Tubuh Yara merapat ke samping Piri. Anak perempuan itu gemetar.
"Bukankah kalian berdua seharusnya ...?" Kapten Morat hendak bertanya sesuatu pada keduanya, tetapi setelah beberapa saat ia mengangguk seolah tersadar. "Baik, kalian berdua ikut denganku."
"Tidak," Yara menjawab pelan.
Kapten Morat menatapnya tajam. "Ikut denganku, anak-anak."
"Tidak!" Yara berkata lebih keras.
Sang kapten menoleh pada prajuritnya. "Ambil mereka berdua! Tangkap yang lainnya!"
Yara mengangkat tangan kanannya, berseru, "Tidaaak! Jangan mendekat! Pergi kalian semua!"
Itu adalah teriakan terkeras yang pernah Piri dengar dari Yara, lebih keras daripada jeritannya saat Yara melakukannya di sungai.
Cincin batu hijaunya bersinar, tak hanya menyilaukan siapa pun yang melihatnya, tetapi juga menyakiti siapa pun yang diperintah olehnya.
Ucapan Yara tertuju pada setiap prajurit Mallava. Orang-orang itu langsung melepaskan senjata dan mengerang kesakitan sambil memegangi kepala. Termasuk Kapten Morat yang kaget luar biasa hingga terjungkal jatuh dari atas kudanya.
"Pergi!" Yara semakin berani. Ia melangkah maju dan terus menunjuk ke depan. "Pergi!"
Prajurit Mallava berlarian kabur sambil menjerit-jerit. Sebagian orang bahkan tersungkur hingga berguling-guling di rerumputan dan lereng pegunungan yang becek karena hujan.
Namun Kapten Morat benar-benar seorang laki-laki yang kuat. Tubuhnya bergetar dan wajahnya terlihat berusaha menahan sakit, tapi ia mampu mengangkat tangannya, lalu berteriak. Gemuruh di langit kembali terdengar. Awan gelap bergulung-gulung menghampiri. Kilatan petir menyambar puncak menara di samping pintu gerbang, langsung menghancurkannya.
"Awaaas!" Tuan Karili cepat-cepat menarik tubuh Yara.
Sebongkah batu jatuh menghunjam tanah tempat Yara semula berdiri. Batu-batu lain menyusul jatuh. Piri melompat menghindar, lalu bersama Yara cepat-cepat bersembunyi di balik tubuh Tuan Karili.
Di depan mereka Kapten Morat tergeletak lemah, tapi ia masih sempat memberi komando sebelum pingsan, "Tangkap ...!"
Bersamaan dengan pingsannya sang Kapten hujan perlahan mereda, menyisakan butir-butir air yang menitik lambat-lambat. Sebagian prajurit Mallava yang pulih dari rasa sakit segera bangkit mengambil tombak.
Cepat-cepat Piri memasang topeng besi ke wajahnya, bersiap menakuti setiap musuh yang mendekat.
Namun entah dari mana ... tiba-tiba terdengar perintah lain.
Menggema di udara. "Bunuh!"
Piri tersentak.
Bunuh?
Jantungnya seolah berhenti. Bukan hanya gara-gara isi perintah yang amat mengerikan itu, tetapi juga karena suaranya yang sangat keras, seolah datang begitu saja dari langit.
Tak hanya Piri, semua orang tampak bingung dan ketakutan, karena tak tahu dari mana suara itu berasal.
Bahkan para prajurit Mallava saling memandang, sepertinya tidak yakin kalau perintah tersebut ditujukan pada mereka.
Hening sesaat, kalimat berikutnya muncul lebih jelas.
"BUNUH MEREKA SEMUA!"
Memang dari langit, atau gunung, atau awan, entahlah, Piri tidak yakin.
Atau mungkin ... suara itu datang bersama kabut.
Kabut tipis perlahan turun, yang seperti halnya hujan tadi, tampaknya juga bukan kabut biasa. Piri bersiap dengan topeng besi di wajahnya. Batu hijaunya memancarkan cahaya.
Ia mulai gelisah, begitu melihat prajurit-prajurit Mallava berjalan maju seolah tak lagi takut pada sihir di topengnya. Jumlah prajurit musuh yang berada di luar benteng ada sekitar dua puluh orang, sementara yang di dalam juga kurang lebih sama. Kedua pasukan itu mendekat, menjepit posisi Piri, Yara dan para prajurit Frauli yang tersisa di sekitar pintu gerbang.
Tombak musuh terhunus, pedang teracung, tepat ke arah mereka.
"Yara ..." Piri menoleh panik, memandangi Yara yang tampak ketakutan pula. "Mereka tidak lagi takut pada topengku."
"Kabut ini, Piri," ucap Tuan Karili. "Penyihir Merah bisa melihat semua yang terjadi dari istananya yang jauh melalui butir-butir air hujan yang diturunkan Kapten Morat. Ia tahu sihir kalian, dan kini ia mengirim kabut untuk melindungi pasukannya dari sihir."
Laki-laki itu menggenggam pedangnya. Ia berteriak mengeluarkan perintah terakhir, "Lindungi Piri dan Yara!"
Ia dan dua pejuang bersiaga menghadap ke luar, tiga lainnya menghadap ke dalam benteng. Mereka maju dua tiga langkah, agar ada sedikit ruang dan posisi mereka tidak terlalu terpojok.
Rufio, Kalai dan Tuan Boromai memegang pedang di tengah, sementara Piri dan Yara berpelukan, menggigil ketakutan.
Dengan satu komando, kedua pasukan Mallava menerjang. Dari balik kabut tebal mereka muncul. Denting pedang dan tombak beradu.
Teriakan semua orang saling sahut-menyahut tanpa henti.
Tuan Karili dan para pejuang Frauli bertarung untuk mungkin yang terakhir kali. Mereka menahan gelombang serangan pertama, menangkis pedang dan tombak musuh, lalu balik menyerang. Sejumlah prajurit Mallava tumbang, terluka, mati, terinjak-injak.
Namun tetap, pada akhirnya pertempuran berjalan tidak seimbang. Duran jatuh, lalu disusul oleh Parid.
Yara menjerit dan menangis. Piri gemetar.
Bayangan Dunia Mangkuk yang indah muncul di benaknya, saat ia, Yara dan seluruh anak-anak lainnya masih bisa berlarian sambil tertawa-tawa ceria. Dulu sama sekali tak pernah terbayang ia akan mengalami kejadian seperti ini.
Sekarang semuanya berlalu begitu cepat.
Mereka akan mati sebentar lagi. Tak ada lagi harapan.
Angin kencang mendadak datang.
Bergulung-gulung menyapu kabut tebal hampir seketika.
Tanpa adanya kabut, Piri kini bisa melihat dengan lebih jelas pertempuran yang tengah berlangsung di sekitarnya. Yang mengerikan melampaui bayangannya dan penuh dengan darah. Sebelum ia sadar apa yang terjadi, suara lengkingan datang memekakkan telinga.
Langit menggelap seolah matahari jatuh tertusuk panah dan kini hilang di balik pegunungan. Cakar-cakar raksasa datang menghajar barisan pasukan Mallava. Tubuh orang-orang itu terlempar tinggi, lalu terlontar jauh ke ujung lembah. Jerit kesakitan orang-orang itu mengganti teriakan-teriakan penuh semangat mereka sebelumnya.
Piri mendongak, terpana, kemudian tersenyum lega.
Grayhayr Emas!
Dia datang ... menyelamatkan Piri dan teman-temannya.
Grayhayr Emas tidak datang sendiri. Ada satu grayhayr lagi yang datang bersamanya, yang tubuhnya lebih kecil dan berbulu warna kelabu.
Piri tersenyum lebar. Itu adalah grayhayr yang beberapa hari yang lalu membawa ia dan Yara keluar dari Dunia Mangkuk melewati pegunungan.
Grayhayr Emas menghancurkan barisan prajurit Mallava di luar benteng, sedangkan si grayhayr kelabu menyerang di dalam. Prajurit yang lolos dari terjangan keduanya langsung tercerai-berai, berlarian kabur. Kedua hewan buas itu berkaok-kaok dengan suara mengerikan, terbang berputar-putar.
Setelah selesai membuat kekacauan, keduanya hinggap di atas dinding benteng, menatap lurus ke bawah. Seluruh prajurit Mallava yang tidak tewas atau pingsan sudah tak ada lagi di tempat, kabur entah ke mana. Hanya tinggal satu orang yang tersisa. Yang masih ingin melawan. Kapten Morat.
Pemimpin pasukan Mallava itu sepertinya sudah sadar dan baru saja melihat kehancuran pasukannya. Tertatih-tatih ia mencoba bangkit, lalu meraih pedangnya, tak peduli pada Tuan Karili, Tuan Boromai, Rufio atau Kalai yang mengacungkan pedang dengan gugup ke arahnya.
Laki-laki berjubah gelap itu menunjuk ke atas dinding benteng, berseru, "Grayhayr! Aku tidak takut padamu!"
Si burung raksasa tidak menanggapinya. Dia tetap bertengger dan hanya memandang sang kapten dengan tatapan angkuh.
"Turun!" teriak Kapten Morat. "Ayo, bertarung denganku! Di tanah! Kalau kau berani!"