SUARA deruman mobil sport yang terdengar keras berhasil perhatian murid-murid SMA Garuda di lapangan parkir sekolah itu. Tapi setelah mengetahui siapa yang mengendarai mobil itu, mereka semua langsung membuang wajahnya dan berjalan masuk ke dalam sekolah dengan langkah terburu-buru. Jalanan sedang sangat padat karena bel masuk kelas akan berbunyi dan Princess mereka sangat tidak suka langkahnya dihalangi banyak orang.
"Hellaw, my Princess. How's your morning?" tanya Maudy yang baru saja datang bersama kekasihnya, Devan. Pria itu merupakan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri ternama di negara ini. Tidak seperti Devan yang sangat ambisius dalam menggapai mimpinya, Maudy terkesan santai. Lagipula dia sudah berjanji pada Riana dan Kylie untuk kuliah di Perguruan Tinggi Swasta nomor 1 di negara ini, Abhinata Sanskara University—atau biasa disingkat Abhikara University—karena malas mengejar Perguruan Tinggi Negeri.
"Buruk, buruk banget. Dasar Anzel sialan!" umpat Riana pada kembaran laki-lakinya itu. Kakinya melangkah masuk ke dalam lingkungan sekolah tanpa menghiraukan para siswa yang mengingkir untuk mempersilahkan dirinya jalan dengan bebas.
"Kenapa lagi sama Anzel, hm?" tanya Kylie yang tiba-tiba muncul.
"Dia ngumpetin kunci mobil gue anjir!" seru Riana berapi-api, menatap sinis Anzel yang pagi-pagi sudah bermain basket di lapangan. Laki-laki itu pasti melakukannya untuk tebar pesona. Tapi sayangnya, siapa yang ingin memiliki adik ipar seperti Riana?
"Ya udahlah, yang penting lo gak telat, kan?" hibur Maudy.
"Awas aja, pasti gue bales!" tekad Riana. Tatapan matanya yang menghunus tajam ke arah Anzel membuat orang disekitarnya bergidik ngeri dan pergi menjauh dari sang Princess dan dua dayangnya. Lebih baik ke kelas dengan memutari koridor sekolah daripada berpapasan dan di tatap oleh Riana.
Mereka tentu saja masih mengingat insiden seseorang bernama Olin yang pemberani dan bertekad untuk menghentikan tindakan bully di sekolah ini dan menatap mata Riana lebih dari 10 detik. Karena berani menentang Riana, seluruh siswa diperintah untuk tidak berteman dengan Olin. Oleh sebab itu, sampai sekarang Olin tidak memiliki teman. Paling banyak interaksi saja dengan teman kelompoknya, lalu setelah urusan tugas selesai, mereka kembali menjadi orang asing.
"Gue tahu gimana caranya biar lo gak gampang marah!" seru Maudy, seakan menemukan ide yang brilian.
"Apa?" tanya Kylie tidak yakin. Ide dari Maudy memang selalu aneh untuknya.
"Gampang, tinggal cari pacar aja!" usul Maudy percaya diri.
Tawa Kylie menyembur, "Pacar lo bilang? Semua cowok disini aja gak ada yang mau sama Princess kita," ujarnya tidak percaya.
"Ya semua cowok disini, kan? Belum di tempat lain?" balas Maudy, ngotot kalau ide yang dia punya sangat brilian.
"Kenapa lo berpikir gue suka marah-marah karena gak punya cowok?" tanya Riana dengan tatapan datarnya yang sontak membuat Maudy takut dan bersembunyi di belakang punggung Kylie.
"Ya—ya lo liat aja gue. Karena Devan selalu ada buat gue, jadi gue gak marah-marah sesering lo," jelas Maudy sedikit gugup.
Riana menghela napasnya, "Look at me, Dy. I'm a Princess, dan gak semua Princess butuh Prince dalam hidupnya," jelasnya pelan-pelan, namun nampaknya Maudy tidak terpengaruh oleh penjelasannya.
"Emang ada Princess yang gak punya Prince?" tanya Kylie dengan dahi berkerut.
"Ada, contohnya Elsa," jawab Riana, merujuk pada tokoh utama di Disney Frozen kesukaannya.
Karena Riana lengah saat menjawab pertanyaan Kylie, dengan sigap Maudy meraih ponsel sang Princess, lalu mendekatkan layar ponselnya ke wajah perempuan itu agar ponselnya terbuka dan berlari kecil menjauhi mereka berdua.
"Eh si anjir," umpat Kylie yang ingin bergerak mengejar Maudy, namun di tahan oleh Riana.
"Biarin aja. Lo gak mau kan, reputasi kita hancur cuma karena main kejar-kejaran di koridor?"
"Tapi udah mau bel," ucap Kylie khawatir.
"Tenang, nanti juga dia balik," ujar Riana santai. Tapi baru saja kakinya melangkah ingin pergi ke kelas, dia merasakan kecupan singkat dipipinya. Siapa lagi yang berani melakukan hal itu selain Anzel, kembarannya?
"Kenapa sih, pagi-pagi udah bad mood aja?" tanya Anzel dengan nada menyebalkan.
"Bacot," umpat Riana kesal, lalu berjalan menjauh dari Kakaknya. Di luar rumah, mereka memang bebas menggunakan kata-kata kotor, tidak seperti di rumah yang mewajibkan mereka bertutur kata baik.
Sesampainya di kelas, Riana sedikit terkejut karena guru Sosiologi mereka sudah datang sebelum bel masuk berbunyi. Tapi setelah mengingat perangai Bu Desi—guru Sosiologi mereka— yang selalu datang 5 menit sebelum bel masuk berbunyi, dia jadi tidak heran lagi.
"Selamat pagi, anak-anak. Buka halaman 95, dan lihat materi kita pada pagi hari ini, yaitu modernisasi. Kerjakan latihannya, lalu saya akan memanggil..."
👑👑👑
"LO darimana aja, anjir?" tanya Kylie ketika mendapati Maudy datang ke kelas setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi. Kelas sudah kosong, karena itu mereka bebas berbincang-bincang.
"Nih," Maudy menyerahkan ponsel berwarna gold itu pada pemiliknya. "Tadi gue download aplikasi Fate, buat profile, cari jodoh buat Riana, tapi ketiduran di UKS sampe pulang," jelasnya dengan wajah segar karena habis tidur seharian.
"Fate? Apaan tuh?" tanya Riana dengan alis terangkat satu.
"Lo gak tau? Itu Dating App, my Princess," jawab Maudy sambil mengambil tempat duduk di meja guru.
"Terus mana cowok yang lo pilihin buat Riana?" tanya Kylie penasaran.
Mendengar pertanyaan Kylie, sontak Maudy mengambil kembali ponsel Riana dan membuka ponsel menggunakan wajah sahabatnya itu. "Ini dia! Revattaire Ardana!" seru Maudy bangga seraya menyerahkan ponsel itu pada Riana dan Kylie.
Kylie meledakkan tawanya saat melihat poster yang diberikan aplikasi itu. "Seriously, Dy? Lo udah menjerumuskan Princess kita ke arah yang gak bener," kompornya.
"Shut! Diem deh lo. Gimana, Princess? Cocok kan sama tipe lo?"
"Kenapa orang-orang pada download dating app, Dy?" tanya Riana tanpa menjawab pertanyaan Maudy.
Dahi Maudy berkerut bingung, "Karena single bertahun-tahun," jawabnya ragu.
"Jadi intinya, lo buatin gue akun di dating app ini karena gue gak laku-laku?"
"Lagian lo pilih dating app yang bagus dong. Lo pilih dating app yang design-nya kayak buat anak TK anjir!" cibir Kylie, menahan tawanya saat melihat wajah kesal Maudy.
"Iihh, gue sama Devan ketemu di dating app itu, tahu! Di sekitar sini mana ada yang berani pacaran sama gue!" keluh Maudy dengan bibir mengerucut sebal.
"Intinya, gue gak mau lanjutin dating di app itu. Sekali lagi, Princess kayak gue itu gak butuh Prince. I'm a lonely Princess." Walaupun terlihat menyedihkan, Riana mengatakannya dengan wajah yakin dan semangat.
"Lo punya kita, tau!" seru Kylie sebal.
Riana terkekeh, "Ya, gue punya kalian," balasnya kemudian.
Pada akhirnya, mereka tetaplah remaja biasa yang suka tertawa lepas tanpa harus menjaga image di depan banyak orang. Tapi tetap saja, Riana menyukai perannya yang jahat di mata banyak orang daripada menjadi seseorang yang friendly seperti Anzel. Menjadi baik berarti lemah, dan Riana bukan bagian dari orang-orang lemah itu.
👑👑👑
𝓐𝓻𝓲𝓪𝓭𝓷𝓮 𝓔𝓵𝓶𝓮𝓲𝓻𝓪 𝓜𝓪𝓻𝓽𝓲𝓷𝓮𝔃✨