ALAÏA 2

By radexn

6.2M 940K 5.3M

[available on offline/online bookstores; gramedia, shopee, etc.] ━━━━━━━━━━━━━━━━━━━━ ❝ Dia kembali, membawa... More

Prolog
1. Aishakar X Atlanna
2. Bawel
3. Atmosfer Masa Lalu
4. Shocked
5. A Different Destiny
6. Moonstar
7. Masuk dalam Gelap
8. Sayang
9. Tak Seindah Lukisan
10. Hitam
11. Menyelam untuk Mati
12. Irvetta
13. Memang Seharusnya Jujur
14. Pengakuan
15. Sang Dewa Kematian
16. Bintang
17. Berharap yang Terbaik
18. Beku
19. It's a Bye
20. Snow
21. Our Beloved Atlanna
22. Insiden
23. Satu yang Bersejarah
24. Kita
25. Ingin Melepas Rasa
26. Imitasi
27. Baby Winter
28. Aku Bukan Kamu
29. Hurt
30. Haruskah Kita Usai
31. Retak
32. Amatheia VS Aphrodite
33. Us
35. Διαίσθηση
36. Andai Kita Abadi
37. The Mermaid
38. Hectic
39. Aesthetic
40. Chaotic
41. Luka dalam Memori
42. Light
43. A Frozen Heart
44. Skyïa
45. The Sea is Calling
46. The Blue Diamond: Goddess of The Sea
47. Happy Birthdae
48. Angel
49. Berharap Hanya Mimpi
50. Cahaya Mata
51. The Most Beautiful Moment
52. Justice
53. Laut yang Tenang
54. Moonlight [END]
pre-order ALAÏA 2
Extra Chapter
NEW STORY
⚠️ SECRET CHAPTER 🔞
AMBERLEY
ALAÏA 3
NOVEL AMBERLEY (cucu Aïa)
ALAÏA UNIVERSE: "SCENIC"

34. Dear You, Ale

83K 15.4K 33.5K
By radexn



follow instagram kami:
@alaiaesthetic
@langitshaka
@alaianarelle
@atlannaishakar
@ragascahaya
@nyxreaperr
@moonstarvx
@radenchedid (author)

follow tiktok:
@radenze
@langitshakaa (2nd)

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
follow wattpad aku biar ga ketinggalan notif update <3

Jamais Vu - BTS
White Night - Joe Hisaishi

34. DEAR YOU, ALE

Dari rumah sampai ke toko seni, Ale berjalan kaki sambil menikmati sejuknya udara. Pagi ini ia lebih banyak tersenyum meski masalah masih berputar mengelilinginya. Walau berat, Ale tau, cepat atau lambat semua akan kembali pulih.

Setibanya di toko seni, Ale disambut oleh harum khas dari barang-barang yang tersedia. Wangi buku adalah yang paling dominan. Ale mengusap hidung merahnya dan menarik napas untuk menghirup lebih pekat aroma di sekitar.

Kaki Ale yang berhias winter boots bergerak menuju lantai dua. Ke sanalah tujuan Ale mengunjungi toko ini, yaitu tempat khusus alat lukis.

Beberapa waktu lalu, ketika Ale belum dinyatakan kehilangan penglihatan, Ale pernah berjanji pada seseorang untuk melukis wajah dia sebagai ganti lukisan sebelumnya yang kurang sempurna.

Sekarang, Ale akan memenuhi janji itu.

Apakah kalian masih ingat siapa orang tersebut?

Langkahnya menuntun Ale ke rak yang dipenuhi berbagai merk cat. Ale mengambil yang menurutnya memiliki kualitas paling bagus. Soal harga, Ale bersyukur sanggup membelinya walaupun terbilang mahal dari antara yang lain.

Dari rak sana, Ale pindah ke titik lain. Ia hendak menghampiri deretan kanvas, tetapi berhenti saat seorang lelaki lebih dulu mendekati kanvas yang diincarnya.

Lelaki itu hanya diam sambil mengamati kanvas tersebut dengan tatapan yang menunjukkan ia tengah meneliti suatu benda. Ale agak terperangah karena wajah orang itu mengingatkannya akan memori lama.

"Kak Sura?" Ale menyebut satu nama.

Merasa namanya dipanggil, lelaki tadi menoleh dan senyumnya perlahan muncul. Mata Sura selalu menyipit tiap dia tersenyum, dan itu terjadi sekarang. Bibirnya yang pink itu tak pernah berubah warna dari dulu sampai detik ini.

"Ale," sapa Sura seraya mendatanginya.

Ale memamerkan cengiran yang menggemaskan dan itu membuat Sura menahan tawa karenanya.

"Enggak kepikiran bakal ketemu Kakak di sini," kata Ale.

"Saya juga. Kamu dateng sendiri?" Sura bertutur.

Ale mengangguk cepat. "Iya. Kakak?"

"Sama. Saya ke sini mau segerin pikiran aja. Enggak tau mau beli apa," kekeh Sura.

Perempuan itu mengangguk samar yang mengartikan ia paham. Lalu, Ale mengajukan tanya, "Kakak suka seni? Dulu gue pikir Kakak sukanya bidang olahraga."

"Kamu mikir begitu karena saya dulunya anggota Futsal di SMA, ya?" Sura menebak.

"Iya." Ale nyengir lagi.

Setelahnya, Ale bungkam sebentar. Terakhir kali Ale bertemu Sura saat menonton pertandingan Futsal yang diselenggarakan di sekolah beberapa tahun silam—Ale datang karena ajakan Sura. Itu merupakan permainan terakhir yang Sura jalankan sebelum ia lulus. Setelah pertandingan usai, Ale dan Sura tidak pernah bertemu lagi.

Perbincangan mereka berlanjut hingga Ale selesai memilih barang yang dicari. Ketika Ale pamit pulang, Sura segera menawarkan diri untuk mengantarnya karena tidak tega membiarkan perempuan jalan sendirian menempuh jarak cukup jauh. Namun, Ale menolak sehalus mungkin.

"Dari dulu kamu kalo nolak sesuatu pasti kalimatnya halus," celetuk Sura, mengingat ia pernah ditolak cintanya oleh Ale.

Ale tersipu sebab ucapan Sura membawanya pada ingatan masa remaja mereka. Untunglah Sura tidak pernah menyimpan rasa dendam ataupun sakit hati. Justru Sura menerimanya dengan hati lapang.

"Maaf ... gue duluan, ya, Kak. Dadah!" Gadis cantik itu berseru dan meninggalkan Sura di depan toko.

Baru saja Ale pergi, Sura kembali memanggil lantang. "Wait, Seraphine!"

Ale berhenti sejenak dan berputar badan. Sura menyebut nama belakangnya yang bikin dada Ale menghangat. Jarang sekali orang memanggilnya dengan nama Seraphine.

"Ya, Kak?" Ale menatap figur Sura yang blur di matanya karena mereka terhalang jarak.

Sura berlari kecil mendekat ke Ale. Seraya itu dia merogoh saku mantel dan mengeluarkan sebuah kartu. Ia memberikannya ke Ale yang langsung diterima.

"Ada kontak saya di situ. Kalau ada waktu, berkabar, ya," ujar Sura yang disertai tatapan hangatnya untuk Ale.

Ale mengangguk. "Oke, Kak Sur!"

Sekali lagi, Ale melambaikan tangan, lalu berbalik lagi dan mempercepat langkahnya menuju rumah.

Kurang dari setengah jam, Ale sampai di rumah dan masuk. Makhluk berbulu putih lebat itu girang akan kedatangannya. Flowy melompat-lompat sambil berpegangan pada kaki Ale.

Bertepatan itu, Daisha nongol dari kamar dan berpakaian rapi. Senyum Daisha terukir untuk Ale. Ia menghampiri Ale yang dari mimiknya menunjukkan bingung.

"Tante mau ke rumah temen. Ada acara makan-makan karena temen Tante ulang tahun. Ale enggak apa-apa Tante tinggal sebentar?" tutur Daisha menjawab kebingungan Ale.

Tentu saja Ale tidak keberatan. "Gapapa, Tante."

"Tante langsung kabarin kamu kalo udah sampe. Baik-baik sama Flowy, ya, Sayang." Daisha menepuk pelan pipi Ale dan berjalan ke luar rumah.

"Hati-hati di jalan, Tan. Have fun!" Ale berpesan.

Sepeninggalnya Daisha, Ale segera tutup pintu dan mengajak Flowy ke kamar. Selagi tidak ada jadwal pemotretan di Baby Moonlight, Ale ingin mengisi waktu untuk hobinya. Rasa rindu pada kegiatan melukis sudah tak bisa ditahan lagi.

Usai berganti pakaian, Ale mengikat rambut panjangnya. Kemudian, ia menyiapkan segala alat lukis yang diperlukan. Gerakan Ale terbilang cepat karena dia tak mau membuang waktu lebih banyak.

"Flowy main sendiri aja, oke? Ale mau melukis." Ale berkata pada anjingnya sembari mengelus kepala Flowy.

Flowy yang pintar itu mengibas ekornya dan berbalik menghampiri karpet bulu yang berada di tengah kamar. Flowy merebahkan diri di sana hingga badannya melingkar seperti bola salju. Matanya yang bulat itu melirik Ale, dan Flowy menjadi senang karena Ale tersenyum lebar padanya.

Selagi Flowy anteng sendirian, Ale akan tenang melaksanakan aktivitasnya. Namun, tiba-tiba ia gugup tepat ketika menatap kanvas polos di hadapannya. Ia memincingkan mata yang sedikit buram, lantas meyakinkan diri bahwa ia bisa.

"Ayo, Ale bisa! Ini buat Bumi," tuturnya berantusias.

Ale mengawalinya dengan menoreh sketsa. Ia membayangkan paras lelaki yang nyaris tiap waktu masuk ke pikirannya. Dada dan pipi Ale seketika panas, juga perutnya melilit. Ale menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Ternyata sebesar ini efek dari menikmati senyuman Aishakar, walaupun hanya bayangan di kepala.

"Aishakar," gumam Ale bertepatan tangannya bergerak telaten di atas kanvas. "Baru semalem kita ketemu. Sekarang Ale udah kangen."

Bibir merah muda itu bergerak mengukir senyum tipis. Ale bertutur lembut, "Gimana kalo nanti enggak ketemu Bumi lagi? Pasti kangen banget."

Berbicara sendiri hanya menambah sesak di dada Ale. Ia mendengkus ringan dan berhenti menggambar sejenak. Sekian detik terlewat, barulah Ale melanjutkan.

Dalam keheningan ini, Ale teringat momen di mana ia mengunjungi galeri seni bersama Aishakar. Hanya berdua, rasanya seperti tengah berkencan. Itu adalah satu dari banyaknya waktu istimewa yang sangat berharga bagi dia.

Obrolan mereka kala itu terngiang di telinga Ale.

"Menurut gue, lo emang begini aslinya. Lo versi petakilan itu cuma buat cari perhatian orang lain," cetus Aishakar.

"Hey! Bisa-bisanya ngomong begitu," oceh Ale.

"Lo nutupin apa dari kita semua? Kalo sedih tuh nangis aja, jangan cengar-cengir terus kayak kuda. Sesek kan dadanya," ujar Aishakar tepat menusuk hati Ale.

Hanya mendengar ucapan itu sudah bikin Ale berkaca-kaca, tetapi senyuman tetap tidak hilang. "Ketara banget?" gumamnya.

"Enggak. Cuma orang-orang tertentu yang bisa rasain," ucap Aishakar sangat lembut. "Omongan gue bener, ya, Le?"

Ale memperlebar senyum manisnya mengingat kalimat itu. Entahlah, ada rasa sedih dan senang yang memalut hatinya akibat perkataan Aishakar. Sedih karena topengnya nyaris terbongkar, dan senang karena Aishakar bisa memahami Ale.

Gadis itu mengusap matanya menggunakan punggung tangan. Ia mencari udara banyak-banyak upaya menghapus pengap yang melintas. Akhir-akhir ini tubuh Ale lebih cepat letih dari biasanya.

"Ale?"

Suara itu muncul yang tentunya mengejutkan Ale. Ia sontak melebarkan mata dan menoleh ke pintu. Ada suara perempuan di depan kamar, ia yakin itu bukan Daisha.

Ale menaruh alat gambarnya dan meninggalkan kursi serta papan kanvas. Ia jalan ke pintu untuk menyambut siapa yang datang. Ketika benda besar itu bergerak terbuka, mereka memekik serentak.

"Amora!" Ale berseru spontan.

"Ale!" Amora bersuara lebih pelan, tetapi tak kalah bahagia karena akhirnya bertemu sang adik.

Ale mengajak Amora masuk ke kamar. Amora yang menyadari mata Ale telah berfungsi kembali itu terlihat bingung, dan ia segera bertanya. "Kamu operasi mata?"

"Ah?" Ale menengok. "Enggak, ini ... lo jangan kaget, ya, Mor."

Amora mengangguk samar. "Oke. Kenapa? Kamu kejedot dan matanya jadi bisa ngeliat lagi?"

"Enggak." Ale menahan tawa. "Percaya sama yang namanya keajaiban, enggak? Gue ngalamin itu. Sekarang gue bisa ngeliat lagi karena itu."

Amora percaya akan sebuah keajaiban. Ia terharu dan memeluk Ale, serta mengucapkan selamat atas pulihnya penglihatan itu. Amora mengatakan semua itu bisa saja terjadi karena kebaikan dan ketulusan hati Ale.

"Keren. Aku jadi mau nangis," tutur Amora yang kini cemberut dan menahan tangis.

Melihat Amora seperti itu membuat Ale terkikik. Ia menepuk bahu Amora, lanjut mengusapnya. Ale mencegah kakaknya menangis sembari mengajak perempuan itu ke kasur agar mereka berbincang sambil duduk-duduk atau tiduran di sana.

"Ke sini sama siapa? Anak buah Dae?" Ale bertanya bertepatan mereka duduk di tepi kasur.

"Iya. Maaf, ya, aku enggak sopan masuk ke rumah Tante tanpa izin. Tadi itu aku ketuk pintu berkali-kali dan panggil kamu, tapi enggak ada respons," jelas Amora.

Ale terkekeh dan merasa bersalah. Ia berpikir, tadi itu dirinya sedang larut dalam pikiran mengenai Aishakar sampai tidak mendengar ada tamu datang. Kasihan sekali Amora harus menunggu di luar.

Amora melanjutkan, "Aku coba buka pintunya dan ternyata enggak dikunci. Ya udah, aku masuk ... aku ke kamar kamu karena siapa tau kamu di kamar. Aku kepengin banget ketemu kamu, Ale."

Perempuan dengan nama lengkap Arashel Seraphine itu mengangguk paham. Ia kemudian menarik Amora untuk dipeluk dan diusap lengannya. Tak bisa disembunyikan bahwa Ale juga kangen Amora.

"Aku punya banyak cerita. Kamu mau tau?" Amora bertutur.

Ale menanggapinya bercanda. "Mau enggak yaaa?"

"Mau aja!" Amora melebarkan cengirannya. "Aku lagi seneng, tau. Biar senengnya ketular ke kamu."

Maka, Ale setuju untuk mendengar cerita Amora. Kakak adik yang dulunya kurang akrab itu sekarang terlihat jauh lebih lengket, walaupun masih ada tembok penghalang di antara mereka. Tembok itu adalah Dae. Dae melarang Amora bertemu Ale terlalu sering, dan itu sangat menyebalkan.

"Dae enggak seserem waktu awal-awal aku ketemu dia. Dae ternyata manis banget, tau, Le. Dia imut." Amora bercerita. "Ya ... walaupun kadang dia dingin, tapi sekarang lebih banyak hangatnya. Aku jadi betah sama dia karena enggak takut lagi."

"Ah, ikut seneng dengernya! Padahal gue udah siapin diri mau getok kepala Dae kalo dia macem-macemin lo lagi," celetuk Ale.

"Enggak kok. Dia baik ke aku." Wajah Amora merona. "Dae makin baik karena sekarang aku hamil. Ada bayi kecil di perut aku, Ale!"

"Serius?!" Ale teriak nyaring, lalu dia peluk Amora erat-erat sambil terus memekik kegirangan sampai telinga Amora berdengung.

Suasana seru itu berlangsung hingga bermenit-menit terlewat. Ale yang paling berisik, sementara itu Amora berulang kali menutup telinga mendengar pekikan saudarinya, bahkan Flowy sampai terkaget-kaget.

Karena Amora hamil, mereka langsung membayangkan akan seperti apa wajahnya nanti. Mereka juga mulai menyusun rencana untuk membeli berbagai pakaian bayi.

"Kamu kapan nyusul, Le?" Pertanyaan Amora menghentikan kehebohan Ale.

Ale mengedip dua kali dan tersenyum kikuk. "Belom tau, Mor."

"Shaka? Kalian masih bareng, 'kan?" tanya Amora lagi.

"Gimana, ya, jawabnya," gumam Ale.

Pandangan Amora beralih ke kanvas yang letaknya tidak begitu jauh dari posisi dia berada. Ale mengikuti arah pandang Amora dan ia refleks melepas napas panjang. Sembari mengamati sketsa wajah lelaki itu, Amora mengajukan pertanyaan lain.

"Itu Shaka?"

"Iya," jawab Ale. "Belom selesai digambarnya. Masih dasar."

"Segitu udah keren, gimana kalau udah dikasih warna. Kamu banyak bakatnya, ya, Le. Aku jadi kangen melukis bareng kamu." Amora berucap. "Tuh, kan! Aku baru inget, aku belum minta izin Dae buat beli alat lukis."

Ale cekikikan melihat perubahan ekspresi Amora ketika ia lupa akan sesuatu. Kakaknya itu memang unik. Amora akan marah-marah atau mendumel sendiri, lalu tiga detik kemudian dia kembali pamer senyum lebar.

"Amora ...," panggil Ale setelahnya.

"Iya?" Amora menyahut.

"Shaka itu bikin bingung, ya, Mor. Gue susah pahamin dia. Entah gue yang bodoh, atau Shaka yang terlalu sulit ditebak." Ale mencurahkan keresahannya.

Amora mengernyit sekilas dan menatap Ale tepat di mata. "Kalian kenapa?"

"Ada sedikit masalah ...," kata Ale.

"Mau cerita ke aku?" tanya Amora.

Ale mengangguk cepat. Maka Ale merangkak ke tengah kasur dan mengundang Amora untuk ikut. Mereka bergeser sampai punggung sama-sama bersandar ke headboard. Ale menarik selimut untuk menutupi kaki sampai pinggang mereka, dan mulailah mengalir cerita tentang Aishakar.

"Gue liat Shaka mesra banget sama perempuan lain. Tapi, Shaka enggak ngaku. Padahal gue liat mereka lakuin itu terang-terangan di depan gue, Mor." Ale bercerita.

"Shaka selingkuh?" tanggap Amora.

"Bisa dibilang begitu. Gue kepikiran terus sampe sekarang. Enggak bisa tenang," ungkap Ale.

Amora berdecak dan mengepal tangannya. "Ale, telepon Shaka sekarang! Aku mau ngomong sama dia."

Ale tadinya tidak mengizinkan karena takut mengganggu waktu Aishakar. Namun, Amora berkata ia akan langsung pulang kalau Ale tidak menelpon Aishakar. Jadilah Ale mengalah dan membiarkan kakaknya berbicara pada Aishakar.

"Halo, dengan Amora Webb di sini!" Amora berseru saat panggilan terhubung.

"Eh? Ale mana?" Aishakar menyahut.

"Ale aku simpen. Aku mau ceramahin kamu," ketus Amora.

Aishakar tidak berkata apa-apa, hanya mendengarkan celotehan Amora. Di sini, Ale antara mau ketawa dan bingung karena tingkah Amora cukup menghiburnya. Amora misuh-misuh dengan gayanya yang anggun dan kalem.

"Shaka, kamu sakitin adik aku? Mau aku pukul di bagian mana?!" omel Amora.

"Enggak!" Aishakar menyambar. "Gue enggak sengaja gituin Ale. Sekarang dia emang lagi salah paham sama gue, Mor. Ini mau dibenahin."

"Setetes air mata Ale yang jatuh gara-gara kamu, itu sama dengan satu bom dari aku dan Dae buat kamu. Awas, ya, Shaka! Aku serius!" kesal Amora sambil berkacak pinggang.

Aishakar tidak melihat gestur Amora, tetapi bisa membayangkan cara cewek itu marah-marah. Ia pun mengiyakan segala omongan Amora, dan tidak banyak bicara. Karena kalau Aishakar membalas terus-menerus, ocehan Amora tak akan ada habisnya.

"Bahagiain adik aku," ketus Amora.

"Pasti, Amor." Aishakar membalas.

"Jangan omong doang! Kalau bisanya bikin Ale nangis, pergi aja kamu!" kecam Amora.

Tanpa mau mendengar balasan Aishakar, Amora langsung menyerahkan ponsel ke Ale. Segeralah Ale menempelkan layar ke dekat telinga untuk melanjutkan percakapan yang hampir terputus. Ia baru akan buka suara, tetapi bisu sebentar saat mendengar Aishakar menarik napas dalam-dalam.

"Bumi?" Ale memanggilnya.

Aishakar langsung membalas. "Sayang?"

Ale dan Amora saling lempar tatap. Tiba-tiba Ale nervous untuk memulai percakapan. Ia tidak tau ingin mengatakan apa, dan rasanya mau mematikan telepon saja.

"Mmm ... Bu, nanti sore bisa ketemu?" Ale berusaha memecah kecanggungan itu.

"Bisa. Di mana, Le?"

"Resto Om Bintang."

"Oke."

"See you, Earth."

Percakapan bersudah. Ale menaruh ponsel di dekat paha dan menoleh ke Amora dengan seulas senyum tipis. Lantas Amora meraih satu tangan Ale untuk ia genggam dan menyalurkan rasa semangat.

"Semoga kalian segera membaik. Enggak ada yang boleh sakitin Ale," papar Amora.

Ale terharu lagi. Seandainya Amora tau perempuan yang Ale maksud bersama Aishakar itu adalah ibu mereka ... tidak terbayang akan seperti apa reaksi Amora. Ale takut itu menjadi beban pikiran Amora yang sekarang sedang hamil sangat muda.

"Amora, kemarin gue ketemu Mama. Sayangnya cuma sebentar dan pisah lagi," ujar Ale.

"Astaga, aku kangen banget sama Mama. Mama baik-baik aja?" ceplos Amora.

"Iya. Mama baik-baik aja. Mama sayang dan kangen kita, Mor ...." Ale berkata pelan. "Tapi, Mama terlalu sibuk. Kita doain aja Mama dari sini, ya?"

Amora melepas napas lelah. Ia angguk-angguk samar dan menuruti ucapan Ale. Menurut Amora, mungkin di lain waktu ada cara untuk bertemu Aphrodite lagi, alias ibu sambungnya.

Delapan detik berselang, Flowy berlari ke pintu dan mengeluarkan suara kecil dan bertingkah tergesa-gesa. Ale langsung berkata, "Oh, pasti mau pipis."

"Biar aku yang anter." Amora menyerahkan diri. "Aku udah lama enggak urus anak anjing. Ngeliat Flowy jadi kangen."

Amora turun dari kasur dan menghampiri Flowy. Anjing itu segera ngibrit ketika pintu kamar dibuka. Amora mengikuti langkahnya hingga ia tiba di teras. Ia mengamati Flowy berlarian ke istana kecil khusus anjing yang letaknya di halaman rumah ini.

Kala Amora hendak menyusul Flowy, Demian muncul dari dalam mobil dan melangkah besar-besar menerjang salju tipis yang turun dari langit. Amora mengurungkan niatnya mendekati Flowy. Sebaliknya, ia menunggu Demian tiba di teras.

Demian menyodorkan ponsel hitam miliknya ke Amora sambil menyebut nama sang penelepon. "Dae."

Amora menerimanya dan menempelkan ponsel di telinga kiri. Sebelum Amora bicara, Dae menjadi yang pertama mengisi keheningan di speaker. Suara beratnya seketika menerbangkan bunga-bunga di dada Amora.

"Amora," panggil Dae.

"Iya?"

"Masih di tempat Ale?" Dae bertanya.

Amora tidak bisa menahan senyum. "Masih, Dae. Kamu udah pulang?"

"Iya, aku nunggu kamu. I miss you," tutur Dae.

Tawa kecil Amora hadir bersama merah yang melintang di pipi. Ia tidak tahan akan kegemasan Dae. Ternyata Maung satu itu bisa cepat luluh bila bertemu pawang yang tepat.

"Mamoya ...," sebut Dae karena Amora tak sengaja mendiamkannya.

"Iya, aku kangen kamu juga, Dadda." Amora bertutur lembut.

"Cepet pulang. Mau elus Baby Lonan," ucap Dae.

Amora menyentuh perutnya yang masih rata dan terkekeh ringan. Sikap Dae seperti inilah yang membuat dia pelan-pelan bisa membuka lebar hatinya untuk lelaki itu. Kelihatannya Amora telah melupakan pertemuan mereka yang dinilai suram dan melibatkan sakit di hati.

Posisi Aishakar benar-benar sudah tergantikan Dae di hati Amora.

"Setengah jam lagi aku pulang, ya? Aku masih kangen Ale." Amora bertutur lagi.

"Dua puluh menit." Dae menegosiasi.

Amora menahan gelaknya. "Dua puluh lima menit?"

"Lima belas menit." Dae malah mengurangi.

"Oke, dua puluh menit aja kalau gitu." Amora mengalah karena lebih memilih menuruti suaminya. "Bye-bye, Dadda."

"Aku enggak sabar." Dae mendesah pelan.

"Sebentar lagi, ya ... aku tutup dulu teleponnya."

"I love you, Moya," celetuk Dae.

Amora seketika terbang ke Andromeda. Dia sudah tidak bisa mengontrol debaran gila yang membuat wajahnya bertambah merah. Demian melihat itu dan ia buang muka sambil senyam-senyum sendiri.

Demian tidak tau percakapan apa yang terjadi antara Amora dan Dae. Namun, ia yakin itu adalah hal yang baik bagi pasangan suami istri tersebut. Kehadiran Amora sangat berpengaruh positif untuk Dae.

Setelah membalas ucapan Dae, Amora menunggu sampai suaminya mematikan sambungan. Sayang, Dae tidak mau melakukan itu sehingga Amora yang terpaksa memutuskan. Seusai mengembalikan ponsel ke pemiliknya, Amora pergi lagi ke kamar Ale yang kebetulan Flowy juga sudah selesai dengan urusannya.

"Hey, anak anjing cebol. Pasti tadi kamu pipis sekaligus poop." Amora berucap pada Flowy.

Flowy menoleh, nampak tidak terima disebut cebol. Maka dia jalan mendahului Amora dengan pantat geal-geol. Rasanya Amora pengin menepuk bokong sok semok itu.

🤍 ❄️ 🤍

Ale mengecek ponselnya tepat saat ia tiba di restoran Star Food & Bar. Ada segelintir notifikasi baru, tetapi perhatiannya tertuju ke chat dari Aishakar delapan menit lalu.

Ale menyapukan pandangan ke sepenjuru restoran. Pengunjungnya tidak begitu banyak sehingga Ale dengan mudah menemukan sosok berpakaian serba hitam dengan topi di pojok sana. Penampilan Aishakar memang sangat khas di mata Ale.

Perempuan itu memeluk tas hitam berisi kanvas yang dihiasi lukisan wajah Aishakar. Ia mengajak Aishakar bertemu di tempat ini untuk membahas hal penting, sekalian memberikan lukisan tadi. Oh, jangan lupa, Ale lapar.

"Bumi Aishakar Raja!" Ale menepak permukaan meja dan mengejutkan Aishakar yang tengah sibuk memainkan ponsel.

Aishakar menengadah dan pupilnya membesar kala melihat Ale. Tatapannya menunjukkan ia rindu Ale, apalagi senyuman tulus yang terpampang di wajah ganteng itu.

Ale duduk di kursi yang berhadapan dengan Aishakar. Meja mereka masih kosong, tetapi sebentar lagi akan diisi hidangan yang tadi telah Aishakar pesan. Tanpa Ale bilang, lelaki itu tau apa yang menjadi kebutuhannya untuk sekarang.

"Bawa apa?" Aishakar melirik tas hitam Ale.

Ale ikut menatap tas itu, lalu mengamati Aishakar lagi. "Hadiah buat kamu. Masih fresh karena dibuat dadakan hari ini."

Sembari menyerahkan hadiah tersebut ke Aishakar, Ale bilang, "Bukanya di rumah aja."

Aishakar menerima pemberian itu. "Oke. Thanks, Arashel," katanya.

"Sama-sama, Aishakar." Ale menyungging senyum lebar.

Sehabis menaruh tas di kursi kosong sampingnya, Aishakar balik fokus ke perempuan di depannya itu. Terjadi hening hingga berpuluh detik terlewat sebab mereka saling bungkam menatap satu sama lain. Mata biru Aishakar berkilau cantik, dan Ale sangat menikmati keindahannya.

"Dewa Yunani," sebut Ale.

"Yes, My Girl?" Aishakar membalas.

"Cakep banget sih kamu. Enggak bosen liatnya," puji Ale.

Aishakar menarik kursi lebih maju agar ia bisa menumpu tangan di atas meja, juga mencondongkan badan ke Ale. Sekarang ia menilik lekat-lekat paras cantik Ale. Aishakar tidak mengatakan apa pun, tetapi tatapannya yang serius itu bikin Ale mulai salah tingkah.

"Kamu ngajak ketemuan di sini mau bahas yang kemarin? Udah punya keputusan?" Aishakar bertanya.

Ale mengangguk. "Tapi, Ale laper. Jadi, kita makan dulu, ya, baru ngebahas itu."

Tiga menit berlalu, makanan dan minuman mereka datang. Keduanya melahap sajian itu tanpa ada percakapan yang terjadi. Pada kenyataannya, mereka menyimpan banyak sekali kata-kata yang ingin diucap.

Sesekali Aishakar mencuri pandang ke Ale, sesekali juga Ale melirik Aishakar. Selama melakukan itu, mereka sama-sama tidak tau.

Barulah setelah selesai makan, mereka menyiapkan diri untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi kemarin. Rasa gugup dan gelisah seketika datang menghampiri. Ale meremas ujung mantelnya, sedangkan Aishakar lebih banyak menunduk.

"Bu." Ale yang memulai perbincangan ini.

"Iya, Le," sahut Aishakar.

Ale meringis kecil seraya menoleh ke kiri dan kanan. "Kayaknya enggak bisa omongin di sini. Lama-lama makin rame ...."

"Mau di mobil?" Aishakar menyahut.

Ale setuju, di mobil sudah jelas private dan tak ada orang lain yang menyimak. Seharusnya dari awal Ale memilih tempat lebih sepi dibanding restoran. Dia terlalu cepat menyebut tempat itu ketika bertelepon dengan Aishakar pagi tadi.

Maka, mereka meninggalkan restoran menuju mobil yang diparkir tak jauh dari sini. Sepanjang jalan ke parkiran, mereka menutupi wajah upaya melindungi diri dari orang usil yang suka diam-diam memotret. Ale memakai tudung mantel, sementara itu Aishakar mengenakan topi yang menghalangi setengah wajahnya.

Aishakar spontan meraih tangan Ale karena gadis itu berjalan di belakangnya. Ia menggenggam jemari lentik Ale yang tersembunyi di dalam lengan mantel. Sentuhannya menimbulkan sesak sampai Ale refleks menarik napas sangat dalam.

Di mobil, mereka duduk tenang dengan perasaan bercampur-campur. Ale ragu membeberkan isi hatinya kepada Aishakar. Sebaliknya, Aishakar takut mendengar keputusan Ale.

Mobil ini tidak gerak, masih menetap di lahan parkir. Pandangan Ale lurus ke jalanan yang dipenuhi salju. Begitu pula Aishakar, dia bergeming dengan mata tertuju ke pemandangan di luar jendela.

Ale menghirup udara banyak-banyak demi meredakan pengap yang dialaminya. Kepala Aishakar tertoleh, ia memindai wajah Ale dari samping. Raut Ale meredup, dia tidak seceria ketika di restoran.

Perlahan tapi pasti, mata Ale dipenuhi lapisan air yang hampir terjun ke pipi. Ia menarik napas panjang lagi, bersamaan menyeka hidung. Lantas Aishakar mengulurkan tangan untuk mengusap sudut mata Ale yang basah.

"Sayang," panggil Aishakar.

Ale mengontrol dirinya yang nyaris lepas kendali dan menangis. Ia menoleh, memberi tatapan penuh arti untuk Aishakar. Ale tersenyum, tetapi itu hanya membuat matanya makin pedih dan berkaca-kaca.

"Matanya perih, kelilipan rambut," ceplos Ale.

"Kelilipan rambut, atau kamu lagi mendem sesuatu sampe tiba-tiba sedih begini?" Aishakar membalas.

Ale tertawa kecil, suaranya hampir tidak terdengar. Dia berkedip sambil mendongak agar air matanya tak keluar, lalu melebarkan cengirannya di hadapan Aishakar.

"Soal kemarin ... aku udah nemuin jawaban. Ini keputusan aku." Ale berkata, dan kini senyumnya sirna.

"Apa?" Aishakar menanggapi.

"Kita enggak jadi tunangan," ungkap Ale.

Aishakar membisu sejenak. Ia tengah menerima ucapan Ale dalam otak, dan hatinya menolak mentah-mentah keputusan itu. Aishakar tidak ingin hubungan mereka kandas hanya karena kekeliruan yang tidak jelas.

"Segampang itu, Le?" Aishakar menatap sendu perempuannya.

"Segampang kamu bohongin aku," tandas Ale.

Aishakar kehilangan kata. Dia sudah mencoba menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah menyentuh Aphrodite, tidak pernah mencium, apalagi memiliki hubungan serius dengan wanita itu. Ale sama sekali tak memercayainya.

"Dosa, loh, punya banyak pacar. Satu aja," kekeh Ale.

"Emang cuma satu. Kamu." Aishakar menyambar.

"Kamu enggak anggep Mama aku?" cetus Ale. "Bumi, enggak boleh sakitin banyak perempuan. Itu sama aja kayak kamu nyakitin Mamiw dan Atlanna."

"Terserah kamu aja, Le. Aku bingung sama kamu." Aishakar menekan pelipisnya.

"Bingung atau capek ngebela diri?" sambar Ale.

Aishakar berimbuh, "Aku mau ngomong sejujur mungkin kayaknya kamu tetep anggep aku selingkuh, 'kan? Jadi, aku diem aja."

Ale tidak membalas omongan itu, dan Aishakar tampak capek bila harus bicara banyak tapi hasilnya dianggap bohong oleh Ale.

"Kalo aku cuma main-main sama kamu, buat apa aku kenalin kamu ke orang tua aku?" celetuk Aishakar setelah terdiam lama.

"Aku hargai keputusan kamu yang mau batalin tunangan itu. Tapi, aku bakal tetep buktiin tuduhan kamu ke aku itu salah. Aku sama sekali enggak pernah pegang-pegang Mama kamu." Aishakar berujar.

Ale baru akan protes, tetapi Aishakar menyuruhnya diam. Cowok itu menambah kalimatnya, "Aku semalem cerita soal kita ke Papiw. Papiw bilang, tunggu Mamiw pulang buat bantu lurusin semuanya. Mamiw masih di laut."

Aishakar menggapai lengan Ale, dan gadis itu membalas pandangan lembut Aishakar yang membuatnya terenyuh dalam diam. Aishakar tak mengeluarkan suara, namun seakan-akan ia bicara lewat tatapan.

Ale tenggelam dalam pesona mata biru itu, dan tubuhnya semakin mendekat ke Aishakar. Hingga akhirnya, Ale masuk ke pelukan Aishakar dan merasakan hangatnya berada di dekapan itu.

"Kamu harus inget, aku enggak sepenuhnya manusia. Kadang, apa yang kamu liat aneh dari aku, bisa jadi itu ulah usil dari makhluk yang ngusik aku." Aishakar bertutur. "Enggak terkecuali Mama kamu. Bukan maksud aku ngatain Mama kamu makhluk aneh, ya, Le. Kita tunggu penjelasan Mamiw aja nanti."

Ale tidak mengangguk, tak juga menggeleng. Dia seperti boneka yang sedang Aishakar peluk. Ketika lelaki itu mengecup puncak kepalanya, Ale spontan memejamkan mata.

Kini Aishakar memainkan rambut panjang Ale. Ia membelainya dari pangkal kepala hingga bahu. Lalu, Aishakar menjauhkan kepalanya untuk menatap Ale, sehingga mereka bertatapan dari jarak sangat dekat. Pelan-pelan, tangan Aishakar menyentuh telinga dan tengkuk Ale.

Wajah ganteng itu mendekat ke muka Ale. Bibirnya menuju ke bibir Ale yang terkatup rapat. Ale tidak bisa berkutik, tapi degup jantungnya berirama terlalu kencang sampai Ale panas dingin.

Satu sentimeter lagi bibir mereka bertemu. Sayangnya, sesuatu menggagalkan momen itu.

Ponsel Ale berdering membuatnya refleks menoleh. Aishakar terkejut dan dia spontan mundur, membiarkan Ale mengambil ponselnya. Siapa tau ada hal penting yang harus diberi respons.

Ale mengangkat panggilan tersebut. "Halo?"

Ekspresi Ale berubah sangat cepat. Dia terkaku di tempat, matanya terbuka lebar, alisnya mengerut, bibirnya mulai bergetar. Tak lama, ia menurunkan ponselnya dengan tatapan kosong dan pikiran yang gelap gulita.

Ale menelan saliva yang pahit, kemudian menengok ke Aishakar dengan air mata turun deras tanpa isak tangis.

"Kenapa?" Aishakar khawatir, ia kontan memegang tangan Ale yang dingin.

"Tetangga aku nelepon," ucap Ale parau.

"Iya, ada apa?" tanya Aishakar.

Tangis Ale langsung pecah dan Aishakar memeluknya lagi untuk memberi ketenangan. Aishakar mengusap punggung Ale, ia tidak bertanya karena takut salah bicara, atau takut malah membuat Ale tambah histeris.

"Bumi ...," lirih Ale.

"Kenapa, Sayang?" tanggap Aishakar.

"Tante Daisha meninggal."


━━━━━━━━━━━━━━━

MULAI NABUNG YUK BABYGENG! Alaïa 2 rencananya terbit akhir tahun 2021 💅🏼✨💜

━━━━━━━━━━━━━━━

JOIN CHANNEL TELEGRAM @BABYG3NG

soon bakal open member group chat Babygeng!

note:
kalo kamu mau share cerita ini ke sosmed (cuplikan kecil atau ss (jangan terlalu spoiler)) silakan aja ya! aku malah seneng kalo ALAÏA 2 disebar ke mana-mana 😄🤍

🌬 THANK YOU, BABYGENG! 🤍
see you asap!

Continue Reading

You'll Also Like

Why? R By krnsalia

Teen Fiction

787 234 30
Antara Reymond, Ratu atau Geng Revenos Pada awal Ratu sempat kesal namun seiring berjalannya waktu ia mulai menaruh rasa kepada ketua geng revenos it...
21.5M 159K 5
Bagaimana jadinya jika seorang gadis yang periang, ceria, cerewet, ceroboh dan gak bisa diam, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang sangat pendiam, mu...
417K 79.4K 34
Setelah insiden di Kost 25 terselesaikan, kini Rumi dan para bucinnya pindah ke rumah yang juga dijadikan kost an. Dan seorang gadis menye masuk ke...
1.1M 42.5K 62
Menikahi duda beranak satu? Hal itu sungguh tak pernah terlintas di benak Shayra, tapi itu yang menjadi takdirnya. Dia tak bisa menolak saat takdir...