Piri tertegun. Ia belum pernah melihat kebakaran sebelum ini, tapi dari ucapan Kasen kelihatannya ini adalah situasi yang sangat berbahaya.
"Terus bagaimana?" katanya panik.
Kasen memandang ke atas, ke arah kamar-kamar yang kini jendelanya terbuka. Jeritan panik anak-anak terdengar bersahut-sahutan.
"Semuanya keluar!" suara lantang Bibi Molen terdengar. "Keluar dari rumah! Cepat!"
Rumah Merah terbakar! Sedemikian cepat api merambat dari belakang rumah, lalu menghabisi bagian lainnya satu per satu. Hawa yang tadinya dingin berubah panas. Asap tebal yang menyesakkan dan memedihkan mata memenuhi udara. Atap dan dinding berderik-derik.
Untunglah anak-anak segera muncul, berlarian keluar dari pintu depan sambil menjerit-jerit. Nyonya Kulip dan Bibi Molen bersama mereka. Tuan Dulum tidak terlihat.
Di balik pohon Piri bingung harus berbuat apa.
Di sebelahnya Kasen menghitung. "Delapan belas, sembilan belas ... Sembilan belas!" serunya tertahan. "Kurang satu!"
"Hah?" Piri memperhatikan setiap anak yang berkumpul di halaman.
Seluruh anak itu terbengong-bengong menatap Rumah Merah yang kini terbakar hebat, sementara tubuh Nyonya Kulip bergetar, menahan amarah.
"Pofel? Pofelkah yang tidak ada?" tanya Piri.
Kasen menggeleng, bingung bercampur khawatir. "Ya, aku tidak melihatnya. Apa masih ada di dalam?"
"Kita harus mencari dia!"
"Ke mana? Ke dalam rumah? Kamu gila."
"Aku akan bertanya."
Tanpa ragu Piri keluar dari balik pohon, mengendap-ngendap di belakang kumpulan anak-anak. Nyonya Kulip dan Bibi Molen berdiri tak jauh di depan, jadi Piri tahu ia harus sangat berhati-hati supaya kehadirannya tidak terdengar mereka berdua.
Piri melihat Geza dan Horun berdiri paling belakang, maka ia pun mendekati mereka, lalu mencolek punggung kedua anak itu. Keduanya hampir berteriak kaget. Piri cepat-cepat menyuruh mereka diam.
"Piri," bisik Geza dengan wajah bingung. "Kamu bisa ada di sini?"
Piri balik bertanya, "Pofel, di mana Pofel?"
"Tidak tahu," Horun menjawab. "Pagi tadi ia dibawa Tuan Dulum ke gudang."
Geza menoleh heran padanya. "Kamu benar melihat itu?"
"Ke gudang di samping halaman?" tanya Piri.
"Gudang di rumah, di lantai bawah." Horun terperangah gara-gara ucapannya sendiri. "Oh, dia masih ada di dalam! Dia bisa mati!"
Seruannya membuat semua orang menengok, termasuk Nyonya Kulip dan Bibi Molen. Keduanya melotot begitu melihat Piri.
"Kau ... Kenapa kau bisa ada di sini?" seru Nyonya Kulip.
Piri menjadi kesal. Rasa takutnya justru menghilang. Baginya itu pertanyaan yang tak ada gunanya dijawab. Ada urusan yang lebih penting.
"Di mana Pofel?" Ia bertanya tanpa takut. "Apa dia ditahan di dalam rumah? Apa dia masih di dalam gudang?"
Nyonya Kulip dan Bibi Molen terkejut, saling menatap, lalu melihat semua anak yang lain.
"Dia ... dia tak ada bersama kalian?" tanya Nyonya Kulip.
Anak-anak menggeleng.
"Kulihat Tuan Dulum bawa Pofel ke gudang!" seru Horun. "Bukan Ibu yang suruh?"
"Aku cuma menyuruhnya ditahan sampai sore! Setelah itu dia boleh keluar!"
"Kita harus menyelamatkannya, Nyonya," kata Bibi Molen gelisah. "Dia bisa ..." Ia tak melanjutkan perkataannya dan menoleh khawatir ke arah rumah yang terbakar.
"Di mana letak gudang itu?" tanya Piri tajam.
"Di antara ruang depan dan ruang makan," jawab Bibi Molen cepat. "Di lantainya ada pintu, tapi terkunci—"
Piri sudah lebih dulu berlari ke arah rumah, tak memperhatikan ucapan terakhir Bibi Molen, juga teriakan anak-anak lain yang berusaha mencegahnya. Hanya satu hal yang ada dalam benaknya: ia harus menyelamatkan Pofel.
Api hampir membakar seluruh bangunan, tetapi ia melihat pintu dan ruangan depan belum tersambar api. Ia masih punya kesempatan untuk masuk sampai ruang depan lalu membuka pintu lantai bawah.
Sebelum Piri melompat masuk ke dalam rumah, seseorang muncul, mencengkeram lengannya dari samping.
Piri menoleh, kaget. Rufio melihatnya dengan tatapan nanar.
"Pofel ada di dalam?" tanya Rufio.
"Y—ya. Di gudang lantai bawah, di samping ruang depan."
"Kau di sini saja. Biar aku yang masuk."
"Aku bisa membantu."
"Kau masih anak kecil!"
"Aku bisa membantu!" seru Piri makin keras.
"Aku juga!" Dua suara lain menyahut dari belakang. Kasen dan Tero.
Piri tak tahu sejak kapan Tero masuk ke halaman, tapi yang jelas anak itu tampak begitu bersemangat.
"Bodoh! Di dalam berbahaya! Pofel adikku! Aku yang harus menolongnya!" Namun melihat Piri, Kasen dan Tero tak mau menurut, akhirnya Rufio menggeleng. "Terserahlah."
Rufio berlari ke dalam rumah. Sesaat rasa takut menerpa Piri begitu ia merasakan hawa panas di sekelilingnya, tetapi ia menguatkan diri, dan ikut melompat masuk. Kasen dan Tero menyusulnya. Mereka berempat lari melewati ruangan depan sampai di koridor panjang, terus semakin dalam.
Api besar menjilati dinding di belakang ruang makan, sudah hamper mencapai atap. Piri terhenyak, jangan-jangan atap dan balok-balok penyangga bakalan runtuh!
Di sudut ruangan Rufio menemukan pintu kayu di lantai, di samping kursi dan lemari besar. Pegangan pintunya yang terbuat dari besi tampaknya sudah panas karena Rufio menggunakan kain untuk memegangnya. Ia berusaha menarik, tapi seperti kata Bibi Molen, pintunya terkunci.
"Pofel!" Rufio berteriak memanggil. "Pofel! Kau di dalam?!"
Suara lirih terdengar sebagai balasan. "Ya ..."
"Ini Rufio!"
"Ka ... Kakak?"
Senyuman Rufio terbentang, lega. "Jangan khawatir! Aku akan mengeluarkanmu!"
"Tapi ini terkunci!" kata Tero.
"Kuncinya dipegang Tuan Dulum," kata Kasen. Ia menatap Rufio. "Kau melihatnya tadi di belakang? Apa yang terjadi? Benar kau yang membakar?"
Rufio membalas tatapannya tanpa rasa takut ataupun menyesal. "Ya! Ia muncul, berusaha mengambil air dari sumur dan menyiram api, lalu aku pukul kepalanya dengan kayu. Ia pingsan, tapi aku menyeretnya menjauh dari api. Ia tidak apa-apa."
Anak-anak terdiam, bingung harus bereaksi bagaimana. Rufio telah menghancurkan Rumah Merah yang tidak disukai anak-anak, tetapi tindakannya itu juga telah membuat Pofel dalam bahaya.
"Kita butuh kunci!" seru Piri. Ia tahu mereka tak boleh berpikir terlalu lama, atau mereka takkan sempat keluar dari kepungan api.
Tero berdiri, lalu menyeret kursi di sampingnya. "Kita hancurkan saja pintunya!"
Anak-anak menyingkir. Tero memiliki dua tangan yang kuat. Ia mengangkat kursi kayu itu tinggi-tinggi, lalu mengayunkannya sekuat tenaga ke pintu di bawahnya. Kursi itu menghantam keras.
Pintu kayu retak, tetapi belum hancur.
"Sini, biar aku," kata Rufio.
Ia mengambil alih kursi, lalu mengayunkannya.
Braaakkk!
Sekali lagi ...
BRAAAKKK!
Kedua kaki kursi patah, tetapi pintu lantai bawah tanah pun hancur.
Anak-anak berebutan melihat. Dari tempat gelap di bawah muncul seraut wajah. Pofel. Anak itu tersenyum lemah, peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Dengan langkah gemetar ia menaiki tangga. Rufio mengulurkan tangannya, menangkap tangan Pofel, kemudian menarik tubuh adiknya.
Keduanya berpelukan. Rufio tertawa, air matanya mengalir deras.
"Kita harus cepat pergi." Kasen terbatuk-batuk.
Asap tebal mulai memenuhi ruangan dan mengaburkan pandangan. Tempat itu semakin panas, dan nyala api semakin dekat, kini hampir menutupi jalan mereka ke ruangan depan.
"Lari! Cepat lari!" seru Rufio.