SHE IS MY WIFE

By ayyanahaoren

174K 10.5K 3K

Sebelum membaca cerita ini pastikan kalian follow author terlebih dahulu. "Tidak ada pilihan lain selain meni... More

PROLOG
Episode Satu
Episode tiga
Episode empat
Episode lima
Give Away
Episode Enam
Episode tujuh
Episode Delapan
Episode Sembilan
Episode sepuluh
Episode sebelas
Epusode dua belas
Episode tiga belas
Episode Empat belas
Episode lima belas
Episode enam belas
Episode tujuh belas
Episode delapan belas
Episode sembilan belas
Episode dua puluh
Episode dua puluh satu
Episode dua puluh dua
Episode dua puluh tiga
Episode dua puluh empat.
Episode dua puluh lima
Episode dua puluh enam
Episode dua puluh tujuh
Dua puluh delapan
Dua puluh sembilan
Episode tiga puluh
Episode tiga satu
Episode tiga dua

Episode dua

6.4K 438 107
By ayyanahaoren


Bab ini lumayan panjang. Cerna baik-baik setiap katanya. Kalau bisa bacanya sambil dengerin lagu melow yang ada bawang bombaynya.. Tapi sebelum baca jangan lupa vote yah

🛫🛫🛫🛫🛫

Nadira membuka matanya perlahan. Menatap langit-langit lalu memutar ke dua bola matanya menatap arah sekeliling. Tidak ada satu orangpun yang dia kenal di ruangan yang sedang dirinya tempati, kecuali seorang perawat yang saat ini sedang memeriksa alat infus.

"Nona, anda sudah sadar?" tanya perawat  yang langsung menghampiri dan menatap Nadira yang masih terlihat linglung.

Nadira menahan napasnya untuk sesaat merasakan kembali rasa sakit sisa operasi "Apa semuanya berjalan baik?"

Perawat itu tersenyum. "Semua berjalan baik, Nona!"

Nadira kembali merekatkan kedua matanya. Mengatur napas perlahan. Merasakan sakit yang dia rasakan, dan menahannya.

Nadira kembali membuka matanya dan menatap perawat yang masih berdiri tepat di sampingnya.

"Apa Nona butuh sesuatu?" tanya perawat.

Nadira merasakan kerongkongan yang  teramat kering. "Saya ingin minum, bisa tolong bantu saya?"

"Baik, Nona!"

Perawat itu berjalan ke arah ke meja, melepas kertas yang membungkus sedotan dan memasukan ke dalam air mineral. Lalu menyodorkan ke arah bibir Nadira yang masih terlihat pucat.

Nadira yang kehausan meneguk minumannya perlahan.

"Suster! Bagaimana keadaan ibu, saya?" tanya Nadira penuh pengharapan.

"Ibu yang mana maksud, Nona?"

"Ibu, saya suster!"

Suster itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Nadira setelah beberapa saat berpikir. "Oh, iya. Saya baru inget. Ibu Nona baik-baik saja."

"Antarkan saya ke ruangan ibu, saya!" pinta Nadira mengeluarkan butiran bening dan mencoba membangunkan paksa tubuhnya yang begitu terasa nyeri dan mencekam.

Perawat itu menahan Nadira sebelum dirinya bertindak konyol, menyuruhnya untuk tidak banyak bergerak dan istirahat. Nadira tetap bersikukuh pada pendiriannya. Menahan rasa sakitnya demi bertemu sang ibu.

Perawat yang merasa khawatir langsung menyuntikkan sesuatu di ke inpus. Membuat Nadira kembali melemah dan semakin melemah.

Dia perawat yang memang diuntus untuk menemani dan merawat Nadira.

Sudah tiga hari Nadira berada di ruangan yang sepi itu sendirian, memulihkan sisa sayatan dalam tubuhnya. Bahkan ia juga harus menahan kerinduannya  pada sang ibu. Sudah terhitung empat hari sejak operasi berlangsung.

Bagai seorang penjahat pintu kamar Nadira dijaga oleh seorang lelaki yang dia tak kenali. Tubuhnya tinggi kekar, wajah yang sangar.

"Kapan saya sudah boleh ke luar dari penjara ini!" tanya Nadira pada sang perawat. "Bukankah luka di tubuhku sudah mulai pulih. Dan sesuai perjanjian saya sudah boleh ke luar dan jenguk ibu saya hari ini!"

Belum sempat perawat itu menjawab pertanyaan Nadira. Seorang lelaki paruh baya yang saat beberapa hari lalu bicara pada Nadira datang menghampiri.

Nadira diam, menatap wajahnya penuh tanya. Lalu tak lama tatapannya berpindah pada amplop coklat yang berada di tangan lelaki paruh baya itu.

"Nyonya besar saat ini sudah pulih. Terimakasih untuk semua kebaikan anda, Nona Nadira. Saya di utus beliau untuk memberikan ini pada anda. Jika jumlah yang di dalam masih kurang anda bisa hubungi saya langsung ini kartu nama saya!"

"Bimbo sunta," Nadira membaca kartu nama yang berada di tangannya.

"Baik. Itu artinya saya sudah boleh ke luar dari kamar ini, kan?"

Bimbo mengangguk perlahan. "Tapi sebelumnya Nyonya mengutus satu pengawal kami untuk mengikuti anda sampai anda pulang dengan selamat."

Nadira menghela napas berat. Memikirkan apa yang di ucapkan Pak Bimbo. Menatapnnya dengan penuh keheranan.

"Untuk apa juga mereka masih memantau ku seperti itu. Bukankah urusanku dan dia hanya sekedar pendonor. Apa begitu ribet berurusan dengan orang kaya?"batin Nadira.

"Nyonya besar hanya ingin memastikan saja, Kalau Nona Nadira baik-baik saja. Karena dia sudah berhutang nyawa dengan anda," ucap Bimbo yang membuat Nadira mengangguk tanda mengerti.

Setelah merasa cukup dengan apa yang diucapkan, Bimbo pun keluar kamar Nadira. Begitu juga dengan Nadira yang minta diantar oleh perawat ke kamar sang ibu.

"Ayo, suster! Tunggu apalagi, kenapa masih diam di situ?" tanya Nadira yang membuat perawat menekuk kepalanya tanpa menjawab.

"Suster gak denger yah, saya bilang apa!" Ucapan Nadira yang masih tak digubris. "Yasudah, kalau suster tidak bisa. Lagian saya bisa tanyakan pada resepsionis tentang keberadaan ibu!" Nadira melangkah ke arah pintu.

Belum lama Nadira melangkah, perawat itupun meluruskan kembali pandangannya. "Ibu anda sudah meninggal, tiga hari yang lalu. Nyawanya tak bisa di selamatkan!"

Bak petir di siang bolong saat mendengar ucapan sang perawat. Nadira memutar tubuhnya dan menatap perempuan berbaju putih yang ada di depan matanya.

Nadira menghela napas singkat dan tersenyum sinis."Kamu bilang apa barusan?" Desak Nadira yang membuat mata sang perawat memerah dan mengusap lembut pundak Nadira.

Nadira menggelengkan kepalanya seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar.

Gadis cantik itu mencoba berjalan cepat dan menahan lukanya, dia mencoba menanyakan kepada orang-orang di sekeliling tentang keberadaan sang ibu. Nadira itu seakan kehilangan akal. Wajahnya mulai memucat, matanya mulai memerah, napasnya mulai sesak saat dokter bilang kalau ibunya sudah benar-benar tiada. Air bening itu keluar deras dari kedua mata Nadira.
Dirinya terkulai lemah di atas lantai rumah sakit yang dingin. Menekuk kedua kaki dengan tatapan merunduk. Air matanya mengalir  tak terkendali. Awan hitam seakan mengelilingi tubuhnya. Nadira menjerit lepas, lalu kembali menangis histeris memanggil sang ibu.

"Kini aku benar-benar sendirian. Aku sudah sendiri, hanya tinggal bayang-bayang kalian yang aku miliki. Lalu bagaimana nasibku sekarang. Kenapa juga Tuhan bersikap tak adil, kenapa juga Tuhan tidak cabut nyawaku saja bersamaan dengan ibu. Ini tak Adil. Benar, Tuhan memang tak Adil dan jahat padaku!" satu tangan Nadira mencekram paha kaki, sedangkan satunya menahan luka sisa jahitan yang kembali terasa nyeri.

Dirinya menangis pilu, menahan rasa sakit di hatinya. Kepergian ibunya benar-benar menyisakan luka mendalam.

Berulang kali Nadira menyeka air matanya, tapi butiran bening itu tak dapat dihentikan, dadanya terasa sesak, napasnya mulai tak beraturan. Bahkan hatinya benar-benar merasakan luka yang teramat.

"Bu .., Nadira nanti kesepian. Nanti Nadira juga sendirian. Lalu kalau Nadira Nangis harus peluk siapa? Kalau Nadira sakit siapa yang urus. Dan kalau Nadira kangen sama masakan ibu, bagaimana? Di dunia ini, gak ada yang lebih penting selain saat bersama ibu. Di dunia ini juga gak ada yang tulus sayang sama Nadira setulus ibu sayang sama aku. Ajak Nadira. Ajak Nadira buat pergi dari sini, Bu! Nadira gak mau sendirian di dunia yang ini. Nadira gak mau hidup tanpa ibu. Untuk apalagi Nadira hidup, bu. Kalau Ayah, ibu, Kakak, ninggalin aku sendirian seperti ini. Kemarin ibu juga udah janji sama Nadira bakalan kuat, bakalan sehat. Bakalan nemenin Nadira sampai tua Nanti. Tapi kenapa ibu mengingkari semua janji ibu!"

Nadira meluruskan kembali pandangnya setelah cukup lama menunduk, menatap ke arah perawat yang selama beberapa hari menemani. Dia mencoba membangunkan tubuh lemahnya yang terasa ngilu dan bergetar.

"Nona Nadira!" perawat itu seakan bingung dengan pergerakan dan tatapan Nadira. Gadis lemah itu menopang pundak sang perawat, lalu mencekramnya.

Nadira  berdiri sejajar dengan sang perawat melihat nama yang tertera di baju putih sang perawat, dan mengejanya.

"E LI NA! Hah!" Nadira menyeka air matanya kasar dan tersenyum sinis. "Pembohong!" Nadira menunjuk. "Kamu bohong! Kamu bilang ibu saya baik-baik saja. Ibu saya sudah di operasi, dan kamu juga bilang ibu saya berada di kamar yang enak seperti saya. Bahkan kamu bilang ibu saya sudah pulih total.  bahkan kamu bilang ibu saya sering menanyai kabar saya. Kamu bohong. Semua yang kamu katakan semuanya bohong. Kamu jahat, kamu benar-benar wanita jahat!" Air mata itu kembali mengalir deras.

"Lalu kamu bilang semua akan baik-baik saja, kamu juga bilang ibu saya sedang menunggu saya di kamarnya." Suara Nadira melemah. Nadira menelan ludah kasar dan membulatkan kedua matanya ke arah sang perawat. "TAPI KENAPA YANG KAMU UCAPKAN SEMUANYA BOHONG!"

Nadira kembali terkulai lemah. Perawat itu memeluk tubuh lemah Nadira dengan erat. Mencoba berbagi kesedihan yang dirasakan Nadira.

"Ibu ...! Nadira ingin ikut ibu!"

Suara Nadira rendah, tubuh yang awalnya memberontak kini melemah. Nadira tak sadarkan diri membuat perawat di sampingnya terkejut dan ketakutan.

"Nona Nadira!" Perawat ini mencoba menyadarkan Nadira yang jatuh pingsan.

Continue Reading

You'll Also Like

337K 5.8K 15
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
2.1M 190K 30
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
5.5M 291K 56
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
4.8M 179K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...