Memoriografi

By inziati

27.8K 5.6K 746

「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
25
26
27
28

24

454 158 9
By inziati

TAMAN Perumahan Bukit Persada dibanjiri daun kersen cokelat nan kering. Beberapa menggunduk di dekat batang pohon, sebagian tersapu angin ke segala arah bersama debu dan tanah. Ranting-ranting pohonnya sendiri menyisakan daun-daun tua berwarna hijau gelap, menunggu takdir serupa dengan rekan-rekan terdahulunya di bawah.

Arun menepi lalu memarkir motornya di dekat bangku taman. Dihalaunya dedaunan yang menghalangi jalannya dengan tendangan kecil-kecil. Berhubung tak bawa atau beli tisu, Arun mengelap bangku menggunakan struk dari minimarket. Niatnya hendak bersantai sejenak, sampai mampir dulu untuk membeli camilan dan minuman, tidak tahunya malah begini. Mana dia harus memakai kantong plastik pula karena lupa membawa tas.

Bagaimana ceritanya pohon ini bisa sekarat sebelum musim kemarau?

Arun mengelap bangkunya sekali lagi sebelum berani duduk, lalu membuka camilannya—biskuit berbungkus hot pink-turquoise yang dia coba kali pertama persis di sini. Hanya ini yang sedang diskon. Dan karena Arun sudah datang dengan kemampuan bermotornya yang baru dia klaim lagi, sayang jika tak dihabiskan barang semenit-dua menit dulu. Dia melahap satu biskuit, lalu perlahan manis permen karet dan segar mint meleleh di lidahnya. Yah, biarlah pohon ini saja yang mati. Harapannya jangan. Toh, setelah meranggas, bukankah pohon akan kembali rimbun? Entahlah, Arun selalu meragukan pengetahuannya tentang Biologi, tetapi intinya dia tak perlu terlalu khawatir dengan keadaan taman ini. Bukan urusannya pula. Pengembang perumahan ini yang seharusnya bertanggung jawab.

Ceracau dalam hati Arun mendadak terhenti.

Otaknya menampilkan sebait memori. Perumahan Bukit Persada Jalan Seroja nomor 12A. Adakah yang salah dari kalimat itu? Kalau tidak, mengapa alamat keponakan Ibu Lis yang betul justru di permukiman lain? Dan apa maksud fenomena pohon kersen kering ini? Apa yang kering? Inspirasinya? Motivasinya? Hati nuraninya yang membiarkan Ibu Lis, wanita usia senja dengan keterbatasan kemampuan berteknologi yang ditandai sering salah pencet, menerima buket kuyu?

Diminumnya teh buah dingin—diskon juga—yang menguatkan sensasi mint di kerongkongannya. Masa bodoh. Pulang saja. Lagi pula, untuk apa menghabiskan waktu di taman jelek begini.

Sesaat sebelum berbelok ke gerbang perumahannya, sebuah poster putih-hitam yang ditempel gardu listrik menangkap perhatian Arun. Dia menepi untuk membacanya.

Kembalikan Mekarnya Mekarjati

Semuanya ditulis dalam huruf blok dekoratif, seperti font gaya batu. Di sekelilingnya, terutama di bawah dan sisi-sisi kalimat itu, bunga-bunga kartun tumbuh liar hingga ujung daun dan kelopaknya menyentuh beberapa huruf. Mulai dari kacapiring hingga semacam lili, ledakan bunga itulah yang awalnya mengalihkan pandangannya dari jalan meski tanpa warna.

Apa maksud poster ini?

Jika ada keterangan dari partai mana, mungkin Arun paham setelah mengaitkannya dengan berita terkini. Atau setidaknya organisasi. Barangkali dari lembaga non-profit yang bergerak di lingkungan, persatuan tukang bunga, atau apa. Tidak ada. Tak ada tulisan selain propaganda tiga kata itu. Posternya juga masih mulus, seperti baru dipasang paling lama dari kemarin. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal tinggal pekerjaan mahasiswa yang kebetulan dapat dosen nyeleneh.

Arun menekuri garis tebal dan tipis di gambar bunga lewat matanya. Lama-lama, dia menggunakan telunjuknya untuk membuat trek imaginer yang mengelilingi teks di tengah. Ceritanya, ujung daun ini rumahnya, lalu dia berjalan ke depan, berbelok ke arah rumah Haris di bukit. Lalu Arun naik, kemudian turun lagi, berbalik ke arah kota dan melewati pasar malam, terus sampai sisi lain bukit tempat Bestari Holistic. Jangan lupa lampu merah dan jalan satu arah. Huh. Padahal dia hanya iseng, tetapi garis-garis putik dan mahkota bunga ini ternyata bisa saling menyambung juga.

"Hei!"

Bahu Arun terlonjak. Suara bapak-bapak itu datang dari belakang, tetapi sosoknya belum tampak sampai Arun menengok ke depan sebuah kios ponsel. Pakaiannya kaus polo tanpa bet atau sablonan identitas apa pun. Arun ingin kabur, tapi akal sehatnya lebih mementingkan kesopanan.

"Ya, Pak?" jawab Arun setelah menelan ludah.

"Kamu yang tempel ini?"

"Ng—nggak, Pak, saya cuma lihat."

"Kata mas-mas di konter tadi, orang yang nempelin itu pakai motor tipe ini."

"Setengah penduduk Mekarjati juga punya motor ini, Pak."

"Tapi kamu betul tadi datang pakai motor ini?"

"Sungguh, Pak, bukan saya. Kalau saya pelakunya, saya nggak bakal balik ke sini."

"Berarti benar kamu balik lagi ke sini habis tempel poster itu?"

Ya Tuhaaan. "Pak, maaf, saya pulang dulu, ya. Asli, ini bukan ulah saya. Gambar saya jelek. Permisi."

"Eh—hei, tunggu!"

Arun mengibrit seketika dengan motornya yang ikut dituduh itu, tanpa meninggalkan apa pun selain salam penutupnya dan asap knalpot. Ada apa dengan hari ini? Sejak kedatangan Faza, ada saja yang menimpa dirinya. Arun tak buta huruf, jadi bisakah Tuhan mengirim tanda yang lebih jelas bahwa kasus Ibu Lis harus dibuka lagi? Atau tak ada yang lebih jelas lagi dari ini?

Ya, ya, Arun mengerti sekarang. Misinya belum tuntas, meski semuanya sudah memenuhi syarat pengantaran pesanan. Orlin menghilang. Buket Ibu Lis belum tentu sampai pada pemesannya. Arun bisa memeriksanya untuk terakhir kali, demi kewarasannya. Dan mudah-mudahan Orlin dapat ditemukan. Dengan selamat, tentunya. Dan baik-baik saja.

Arun bertekad dalam hati, jika dia menemukan satu lagi keanehan di hari ini, dia akan menemui keponakan Ibu Lis lagi dan memintanya mengantarkan langsung ke beliau.

Belum juga masuk ke rumah, Arun sudah menemukan tanda ketiga.

Nyaris semua bunga kenanga di pohon depan rumahnya gugur. Arun baru pergi tiga puluh menit! Sampai satu jam juga tidak. Dia hanya ke Bukit Persada, balik lagi, lalu—lalu apa semua ini?!

Pohon kenanga ini muncul di mimpi buruknya dengan Orlin. Omong kosong bila ada kaitannya dengan itu, bukan? Mengapa pula Arun harus berpikir ke sana? Padahal bisa jadi hama, atau memang waktunya, tapi mustahil segitu banyaknya.

Syukurlah Arun mendapati jawabannya—yang jauh dari kata mistis—begitu Bu RT dan anaknya yang masih SD menghampirinya. Beliau membungkuk sungkan.

"Run, permisi," katanya. "Ini si Ujang tadi metik-metikin bunga ini. Awalnya Ibu kira dia bercanda, eh, ndilalah dihambur segini banyak. Maaf, ya. Tolong sampaikan juga ke Mbak Drina. Tadi kami panggil, tapi kayaknya lagi di luar."

Kenzie, yang dipanggil Ujang, mengangguk. Matanya kering seperti habis menangis. "Maaf, Kak Arun. Tadi udah mainan bunganya."

Otak Arun memilah respons. Sepertinya penjelasan Bu RT lebih mendatangkan tanya baru ketimbang meminta jawaban dahulu. Dia akhirnya membalas, "Ya, Bu. Terima kasih infonya. Mbak Drina, sih, tadi di rumah. Mungkin di ruang kerjanya jadi nggak kedengaran. Nanti Arun sampaikan."

"Makasih, Arun. Maaf lagi, ya," ujar Bu RT.

Arun menoleh pada Kenzie. "Biasanya bunga ini juga gugur kalau udah tua, tapi kalau masih di pohon, jangan dipetikin. Emangnya kenapa, sih?"

Kenzie menyengir kuda. "Iseng aja, Kak."

Apa-apaan?! Apa semua bocah memang begini? Arun mendecak halus, takut Bu RT balik memarahinya meski beliau sedang memelototi Kenzie, tetapi ingin pula memberi efek jera. "Nggak boleh gitu, ya. Kan, udah kelas dua. Udah tahu mana yang baik, mana yang nggak. Oke?"

"Oke," ucap Kenzie lemah.

Bu RT meminta maaf sekali lagi, yang kemudian diyakinkan Arun bahwa permintaan maafnya diterima, setelah itu berlalu seraya berbisik cukup keras pada Kenzie membawa nama Bunda dan 'untung aja.' Arun mengangkat pundak. Dugaan bahwa Mbak Drina di ruang kerja dikuatkan dengan bukti pagar yang tidak terkunci. Begitu masuk, pintu ruang kerjanya memang tertutup. Hipotesis Arun terbukti. Diketuknya pintu dan dipanggilnya nama kakaknya.

"Ya?" jawab Mbak Drina malas.

"Mbak, tadi Bu RT datang. Ujang metikin kenanga terus dibuang-buang di depan rumah."

"Ha?" tanggapnya. "Terus sekarang gimana?"

"Coba Mbak keluar dulu. Lihat kerusakannya kayak apa."

"Nanti, deh. Sekarang bilang aja ke Bu RT nggak apa-apa, sama kasih tahu Ujang jangan dipetik tanpa izin. Daripada urusan sama Bunda."

Arun menyandarkan dahinya ke pintu. "Udah, Mbak. Udah semua."

Mbak Drina tak membalas lagi. Arun kembali mengetuk, tetapi tetap hening. Salah, masih ada bunyi-terutama snip gunting dan srek kursi yang bergeser. Seserius apa pun Mbak Drina saat bekerja, pintunya tidak sampai ditutup dan dikunci.

Tunggu dulu. Dikunci? Arun mengecek celah di antara kosen dan pintu, dan ternyata pintunya tak terkunci. Diturunkannya gagang pintu sampai berbunyi klik, lalu dikuaknya pelan. "Mbak Drin—"

"Sebentar lagi!"

"Apanya yang sebentar—whoa."

Buket. Buket Mbak Drina. Buket buatan Mbak Drina pesanan Ibu Lis.

Dan bukan hanya satu, tapi dua.

Bunga lisianthus mengelilingi ranunculus dan mawar, berhias dedaunan kecil, diikat pita warna senada. Kembangnya mekar sempurna, segar seperti baru dipetik dari halaman. Tangkai-tangkai yang belum dirangkai disimpan rapi di meja dalam bungkus koran, beberapa masih diikat, dan jumlahnya lebih banyak dari yang Arun terakhir lihat. Wangi lembut menguar.

Apa itu daun kering, poster mahasiswa, kenanga? Ini pertanda terjelas Arun!

"Ketahuan, deh." Mbak Drina tersenyum jail. "Nggak jadi surprise."

"Itu semua pesanan Mbak?" tanya Arun takjub.

Mbak Drina mengangguk cepat. "Kaget, kan? Sama kayak Mbak lima hari lalu."

"Emang produknya belum dihapus?"

"Udah ditandai 'habis.' Tapi habis itu ada yang tanya, bisa nggak kalau pesan lagi. Dan ... tahu, nggak, pembeli itu tahu dari mana? Dari kamu sama Orlin yang salah datang ke rumahnya!"

Arun baru membuka mulut ketika Mbak Drina berdiri lalu menunjukkan nama pemesan baru itu di ponselnya. Kalis H.—bukankah itu salah satu Lis yang mereka datangi bersama Haris? Yang suaminya juga sedang di rumah. "Oooh, ingat. Kok bisa?"

"Katanya, waktu kamu ke rumahnya, dia baru tahu nama Drina Craft. Nggak lama, adiknya yang mau nikah minta tolong cariin vendor buket pengantin. Baru ngobrol sama Mbak di tengah-tengah, eh, temannya yang mau photoshoot juga tanya buket. Ya, udah. Jadi, yang masih dibungkus ini buat photoshoot dua buket, dan satu yang jadi ini buat resepsi nanti malam. Tenang, buketnya mau diambil di sini, kok. Nggak perlu antar-antar, apalagi sampai cari alamatnya dulu."

Jika hanya satu buket yang merupakan pesanan ... "Terus, satu lagi yang udah jadi itu?"

Senyum Mbak Drina beralih dari ceria menjadi penuh arti. "Mbak mau ganti buket Ibu Lis yang layu. Mbak nggak enak udah kasih buket yang kurang segar ke pembeli, walau, ya ... tahu sendiri gimana repotnya urusin pesanan itu. Selain jaga kualitas, Mbak pikir Ibu Lis tetap pantas dapat yang terbaik. Apalagi kata kamu Ibu Lis juga udah berumur, jadi ... kalau kamu bersedia, Mbak boleh minta—"

"Arun aja yang anterin lagi."

"Kamu mau?" Mbak Drina mendongak. "Tahu alamat saudaranya, kan?"

"Tahu. Nggak jauh dari patung Pegasus, kok. Nanti Arun ke sana."

Mbak Drina mendekat dengan satu buket yang sudah jadi. "Makasiiih, Arun ganteng. Pulangnya Mbak jajanin GoFood, deh. Atau kamu mau dibikinin kue?"

"Apa aja, Mbak," ucapnya. Diterimanya buket baru itu. "Ini beneran puji Arun atau ada maksud lain?"

"Beneran, lah! Cuma bersyukur aja punya adik baik dan ganteng. Dan karena udah berjuang cari alamat Ibu Lis sampai jadi jalan buat rezeki kakaknya."

Arun tak bermaksud untuk tersenyum, tetapi dia melakukannya. Wajah semringahnya muncul seiring rongga dadanya terasa makin ringan, untuk berbagai alasan. Mbak Drina. Buket Ibu Lis. Perjalanan mengantarnya. Atau sesederhana keberadaannya.

Dibalasnya Mbak Drina dengan, 'sama-sama, Mbak cantik' dan cengiran. Baru saja Arun hendak berbalik, pandangannya jatuh pada bunga-bunga yang masih dibungkus. Mawar, ketulusan. Ranunculus, menarik. Lisianthus, seumur hidup. Seperti seseorang. Biasanya Mbak Drina membeli lebih dari yang dibutuhkan untuk berjaga-jaga, jadi tak ada salahnya mencoba.

"Mbak," panggil Arun. "Sebelum pergi, boleh minta satu lisianthusnya, nggak?"

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 128K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
3 Dimensi By Dai

Teen Fiction

3.8K 748 33
Tentang Arza, yang kehilangan alasan untuk memikirkan masa depannya. Dan tentang Abil, yang membuang masa lalunya, pun memilih persetan dengan yang n...
2.7K 546 21
Kue ulang tahun dan lilin. Biru dan Grace. Persamaan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lahir di tanggal yang sama dan tinggal di lingkungan yang s...
15.2K 2.9K 33
ROMANCE-COMEDY | NOVELLA | END Lima gadis melakukan santet karena sebuah keisengan dan rasa penasaran. Namun santet mereka gagal dan justru mereka ha...