Bab 49 ~ Memenuhi Janji

36 27 0
                                    

Kedua grayhayr menurunkan Piri, Yara dan Tero di rerumputan. Tiga puluh anak kini berteriak riang dan lari menyambut. Namun anak-anak itu belum berani mendekat, karena masih ada burung raksasa yang kelihatan begitu mengerikan.

Piri melihat Jiro, Buro, Sera dan Nere ada di antara anak-anak, tampak baik-baik saja. Ia pun menarik napas lega.

Piri, Yara dan Tero membelai-belai paruh kedua burung, dan mengucapkan terima kasih. Kedua grayhayr mengangguk, lalu dengan hentakan kuat di tanah, keduanya kembali ke angkasa, meninggalkan anak-anak.

Setelah mereka pergi barulah semua anak berpelukan, bersorak dan tertawa-tawa gembira.

Jiro, Buro dan anak-anak lainnya berebutan bertanya.

"Kalian ke mana?"

"Apa yang terjadi?"

"Siapa burung-burung itu?"

"Kenapa kalian memakai benda-benda aneh ini?"

Piri dan Yara hanya tersenyum lebar.

Untuk seluruh pertanyaan itu, Tero yang tampaknya paling siap menjawab. Dengan lantang ia berkata, "Akan kuceritakan semuanya! Petualangan terhebat yang pernah ada! Tapi kami mesti makan dulu. Ya! Makan buah-buahan paling enak dari Dunia Mangkuk kita yang tercinta!"

---

Dua hari kemudian, menjelang tengah hari, Piri berkunjung ke kebun bunga milik Tero yang letaknya tak jauh dari sungai. Selain aneka bunga berwarna-warni di sana juga beterbangan kupu-kupu berbagai jenis.

Bagi anak-anak ini salah satu tempat terindah di Dunia Mangkuk. Di salah satu sudutnya, di bawah pohon karamunt, Tero duduk dikelilingi anak-anak lainnya, yang tengah mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Tero punya banyak hal hebat untuk diceritakan. Dibanding Piri dan Yara, Tero yang paling bersemangat dan pandai dalam bercerita. Setelah dua hari anak-anak masih terus mengikutinya, meminta Tero bercerita lebih banyak tentang kehidupan di luar sana. Apalagi karena tadi pagi saat Kakek muncul di tepi sungai, dia tetap tidak menjelaskan macam-macam tentang dunia luar yang sebenarnya sangat ingin mereka ketahui.

Begitu melihat Piri, segera Tero memanggil, "Piri! Aku baru saja bercerita tentang kupu-kupu bintang. Ribuan kupu-kupu yang menerangi kegelapan dengan kilatan cahaya di sayapnya! Sayangnya aku tak bisa menunjukkan kupu-kupu itu!" Ia menatap anak-anak yang menjadi pendengarnya. "Tapi kalian semua percaya, kan?"

"Ya," tukas si gemuk Buro, masih sambil menggerogoti buah allumint dengan penuh semangat. "Kenapa harus tidak percaya?"

"Kami hanya penasaran," sahut si tinggi kurus Jiro. "Kami juga ingin melihatnya suatu hari nanti."

"Kalian pasti bisa," kata Tero yakin. "Aku juga mau ke sana lagi mencari mereka. Berjalan-jalan, melihat hal-hal baru. Tapi seperti kata Pak Api yang memberi nasihat di atas pegunungan, sebaiknya kita lakukan itu setelah kita lebih besar, lebih kuat dan lebih pandai. Jadi kita sudah bisa menjaga diri kita sendiri."

"Aku ingin pergi juga," Sera, anak perempuan bertubuh mungil itu berkata. "Memeluk awan, atau menginjak pasir putih di puncak pegunungan." Ia tersenyum. "Apa rasanya benar-benar dingin?"

"Aku sudah berulang kali cerita, kan?" tukas Tero. "Pasir itu rasanya dingin sekali!"

"Itu bukan pasir," kata Piri.

Ia teringat, sesaat ketika mereka baru saja pulang ke Dunia Mangkuk, Yara bercerita dengan penuh semangat tentang awan dan pasir putih di puncak pegunungan. Anak perempuan itu lalu merogoh kantongnya untuk menunjukkan pasir miliknya. Ternyata di dalam sana hanya ada air dingin yang membasahi kantong dan bajunya, sama sekali tak ada sisa-sisa pasir.

Piri dan Tero sama juga, pasir di kantong mereka juga sudah berubah menjadi air. Yara menjadi kesal, dan akibatnya membisu selama beberapa lama. Setelah kesalnya hilang, Yara lalu berkata pada Piri, serbuk putih itu bukan pasir, melainkan air yang membeku karena dinginnya pegunungan.

Maka itu pulalah yang lalu dikatakan Piri sekarang, "Itu semacam air yang membeku."

"Aku mau melihatnya nanti," Sera mengulang ucapannya sambil tertawa kecil. "Dan kamu mesti menemaniku, Piri. Kamu mau, kan?"

"Boleh." Piri nyengir.

"Aku juga." Nere, yang kali tidak sedang melamun, mengangguk di sampingnya sambil tersenyum lebar. "Kalau kita sudah besar. Kita tidak mungkin mendaki sampai jauh ke atas sana kalau kita masih kecil seperti ini. Nanti malah celaka."

"Dan kalian harus memakai baju, celana, juga penutup tangan dan kaki," tambah Tero. "Seperti yang dipakai orang-orang di luar sana. Kalian tidak mungkin tahan dinginnya kalau tidak memakai baju."

"Aku jadi terpikir, kenapa kamu, Piri dan Yara sekarang tidak lagi memakai baju itu, seperti saat kalian datang?" tanya Jiro.

"Apa kalian malu karena harus memakai baju?" Buro tertawa sekeras-kerasnya.

Anak-anak yang lain ikut tertawa.

"Di sini lebih enak tidak memakai baju," tukas Tero. "Nanti saja kalau kita sudah besar, dan mau pergi lagi ke dunia luar."

"Hei, kita bisa pergi tanpa harus mendaki, kan? Kalau kita minta bantuan pada burung raksasa itu," Buro berkata sambil menatap Piri. "Bagaimana, kita bisa memanggil mereka?"

"Aku tidak tahu." Piri menggeleng.

"Kamu mau mencobanya?" tanya Jiro.

"Mungkin, tapi tidak sekarang."

Memanggil para grayhayr? Meminta tolong pada Dewi Angin hanya untuk membawa anak-anak pergi ke puncak pegunungan? Piri tidak yakin Dewi Angin mau begitu saja menolong mereka hanya untuk hal-hal sekecil itu.

"Betul, jangan sekarang," Tero menyahut. "Memangnya burung-burung itu tak punya tugas di tempat lain? Lagipula kalau kalian mau pergi kenapa tidak minta saja pada Kakek? Siapa tahu Kakek bisa menolong. Bagaimana, mau mencoba itu?"

Jiro dan Buro saling memandang. Bukannya menjawab, mereka kemudian malah tertawa sambil menggaruk-garuk kepala.

Anak-anak yang lain tertawa pula. "Haha! Kalian tidak berani!"

Setelah itu mereka membuka kantong-kantong makanan berisi buah-buahan, siap untuk makan siang.

Tetapi Piri tidak bergabung. Ia mengajak Tero menjauh.

"Aku mau pergi sebentar," katanya.

"Ke mana?" tanya Tero.

"Jalan-jalan, menyusuri sungai."

Tero memandanginya curiga, lalu berbisik, "Kamu menemukan sesuatu yang menarik?"

"Belum tahu," jawab Piri ragu. "Tapi kalau aku menemukan sesuatu, pasti kamu akan kuberitahu."

"Ya sudah. Jaga dirimu."

"Terima kasih. Aku pergi dulu."

Piri meninggalkan Tero dan anak-anak lainnya. Ia menyusuri tepian sungai menjauhi daerah tempat tinggal mereka, melewati padang rumput dan perbukitan yang sepi. Setelah beberapa lama, ia berhenti di sebuah kelokan sungai. Di seberang sungai terdapat dinding pegunungan yang menjulang tinggi, dan di balik salah satu batu besarnya ada mulut gua setinggi tubuh orang dewasa. Air sungai mengalir ke dalam gua itu.

Piri menemukan tempat itu secara tidak sengaja, dua hari lalu saat diantar pulang si burung raksasa. Saat itu sekilas ia melihat lubang gelap di sisi sungai, dan perasaannya mengatakan bisa jadi itu salah satu mulut gua yang terhubung dengan gua yang dulu ia masuki bersama Yara dan Tero.

Piri belum menceritakan penemuan ini pada anak-anak lain, karena ia belum yakin apakah perkiraannya benar. Pikirnya, lebih baik ia memeriksa dulu gua itu sedalam apa, dan baru nanti memberitahu hasilnya ke Yara atau Tero. Tetapi, jika ternyata sekarang ia berhasil menemukan jalan masuk, kemudian bertemu dengan si makhluk hijau, ia sudah siap. Di dalam kantong yang ia bawa ia telah menyiapkan buah-buahan berbagai jenis, yang bisa ia berikan pada Obain.

Piri akan memenuhi janjinya pada laki-laki itu.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now