Tentang Jayyida

Od muti3536

126 33 68

Jayyida sangat menyukai sekolah. Tapi ia harus berhenti sekolah karena masalah keluarganya. Namun, Sekolah me... Více

Bab 1 Ini Jayyida
Bab 2 Nilai 100
Bab 3 Aku Akan Berhenti Sekolah
Bab 4 Cahaya Kelabu
Bab 5 Cahaya Terang
Bab 6 Mencari Cahaya
Bab 7 Mendekati Cahaya
Bab 8 Menyusuri Cahaya
Bab 10 Jayyida Kenapa?

Bab 9 Cahaya yang Hilang

6 2 9
Od muti3536

Butek nian hidupku, Ya Allah.

Sanggup gak ya buat terus lanjut.

Terkadang emosi sesaat lebih dulu datang dari pada logika.

Gimana nih? Syukurin? Lanjutin? Serahin?


'Muhammad Syafi, Si Sapi Keriting Sipit~


Syafi masih bermalas-malasan di tempat tidurnya. Ponsel pintarnya malas ia mainkan saat teman sekamarnya sibuk dengan miliknya masing-masing. Ada yang telponan, main games, atau ada yang cuma sekedar baca webtun di gawainya. Syafi gabut. Tiba-tiba saja ia kehilangan minat. Berkali-kali dimainkannya tombol on off untuk sekadar membuang bosan dan mengiringi pikirannya berjalan sendirian.

Hari Jum'at adalah surga bagi santri Pondok Pesantren fatihah. Pasalnya, Jum'at bukan lagi Friday, tapi telah menjadi freeday. Tidak ada kelas atau kegiatan mengaji dan atau ekstrakurikuler apapu. Bebas. Hari ini pesantren menetapkan sebagai hari istirahat santri. Hari ini dipakai anak santri untuk dirinya sendiri. Me time. Tidak akan kena takzir jika ingin tidur seharian dari setelah subuh sampai zuhur. Tapi harus ikut Jumsih atau Ju'at bersih terlebih dulu.

Namun, yang paling membahagiakan bagi santri adalah Celly time. Hari di mana pondok pesantren memberikan kebijakan untuk santri memainkan ponsel masing-masing dari pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore. Pada hari ini mereka bebas melakukan apa yang disukai, kecuali memainkan, membuka, dan atau menonton sesuatu yang diharamkan, suatu hal yang negative.

Jum'at ini, Syafi sedang kehilangan semangatnya ketika berhadapan dengan layar pipih tipis itu.

"Mabar, Syaf. Yok," ajak Amar, siswa kelas XI. "Enggak seru main sendirian."

"Enggak, ah. Males," jawab Syafi tanpa menoleh.

Bunyi nyaring tabung drumband dibunyikan Rudi dengan sengaja untuk mengganggu kesenangan tetangga kamarnya.

"Jum'at, Guys, Jum'at. Jangan main hape aja. Saatnya ibadah," kata Ruda dengan lantang. "Ibdah, woy, berdoa. Doa hari jum'at itu mustajab kata Rosul juga. Nih dengerin Haditsnya ya kalau enggak percaya." Rudi berdiri tegak. Penghuni kamar Ibrahim itu membuka kupingnya dengan seksama.

"Sesungguhnya pada hari Jumat itu ada satu saat, tidak ada seseorang yang memohon sesuatu kepada Allah pada saat itu melainkan Allah pasti akan memberi kepadanya." (HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi).

"Thank you, Bro, pencerahannya. Kita udah berdoa, meminta, dan memohon sama Allah tadi Subuh. Sekarang kita mau me time dulu. Enggak dosa, kok kita. Suer." Amar mengacungkan jari viktorinya. "Udah mendingan kamu keuar, deh. Jangan saling ganggu alam masing-masing ya. Oke."

"Masing-masing. lo pikir gue di alam Jin," protes Rudi.

Didorongnya Rudi keluar kamar Ibrahim oleh Amar.

"Udah ibadah gue tadi, Salat Duha delapan rakaat. Sekarang mau ngaso dulu sambil baca webtun. Sana pergi." Amar segera menutup pintu sebelum Rudi masuk lagi.

Teman lain di kamar itu tertawa melihat kesalnya Amar pada ulah Rudi, Si pengganggu. Rudi memang terkenal sebagai santri kocak sejak tiga tahun yang lalu saat ia masih di Tsanawiyah. Makanya kejailannya tidak membuat para pendengarnya marah besar.

Setelah Rudi keluar, kamar tenang kembali dan mereka melanjutkan aktifitasnya.

"Syaf, kamu sekelas sama Jayyida, kan?" Nafi tiba-tiba menepuk datang dan kakinya.

"Iya. Kenapa emangnya?" Syafi menyahuti dengan datar.

"Punya nomor teleponnya, kah?"

"Enggak punya."

"Jayyida yang Hapal Al-Qur'an itu, ya? Dia udah pindah ke asrama, lho." Rofi juga ikut nimbrung dan duduk di ranjang yang berhadapan dengan Syafi. "Mau nomor teleponya, dong, mumpung hari jum'at ini.

Syafi tidak menjawab. Ia terlalu malas untuk mengobrol sekarang.

"Jangan pelit, dong, Syaf." Nafi, siswa kelas dua belas masih menunggu jawaban Syafi. "Kan kita juga mau jadi temannya.

Syafi mengangkat ujung bibir atasnya.

"Jangan bilang enggak punya, lu, ya." Rofi, si Ketua OSIS menggelitik telapak kaki Syafi. "Enggak percaya."

Syafi spontan bereaksi. Geli.

"Apa, sih? Datang-datang ributin Si Ayi." Syafi tampak kesal. "Gue gak punya nomor teleponnya dia. Nomor sepatunya gue punya. 38." Syafi bangun dari tempat tidurnya dan beranjak meninggalkan kedua kakak kelasnya. "Kalian cari sendiri, deh."

"Ngambek, Syaf. Lagi ngidam?" Nafi tertawa melihat tingkah kelas adik kelas paling kecil di kamarnya. "Hei! jangan kabur!"

"BT!" Kenapa tiba-tiba tuh anak cewek jadi terkenal begini, ya.dulu enggak pernah nyangkol sekali pun si Jayyida disebut." Syafi menggaruk kepalanya tak gatal. "Pasti gara-gara pembukaan class meeting itu.

Syafi kesal, nama Jayyida terdengar tidak hanya di kamar, tapi juga saat melewati lorong kamar-kamar santri. Mereka penasaran dengan Jayyida yang muncul tiba-tiba dengan Hapalan Al-Qur'annya dengan Kiai Arsyad. Idola baru setelah Syafira, si perfect visual.

"Kak Syaf, salamin ke Kak Jayyida, ya kalau besok ketemu di kelas." Amir, siswa kelas VII lewat di hadapan Syafi sambil menenteng seember cucian kotor.

"Ogah! Ini lagi anak bau kencur ikut-ikutan heboh." Setengah melotot dua bola mata Syafi keluar utuk si anak agar berhenti mengganggunya. "Ada apa dengan dunia saat ini?"

Ponselnya berbunyi mematikan kekesalannya pada Amir. Amir segera berlari begitu telpon masuk milik Syafi muncul.

"Apa, Kak?"

Syafi menerima telepon dari Kakaknya. Raut wajahnya bertambah masam mendengar sang kakak bertutur di telepon.

"Bilangin Mama, aku juga enggak butuh Mama. Mama urusin aja kerjaannya. Aku cuma butuh uangnya." Mata Syafi berkaca-kaca. Ditutupnya panggilan itu dengan kasar.

Mood buruknya sejak malam tadi belum juga reda. Pantas saja ia tak bisa tidur semalam. Mama yang ditunggunya batal lagi menjenguknya. Mama belum pernah sekalipun datang untuk melihatnya. Sibuk rapat, sibuk kunjungan, dan sibuk lainnya. Semua kata sibuk itu membuatnya muak.

"Mama yang sibuk, gue yang capek. Capek hati," batinnya.

Hari jum'at adalah hari kasih sayang di pesantren Fatihah ini. Orang tua atau keluarga santri akan memenuhi rumah singgah di pondok pesantren untuk menjenguk anak-anak mereka. Dan Syafi belum pernah mendapatkannya.

Ia selalu iri dengan teman-temannya yang mendapatkan peluk hangat keluarganya saat bertemu di hari Jum'at. Ludahnya selalu mencair saat melihat para orang tua membukakan nasi timbel. Timbel anak santri walapun hanya dengan sambal terasi dan ikan asin, lebih nikmat daripada daging tapi bukan tangan mama yang buat. Ia cemburu.

"Lama-lama nyesel juga enggak jadi kabur," keluhnya. "Ngapain gue di sini kalau masih uring-uringan begini." Syafi terduduk sendiri di balkon depan kamarnya berharap angin membawa terbang kekusutan hatinya.

Termenung ia sendirian diantara renyahnya suara tawa santri kecil dan obrolan santri kelas senior. Ia tak tertarik untuk ikut menjadi bagian dari kesenangan itu.

Sejak kecil, Syafi telah terbiasa ditinggal orang tuanya bekerja. Orang tuanya berangkat saat Syafi masih tidur di pagi hari. Malam hari ketika Syafi sudah tidur, orang tuanya baru sampai rumah. Diantara itu, segala kebutuhannya dipenuhi oleh pengasuh dan asisten rumah tangganya. Kakak-kakanya dulu sekolah. Pulang sore dan tak punya cukup waktu untuk bermain. Penyendiri adalah Syafi sejak dahulu.

Keluarganya kurang memedulikan Syafi saat semua baik-baik saja. Baru ketika Syafi beranjak remaja. Masalah menimpa Syafi tak pernah luput. Ia ikut tawuran saat kelas tiga SMP. Merokok, membolos, mem-bully adalah kelakuannya yang membuat sekolah menyerah. Dan mengembalikannya ke orang tua. Untuk membuat Syafi tidak terjerumus lebih jauh dari masa kelamnya, orang tuanya mengirimnya ke Pondok Pesantren fatihah, alaih-alih merangkul dan lebih memperhatikannya.

Syafi lebih marah karena ia mera dibuang. Oleh karena itu, di semester awal masa sekolahnya di pesantren, berkali-kali ia mencoba kabur. Namun, belum pernah berhasil. Keamanan pesantren jauh lebih canggih dari pada otaknya. Kunci dan petugas keamanan di setiap gerbang tak membiarkannya lolos. Terakhir kali saat Syafi berhasil lolos, ucapan panjang Jayyida menghentikannya. "Orang baik" ini yang terpatri di otaknya. Namun bukan itu saja. Ayat Al-Qur'an yang dilantunkan Jayyida saat itu menghangatkan hatinya. Bak oase tersiran air sejuk, hatinya merasa tenang. Akhirnya, ia memutuskan untuk benar-benar bertahan di pesantren.

"Gue enggak mau kayak Mama Papa yang hanya kaya akan materi tapi miskin hati . sehingga enggak ada kasih sayang yang mampu mereka berikan. Jangankan ngajarin ngaji, salat pun mereka enggak pernah nyuruh gue. Gue juga gak tahu mereka salat apa enggak. Tahu urutan wudu atau enggak. Dan itu nyakitin gue," gumam Syafi. Ia menatap sawah hijau yang terhampar di depan matanya. Menyejukkan.

"Gue mau lanjut di sini. Karena tubuh gue enggak cuma punya perut, tapi ada tangan, kaki, hati, jantung, otak, dan lainnya. Jadi gue enggak cuma butuh makan buat perut gue, tapi gue butuh asupan untuk hati nurani. Biar nanti enggak nyakitin orang. Enggak kayak Mama sama Papa.

"Mama Papa kerja juga buat masa depan kamu, sayang," Kalimat Mama muncul dengan cepat.

"Bulshit!" Syafi mengepal. "Masa depan yang mana kalau kerjanya kayak kerja rodi begitu. Mereka enggak pernah mikir kalau di rumah ada gue. Anaknya."

"Ya Allah. Kuatkan. Kuatkan." Syafi memejamkan kedua matanya sambil menengadah ke langit.

Bersamaan dengan itu, muncul lagi ucapan Jayyida di memorinya.

"Aku mau banget jadi orang baik. Dengan begitu, aku enggak akan nyakitin orang lain. Laki-laki harus baik, Syaf. Mereka akan punya anak isteri. Kalau tidak baik, mau diapakan anak isterimu nanti. Dilenyapkan lebih baik dari pada disakiti."

Bulu kuduk Syafi merinding ketika otaknya menekan pada kalimat terakhir. "Akan seperi itu, kah, kalau gue jadi orang jahat. Ngeri banget kata-kata si Ayi. Dia disakiti siapa emangnya?"

"Syaf mandi!" teriak Rudi dari jendela kamar. "Cepetan mumpung ada bilik yang kosong."

"Nanti aja mau jum'atan!" seru Syafi. Ia biarkan rambut lepek, keringat acem, wajah lusuh pada dirinya sekarang. "Bosan ganteng, gue."

Bantal lecek Rudi melayang ke wajah Syafi.

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.1M 45.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
7M 296K 60
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
3.5M 179K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...