Piri, Yara dan Rufio berjalan di bebatuan di tepi sungai, mencari-cari pijakan di tengah arus sungai yang deras. Mereka bertiga berpegangan di batu-batu besar yang menyembul dan mulai menyeberang.
Awalnya tidak sulit, tapi di tengah sungai ternyata dasarnya mulai dalam, sehingga Piri dan Yara harus sangat hati-hati agar tidak terpeleset atau terseret arus. Air menerpa dada, leher, serta wajah kedua anak itu.
Keduanya sebenarnya pandai berenang, tapi di sungai deras ini jelas kemampuan itu tak berguna. Untunglah di dekat mereka ada Rufio yang terus menarik keduanya agar tetap berada di dekat bebatuan.
Setelah beberapa saat ketiganya sampai di seberang. Di belakang, Tuan Karili dan keempat pejuang Frauli juga sudah mulai menyeberang.
Namun baru separuh jalan, sudah terdengar teriakan para prajurit Mallava. Para prajurit itu rupanya juga berhasil memanjat tebing dan kini berlari mendekat.
"Cepat!" seru Tuan Karili sambil belari. Keempat pejuangnya mengikuti, hingga akhirnya mencapai seberang sungai.
Piri lega, dan mengira mereka akan kembali lari melanjutkan perjalanan, namun ternyata seorang pejuang kemudian membuat keputusan sendiri.
Dia Parid, yang berkata, "Kalian semua pergi! Aku dan Koram akan menahan mereka di sini!"
Koram mengangguk. Ia mengikuti kakaknya mengambil posisi di balik batu besar, untuk melindungi diri dari lemparan tombak.
Tuan Karili membalas, "Tidak! Kita semua pergi! Ayo!"
"Kita pasti terkejar kalau begitu!" bantah Parid. "Cepat! Pergi! Sebelum semuanya terlambat!"
"Parid benar!" kata Duran. "Harus ada yang menahan musuh di sini. Tuan, kau bilang kita harus menjaga anak-anak ini dengan nyawa kami? Nah, inilah yang akan kami lakukan!"
"Pergilah, Tuan!" sahut Morav. "Kau harus membawa mereka!"
"Aku tak mau meninggalkan kalian di sini!"
"Tidak ada pilihan, Tuan!"
Tuan Karili mengerang, putus asa melihat puluhan prajurit Mallava yang mulai menyeberangi sungai. Ia berbalik dan berseru ke arah anak-anak. "Kalian pergi! Aku tetap di sini!"
"Tuan!" Parid dan ketiga pejuang kaget.
Namun keputusan Tuan Karili rupanya sudah bulat. "Kalian bertiga harus menemukan jalan pulang! Pergi!"
Piri tidak khawatir dengan itu. Ia yakin pasti bisa menemukan jalan, entah bagaimana caranya, berkat pengalamannya pergi ke mana-mana selama ini. Yang ia khawatirkan justru nasib Tuan Karili, Parid, Koram, Duran dan Morav yang sebentar lagi akan diserang begitu banyak prajurit musuh.
Yara bahkan mulai menangis. "Bagaimana dengan kalian?"
Kelima pejuang Frauli tak lagi memperhatikannya. Pasukan Mallava semakin dekat, dan yang ada dalam benak Tuan Karili dan anak buahnya pastilah hanya soal bertarung untuk hidup, jika tidak ingin mati di sungai.
Teriakan-teriakan marah mengawali pertempuran, disusul dentingan keras senjata beradu. Pedang dan tombak, semua benda-benda mengerikan itu! Senjata-senjata yang akan membuat darah orang-orang tertumpah di sungai!
Piri bergidik, tak berani melihat. Cepat-cepat ia memalingkan wajah. Ia melihat Rufio berusaha menarik Yara yang menangis kencang melihat Tuan Karili dan teman-temannya diserang.
Jerit kemarahan sahut-menyahut terdengar.
"Ayo, Yara!" seru Piri. "Kita pergi dari sini!"
"Jangan! Jangan!" Yara menjerit-jerit.
Rufio segera meraih pinggang Yara, dan mengangkat tubuhnya, hendak membawa lari anak perempuan itu.
Namun Yara terus menjerit dan meronta-ronta. "Jangan lukai mereka!"
Tangannya terarah ke tengah sungai tempat pertempuran terjadi. "Jangan lukai mereka!"
Seketika sinar hijau terpancar dari cincin di jarinya. Seluruh prajurit Mallava melepaskan tombak dan menjerit kesakitan seraya memegangi kepala mereka. Tuan Karili dan teman-temannya yang tadi terdesak kini melihat kesempatan, walaupun belum paham apa yang terjadi, dan balik menyerang.
Yara berteriak lagi, "Hentikan, semuanya! Hentikan!"
Kini ganti Tuan Karili dan rekan-rekannya yang kesakitan dan menjatuhkan senjata. Para prajurit Mallava mengerang kesakitan. Bahkan Rufio yang sedang membopong Yara pun menjerit dan terjatuh. Hanya Piri yang tidak kesakitan, sepertinya karena ia memang tidak sedang melakukan apa-apa!
Entahlah, pikirnya, tapi ia paham kenapa semua orang itu kesakitan. Mereka semua terkena pengaruh dahsyat cincin di tangan Yara.
Piri memperhatikan puluhan orang yang memegangi kepala di sungai. Beberapa prajurit Mallava bahkan ada yang tidak kuat dan terseret arus sungai, lalu terlempar ke air terjun.
Sebagian lainnya mulai bisa menguasai diri. Awalnya para prajurit Mallava itu kebingungan, namun melihat Tuan Karili dan teman-temannya yang kesakitan mereka segera mencabut pedang dari sisi pinggang masing-masing, karena tombak mereka sudah lepas terbawa arus. Pasukan musuh bersiap menyerang lagi.
Tanpa berpikir panjang giliran Piri yang kini menurunkan topeng dari atas kepalanya, memasangkannya di wajah. Ia berjalan mendekati sungai, dan batu hijau di dahinya pun bersinar. Semua orang di dekatnya terperangah.
Tak ada pengaruh buat mereka yang tidak memiliki niat jahat terhadap dirinya. Namun bagi yang punya niat jahat, mereka semua langsung menjerit ketakutan, juga kesakitan, seolah melihat makhluk terseram di dunia.
Para prajurit Mallava panik, berteriak-teriak, dan memutar badan. Sebagian, karena panik, tak mampu mengendalikan diri dan terseret arus hingga lenyap di balik air terjun. Yang lainnya berlarian ke tepi sungai, dan terus lari ke berbagai arah, tercerai-berai.
Sisanya, beberapa prajurit yang masih polos ikut ketakutan karena melihat teman-temannya ketakutan. Mereka lari, namun karena bingung harus ke mana, mereka menceburkan diri di sungai dan membiarkan diri mereka terbawa arus. Mungkin mereka memang akan selamat setelah melewati air terjun.
Pada akhirnya yang tersisa di tempat itu tinggal Piri, Yara, Rufio dan kelima pejuang Frauli. Para pejuang terpana sambil tersengal-sengal menatap Piri dan Yara bergantian.
Takut kalau efek topengnya bakal dirasakan juga oleh mereka, Piri pun mengangkat kembali topengnya ke atas kepala.
"Kita ... sebaiknya kita segera pergi ...." kata Piri.
Tuan Karili mengangguk-angguk berusaha menenangkan diri. Ia berdiri sambil menahan sakit lalu berjalan menyeberangi sungai hingga ke tepian. Keempat prajuritnya mengikuti. Mereka memandangi Piri beberapa lama, dan lebih lama lagi ketika memperhatikan Yara, yang masih terduduk di tepi sungai dengan air mata berlinang. Rufio menyeka wajahnya yang basah kuyup.
Selama beberapa saat mereka hanya tercenung tanpa suara.
Lalu Tuan Karili, kali ini dengan mengangguk dan tampak jauh lebih hormat daripada sebelumnya, berkata, "Yara, Piri, kita harus jalan lagi. Orang-orang Mallava akan datang nanti, dalam jumlah berkali-kali lipat, setelah kejadian hari ini."
"Semakin banyak?" tanya Piri.
Yara mengangkat wajahnya dan berkata lirih, "Apa kami berdua yang jadi penyebabnya?"
"Ya, kalian." Tuan Karili menjawab pahit, tetapi lalu tersenyum. "Kini mereka akan mencari kalian sampai ke mana pun. Tapi untuk kalian tahu, kami semua senang ketika kalian tadi melakukan hal itu, walaupun awalnya kami takut setengah mati. Karena akhirnya kami semua tahu, kalian berdua memang keturunan kesatria terpilih, dan hari ini telah menunjukkan kenapa kami dan juga semua orang Frauli seharusnya melindungi kalian dengan nyawa kami, seperti halnya kalian melindungi kami tadi."
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Maafkan kami karena telah ragu dan bertindak buruk pada kalian. Tapi sekarang tolong katakan, Yara, Piri, siapa leluhur kalian di masa lampau. Jangan sembunyikan itu dari kami."
"Leluhurku adalah Fraidan," kata Piri. "Pemilik topeng besi ini."
"Dan leluhurku adalah Gorhai," kata Yara.
"Fraidan Yang Perkasa dan Gorhai Yang Agung," gumam para prajurit, yang semuanya terpana.
"Berarti kau adalah ... putri Tuanku Guiras ..." Tuan Karili mengangguk-angguk, lalu tiba-tiba ia berlutut dan menangis.
Tangisan itu diikuti oleh keempat laki-laki di belakang mereka.
Mereka berlima berlutut di sekeliling Yara.
"Maafkan kami atas semua yang telah kami lakukan!"
"Ka—kalian ..." Yara tergagap. "Kalian kenapa?"
"Yara, kau junjungan kami sekarang. Mulai hari ini kami akan patuh padamu, dan tak akan pernah lagi mengecewakanmu."