Memoriografi

Autorstwa inziati

29.2K 5.8K 750

「"Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Jadi... Więcej

1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28

4

1K 235 45
Autorstwa inziati

"GIMANA, Run?"

Arun belum menuntaskan salamnya ketika Mbak Drina menyambar dengan kalimat tanya itu. Pintu depan saja belum ditutup rapat. Namun, begitu Mbak Drina berlari kecil ke arahnya lalu menarik napas saat melihat kantong buket, Arun segera menyiapkan jawabannya.

"Mbak, tolong dengerin dulu—"

"Buketnya belum sampai? Tapi alamatnya betul, kok! Tadi kamu ke mana aja? Emangnya itu bukan rumah Bu Lis? Terus kenapa WA Mbak nggak dibalas-balas?"

Penjelasan yang sudah Arun susun mendadak buyar. "Arun lagi di jalan, Mbak."

"Ya ampun, berarti Bu Lis salah kasih alamat? Terus kata Orlin gimana? Bu Lis itu siapanya?"

Arun berkedip. "Err, orang yang bayar dia."

"Bayar? Jadi Orlin suruhan? Kirain keponakan atau anaknya! Dia juga nggak tahu apa-apa?"

"Besok rencananya kami mau coba ke alamat lain. Tapi nggak tahu juga, mungkin Mbak bisa hubungi Ibu Lis lagi buat konfirmasi. Kata Orlin, habis dia deal sama Ibu Lis, beliau nggak balas lagi."

Arun sengaja menyembunyikan bahwa Orlin tak keberatan chat-nya tak dibalas. Selain karena menghubungi Ibu Lis hanya akan 'merusak kesenangan', dia juga sudah dapat setengah dari upahnya. Dipikir lagi, bisa saja upah itu uang tutup mulut agar Orlin tak membantu siapa pun yang akan menuntut Ibu Lis. Bisa saja.

"Yang benar?!" kini Mbak Drina sama paniknya dengan Arun setengah jam lalu. "Duh, gimana ini? Chat Mbak juga belum dibalas." Langkahnya bolak-balik sebelum menghampiri kantong buket yang dipegang Arun. "Sini, sini, bunganya. Mbak simpan dulu biar nggak layu."

Arun menyerahkan buket, lalu mengekori Mbak Drina yang terburu-buru ke dapur. Memasuki suhu yang lebih sejuk, pikiran Arun seakan ikut terbuka. Mbak Drina tak perlu bertanggung jawab sebegitunya. Kalau memang pesanan kliennya tak sampai, rugi itu sudah pasti, tapi toh Ibu Lis semestinya tak bisa memberi ulasan buruk karena ya, beliau yang ghosting, bukan? Untuk apa dia bicara jelek tentang orang lain ketika itu salahnya sendiri? Kecuali Ibu Lis memang menjalankan permainan; permainan dari neraka.

"Ya udah, sih, Mbak," tutur Arun, mencoba meringankan. "Masukkin aja ke txtdarionlshop. Blokir akunnya. Sebar namanya biar jadi peringatan buat seller lain."

"Sush," bisik Mbak Drina tanpa menoleh. Tangannya cekatan membuka ikatan buket itu lalu menjajarkan tiap bunga dan dedaunannya di atas meja makan. Dia pergi sejenak untuk mengambil sebuah vas kaca bening, mengisinya dengan air, kemudian menambahkan beberapa tetes pemutih pakaian dan sesuatu yang diambil cepat dari ruang kerjanya—sepertinya suplemen khusus bunga ditilik dari tulisan flower food di bungkusnya. Diangkatnya satu-satu bunga itu untuk dipotong sedikit tangkai bawahnya sebelum diletakkan dalam vas. Setelah semuanya selesai, Mbak Drina menaruhnya di konter. "Jadi besok kamu—"

Getar ponsel Mbak Drina di atas meja makan mengalihkan perhatian mereka. Mbak Drina meraihnya, lalu fokus membaca. Perlahan, tatapannya berubah. Bukan hanya dari kedua alisnya yang menurun, tapi juga betapa pelannya Mbak Drina memalingkan wajah pada Arun.

"Pesanan diterima," ucapnya lirih. "Bu Lis kasih bintang satu."

Arun berderap maju. Direbutnya ponsel Mbak Drina dari genggamannya yang melonggar. Dia tak akan melakukan ini dalam kondisi terbaiknya, tetapi amarah sudah kadung mengendalikan. Jempolnya gusar menggulir layar klik-balik atas-bawah.

Apa-apaan ini? Bagaimana bisa pesanan Ibu Lis ditandai 'Selesai'? Sial, rating-nya betul-betul hanya dikasih satu bintang? Kalau bukan kurang ajar, apa lagi namanya?

"Tuntut aja, Mbak!" desak Arun. Telunjuknya yang mengetuk-ngetuk hampir mengenai layar ponsel yang dia letakkan lagi di meja. "Ini nggak bisa dibiarin. Niat beli nggak, sih?"

"Tenang dulu, Run. Biar Mbak coba chat lagi."

"Chat sebelumnya aja dianggurin! Mbak yakin ini bukan pencemaran nama baik?"

Ponsel bergetar lagi. Mereka berdua serempak memeriksa; sebuah balasan! Mbak Drina membuka pesan baru Ibu Lis itu dan mendapati sebaris kalimat.

"'Maaf, itu kepencet. Saya akan mengubah bintangnya. Barangnya belum dikirim?'" ucap Arun mengikuti kata-katanya. "Enak benar ngomongnya! Belum dikirim dari Hongkong! Lagian kenapa, sih, bahasanya baku banget gitu?"

Tangan Mbak Drina terangkat satu. "Sabar, Bu Lis-nya masih ngetik."

Ibu Lis bertanya ulang tentang pengantaran buket. Mbak Drina menjawab bahwa alamatnya salah dan memohon agar Ibu Lis memeriksa lagi. Semenit berlalu, tanda online di kolom chat Ibu Lis tak kunjung kembali. Baru ketika Arun sedang membuat sirop, sebuah balon teks muncul.

Saya lupa.

"Lupa?!" Arun nyaris membanting gelasnya. "Gimana ceritanya?"

"Lihat!" potong Mbak Drina. Seketika, rentetan pesan baru datang dalam rentang waktu dekat.

Saya minta tolong

Saya tidak akan ajukan pengembalian uang

Jadi saya mohon bouquetnya bisa diantarkan lagi

Tidak apa-apa sampai lebih lama, tapi mohon temukan alamatnya

Semua nama di alamat itu ada alamat saya

"Maksudnya... apa?" Mata Mbak Drina kosong seakan baru mendapat soal ujian tersulit. "Run, kamu masih mau anterin besok, kan? Kamu udah tahu mau ke mana?"

Kebalikannya, lampu pijar bersinar menerangi pikiran Arun. Prediksi Orlin jitu. Seluruh lima puluh tiga persen itu. Langkah mereka tepat. Dan, geramnya berangsur reda.

Permainan atau bukan, Arun berjanji akan menyelesaikan ini. Setidaknya Ibu Lis sudah membuktikan bahwa dia bukan penipu dan sudah membayar Mbak Drina untuk kerja kerasnya. Mencari alamat yang benar tak akan sulit dengan adanya Orlin, dan Arun hafal hampir seluruh wilayah kota kelahirannya ini. Mbak Drina bisa relaks sekarang.

"Ya, Mbak," ujar Arun singkat. Diminumnya sirop yang baru dia buat. "Tenang aja."

Bunyi mesin motor Orlin yang kemudian dimatikan terdengar tepat setelah Arun menutup keran wastafel. Pas sekali seperti kemarin, ketika Arun baru selesai cuci piring bekas makan siangnya. Dia sudah menyiapkan arah jalan menuju blok 12A di Graha Seroja Indah dan tampak depan rumahnya dari peta digital, juga mencoba googling pemiliknya meski tak ketemu. Energinya pun sudah diisi penuh setelah bertanding futsal di classmeeting serta menjaga stall kedai kelas mereka. Arun bersiul kecil saat mengambil buket yang sudah dirangkai Mbak Drina dan meletakannya hati-hati di kantong kertas.

Selepas pamit, salam, dan keluar, Arun disambut Orlin dengan senyum keju mozzarella-nya dan sebungkus keresek putih di tangan.

"Saya beli minuman dingin buat kita berdua," terangnya. "Alias belanja pertama dari modal Ibu Lis."

"Kenapa pakai kantong plastik?"

"Um, sama-sama?" Orlin mengangkat bahunya. "Plastik juga bisa dipakai lagi, kok."

"Ya, cuma nanya." Arun menunggu Orlin naik duluan ke motor. "Makasih."

Orlin benar-benar tak kentara geniusnya. Arun kira orang pintar pasti peduli lingkungan, tapi dipikir-pikir lagi, bahkan Sherlock Holmes versi BBC saja tak tahu bumi mengelilingi matahari. Siapa tahu Orlin juga tak mengerti apa itu 3R.

Helm Arun ini sebenarnya milik Mas Kal yang sedang tak dipakai; strap dagunya lebih ketat dan kaca penutupnya sering bergerak turun saat melewati polisi tidur. Kini mereka melaju di jalan raya, bising kendaraan lalu-lalang ke sana kemari, dan kaca penutup helm Arun baru saja turun berkat polisi tidur sebelum portal gerbang perumahannya. Namun, di saat begini, Orlin justru mengajaknya bicara.

Arun membuka kaca penutupnya. "Hah?"

"Aku tanya, kamu tahu arti dari buket itu?"

Arun tahu itu buket pernikahan, jadi mungkin artinya tak akan jauh dari cinta sejati, cinta suci, cinta fitri, atau judul sinetron cinta lain. "Nggak. Kenapa?"

"Rumah tangga. Itu artinya."

Deru angkot yang barusan lewat sepertinya mengaburkan suara Orlin. "Maksudnya?"

"Ya, rumah tangga. Mawar peach artinya ketulusan, ranunculus berarti menarik, dan lisianthus putih bermakna seumur hidup. Nikahan, kan, cuma sehari. Berumah tangga yang seumur hidup."

"Jadi, arti keseluruhannya, 'Semoga rumah tangganya selalu tulus dan menarik?'"

Orlin malah bertanya balik. "Jadi, kira-kira siapa Ibu Lis ini?"

Mereka menelusuri jembatan layang sebelum berbelok ke arah kantor kecamatan, kemudian melewati lapangan rumput yang tiap dua bulan sekali disulap menjadi pasar malam. Seperti Bukit Persada, Graha Seroja Indah juga dibangun kira-kira di waktu yang sama. Warna-warni plangnya redup ditimpa debu, karat, dan tempias hujan sejak akhir '99.

Arun dan kawan-kawannya dulu sering bermain ke lapangan pasar malam via perumahan ini. Dari gedung SD-nya, mereka berjalan kaki ke arah jalan tikus yang menghubungkan kampung dekat SD dan perumahan itu. Mereka akan meneriakkan nama Jia ketika melintasi rumah bercat kuning pucat, atau teman lain yang rumahnya terlewat.

Rumah yang Arun dan Orlin kunjungi saat ini bercat abu-abu, berpagar putih, dan berpintu biru telur asin. Blok 12A. Arun mengetuk dan mengucap permisi, tetapi pintu baru terbuka setelah dia menambah kata 'paket'. Arun akan mengingat trik ini untuk lain kali.

Ibu itu mendekat dengan dahi berkerut. "Paket?"

Arun mengecek pakaiannya—kaus seragam kelas berwarna putih, bukan jaket ojek online atau ekspedisi. "Ehm, ya, Bu. Dari Drina Craft langsung. Ada buket buat Ibu Lis."

Kerutan dahinya makin dalam. "Buket?"

Perasaan Arun mulai tak enak.

Ibu itu memanggil 'Lis, Lis' ke arah dalam rumah. Oh. Berarti benar ini alamatnya? Suara ibunya begitu kencang sampai burung yang baru bertengger di pucuk pagar terbang lagi.

"Lis! Turun! Kamu beli apa lagi, sih? Ini ada paket buket omket tanteket, buruan ke sini!"

Orlin tersedak tawanya sendiri sebelum berpura-pura tenang lagi. Arun menggaruk-garuk kepalanya. Seorang gadis, barangkali tak jauh dari usia Arun, keluar dengan rambut mengembang dan mata setengah tertutup. Dia mengucek matanya sambil mengumpat.

"Apaan, sih? Ganggu!" semburnya pada si Ibu.

"Noh, paket apaan lagi, dah? Kan, udah Kakak bilang jangan jajan terus!"

"Siapa yang jajan, sih? Orang Lilis lagi bokek."

"Terus itu apa? Katanya buat kamu," tunjuk ibu yang ternyata kakaknya. Sedetik kemudian, kenyataan menghantamnya. "Ada yang kasih kamu bunga, Lis?"

Lilis ikut tersentak. Matanya membuka penuh. "Siapa?" tanyanya heran. Mereka berdua bolak-balik melihat buket yang sengaja dikeluarkan sedikit dari kantong.

"Lu balikan lagi?"

"Kagak! Sumpah demi Allah!" Lilis mengacungkan dua jarinya.

"Mantan lu yang cupu itu bisa-bisanya beliin bunga?"

"Nggak mungkin! Orang udah Lilis blokir di mana-mana!"

Orlin menyikut Arun pelan. Tatapannya jelas: mereka harus pergi. Arun buru-buru mengucap salam pamit dan minta maaf, entah didengar kakak-adik itu atau tidak. Saat mereka sudah di motor, Lilis sepertinya memanggil, tetapi Orlin sudah keburu tancap gas.

"Besok kita mau coba ke Gang Dua Belas?" ajak Orlin. "Hari ini cukup dulu, ya. Capek juga lihatin mereka berdua berantem."

Arun menatap mekar bunga-bunga di dekapannya. "Oke. Kamu nggak ada kegiatan lain?"

"Selain kerjaan ini? Nggak usah dipikirin, saya udah tahu caranya ngatasin bosan."

Apa Orlin baru saja ke-geer-an? "Oke, deh," tanggap Arun santai. "Besok saya usahain nggak telat."

"Harus!" tegasnya. "Lagian di sekolah paling kamu cuma main futsal sama bungkus dorayaki."

Jantung Arun serasa melambat satu ketukan. Bagaimana caranya Orlin tahu serinci itu? Namun, sebelum pikiran Arun bersangka ke mana-mana, Orlin menjawabnya.

"Baret di betis kamu kelihatan kayak gesekan lapangan dan kaus kaki bola. Dan walau siang ini kamu makan ayam krispi, samar wangi dorayaki lebih kentara daripada remahan krispi di pipi kamu."

Arun buru-buru mengelap pipinya dan menemukan serpihan amat kecil di area dekat telinga. Tak bisa dipercaya. Matanya memandangi tangan yang dikotori remahan krispi dan tanya berkumpul di mulutnya yang terbuka, tapi lama-lama dia mengulum senyum dan menelan pertanyaan itu. Mengapa? Mungkin karena angin yang menerpa wajah dan sedikit helai rambutnya yang keluar dari helm. Mungkin karena dia punya minuman dingin yang dibelikan Orlin. Atau mungkin karena pencarian alamat ini, meski aneh, melelahkan, dan entah kapan selesainya, nyatanya tak begitu buruk juga.

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

2.8K 567 33
Rambut pink. Mahasiswi baru di FSR IKJ. Suka BTS juga. Dan... anak perempuan Park Chanyeol.🌸✨ [OC Chanyeol's Daughter x Sehun's Son] Alur lambat - l...
3K 612 21
Kue ulang tahun dan lilin. Biru dan Grace. Persamaan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lahir di tanggal yang sama dan tinggal di lingkungan yang s...
2.1M 98K 70
Herida dalam bahasa Spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
128K 19.6K 53
Netta buta warna parsial merah-hijau. Dunia Netta seakan runtuh. Cita-citanya masuk jurusan DKV terancam kandas. Beruntung dia bisa memalsukan surat...