Memoriografi

By inziati

27.8K 5.6K 746

「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi... More

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

11

589 171 8
By inziati

BENAR-benar sulit dipercaya.

Bukan, ini bukan tentang pemandangan rumah di foto pertama. Dinding kuningnya biasa saja, jendelanya juga hanya persegi berdaun dua. Tanaman dalam pot berjajar di satu sisi halaman depannya dan kira-kira masih setinggi paha orang dewasa. Satu-satunya yang membuat Arun penasaran hanya nomor rumahnya karena tak ditampakkan. Bisa jadi nomor 12A.

Foto kedua juga tak ada yang istimewa. Sebuah buku jurnal bersampul kulit cokelat muda. Kulit sapi? Sintetis? Kalau Mbak Drina di sini, pasti Arun sudah diberitahu bedanya. Tak ada nama pemilik di sampul jurnal itu, tak ada pulpen di sampingnya pula. Penutupnya hanya ikatan tali sederhana dan sehelai kertas terjepit tak sejajar di tengah-tengah, seakan disobek dari buku lain lalu diselipkan di sana. Selain kertas itu, rasanya tak ada lagi yang mencurigakan.

Yang tak masuk akal adalah, mengapa Orlin sampai harus mencetak fotonya seukuran poster begini?!

"Terniat." Hanya itu komentar Arun sambil bertopang dagu.

"Ya, harus, dong!" balas Orlin. "Kamu mau mata kita juling gara-gara perhatiin foto hasil kiriman yang udah dikompres aplikasi chat? Kalau besar begini, kan, kita jadi bisa lihat detailnya."

Wow, oke. "Ini kamu masukkin ke Remini juga?"

"Plus Photoshop. Brightness dan contrast adalah jalan ninjaku." Orlin menjentikkan jari dua kali. "Ayo, fokus. Apa hal pertama yang mengganggu kamu dari dua foto ini?"

Arun mengambil foto pertama. Ternyata besarnya masih sedikit lebih kecil dibanding poster Manchester City yang dia dapatkan dari tabloid. Didekatkannya foto itu, lalu diamatinya jengkal per jengkal. Tak ada yang mengganggunya. Rumah Ibu Lis yang di bukit atau Lilis yang di Seroja Indah bahkan lebih menarik perhatiannya ketimbang rumah secerah matahari ini.

Tunggu. Ada satu. "Kenapa lampunya nyala? Ini masih siang, kan? Penghuninya pergi?"

"Bukan siang, ini efek brightness yang saya naikkin. Kemungkinan foto diambil menjelang magrib, karena ini lampu sensor yang nyala kalau sekitarnya udah redup." Orlin menunjuk lampu yang dimaksud. "Jadi bisa aja penghuninya ada di dalam, bisa juga lagi di luar."

Arun mengangguk-angguk. Perhatiannya kembali pada foto. "Kayaknya ... pemilik rumah ini suka warna filter kunyit. Cat dindingnya kuning. Potnya oranye, gradasi dari tua sampai muda. Cuma kosen jendela yang warna putih. Ibu Lis pesan buket warna krem-krem gitu, kan? Cocok, dong."

Orlin mendelik. "Ya, kalau betul ini rumah Ibu Lis."

"Lah?" tanya Arun heran. "Terus ngapain Ibu Lis kirim foto ini ke kamu?"

"Selain foto, Ibu Lis juga bilang sesuatu, tapi bukan tentang rumah ini. Lihat lebih teliti. Coba cari sesuatu yang tersembunyi di situ."

Apa lagi? Arun menajamkan fokusnya. Dia tak mau membuang waktu, tapi dia juga enggan menyerah dan mungkin membuat Orlin menganggapnya tak kompeten. Arun percaya matanya cukup jeli menangkap keganjilan seperti ketika dia bermain Another Case Solved. Namun, bagaimana mau membuktikan ini bukan rumah Ibu Lis kalau Ibu Lis saja dia tak kenal?

"Oke." Orlin menggeser fotonya sedikit. Telunjuknya mengarah ke satu objek. "Ini. Karung putih di dekat pot oranye tua. Kelihatan?"

"Ya, tapi tulisan di depannya nggak jelas."

"Itu tanah Lembang," jelas Orlin. Dia menunjukkan ponselnya yang memuat gambar karung tanah Lembang dari mesin pencarian. "Sama, kan? Pemiliknya seniat itu sampai beli tanah organik segala. Masalahnya, yang ditanam di sini tabulampot, bukan bunga. Kenapa seseorang yang hobi bertanam malah repot-repot beli buket? Kenapa nggak sekalian tanam mawar atau ranunculus aja? Dan kalau dia alergi atau memang nggak suka bunga, kenapa malah pesan buket buat dirinya sendiri?"

Arun hendak memeriksa jenis pohon buah di pot itu saat Orlin justru menggantinya dengan foto kedua.

"Sekarang ini. Buku ini mungkin punya Ibu Lis karena kita nggak bisa lihat isinya. Tapi, kita bisa lihat buku ini pemberian seseorang bahkan sampai ke kertas yang terselip itu."

"Karena nggak ada identitas apa-apa di sampulnya?"

"Salah satunya. Kita juga bisa lihat permukaan sampul itu. Mulus, nggak ada bekas ditulis atau benturan lain yang bikin buku ini punya ciri khas. Seakan pemberinya baru beli jurnal ini terus langsung dikasih ke Ibu Lis. Dan kertas selipannya—" Kuku Orlin menggaris pada bagian kertas yang dimaksud. "—punya merek. Kalau kamu stationery enthusiast, kamu pasti nggak akan sembarangan sobek kertas bermerek ini dan menaruhnya sembarangan juga, apalagi sampai ujungnya lecek begitu. Kertas itu ada di sana untuk kegunaannya, bukan prestise-nya. Ada yang dicatat di dalam buku dan kertas itu. Sesuatu yang penting. Pesan. Pengingat."

Mereka berdua terdiam.

"Antara tujuh puluh delapan sampai delapan puluh enam persen, kemungkinannya pemilik rumah ini orang yang sama dengan yang memberikan jurnal. Dan Ibu Lis," Orlin memelankan suaranya, "yang membutuhkan isi buku itu, adalah seorang penderita amnesia."

"Apa?"

"Saya tahu." Tangan Orlin terangkat satu. "Tapi sebelum jadi plot device sinetron, amnesia itu nyata."

"Saya juga tahu amnesia beneran ada. Tapi bisa aja itu lupa biasa. Atau parahnya short-term memory."

"Bisa. Cuma kamu lupa ada satu petunjuk lagi—pesan Ibu Lis. Isinya gini." Ponselnya ditunjukkan lagi. Orlin membacakannya. "'Teh, maaf lagi di rumah? Kemarin halaman berapa, ya?'"

Kening Arun mengernyit. Seketika, dia menyeringai. "Semuanya salah kirim?"

Orlin menunjuknya dibarengi decakan lidah. "Bingo. Satu lagi, kalau cuma memori jangka pendek, pasti caregiver-nya dekat. Beda ceritanya kalau masih di rumah sakit dan keluarganya bergantian menjaga karena kesibukan masing-masing."

Makin lama, Arun makin yakin Ibu Lis sengaja membuat permainan ini untuk Orlin. Terutama setelah penemuan hari ini. Salah kirim. Ibu Lis sempat memberi lapak Mbak Drina satu bintang. Betulkah itu hanya jari yang terpeleset? Atau ulah amnesia jika Orlin benar?

"Kita bisa periksa rumah sakit terdekat." Arun mengusulkan.

Wajah Orlin mengerut. "Berapa 'Ibu Lis' yang udah kita temuin, Run? Lima? Tujuh? Berapa banyak lagi yang ada di rumah sakit? Itu juga kalau kita bisa ketemu sebelum perawatnya panggil satpam."

"Oke, oke. Kita cari lokasi rumah ini dan datangi Teteh penghuninya."

"Caranya?"

Arun mengetuk-ngetukan kukunya. "Google Reverse Image."

"Udah coba. Nggak keluar hasil yang cocok. Tapi itu pertanda baik karena artinya rumah ini nggak dijual atau apa. Kamu tahu, nggak, kira-kira perumahan mana yang modelnya begini?"

Susah. Tiap rumah juga bisa dibuat model seperti ini zaman sekarang. Arun menatap Orlin lurus. "Kenapa nggak tanya ibu kamu aja?"

Orlin tertangkap seakan baru saja menelan tomat busuk. "Kamu baca kartu namanya."

"Tunggu." Arun berdiri. Sebuah kemungkinan tak mengenakkan tebersit di pikirannya. "Jangan bilang ibu kamu nggak tahu kamu lihat data pemilik lama rumah Bukit Persada? Kamu nggak diam-diam ke kantornya terus buka-buka dokumennya, kan?"

Mulut Orlin terkatup rapat.

"Orlin ...?"

"Cuma sedikit! Itu juga awalnya nggak sengaja, sumpah. Tapi saya betulan tanya ke Mama, kok. Beliau cukup strict soal kerjaannya, dalam artian nggak boleh ada yang utak-atik, jadi saya juga—"

"Saya nggak mau ikutan kalau kamu ngelanggar kode etik."

"Iya, iya! Saya janji! Ayo balik lagi ke rumah ini! Waktu kita nggak banyak dan kita harus langsung gerak. Beneran kamu nggak lihat apa-apa lagi di fotonya?"

Pengalihan isu. Klasik. Namun ya, biarlah itu jadi urusan Orlin. Arun menelusuri foto pertama kembali. Satu hal langsung mencuri perhatiannya; sesosok pantulan di jendela.

"Anak ini," tunjuk Arun, "pakai seragam sekolah. SD apa yang seragam olahraganya ungu-putih?"

"Nggak usah sampai situ." Orlin tersenyum. "Ingat anak-anak yang saya ajarin kalimba? Dia salah satunya. Siang ini, habis makan, kita pergi ke paling ujung kompleks Bukit Persada."

Mbak Drina menggeleng-geleng di hadapan bunga dari buketnya, dan itu bukan gelengan yang bagus. Desahan lelah lolos dari bibirnya. Dua ujung jarinya memutar-mutar setangkai ranunculus peach, kemudian berhenti kala Mbak Drina menarik helaan napas yang kedua.

"Kamu pergi nggak usah bawa buket juga nggak apa-apa, kan?" katanya. "Mbak mau coba cari cara dulu buat betulin lagi bunga-bunga ini."

Sejujurnya, Arun sangsi bunga-bunga itu bisa 'betul' kembali. Paling hanya mencegah agar tak terlalu kuyu hingga lusa. Namun, di situasi seperti ini, Mbak Drina jelas tak memerlukan pendapatnya. Dia mengangguk sebelum melirik ke luar sebentar. "Nggak apa-apa, Mbak."

"Kamu capek, ya, cari-cari alamat terus?"

Arun menoleh. "Kenapa, Mbak? Mau cancel pesanannya?"

"Nggak bisa. Kan, udah ditandai 'Pesanan Diterima'. Udah diubah juga bintangnya jadi lima. Mbak cuma khawatir kamu enek harus pusing-pusing keliling Mekarjati cuma buat buket bunga. Kalau memang udah nggak sanggup, biar nanti Mbak yang bilang ke Ibu Lis."

Rumah-rumah, jalanan, sampai kedai yang didatanginya bersama Orlin terlintas di benak Arun. Dia memang capek saat memegangi buket dan naik-turun motor demi mengunjungi alamat yang salah. Dia juga pusing memikirkan apa lagi yang harus dibedah dari petunjuk Ibu Lis. Namun, dia bisa istirahat dan membeli jajanan ketika sudah lelah, dan dia tak bingung sendirian karena ada Orlin. Jika memang masih bisa, Arun akan terus mencoba.

Di balik itu semua, pengalaman ini baru baginya. Sefamilier apa pun kotanya ini, Arun ternyata menemukan detail lain yang dia lewatkan, atau memang belum tahu saja. Perumahan mungil di batas bukit. Bagian dalam Green Garden. Minuman diskon di minimarket yang disusun berdasarkan merek terbaru. Kadang tersisip di bayangan Arun seasing itukah seumpama dia tinggal di bawah atap lain, pada tahap hidup selanjutnya, saat hari paling biasa bisa jadi petualangan. Atau tidak juga.

Arun selalu mendapat kenyamanan dari hal-hal yang telah dia pahami, seperti Mekarjati. Mungkin ini saatnya Arun berlatih—atau barangkali sebetulnya mampu—menerima kelak semua harus berubah.

Ya, bicara memang enak. Buktinya, Mbak Drina masih dia repotkan. Hubungannya dengan Jia di situ-situ saja. Dua perempuan terdekatnya masih kalah dengan Ibu Lis.

"Sanggup, kok," jawab Arun akhirnya.

"Pokoknya kalau ada apa-apa kasih tahu, ya," pesan Mbak Drina tepat sebelum Orlin mengklakson. "Kamu lebih penting daripada jualan Mbak."

Arun salam pamit lalu bergestur salut dengan kedua jari di pelipis.

Memasuki Perumahan Bukit Persada kembali, Arun seperti diingatkan awal-awal dia menganggap ini hanya pengantaran paket biasa. Hanya sejenak dia melamun karena Orlin segera menemukan tempat parkir di lapangan dekat masjid dan memberhentikan motornya. Anak-anak sepantar SD kelas 4-5-kemungkinan sudah libur dari seminggu lalu-berlari riang dalam kaus dan celana longgar, sandal jepit, serta rambut dan wajah yang bercampur debu lapangan. Dua dari mereka perempuan, dan satu dari lima laki-laki yang sedang mengejar bola cukup mirip dengan sosok pantulan di foto rumah kuning; rambut cepak plus tahi lalat di dagu.

"Itu dia." Orlin menunjuk, memperjelas tujuannya. "Sebentar."

Saat Orlin maju selangkah, bola dari para bocah bergulir ke arah mereka, lalu menyentuh kaki Arun.

Semuanya terjadi secara otomatis bak menekan tombol play. Saat ini bukan pikiran maupun hatinya yang bertindak, melainkan muscle memory. Ujung kakinya lekas mencongkel bola itu hingga melayang naik, kemudian mendarat pada lutut di waktu yang tepat untuk dilambungkan lagi. Kanan-kiri-kanan-kiri, lututnya bergantian memindahkan sampai Arun melempar bolanya cukup tinggi, lalu mengenai kepala, satu-dua-tiga, menuruni punggungnya, ditahan kakinya yang melipat ke belakang, dilambungkan lagi, dibawa ke dada, kemudian lutut kembali dan akhirnya, punggung kaki.

Serempak, seluruh anak di lapangan bertepuk tangan. Arun tak begitu mahir menghadapi anak kecil karena dia terbiasa menjadi bungsu. Siapa sangka dia hanya butuh bersenang-senang untuk mendapatkan perhatian mereka.

"Keren, Bang!" si anak pantulan jendela memberikan jempolnya.

Arun dan Orlin bertatapan. Baik, saatnya wawancara.

Continue Reading

You'll Also Like

2K 264 23
Topan Antara Dika dan Hening Sidara Gasik. Sepasang manusia yang dihantui kematian orangtua yang misterius. Topan yang paranoid dengan racun dan kem...
7.6K 1.1K 35
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun...
3.5K 300 31
Tentang gadis yang menghilang di laut dan kembali ke daratan, tanpa siapa pun mengenalinya kecuali seorang. "Aku ingat buih hari itu berwarna emas te...
1.5M 128K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...