini.

Boruto yang awalnya bingung dan merasa aneh pada awalnya mencoba menyelidiki apa maksud Sumire. Tapi pada akhirnya, ia melupakannya, hanya dapat mengikuti kemauan gadis itu dan tersenyum ketika melihat senyuman cerah Sumire.

Boruto berharap ia dapat melihat senyuman dan tawa gadis itu untuk selamanya. Semoga.

---

Setelah membeli tiket dan mengantre beberapa menit, akhirnya giliran mereka untuk naik tiba juga.

Setelah duduk dengan nyaman dan setelah pintu ditutup oleh petugas, komidi mulai berputar, membawa mereka melihat pemandangan kota di pagi hari dari ketinggian.

Komidi berhenti berputar sejenak, membuaf mereka tergantu di puncak. Boruto terlihat menikmati setiap detil pemandangan di bawah sana, gedung-gedung dan kendaraan yang terlihat kecil, menyita atensinya.

Sementara itu Sumire juga menikmati pemandangan. Bukan kota di bawah sana, melainkan seorang pria yang ia cintai di depannya saat ini yang sedang ia nikmati senyumannya.

Sumire mengambil ponsel dari tas kecilnya. Ia lalu berpindah tempat duduk ke samping Boruto.

"Hati-hati, Sumire-chan." Boruto mengingatkan. Sedikit was-was, karena sekarang temoat mereka sedikit bergoyang karena gerakan Sumire. "Duduklah."

"Iya." Sumire akhirnya dapat duduk di samping Boruto.

"Kenapa tiba-tiba pindah?"

"Karena ini." Sumire mengangkat ponselnya, fiture kamera depan telah siap sedia. Sumire merangkul Boruto, mengajak pria itu berfoto bersama. "Ayo, lihat kemari, Boruto-kun!"

"Eh-?"

"Smile!"

Cekrek!

Sebuah foto bersama telah didapatkan. Sumire langsung mengeceknya di galeri, lalu tertawa kecil ketika melihat ekspresi wajah Boruto yang belum siap sama sekali untuk masuk foto.

"Kenapa kau tertawa?" tanya Boruto yang penasaran.

"Lihatlah!" Sumire memberikan sebentar ponselmya pada Boruto, membiarkan pria itu melihat wajah konyolnya.

"Eh?!" Boruto terlihat terkejut, tidak terima dengan hasil foto bersamanya. "Kenapa seperti ini?!"

"Itu 'kan wajahmu sendiri, Boruto-kun." Sumire tertawa lepas.

"Tapi ini karena aku belum siap." keluhnya.

"Baiklah, baiklah." Sumire menghela napas, menghentikan tawanya. Ia lalu mengambil kembali ponselnya. "Kalau begitu, ayo kita coba sekali lagi."

Boruto mengangguk setuju. "Baiklah."

Sekali lagi Sumire mengangkat ponselnya, kamera depan sudah siap mengambil foto mereka berdua. Dengan saling menempelkan kepala dan dengan senyuman terbaik, mereka sudah siap, terutama Boruto.

"Smile!" ujar Sumire.

"Smile!" begitu juga Boruto.

Cekrek!

Sekali lagi, sebuah foto kebersamaan mereka telah didapatkan. Hanya saja, kali ini bukan senyuman mereka berdua, tapi sebuah ciuman hangat di bibirlah yang baru saja terabadikan.

Boruto membatu ketika tiba-tiba Sumire mendaratkan ciuman hangat ke atas bibirnya di saat-saat terakhir tombol foto tertekan. Ciuman yang terasa hangat, baru saja pria itu dapatkan dari gadis yang ia cintai.

Beberapa saat mereka dalam posisi mesra itu, akhirnya Sumire menarik diri karena napasnya yang telah menipis. Wajah mereka berdua sama-sama memerah, mirip seperti kepiting rebus.

Boruto menyentuh bibirnya. "Sumire-chan, apa itu..."

"I-i-itu tadi ciuman pertamaku, ja-jadi ingatlah selalu, oke!" Sumire mengaku penuh malu dengan wajah yang sudah entah kemana ia buang dari pandangan Boruto. Wajahnya terasa panas, hatinya berdegup kencang.

"Terima kasih." ujar Boruto.

"Sama-sama." ujar Sumire.

Selama sisa waktu, mereka hanya dapat saling membuang muka, terjebak dalam perasaan malu untuk menatap satu sama lain. Bahkan untuk memanggil nama, mereka sudah tidak sanggup.

Seharusnya kalimat pengakuan cinta dikatakan di saat seperti ini, tapi tidak ada di antara mereka berdua yang sanggup untuk mengatakannya. Semuanya tertahan oleh detak jantung yang bekerja tidak teratur. Sangat cepat. Hampir membuat sesak.

Cuaca yang tiba-tiba terasa gerah, apakah mereka dapat menahan diri ketika mereka bersama? Atau, sebuah ciuman kedua akan mereka ciptakan?

Entahlah. Tapi, satu hal yang pasti, foto itu akan menjadi kenangan terbaik bagi mereka berdua. Percayalah, bahkan sampai akhir hayat telah tiba, mereka tidak akan pernah melupakannya.

...Bersambung...

Catatan Author :

Selamat menikmati part 1 ini dan silahkan menunggu part 2-nya!

Jangan lupa tinggalkan komentar untuk membantu pengembangan cerita ini, oke👌

Danke!👋

Continue Reading

You'll Also Like

234K 19.6K 33
Bagaimana jika seorang pendendam bertransmigrasi ke tubuh antagonis yang sama-sama di benci keluarga nya? Aruga Grasion, seorang pendendam di keluar...
176K 15.3K 108
bertahan walau sekujur tubuh penuh luka. senyum ku, selalu ku persembahkan untuknya. untuk dia yang berjuang untuk diri ku tanpa memperdulikan sebera...
643K 11.8K 20
suka suka saya.
433K 594 4
21+