Cepat-cepat Yara menarik tangannya dari benda yang disentuhnya sambil meringis kesakitan. Matanya melotot ketakutan.
"Apa—apa yang terjadi?" tanya Piri gugup.
"Jariku ... jariku tersengat! Seperti terkena duri. Tidak! Ini lebih sakit daripada duri! Rasanya panas, dan tajam!"
Piri menggeleng-geleng. "Ya sudah, kita terus berjalan saja. Kita tak perlu mengambil barang-barang ini!"
"Tidak! Ini barang peninggalan orangtua kita! Untuk kita! Kita harus mengambilnya!"
"Tapi, Yara ..."
"Mungkin ... benda yang lain bisa ..."
"Benda yang lain?" Piri mengerutkan kening dan melihat ceruk di sebelahnya, tak yakin.
"Mungkin anting-anting yang itu memang bukan untukku. Tapi benda yang lain, mungkin iya." Mata Yara kembali berbinar. "Kamu mengerti, Piri? Anting-anting itu bukan untukku. Orangtuaku meninggalkan benda yang lain."
Benarkah? Masuk akal juga, pikir Piri. Kemungkinan besar dulu ada sepuluh ksatria, dan masing-masing ksatria meninggalkan satu benda, dan benda itu hanya boleh diambil oleh keturunannya, bukan keturunan ksatria yang lain.
"Dan karenanya, sebaiknya kamu mencoba mengambil anting-anting itu," kata Yara.
Itu mengerikan. Tapi sekali lagi, masuk akal juga, pikir Piri. Ia sebaiknya mencoba. Ia pun menarik napas. "Baik."
Piri menggosok jemarinya, berharap itu bisa membuatnya lebih tahan menahan sakit, lalu mengulurkan tangan, menyentuh anting-anting itu.
Dan sakit!
Cepat-cepat ia menarik tangannya.
Yara malah nyengir, seperti senang karena Piri bisa merasakan sakit yang sama. "Berarti anting-anting itu juga bukan untukmu!"
"Baguslah!" Piri menggerutu. "Aku memang tidak suka memakai anting-anting di telingaku!"
Tiba-tiba ia kesal. Jika ini berarti mereka harus mencoba satu per satu benda-benda itu, dan tersengat berkali-kali sebelum berhasil, betapa menyakitkan! Kenapa para kesatria tega membuat keturunan mereka sendiri kesakitan?
Ceruk berikutnya berisi ikat pinggang yang terbuat dari jalinan butir-butir logam. Pada bagian kepalanya terpasang batu berwarna hijau. Piri dan Yara memandanginya beberapa lama.
"Ikat pinggang itu buat laki-laki," cetus Yara.
"Buat laki-laki dewasa, bukan buat anak kecil," sahut Piri. Keduanya nyengir bersama. "Terus kenapa?"
"Ya kamu saja, aku tidak mau. Toh kalau aku sudah besar nanti, aku tetap tidak bisa memakainya."
"Tapi siapa tahu ini benda peninggalan orangtuamu!"
"Kamu duluan."
Piri mencibir. "Kamu tetap harus mencobanya nanti."
Ia menahan napas, lalu menyentuh ikat pinggang itu dan mencoba menarik lagi jemarinya secepat mungkin.
Kembali tangannya tersengat, dan niatnya untuk menyentuh sebentar saja juga gagal. Benda itu seperti lengket, sengaja membuat jemarinya sakit sebelum melepaskannya.
Keringat dinginnya mengalir, kemudian ia menoleh, mempersilakan Yara. "Giliranmu."
Yara meringis, bersiap menahan sakit, dan menyentuh ikat pinggang itu.
Sesaat kemudian ia menarik tangannya sambil menjerit. "Sudah kubilang, ini bukan untukku!"
Benda berikutnya adalah gelang emas dengan batu hijau di puncaknya.
Yara senang melihatnya. "Kuharap yang ini."
Tanpa menunggu tanggapan Piri ia mengulurkan tangan dan menyentuh benda itu. Hasilnya sama. Sekali lagi ia menjerit, dan kali ini ia mulai kesal.
"Padahal aku suka gelangnya!"
"Mungkin itu buatku." Piri nyengir, mencoba bercanda.
Lalu ia mencoba. Dan gagal. Sakit sekali lagi.
Ia kembali meringis. "Ternyata tidak."
Selanjutnya adalah sebuah gelang lain yang bentuknya besar, kasar dan berpilin, seperti ular yang sedang melingkar. Warnanya kusam, dan walaupun tetap ada hiasan batu hijau di puncaknya, bagi Yara, benda itu sama sekali tidak indah.
"Aku tidak suka," katanya. "Mudah-mudahan bukan untukku."
"Tetap saja kamu harus mencoba," tukas Piri. Tahu kalau Yara tak akan mau menyentuh lebih dulu, Piri segera menyentuhnya.
Masih sengatan yang sama, masih sakit yang sama.
Kemudian Yara mencoba. Gagal pula.
Tapi walau meringis kesakitan, anak perempuan itu menghela napas lega. "Baguslah."
Piri mulai ragu. "Sudah empat benda. Tak satu pun yang berhasil. Apa kamu masih yakin, para kesatria itu memang meninggalkan ini untuk kita?"
"Ya." Tetapi jawaban Yara kini tidak setegas sebelumnya.
"Mungkin ada yang harus kita lakukan dulu, sebelum kita bisa mengambil benda ini."
"Seperti apa?"
"Mungkin kita harus meneruskan perjalanan, dan mengambil sesuatu. Baru kita balik lagi untuk mengambil benda-benda ini."
"Bagaimana jika di dalam sana kita langsung bertemu makhluk mengerikan itu?" balas Yara. "Dan benda ini satu-satunya yang bisa menolong kita? Kalau kita tidak memegang satu pun, mungkin dia tidak akan mau menurut, dan langsung menyerang kita!"
"Jadi bagaimana? Mau mencoba lagi?" tanya Piri.
"Ya!"
Piri memandang dengan malas pada benda kelima, yang terletak pada ceruk pertama di dinding sebelah kanan. Di sana ada sebuah topeng terbuat dari logam berwarna perak. Ukurannya tidak besar, mungkin seukuran wajah Rufio, dan bentuknya pun seperti wajah manusia biasa. Di dahinya tertempel batu hijau. Kedua matanya bolong, di bawah puncak hidungnya ada rongga, dan di bagian mulutnya ada celah tipis. Seutas tali menyambung di belakang, untuk mengikatkan topeng itu di kepala pemakainya.
Bagi Piri, walaupun bentuknya wajar, topeng itu terasa aneh. Apakah topeng itu sekadar pelindung wajah? Atau sang ksatria memakainya karena tidak ingin wajahnya dikenali orang lain?
Yara tampaknya memiliki pemikiran yang sama. Ia memandangi topeng itu beberapa lama. Tak jelas apakah ia suka atau tidak, tetapi sepertinya ia tak berminat untuk menyentuhnya terlebih dulu.
Maka Piri mengulurkan tangannya, dan menyentuh topeng itu. Ia sudah bersiap untuk merasakan sakit sekali lagi.
Kali ini ia salah.
Yang menjalari jemarinya adalah rasa hangat yang menyenangkan. Sebuah perasaan aneh merasuk, memberinya ketenangan.
Tanpa sadar Piri memejamkan mata. Dalam gelap ia melihat sesosok orang di depannya. Tidak, tidak hanya satu, ada beberapa. Wajah mereka gelap, tidak jelas terlihat, tapi Piri merasa sangat dekat sekaligus ingin mengenal mereka lebih jauh.
Ia belum menyadari, tapi yang ia rasakan itu adalah kerinduan.
Yara memanggil lirih. "Piri ..."
Piri membuka mata. Matanya basah, air mata mengalir di pipinya.
"Yara ... kurasa ... aku baru saja melihat orangtuaku ...."
"Orangtuamu ...?" Yara terpana.
"Ya. Orangtua-orangtuaku! Ada banyak yang kulihat. Tapi gelap, mereka tidak terlihat jelas!"
"Berarti ... kamu sudah menemukannya! Benda untukmu!"
Piri mengangguk. Ia mengambil topeng besi itu hati-hati, lalu memegangnya dengan rasa sayang tak terkira.
"Ini peninggalan orangtuaku. Benda paling berharga yang pernah kudapatkan selama hidupku!" Piri mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Berarti kamu benar, Yara! Benda-benda ini memang untuk kita. Masih ada lima benda lagi, dan salah satunya adalah milikmu!"
Yara ikut mengangguk, dan melihat deretan ceruk di dinding sebelah kiri. Ia melihat kelima benda yang berjejer satu per satu. Tatapannya terpaku pada ceruk pertama yang tadi pertama kali mereka lihat.
"Kalung berbatu hijau itu. Aku ... Mudah-mudahan ..."
Yara tak melanjutkan ucapannya, tetapi Piri paham, anak perempuan itu sangat menyukai kalung tersebut, dan berharap itulah peninggalan untuknya.
Di depan ceruk Yara menarik napas panjang lalu mengangkat tangannya. Ia menyentuh kalung itu.