The Dreams and Adventures of...

By rdvillam

4.9K 2.6K 77

Versi Bahasa Inggrisnya sudah terbit dan bisa dibaca secara GRATIS di Amazon Kindle dan Kobo. https://books2r... More

Bab 1 ~ Dunia Mangkuk
Bab 2 ~ Kalian Percaya?
Bab 3 ~ Impian Yara
Bab 4 ~ Membuat Rencana
Bab 5 ~ Memulai Perjalanan
Bab 6 ~ Malam Pertama
Bab 7 ~ Mata Kuning
Bab 8 ~ Pohon Allumint
Bab 9 ~ Dasar Lembah
Bab 10 ~ Kupu-Kupu Bintang
Bab 11 ~ Rongga Gua
Bab 12 ~ Mata Hijau
Bab 13 ~ Menyusuri Lorong
Bab 14 ~ Sungai di Dalam Gua
Bab 15 ~ Bukan Untuk Dimakan
Bab 16 ~ Buah Teropiriyaraint
Bab 17 ~ Makanan Yang Menyulitkan
Bab 18 ~ Dinding Kayu
Bab 19 ~ Menggali Lubang
Bab 20 ~ Bukan Lembah Kita
Bab 21 ~ Si Jangkung
Bab 22 ~ Rumah Merah
Bab 23 ~ Negeri Orang Terbelakang
Bab 24 ~ Peraturan dan Hukuman
Bab 25 ~ Saling Bercerita
Bab 26 ~ Para Pembeli
Bab 27 ~ Rencana Piri
Bab 28 ~ Masuk Kotak
Bab 29 ~ Kawanan Bandit
Bab 30 ~ Rumah Pohon
Bab 31 ~ Prajurit Kerajaan
Bab 32 ~ Rubah Putih
Bab 33 ~ Penunjuk Arah
Bab 34 ~ Burung Gagak
Bab 35 ~ Kamu Punya Rencana?
Bab 36 ~ Membuat Tertidur
Bab 37 ~ Menyusup Masuk
Bab 38 ~ Langit Merah
Bab 39 ~Sihir Hujan
Bab 40 ~ Saatnya Berpisah
Bab 41 ~ Di Dalam Gua
Bab 42 ~ Kembalinya Tuan Rodik
Bab 43 ~ Angin Kencang
Bab 44 ~ Burung Raksasa
Bab 45 ~ Suara Api
Bab 46 ~ Jawaban-Jawaban
Bab 47 ~ Saatnya Pulang
Bab 48 ~ Memeluk Awan
Bab 49 ~ Memenuhi Janji
Bab 50 ~ Terus Bersama
Bab 51 ~ Yang Lebih Menarik
Bab 52 ~ Grayhayr Kecil
Bab 53 ~ Menembus Pegunungan
Bab 54 ~ Celah Tebing
Bab 55 ~ Rubah Merah
Bab 56 ~ Para Pencuri
Bab 57 ~ Itu Untuk Kalian
Bab 58 ~ Kota Perbatasan
Bab 59 ~ Musuh Lama
Bab 60 ~ Negeri Suidon
Bab 61 ~ Waspada Apanya?
Bab 62 ~ Teman Lama
Bab 63 ~ Kesatria Frauli
Bab 64 ~ Di Dalam Hutan
Bab 65 ~ Sergapan
Bab 66 ~ Penjaga Hutan
Bab 67 ~ Grayhayr Emas
Bab 68 ~ Menyusuri Sungai
Bab 69 ~ Kastil Frauli
Bab 70 ~ Lorong Gelap
Bab 71 ~ Sepuluh Cahaya Hijau
Bab 72 ~ Peninggalan Kesatria
Bab 73 ~ Yang Terindah
Bab 74 ~ Rongga Terdalam
Bab 75 ~ Sang Raja
Bab 76 ~ Kisah Leluhur
Bab 77 ~ Gorhai dan Fraidan
Bab 78 ~ Kalian Masih Percaya?
Bab 79 ~ Keputusan
Bab 80 ~ Air Terjun
Bab 81 ~ Memanjat Tebing
Bab 82 ~ Kematian
Bab 83 ~ Impian Perdamaian
Bab 84 ~ Rencana
Bab 85 ~ Pasukan Baru
Bab 86 ~ Benteng Krufix
Bab 87 ~ Hujan Badai
Bab 89 ~ Pertolongan Grayhayr
Bab 90 ~ Pesan Dewi Angin
Bab 91 ~ Perpisahan
Bab 92 ~ Makan-Makan
Bab 93 ~ Anak Baik
Ucapan Terima Kasih
Sudah Terbit di Amazon Kindle dan Kobo

Bab 88 ~ Bersama Kabut

30 21 0
By rdvillam

Tubuh Yara merapat ke samping Piri. Anak perempuan itu gemetar.

"Bukankah kalian berdua seharusnya ...?" Kapten Morat hendak bertanya sesuatu pada keduanya, tetapi setelah beberapa saat ia mengangguk seolah tersadar. "Baik, kalian berdua ikut denganku."

"Tidak," Yara menjawab pelan.

Kapten Morat menatapnya tajam. "Ikut denganku, anak-anak."

"Tidak!" Yara berkata lebih keras.

Sang kapten menoleh pada prajuritnya. "Ambil mereka berdua! Tangkap yang lainnya!"

Yara mengangkat tangan kanannya, berseru, "Tidaaak! Jangan mendekat! Pergi kalian semua!"

Itu adalah teriakan terkeras yang pernah Piri dengar dari Yara, lebih keras daripada jeritannya saat Yara melakukannya di sungai.

Cincin batu hijaunya bersinar, tak hanya menyilaukan siapa pun yang melihatnya, tetapi juga menyakiti siapa pun yang diperintah olehnya.

Ucapan Yara tertuju pada setiap prajurit Mallava. Orang-orang itu langsung melepaskan senjata dan mengerang kesakitan sambil memegangi kepala. Termasuk Kapten Morat yang kaget luar biasa hingga terjungkal jatuh dari atas kudanya.

"Pergi!" Yara semakin berani. Ia melangkah maju dan terus menunjuk ke depan. "Pergi!"

Prajurit Mallava berlarian kabur sambil menjerit-jerit. Sebagian orang bahkan tersungkur hingga berguling-guling di rerumputan dan lereng pegunungan yang becek karena hujan.

Namun Kapten Morat benar-benar seorang laki-laki yang kuat. Tubuhnya bergetar dan wajahnya terlihat berusaha menahan sakit, tapi ia mampu mengangkat tangannya, lalu berteriak. Gemuruh di langit kembali terdengar. Awan gelap bergulung-gulung menghampiri. Kilatan petir menyambar puncak menara di samping pintu gerbang, langsung menghancurkannya.

"Awaaas!" Tuan Karili cepat-cepat menarik tubuh Yara.

Sebongkah batu jatuh menghunjam tanah tempat Yara semula berdiri. Batu-batu lain menyusul jatuh. Piri melompat menghindar, lalu bersama Yara cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh Tuan Karili.

Di depan mereka Kapten Morat tergeletak lemah, tapi ia masih sempat memberi komando sebelum pingsan, "Tangkap ...!"

Bersamaan dengan pingsannya sang Kapten hujan perlahan mereda, menyisakan butir-butir air yang menitik lambat-lambat. Sebagian prajurit Mallava yang pulih dari rasa sakit segera bangkit mengambil tombak.

Cepat-cepat Piri memasang topeng besi ke wajahnya, bersiap menakuti setiap musuh yang mendekat.

Namun entah dari mana ... tiba-tiba terdengar perintah lain.

Menggema di udara. "Bunuh!"

Piri tersentak.

Bunuh?

Jantungnya seolah berhenti. Bukan hanya gara-gara isi perintah yang amat mengerikan itu, tetapi juga karena suaranya yang sangat keras, seolah datang begitu saja dari langit.

Tak hanya Piri, semua orang tampak bingung dan ketakutan, karena tak tahu dari mana suara itu berasal.

Bahkan para prajurit Mallava saling memandang, sepertinya tidak yakin kalau perintah tersebut ditujukan pada mereka.

Hening sesaat, kalimat berikutnya muncul lebih jelas.

"BUNUH MEREKA SEMUA!"

Memang dari langit, atau gunung, atau awan, entahlah, Piri tidak yakin.

Atau mungkin ... suara itu datang bersama kabut.

Kabut tipis perlahan turun, yang seperti halnya hujan tadi, tampaknya juga bukan kabut biasa. Piri bersiap dengan topeng besi di wajahnya. Batu hijaunya memancarkan cahaya.

Ia mulai gelisah, begitu melihat prajurit-prajurit Mallava berjalan maju seolah tak lagi takut pada sihir di topengnya. Jumlah prajurit musuh yang berada di luar benteng ada sekitar dua puluh orang, sementara yang di dalam juga kurang lebih sama. Kedua pasukan itu mendekat, menjepit posisi Piri, Yara dan para prajurit Frauli yang tersisa di sekitar pintu gerbang.

Tombak musuh terhunus, pedang teracung, tepat ke arah mereka.

"Yara ..." Piri menoleh panik, memandangi Yara yang tampak ketakutan pula. "Mereka tidak lagi takut pada topengku."

"Kabut ini, Piri," ucap Tuan Karili. "Penyihir Merah bisa melihat semua yang terjadi dari istananya yang jauh melalui butir-butir air hujan yang diturunkan Kapten Morat. Ia tahu sihir kalian, dan kini ia mengirim kabut untuk melindungi pasukannya dari sihir."

Laki-laki itu menggenggam pedangnya. Ia berteriak mengeluarkan perintah terakhir, "Lindungi Piri dan Yara!"

Ia dan dua pejuang bersiaga menghadap ke luar, tiga lainnya menghadap ke dalam benteng. Mereka maju dua tiga langkah, agar ada sedikit ruang dan posisi mereka tidak terlalu terpojok.

Rufio, Kalai dan Tuan Boromai memegang pedang di tengah, sementara Piri dan Yara berpelukan, menggigil ketakutan.

Dengan satu komando, kedua pasukan Mallava menerjang. Dari balik kabut tebal mereka muncul. Denting pedang dan tombak beradu.

Teriakan semua orang saling sahut-menyahut tanpa henti.

Tuan Karili dan para pejuang Frauli bertarung untuk mungkin yang terakhir kali. Mereka menahan gelombang serangan pertama, menangkis pedang dan tombak musuh, lalu balik menyerang. Sejumlah prajurit Mallava tumbang, terluka, mati, terinjak-injak.

Namun tetap, pada akhirnya pertempuran berjalan tidak seimbang. Duran jatuh, lalu disusul oleh Parid.

Yara menjerit dan menangis. Piri gemetar.

Bayangan Dunia Mangkuk yang indah muncul di benaknya, saat ia, Yara dan seluruh anak-anak lainnya masih bisa berlarian sambil tertawa-tawa ceria. Dulu sama sekali tak pernah terbayang ia akan mengalami kejadian seperti ini.

Sekarang semuanya berlalu begitu cepat.

Mereka akan mati sebentar lagi. Tak ada lagi harapan.

Angin kencang mendadak datang.

Bergulung-gulung menyapu kabut tebal hampir seketika.

Tanpa adanya kabut, Piri kini bisa melihat dengan lebih jelas pertempuran yang tengah berlangsung di sekitarnya. Yang mengerikan melampaui bayangannya dan penuh dengan darah. Sebelum ia sadar apa yang terjadi, suara lengkingan datang memekakkan telinga.

Langit menggelap seolah matahari jatuh tertusuk panah dan kini hilang di balik pegunungan. Cakar-cakar raksasa datang menghajar barisan pasukan Mallava. Tubuh orang-orang itu terlempar tinggi, lalu terlontar jauh ke ujung lembah. Jerit kesakitan orang-orang itu mengganti teriakan-teriakan penuh semangat mereka sebelumnya.

Piri mendongak, terpana, kemudian tersenyum lega.

Grayhayr Emas!

Dia datang ... menyelamatkan Piri dan teman-temannya.

Grayhayr Emas tidak datang sendiri. Ada satu grayhayr lagi yang datang bersamanya, yang tubuhnya lebih kecil dan berbulu warna kelabu.

Piri tersenyum lebar. Itu adalah grayhayr yang beberapa hari yang lalu membawa ia dan Yara keluar dari Dunia Mangkuk melewati pegunungan.

Grayhayr Emas menghancurkan barisan prajurit Mallava di luar benteng, sedangkan si grayhayr kelabu menyerang di dalam. Prajurit yang lolos dari terjangan keduanya langsung tercerai-berai, berlarian kabur. Kedua hewan buas itu berkaok-kaok dengan suara mengerikan, terbang berputar-putar.

Setelah selesai membuat kekacauan, keduanya hinggap di atas dinding benteng, menatap lurus ke bawah. Seluruh prajurit Mallava yang tidak tewas atau pingsan sudah tak ada lagi di tempat, kabur entah ke mana. Hanya tinggal satu orang yang tersisa. Yang masih ingin melawan. Kapten Morat.

Pemimpin pasukan Mallava itu sepertinya sudah sadar dan baru saja melihat kehancuran pasukannya. Tertatih-tatih ia mencoba bangkit, lalu meraih pedangnya, tak peduli pada Tuan Karili, Tuan Boromai, Rufio atau Kalai yang mengacungkan pedang dengan gugup ke arahnya.

Laki-laki berjubah gelap itu menunjuk ke atas dinding benteng, berseru, "Grayhayr! Aku tidak takut padamu!"

Si burung raksasa tidak menanggapinya. Dia tetap bertengger dan hanya memandang sang kapten dengan tatapan angkuh.

"Turun!" teriak Kapten Morat. "Ayo, bertarung denganku! Di tanah! Kalau kau berani!"

Continue Reading

You'll Also Like

393K 19.7K 32
Berawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipak...
10.7K 2.1K 58
"Ki Lurah, anak saya hilang!", teriak seorang lelaki di beranda rumah. "Bukannya tadi main dengan anak-anak yang lain?" "Tidak ada. Coba perhatikan."...
329K 13.9K 16
Wattys 2017 Winner Storysmiths Category. Aku pingsan pada suatu malam di dapur apartemenku. Ketika terbangun, rasa pusing begitu mendera di kepalaku...
175K 41.1K 32
[Completed Chapter] Danta berusia 75 tahun ini, dan satu-satunya acara jalan-jalan keluar rumah yang bisa pria tua itu dapatkan hanyalah melayat pema...