Parallel

By yyoonina

221 37 647

Kalau bukan karena emosi sama Nina waktu itu, apakah hidup Diana bakal tenang-tenang aja? Dunia Diana seolah... More

Prolog
Chapter 1: Awal Mula
Chapter 2: Hidup Baru
Chapter 3: Adaptasi
Chapter 4: Perjanjian di atas Gencatan Senjata
Chapter 6: Bukan Kehendak Semua Orang

Chapter 5: Reveal

20 4 86
By yyoonina

"Aku iri dengan hidupmu."
Ucap Diana dan Nina pada satu sama lain.

***

"Masih ngawasin mereka berdua?"

Jeon sempat melihat ke belakang untuk memastikan bahwa benar Fanny yang datang. Kemudian ia hanya mengangguk acuh tak acuh. "Masih belum ada peningkatan." komentarnya ringan.

Fanny lantas mengambil tempat duduk di sebelah seniornya. Tatapannya turut memicing memerhatikan layar belah, sisi kanan untuk Diana dan kiri untuk Nina. "Mereka beneran punya energi yang sama."

"Bener, kan?" Jeon menjentikkan jari. "Bukan salahku hal ini terjadi. Insiden itu emang di luar hitungan."

"Sunbae tau kan, sekalipun jiwa mereka tertukar secara gak sengaja, susah buat balikinnya?"

"Resiko dari mainin hukum alam si, Fan. Tapi setidaknya mereka gak ngelaluin ini buat hal yang sia-sia, kan?"

***

Suasana mendadak berubah menjadi dingin. Baik empat orang di sana sama-sama tidak ada yang mau membuka suara. Diana pada tubuh Nina diam, begitu juga Nina, Rara, dan Sun. Kalau diingat-ingat, kecelakaan itu terjadi saat mereka memiliki tanggungan kerja kelompok.

Nina sudah mendengar dari Rara, akibat kecelakaan itu, akhirnya Rara terpaksa mengganti partnernya dengan Sun. Lantas milik Diana dan Nina bisa dikerjakan sebagai partner berdua, tugas boleh dikumpulkan menyusul.

Tetapi Sun yang tau kondisi tidak bisa melepas mereka berdua kerja kelompok sendirian. Alhasil Rara yang memiliki tanggung jawab dan sedikit rasa bersalah karena telah mengganti partner tanpa kabar pun ikut menemani.

Tapi jatuhnya kok kayak gini?

"Trus... gimana... tugasnya?" Rara yang paling pendiam ternyata paling punya keberanian untuk membuka suara.

"Gue mau ada acara. Gak bisa." Diana tiba-tiba nyeletuk. Nina mengernyit bingung.

"Acara apaan?" Tanyanya. Jelas dia bingung karena sejak kapan Diana punya agenda di tubuhnya?

Dan setelah diperhatikan, ternyata mereka ahli juga cosplay satu sama lain. Diana yang mau pulang cepat, dan Nina yang tidak terima Diana pulang duluan. Ckckck.

Yang ditanya hanya mengangguk sambil memejamkan mata. Sok sekali, apalagi tangannya sudah dilipat di dada, "Mau pulang!"

Nah ini, udah jelas kalo Diana cuma mau bikin Nina kesel doang.

"Betah ya di rumah?" Nina menyindir.

Diana malah ngangguk seneng, "Iya donk!" Sesekali matanya terbuka sedikit untuk melihat reaksi Nina. Ia harus menahan tawanya saat gadis itu benar-benar terlihat kesal.

Tapi Diana tetap harus mengingat satu hal, ia tidak boleh mengulangi hal yang sama. "Kita teleponan aja mau ambil apa, besok langsung eksekusi."

Nina mencebikkan bibir lantas mengangguk menyetujui, "Ya ya ya..."

Sepertinya walaupun sedang terlibat pada satu masalah yang sama, Nina tetaplah Nina, Diana juga begitu. Mereka sama sekali belum ada tanda-tanda bisa menjadi teman dengan sikap saling gengsinya.

Sun mengangguk, tahu kondisi berakhir dengan aman, "Besok boleh gue ikut lagi bantuin. Beberapa referensi bisa dipake barengan, nanti gue sama Rara bantu. Lo berdua tugasnya... akur aja dah keren lah." Sun mengangkat jempol dengan ekspresi malas. Dia hanya gak kepikiran aja kenapa harus ngacungin jempol buat hal ginian. Untung ga kebablasan goyang duyu.

Rara ikut tersenyum tahu kerja kelompoknya aman. Sebenarnya ia tidak begitu tahu cerita permusuhan antara Nina dan Diana, tapi melihat reaksi Sun yang begitu lega, ia ikut lega.

Setelah diizinkan, Diana bangkit lalu pergi dari perpustakaan. Tidak lupa ketika melewati meja pengurus ia sempatkan untuk menyapa kak Brina. Walaupun kak Brina cuma bingung... "Nina salah makan ya?"

Sambil melangkah, ponselnya berdering. Diana mengangkatnya tanpa lihat-lihat karena ia sudah jelas tahu siapa yang menghubungi.

"Lo dimana?"

"Otw gerbang kak. Bentar ya..."

"Perlu gue samperin masuk aja gak?"

"Gak usah dah mau sampe."

"Oke, tiati Nin!"

Langkah Diana sudah lebih stabil dari sebelumnya. Sebenarnya pun terkilirnya gak buruk-buruk banget dari awal. Cuma karena sudah terlanjur dapat perawatan akhirnya ibu Irma menggunakan kesempatan itu untuk menyuruhnya istirahat total.

Saat melewati pagar, Diana celingukan. Kan Diana belum pernah sama sekali ketemu Taehyung. Kalau hanya mengandalkan foto profilnya juga ga jelas, anglenya dari bawah sih. Tapi kalo soal gantengnya sih jelas.

Makannya waktu ada cowok mendekat, ganteng, Diana asal senyum. Untung bener. Cowok itu ikut tersenyum ke arahnya.

"Hai... kak Taehyung?"

Kak Taehyung malah ketawa lagi, "Kenapa setelah izin lama lo senyam senyum terus sih? Bahagia ya gak masuk seminggu?"

Sebenernya kalo boleh jujur Diana senyum karena bingung aja mau bahas apa. Basically kan mereka stranger. Sama karena kakaknya ganteng aja sih.

Tampilan Taehyung saat itu ala-ala second lead di drama-drama gitu. Pakaiannya pake cardigan, celana jeans agak sobek, pembawaannya ramah, murah senyum, presensinya terkesan selalu ada, gak susah buat ditemui, tapi gatau deh bisa ada love linenya atau engga.

"Maaf ya harus minta jemput. Gue-" baru akan mengarang jawaban, kalimat Diana sudah dipotong. Alhamdulillah gaperlu bohong.

"Santai aja. Apartemen gue juga searah. Cuma yang bikin spechless lo jadi betah nempel gue aja si. Buktinya dari tadi gue mainin rambut lo, lo gak protes. Biasanya gue dah dijitak."

Diana spontan nengok ke arah kiri. Lah iya rambutnya lagi dimainin. Mungkin saking terkesimanya dia sama kehadiran Taehyung jadi gak terlalu ngerasain detail-detail yang terjadi di sekelilingnya.

"Yuk berangkat. Sepedanya gue taroh mana ya tadi..." Taehyung celingukan. Diana excited, dia udah lama pengen naik sepeda di jalanan Seoul tapi gak pernah bisa karena SD sampe SMA diantar jemput mobil, kalo kuliah dia sepedaan bisa telat dua jam.

Jari cowok itu kemudian menunjuk arah mini market yang tak jauh dari mereka berdiri, "Itu sepedanya. Kuy."

Taehyung sempat berlari lebih dulu sebelum sadar ada Diana -di tubuh Nina yang sulit untuk menyusulnya. Cowok itu akhirnya balik lagi buat memposisikan dirinya di belakang Nina. "Mau saya bantu, Nek?"

"Enak aja!" Diana gaplok lengan Taehyung, tapi gak tau kenapa tangannya justru nyangkut di lengan cowok tersebut. "Boleh deh." Diana cengengesan pake wajah Nina, gak tau deh.

Baru kali ini dia clingy sama cowok. Jujur aja di hidupnya gak pernah tanpa cowok di sekelilingnya, tapi Taehyung ini beda. Tiba-tiba bawaannya pemgen nempel aja.

Hal tersebut ternyata gak cuma di rasakan Diana, karena begitu sampai ke tempat kerja -yang ternyata sebuah restoran cepat saji dengan menu roti sandwich, banyak pelanggan yang menyapanya.

Social butterfly. Efeknya bukan main.

Diana sempat memiringkan tubuh melihat ada seorang ingin keluar resto dengan buru-buru sebelum ia mengekor di belakang Taehyung. Sementara kakak Kim walaupun sudah duluan masuk tapi masih menggandengnya.

"Hai, Nin!" Sapa seorang pria paruh baya. Diana mencoba mencerna sambil pasang senyum.

"Kan aku dah bilang, Om. Sayang banget tahunya baru seminggu. Kalo masih di RS kan gue bisa jenguk sambil bawain sandwich udang kesukaan lo." Yang tadinya bicara dengan pria di sana, Taehyung berakhir menatapnya di akhir kalimat.

Pria di belakang kasir mengangguk afirmatif, "Iya ih... Jatuh gak bilang-bilang."

"Sembarangan, Om!" Taehyung mendekat lalu menyenggol bahu pamannya. "Dikira jatuh itu study tour, pake direncanain. Dah pulang aja sana." Perintahnya sambil mengambil dua celemek di belakang tubuh pamannya.

"Gak ada kamu, om yang urus semua ini, Nin. Mana dimarahin Taehyung terus." Omnya malah curhat, sambil beberes buat meninggalkan tempat.

Diana sempat terkejut saat Taehyung spontan mengalungkan celemek ke arahnya. Tapi dia pasrah-pasrah aja sih. Dari belakang tubuhnya, Taehyung menyahut. "Bakat jadi manajer ya ngurus di belakang aja ya. Di sini cuma khusus orang-orang terampil soalnya. Tahu om banyak ngeluh gitu aku minta naik gaji."

"Enak aja. Papamu kan juga kaya, malah minta ke Om." Dilihat nampaknya paman Kim Taehyung itu sudah siap untuk pergi. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan resto, ia berhenti, "Nina bener udah gak apa-apa kan? Om harap kamu masih mau kerja lagi ya, susah cari yang rajin kayak kamu."

Diana ngebug. Jujur saja, ia tidak akan mengira kalau Nina baik dalam bekerja. Tapi dia tidak terkejut juga sih, melihat pesan Taehyung kemarin terlihat bahwa mereka akrab, Nina pasti sudah diakui terampilnya. Tapi... sekarang yang ada di tubuh Nina kan Diana, memangnya bisa?

Dia kan cuma tahu belajar, mana bisa pegang ginian.

Walau butuh waktu, akhirnya Diana mengangguk. Ditambah bumbu-bumbu ekspresi sok yakin, "Siap, pak."

Baru saat itu paman atau biasa Nina panggil sajang-nim? Bisa pergi dengan tenang.

Selesai memakaikan celemek dan topi, Taehyung beralih ke posisi. Diana benar-benar menjadi anak bebek yang terus mengikuti Taehyung dari belakang. Tapi dia harus berhenti di belakang kasir saat ada pelanggan yang tiba-tiba memesan.

"Sandwich tuna mayo satu, udang satu, boleh tanpa tomat keduanya ya? Minumnya cola..." Ucap pelanggan hanya separuh yang masuk ke telinga Diana. Karena apa? Diana aja masih bingung liat mesin di depannya. Cara makenya gimana?

Beruntung ada Taehyung, cowok itu mengambil alih mesin dari belakang tubuh Diana -atau Nina? Taehyung mengulurkan tangan untuk memencet tombol per tombol sebelum keluar total pesanannya. Diana memperhatikan, keahlian belajarnya bisa ia manfaatkan untuk menghapal tahapan yang Taehyung tunjukkan.

"Masih bingung ya?" Taehyung bertanya, Diana tidak berani menoleh ke belakang tau tubuh mereka hampir tidak ada jarak.

"Maaf kak, masih suka ngeblank."

"Gak papa, gue ajarin dari awal ya." Kali Ini Taehyung berpindah ke sebelah kanannya sambil tersenyum.

Manis banget.

***

"Diana?"

Nina terkejut bukan main. Masalahnya dia masih belum merasa ini rumah punya dia, apalagi tiba-tiba wanita paruh baya sudah memanggilnya saat baru saja masuk rumah, habis pulang dari kampus. Walau technically Diana bukan nama dia si.

Biar Nina tebak, dandanannya cantik, baju mahal, rambut rapi, wanginya aja sampe sini, itu pasti Mamanya Diana kan, "Mama?"

Dugaannya benar, beliau tersenyum. Meskipun tangannya penuh dengan paper bag bermerk NDCollection, Mama tetap memeluknya. "Syukur mama lihat kamu dah sehat..."

Lah iya juga, ini pertemuan pertama mereka kan?

"Papa kamu masih lama di Toronto. Mama juga harus pergi lagi ke Busan."

Nina tiba-tiba mengingat apa yang diucapkan Diana kemarin-kemarin. Benar saja Mamanya harus pergi lagi. "It's okay, Ma. Diana juga ada kak Nana. Mama sehat-sehat ya."

Mamanya sempat mengernyit ketika mendengar balasan Nina. Hal tersebut sempat membuat Nina panik. Ada yang salah sama balesannya ya?

"A.. ada apa, Ma?"

Begitu ditanyai, Mamanya justru menggeleng. "Gak apa-apa, Mama seneng kamu jawab begitu." Kemudian Mamanya mengecek jam tangan, lantas membuka tasnya, "Diana, mau buatin Mama minum gak? Pesawat Mama satu setengah jam lagi, Mama mau ngobrol sama kamu sebentar."

"Oke, Diana ambil dulu sebentar ya."

Hanya dua menit, Nina sudah kembali membawa teh dari dapur. Sebenernya dia gak paham banget jenis teh apa yang dia buat, terlalu banyak jenisnya. Dia males baca. Modal tau cara buat teh aja.

Pandangan Mama mengarah ke kursi di hadapannya. Niam pun duduk sambil menyodorkan teh yang dia bawa, "Ini, Ma."

"Soal absen kamu kemarin, ngaruh ke nilai gak?"

Nina boleh kaget lagi gak sih? Dia tidak terbiasa mendapst pertanyaan semacam ini.

"Waktu di Jeju, Mama diceritain sama temen Mama kalo anaknya lanjut S2 di London. Kalau dipikir-pikir bagus juga kan buat rencana hidup kamu ke depan? Temen Mama itu punya perusahaan fashion juga. Makannya Mama pengen kamu lanjut juga. Gimana menurut kamu?"

Nina terpekur. Pasal masa depan seperti ini dia tidak bisa menjawab asal. Masalahnya bukan Nina yang akan mengalami nanti, tapi Diana (kalau mereka bisa balik juga sih).

"Ujian kamu kemarin dapet berapa?"

"A." Baru Nina bisa relaks dan tersenyum saat menjawab pertanyaan ini. Ya gimana gak seneng, walaupun bukan nilai dia sendiri tapi ada pengalaman ngucapinnya juga dah cukup. Sayang, anehnya Mama justru merubah ekspresi menjadi lebih tajam.

"Cuma A?" jawab Mama tiba-tiba penuh tekanan.

Ia kehabisan kata. Nina benar-benar terdiam sambil menatap Mama Diana tidak menyangka.

"A+ ya, Di. Semuanya. Nilai kamu harus sempurna buat lanjut S2 di luar negeri terus lanjutin perusahaan Papa. Mama gak mau perusahaannya lanjut ke sepupu kamu. Nilai dia sampe semester 2 udah sempurna semua. Mama denger tante mau lanjut bawa dia sampe S3. Kalau dia lebih unggul, itu akhir dari keluarga kita."

Sadar tidak sadar, entah apakah Nina bisa mendengar semua yang Mama katakan. Gadis itu hanya bisa mengangguk saat Mama pamit pergi.

Nina jadi berpikir, Diana suka belajar karena keinginannya atau hidup di tengah paksaan begini, ya?

***
TBC

.
.


.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.

.
.

.

.
.
.
.
.

UDAH DIBILANG CRINGEEEEEE

Continue Reading

You'll Also Like

389K 4.2K 84
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
430K 34.5K 65
"ketika perjalanan berlayar mencari perhentian yang tepat telah menemukan dermaga tempatnya berlabuh💫"
123K 9.8K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
42.7K 4K 41
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...