Kala Hati T'lah Berlabuh

By Arariru12

333 102 61

Setelah berhasil keluar dari jerat yang dilakukan oleh keluarga besar ayahnya, akankah Aila mampu menemukan k... More

Perkenalan Tokoh
Tentang Mutia Senja Paradi
Tentang Aila Maharani P (Lilyana Aeyza)
Rumah Willy
Rumah(?)
Kebebasan(?)
Nugraha dan Aila
Gegabah
Kenapa?
Ego
Lara = Aila
Hallo!
Hallo

Amarah Tertahan Mutia Senja Paradi

5 1 0
By Arariru12

“Aku lebih memilih menjadi orang bodoh, tetapi mengerti. Daripada cerdas, tapi tak memiliki empati.”
Semesta, 23 September 2021

•••

Mutia tersenyum kaku di samping Aditya. Di hadapannya, seorang wanita paruh baya dengan gaya glamor, tengah duduk sembari memandang remeh keduanya. Jelas, Mutia tahu siapa wanita itu.

Wanita paling menyebalkan yang pernah ia temui. Wanita yang katanya terlampau menyayangi Aila, hingga menjadikan gadis itu boneka dengan dalih untuk kebaikan gadis itu.

Mutia bahkan ingat, satu tahun yang lalu, kala wanita itu berkunjung ke kafe miliknya dan Aila. Ia datang dengan wajah pucat pasi dan telak membuat sahabatnya khawatir bukan kepalang.

Namun, sayangnya Mutia tidak sebodoh itu. Ia bahkan bisa melihat senyum menyeramkan yang terpatri di bibir wanita itu, kala melihat Aila yang kalang kabut mencari obat dan akhirnya harus pergi ke apotek.

Saat itu, Mutia disuruh untuk menjaga bu'de Sang Sahabat. Meski enggan, ia duduk menemani wanita paruh baya yang terbaring lemah di sofa. Hingga, suara lemah dan sedikit pilu, membuatnya mau tak mau mengalihkan atensi dari ponselnya kala itu.

“Lia itu permata kecil kami, kau tau? Kami semua bahkan mendapatkan jadwal sendiri jika mau tidur bersamanya, jalan-jalan, atau apalah itu.”

“Pasti Lia risih. Dia udah gede dan diperlakuin kayak anak kecil.” Mutia saat itu menjawab dengan ketus.

“Di mata kami, dia memang masih anak kecil. Kepergian Lia satu tahun yang lalu, telak membuat kami frustasi. Bahkan, rumah yang biasanya terasa hangat pun, jadi lebih mendingin. Jujur, kami menyesal.”

Mutia tersenyum datar, lalu memandang wanita itu dengan sendu. “Penyesalanmu, tidak bisa merubah apa-apa, Nyonya Alea. Lia sudah tumbuh menjadi pribadi yang sulit untuk didekati. Ia bahkan menjadi sosok egois dan tempramental.”

‘Jika belum kenal dan privasinya terancam.’ Mutia melanjutkan kalimat itu dalam hati.

Nyonya Alea terkekeh pelan, lalu memandang ruangan dengan remeh. “Itu bagus. Kami menginginkan itu sedari dulu.” Wanita itu berdecak pelan, setelah itu melanjutkan kalimatnya, “ia tidak akan mudah dikelabui dan dimanfaatkan. Kau tau, Nak? Menjadi baik di mata orang yang kejam, adalah sebuah kesalahan.”

Mutia mengernyit tak mengerti. “Maksudnya?”

Nyonya Alea tersenyum miring, telak mampu membuat Mutia merinding seketika. “Lia pernah hampir mati, karena memakan makanan yang diberi racun.”

Keheningan menjadi latar keduanya setelah Nyonya Alea berucap. Mutia benar-benar syok saat mengetahui hal itu. Mutia merasa, ia sama sekali tak berarti, sampai Aila tidak pernah menceritakan kisah hidupnya. Padahal, Mutia tak pernah absen menjabarkan hari-hari yang ia lalui, saat di rumah yang seperti penjara itu.

Hela napas kasar Nyonya Alea, membuat Mutia memandangnya penasaran. “Saya akan membawa Lia kembali. Sudah cukup lama ia pergi.”

Rasanya, Mutia ingin menghantam kepala wanita itu andai saja ia tidak ingat, kalau beliau sudah tua. Keluarga Aila, benar-benar aneh. Semua bersikap seolah Aila adalah berlian yang harus dijaga dan tak boleh disentuh oleh sembarang orang. Bahkan, gadis itu tidak dibiarkan untuk terbang bebas padahal semua pun akan tahu, kalau gadis itu menginginkan kebebasan dari kedua mata sehitam jelaganya.

“Maaf, nyonya. Bukankah, itu jahat? Lia sudah lebih baik sekarang. Ia mampu bersosialisasi cukup baik dan mampu membuat semua orang kagum dengan karya-karyanya.”

Nyonya Alea menggeleng tak setuju. Wajahnya yang sudah mulai mengeriput, nampak semakin sendu. “Itu tidak akan membuatnya dihormati. Lagipula, kami sekeluarga sudah sangat merindukannya.”

Mutia menatap Nyonya Alea tidak percaya. Keluarganya, memang bejat, tapi tidak segila ini juga. Ah, ia sekarang mengerti; kenapa Aila memilih pergi dan menepi. Mereka gila hormat. Menyedihkan!

Mutia menghela napas pelan, menatap jam di tangannya, sembari menebak kapan Aila akan sampai. Takut, jika pembahasan ini terdengar oleh gadis itu dan membuatnya kembali terluka.

“Kalo kalian rindu, temuin aja, kan bisa? Bang Sabiru juga sekarang sering mampir ke kafe buat nengok Lia.”

Nyonya Alea mendelik tak suka. “Sabiru itu tidak menyukai Lia. Dia ngga kayak Awan atau Telaga yang bakal ngelakuin apa pun buat bawa Lia kembali.”

Ah, benarkah? Kenapa Mutia merasa ucapan Nyonya Alea adalah sebuah kebohongan? Ia bahkan bisa melihat pancaran kasih begitu tulus saat Sabiru datang berkunjung. Tangannya pun tak pernah kosong, ia selalu membawa makanan atau buku-buku yang Aila diam-diam inginkan. Seolah; Sabiru bisa mengetahui segala hal, tanpa perlu dijabarkan oleh Aila.

Tentang Awan dan Telaga, apa itu pria-pria yang beberapa bulan lalu datang sembari membawa orang-orang dengan seragam serupa? Mutia bahkan langsung jijik sendiri, saat melihat keduanya kala itu.

Mereka datang dengan wajah begitu datar dan langsung menarik Aila yang kala itu tengah melayani pengunjung. Ada perdebatan sengit waktu itu, hingga membuat Mutia teramat terpaksa, untuk menyuruh Aila membawa kedua pria menyebalkan itu ke ruangan pribadi mereka.

Selang beberapa jam, keduanya ke luar dengan wajah begitu panik. Di tangan salah satu dari keduanya, Aila tengah di gendong dengan darah yang mengucur dari pelipis, serta telapak tangannya.

Dua hari setelah Aila dirawat di rumah sakit, ia pulang dengan senyuman begitu lebar. Saat ditanya di maan keberadaan kedua abangnya, Aila menjawab dengan antusias. “Mereka pergi, tentu saja! Kalo aja dari dulu aku tau cara ampuh ngencem mereka tuh dengan nyakitin diri sendiri, udah aku lakuin! Aduh, senangnya. Huhu!”

Maka, Mutia menatap Nyonya Alea yang kini tengah duduk tumpang kaki. ”Kenapa Anda bisa menyimpulkan begitu?”

“Sabiru terlalu acuh.”

Mutia menggeleng tak mengerti dengan cara berpikir wanita tua itu. Lantas, dengan senyum teramat paksa, ia kembali bersuara. “Saran saya, jangan paksa Lia buat ikut Nyonya pulang. Lia udah nemuin kebahagiaannya sendiri.”

“Jakarta tidak cocok untuk Lia, Nak. Kota ini terlalu keras buat Lia yang bahkan tidak pernah diperlakukan dengan kasar.”

Mutia merasa, kehadiran wanita paruh baya yang menjabat sebagai bu'de sahabatnya ini, untuk menguji kesabarannya. “Anda tidak terlihat sakit, Nyonya.”

Benar. Itu adalah kalimat yang sangat ingin Mutia utarakan sedari tadi. Meski, baru sekarang ia ungkapkan setelah perdebatan begitu panjang.

“Lia itu bodoh. Ia akan dengan mudah dikelabui. Makanya, aku harus membawanya kembali. Dunia terlalu kejam untuk anak sebodoh dia.”

Baru saja Mutia ingin menyalak, suara dari ambang pintu, telak membuatnya membisu. Di sana, Aila berdiri dengan tatapan begitu datar, tangannya bahkan masih menggenggam keresek putih berisi obat-obatan.

“Kalau begitu, biarkan anak bodoh ini tetap di Jakarta. Jangan memaksanya untuk kembali ke Surabaya. Biarkan ia tumbuh menjadi begitu tangguh, hingga mampu membuatmu tersenyum bahagia.”

Mengingat kejadian satu tahun yang lalu, telak membuat Mutia waswas sendiri. Aila bahkan langsung berubah menjadi begitu disiplin dan memang lebih baik. Ia tidak pernah lagi murung atau bersedih, senyumnya tak pernah luntur meski semesta menentangnya.

Namun, hal yang membuat Mutia khawatir adalah; ia takut. Takut Aila kembali terperosok dalam luka yang diciptakan oleh keluarganya sendiri. Satu tahun yang lalu, Mutia bahkan hampir kehilangan Aila untuk selamanya.

Gadis itu frustasi dan meminum setengah botol obat tidur. Untung saja kala itu, Mutia yang belum benar-benar tidur, bisa membawa Aila ke rumah sakit terdekat.

“Lia belum pulang? Ini udah malem. Jakarta, emang ngga pantes buat Lia ternyata. Nyesel saya ngga bawa dia pergi setahun yang lalu.”

 ***

Btw, kalo kalian jadi Mutia yang denger semua omongan Nyonya Alea, kalian bakal sabar enggak, sih? Kalo kak Ail mah, udah banting aja tuh, wanita tua! Nyebelin!
Apalagi kalo jadi Aila, beuh ... alamat bundir dari dulu, lah!
Idup dalam kekangan itu engga enak, Bosque!

Huhu. Setelah sekian lama enggak up, akhirnya kak Ail up juga. Eh, lama enggak, sih? Enggak, ah. Wong cuma telat bentar doang, 'kan? Jadwal up tuh, dua hari sekali. Ahaha. Baik banget jadi kak Ail :-D.

Tembus dua ratus pembaca, kak Ail up lagi, deh.


















Becanda! Tapi, moga aja tembus. Sampe 1M, lebih gud itu mah.

Jangan salah, ya. Mimpi kak Ail tuh, tinggiiii banget! Ah, terima kasih sudah membaca❤️. Btw, kalian hebat, kalo baca part ini sampe akhir.

See you❤️.

Continue Reading

You'll Also Like

43.4K 3.5K 47
Senja dan Saka sudah lama menyerah, bagi mereka hidup hanya tentang bertahan, ada dinding batas yang sulit untuk mereka runtuhkan. Mereka pernah baha...
174K 9.9K 28
"Daripada sama dia, aku lebih baik jadi janda seumur hidup!" Sepenggal kalimat penolakan mutlak yang Rena katakan. Tapi, bagaimana bisa satu bulan ke...
783K 34.5K 39
Bekerja selama tujuh tahun sebagai seorang sekretaris dengan model bos seperti Zhafran Afandi, benar-benar membuat Rachel harus memupuk kesabaran sel...
126K 14.1K 47
I can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower