Love Me Someday

By PatriciaAnggi

235 27 2

⚠️⚠️ WARNING 21+ ⚠️⚠️ Karier cemerlang, mempunyai kekasih idaman, dan hendak menikah di usia 28 tahun, membua... More

PRAKATA
Prolog
Bab 1 - Jenar dan Gelang Penuntun
Bab 3 - Haruskah Aku Menjadi Orang Lain?
Bab 4 - Ishita

Bab 2 - Aku Bukanlah Diriku

29 4 0
By PatriciaAnggi

Selamat membaca :)

***

“Tak ada kata sempurna untuk kehidupan manusia seperti kita. Jangan tinggi hati hanya karena hidupmu sedikit lebih baik daripada orang lain.”

“Aku ikut seneng akhirnya kamu dan Rangga berencana menikah.”

“Pengen punya anak berapa setelah menikah nanti?”

Dalam gelap, Jenar mendengar dengan jelas kata-kata nenek Tinah, Aruna, dan Rangga. Sosok mereka terbayang dan muncul bergantian dalam benaknya. Ketiga orang yang disayanginya itu kemudian muncul bersamaan, mereka tersenyum kepada Jenar, tapi makin lama mereka makin menjauh. Jenar berusaha mengejar, tapi kakinya tidak dapat digerakkan sama sekali. Suaranya pun tiba-tiba menghilang saat hendak memanggil mereka. Cahaya yang sangat silau kemudian muncul dari kejauhan, sosok ketiganya perlahan menghilang ditelan cahaya itu. Cahaya itu pun semakin dekat dan menyilaukan.

“Matanya merespon cahaya.”
Jenar berusaha membuka matanya perlahan, tapi rasanya sangat berat sekali. Ia juga merasakan pening yang luar biasa dan badannya sulit bergerak.

“Dia sudah hampir sadar, tapi keadaannya sangat lemah. Lebih baik biarkan dia beristirahat sampai badannya benar-benar pulih dan dapat siuman sepenuhnya.”

Jenar mendengar seorang lelaki berbicara, kemudian terdengar isakan seorang perempuan. Entah suara siapa ia tidak tahu, rasanya sangat berat untuk membuka mata, meskipun ia dapat mendengar suara.

“Tangannya bergerak. Dia juga mengerang. Dia akan sehat lagi, kan?” suara perempuan yang menangis, seakan ingin diyakinkan.

“Tentu saja, Ratna. Jangan berpikir macam-macam. Dia akan segera bangun dan sehat lagi.” Lelaki tadi menjawab. Namun, ada sesuatu yang membuat Jenar bertanya-tanya.

Ratna? Ratna siapa? batinnya.

Kedua orang itu masih berbincang, entah apa yang mereka bicarakan. Jenar tidak peduli, ia ingin segera membuka mata. Dengan susah payah, ia menggerakkan tubuh dan membuka mata perlahan.

“Shita? Shita?”

Orang yang pertama Jenar lihat adalah seorang wanita berusia mungkin awal lima puluh tahun, tebaknya. Di sampingnya sisi yang lain ada seorang lelaki paruh baya. Ia juga melihat seorang wanita muda berdiri di brangkar bagian kakinya. Mereka semua melihatnya dengan ekspresi khawatir.

“Shita? Ini mama. Kau sudah sadar? Terima kasih, Tuhan.”

Shita? Mama? Siapa?

“Jangan dipaksa bangun, tubuhmu masih lemas. Jika masih mengantuk, kau bisa istirahat lagi,” ujar lelaki paruh baya itu.

Nggak mau. Aku pengen bangun.

Jenar merasa tubuhnya sangat lemas, ingin berbicara pun tidak ada tenaga. Ia bertanya-tanya kenapa banyak orang asing di sekitarnya. Di mana dia sekarang? Namun, belum sedikitpun mendapat jawaban, ia merasakan kantuk yang luar biasa dan kemudian matanya tertutup.

***

Jenar terkejut ketika bangun dan menyadari dirinya berada di kamar sebuah rumah sakit. Otaknya masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi padanya. Kamar itu luas dan besar. Fasilitas seperti TV, kulkas, AC, sofa-sofa, tempat tidur plus, dan lain-lain. Ia sudah mengingat malam di mana ia bertemu dengan Rangga, juga benturan keras yang ia rasakan di dalam taksi online. Sepertinya ia memang mengalami kecelakaan, tapi separah-parahnya akibat kecelakaan itu, apakah tidak salah neneknya menyewa kamar rumah sakit yang semewah ini? Neneknya saja selalu mengomel tentang menabung.

Aneh.

“Shita?”

Perhatian Jenar teralihkan pada seorang perempuan yang baru saja masuk dan langsung memeluknya.

“Shita, akhirnya kamu bangun, Nak.”
Jenar merasakan elusan lembut di punggungnya. Tatapannya kini beralih ke seorang perempuan muda yang dilihatnya berdiri saat membuka mata yang pertama. Perempuan muda itu menangis. Terharu sepertinya, Jenar menebak. Namun, lebih dari itu, sebenarnya siapa mereka ini?
Jenar melepaskan pelukan wanita paruh baya itu. Dilihatnya wanita itu juga menangis.

“T-tunggu. Kalian siapa? Di mana nenek saya?”

Kedua orang itu tidak menjawab dan malah menatap Jenar seakan Jenar adalah makhluk paling aneh di dunia.
“Shita?” Wanita paruh baya itu menangkup wajah Jenar. “Kamu mengenali mama, kan?”

Shita?

Jenar baru sadar bahwa sedari tadi ia selalu dipanggil dengan nama Shita.
“Maaf, Bu. Nama saya bukan Shita. Saya Jen ... Aw!”

Jenar memekik ketika merasakan sesuatu yang sangat panas di pergelangan tangannya. Sesuatu yang panas itu sangat tiba-tiba. Mengangkat tangan, ia tahu bahwa rasa panas seperti terkena logam panas itu berasal dari gelang di tangan kirinya.

Gelang pemberian nenek.

Gelang itu teruntai dari beberapa manik-manik bermotif abstrak, ada tali pendek menggantung di ujungnya.

Gimana bisa gelang ini tiba-tiba jadi panas banget?

“Shita? Ini mama.”
Ucapan wanita itu mengalihkan perhatian Jenar dari gelang di tangannya.

“Ma-maaf, sepertinya anda salah orang.” Jenar memandang sekeliling dengan gusar. “Di mana saya? Di mana nenek saya?”

“Shita?” wanita itu mulai ketakutan, ia menangkap kedua bahu Jenar. “Shita? Kau kenapa, Nak? Ini mama.”

“Saya bukan Shita. Saya- ahh!”

Lagi-lagi gelang itu terasa panas seakan dapat membakar tangannya.

Ada apa, sih, ini?

“Citra, panggilkan pak Dendy!” perintah wanita paruh baya itu kepada si perempuan muda. Seketika perempuan muda itu menghilang di balik pintu. Jenar masih mencoba mencerna situasi. Sebenarnya, ada apa ini? Kenapa orang-orang asing ini memanggilnya Shita? Kenapa gelang ini tiba-tiba panas?

Tak lama kemudian seorang lelaki paruh baya berpakaian dokter memasuki kamar. Lelaki paruh baya yang dilihat Jenar saat siuman yang pertama kali. Lelaki itu memeriksanya, sedangkan si wanita paruh baya menjelaskan kondisinya. Katanya, Jenar seperti orang linglung. Ia ngomong melantur.

Aku nggak ngelantur. Aku sangat sehat.

Kedua orang itu, wanita dan lelaki paruh baya kemudian ke luar. Jenar memanfaatkan situasi untuk mengetahui dia sedang berada di mana dan siapa orang-orang asing itu. Ia memanggil wanita muda yang sedari tadi berdiri di samping pintu, sepertinya memang jauh lebih muda dari Jenar.

“Hei, siapa namamu?” Jenar menyuruh wanita muda itu mendekat.

Wanita muda itu kaget sekilas, kemudian mendekat, “Saya Citra, Bu.”

“Di mana ini?”

Citra menatap Jenar aneh, “Di rumah sakit Bakti Waluyo, Bu.”

Bakti Waluyo?

Seingat Jenar, tak ada rumah sakit dengan nama itu di Blitar.

“Ini di mana, sih? Seingetku nggak ada nama rumah sakit itu.”

Citra semakin menatap aneh, “Bu Shita, bagaimana anda bisa lupa, ini rumah sakit yang dikelola ayah anda.”

“Ayah?”

“Iya. Yang memeriksa anda tadi. Pak Dendy.”

Jenar berpikir cepat. Ia mulai bisa mencerna situasi yang terjadi padanya sekarang.

“Ceritakan kenapa aku bisa ada di sini dari awal hingga sekarang. Jangan ada yang kelewat.”

Citra bercerita bahwa Jenar jatuh tenggelam ketika berada di kapal pesiar dan koma selama beberapa minggu. Seperti tersambar petir di diang bolong, Jenar seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan Citra. Ia kecelakaan, bukan tenggelam. Ia adalah Jenar, bukan Shita. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jenar menyuruh Citra mengambilkan cermin. Citra mengeluarkan kotak bedak dari tasnya. Ketika Jenar melihat ke cermin, betapa terkejutnya ia bahwa bayangan di cermin itu bukanlah dirinya, melainkan orang lain.

“Tidak! Tidak!” ia membanting bedak itu. Jenar mulai histeris. “Apa yang kalian lakukan padaku? Kenapa? Kenapa kalian melakukan ini?”
Citra yang kebingungan mencoba menenangkan Jenar, namun tidak berhasil. Jenar masih berteriak. Di dalam hatinya, banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Beberapa orang berpakaian dokter tiba di kamar dan menenangkan Jenar. Jenar sudah tak bisa ingat lagi siapa yang memeganginya, matanya terasa berat dan kemudian semuanya gelap.

***

Jika di sinetron-sinetron yang biasa ditonton Jenar, ada suatu peristiwa di mana pemeran utama dijadikan kelinci percobaan untuk dioperasi plastik atau semacamnya, lalu identitasnya diubah dan kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal jahat.

Pasti itu.

Jenar meyakini bahwa itulah yang sedang terjadi dengannya. Ia sudah siuman sejak disuntikkan obat bius, tapi pura-pura tidur agar orang-orang asing di kamar itu tertidur. Melihat Citra dan wanita paruh baya yang mengaku mamanya ketiduran di tempat tidur lain, Jenar merencanakan akan kabur.

Ia mencoba melepas infus di tangannya, tapi baru ditarik sedikit tangannya benar-benar terasa sakit. Dia heran, berbeda sekali dengan adegan-adegan di sinetron yang dengan mudah mencabut infus dari tangan. Akhirnya dia mengabaikannya dan memilih membawa botol infusnya keluar. Perlahan ia membuka pintu dan dua orang berpakaian jas hitam di depan pintu terkejut melihanya.

“Nyonya Ishita? Anda mau ke mana?”

Ah, sial. Ternyata orang-orang itu sama saja, teman dari Citra atau si mama gadungan.

Seperti maling yang tertangkap basah, Jenar menggunakan jurus langkah seribu. Entah harus ke mana kakinya melangkah.

Yang penting kabur dulu, pikirnya.

Benar saja. Kedua orang lelaki berpakaian hitam tadi mengejarnya. Jenar beberapa kali menabrak orang-orang di rumah sakit. Ia tak peduli. Bahkan ia tak tahu orang-orang asing itu atau apakah hari ini siang atau malam.

Jenar menuruni tangga entah berapa anak tangga yang sudah dilaluinya. Napasnya ngos-ngosan, tapi dia tak mau berhenti. Ia berlari mengikuti stiker jalur evakuasi yang biasa ditempel di gedung-gedung. Berlari sekuat tenaga sambil membawa botol infus, sesekali berhenti untuk menarik napas. Ia juga baru sadar tidak menggunakan alas kaki, tak peduli juga dengan pandangan orang-orang di rumah sakit yang ternyata lumayan ramai.

Ia lega ketika mencapai lantai dasar dan menemukan pintu utama. Segera saja ia berlari keluar, tapi ketika baru beberapa langkah saja keluar dari pintu rumah sakit dan masih bingung dengan tempatnya sekarang berada, beberapa orang mengerumuninya.

“Itu bu Ishita!”

“Bu Ishita!”

Mereka membawa kamera, dengan tidak sopannya jeprat-jepret hingga membuat Jenar silau dan mengajukan banyak pertanyaan. Ia bahkan hampir jatuh karena banyaknya orang yang berdesakan mengerumuninya.
Tak lama kemudian, orang-orang itu dibubarkan oleh beberapa laki-laki berpakaian jas hitam, sama seperti yang Jenar lihat di depan pintu kamar. Kemudian, seseorang menariknya menjauh. Jenar menurut saja, ia bahkan tidak bisa melihat orang itu dengan jelas karena matanya masih silau oleh jeprat jepret orang-orang tadi.

“Si-siapa kamu?” Jenar bertanya. Orang itu diam dan masih menggandengnya hingga memasuki lift.

Ketika memasuki lift, Jenar baru bisa melihat orang itu dengan jelas. Seorang lelaki yang mungkin tak jauh dari usianya, hidungnya mancung dengan garis rahang yang tegas dan alis yang lumayan tebal. Lelaki itu menatapnya hingga Jenar bisa melihat iris hazel milik lelaki itu.

“Jadi, kau juga lupa dengan suamimu sendiri?”

Sejenak Jenar tak menjawab dan masih mencerna kata-kata lelaki itu. Lalu kemudian ....

“Hah?! Suami?!!!!”

***

Jangan lupa vote dan komen ya :)

Continue Reading

You'll Also Like

3M 23.8K 45
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
547K 37K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
309K 24.4K 35
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...
2.7M 192K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...