Yara menoleh sebentar ke arah Piri. Karena Piri diam saja, Yara lalu menjelaskan pada Rufio bahwa dia dan Piri berasal dari Dunia Mangkuk. Setelah melewati sungai di bawah pegunungan mereka sampai di Mallava, di mana mereka bertemu dengan banyak orang.
Tetapi dari semua cerita itu, hanya satu hal yang kemudian benar-benar menarik perhatian Rufio.
"Kalian tahu dari mana semua anak itu berasal?"
"Aku dari Suidon," jawab Kaia. "Yang lain ada yang dari Mallava, Frauli, Darkur, Kalani—"
"Kalani?"
"Ya. Pofel. Dia dari Kalani."
Rufio menatap Kaia tanpa berkedip. "Seperti apa dia?"
"Dia cukup tinggi. Rambutnya berwarna cokelat. Suaranya agak serak. Ia punya bekas luka di pipi kiri. Alisnya tebal dan matanya ... tajam, seperti ..." tiba-tiba Kaia tertegun, "kamu."
Piri dan Yara menoleh, dan tiba-tiba Piri menyadari bahwa memang ada kemiripan di antara wajah Rufio dan Pofel.
Namun Piri belum mengerti kenapa Kaia harus kaget. Di Dunia Mangkuk ada cukup banyak anak-anak yang memiliki wajah mirip, dan rasanya tidak ada yang aneh dengan hal semacam itu.
Kaia berkata, "Apakah Pofel itu adikmu?"
"Adik?" tanya Piri bingung.
Kaia menoleh padanya, juga ke Yara yang sama bingungnya.
"Kalian tidak tahu apa itu adik?" Tanya Kaia.
"Tidak." Piri menggeleng.
Kali ini Kaia yang kebingungan. "Kalau Pofel adiknya, berarti Rufio ini kakaknya. Mereka punya ayah dan ibu yang sama. Ini namanya hubungan keluarga. Kalian tidak tahu?"
Piri terdiam, demikian juga Yara. Walaupun sudah dijelaskan, Piri masih tetap belum mengerti apa sebenarnya ayah, ibu, kakak dan adik ini, dan apakah hubungan-hubungan keluarga ini lebih penting dibanding hubungan antara ia, Yara atau Tero, misalnya. Atau dengan semua anak-anak di Dunia Mangkuk.
"Jadi, kamu kakak Pofel?" Yara bertanya pada Rufio, seolah-olah sudah paham apa yang dimaksud dengan kakak.
Rufio mengangguk. "Sepertinya ... benar ... itu Pofel adikku."
"Apa yang terjadi?" tanya Kaia. "Kalian terpisah? Pofel tak pernah cerita soal ini!"
"Sebenarnya aku juga malas bercerita soal itu," kata Rufio. "Tetapi yang bisa kukatakan adalah aku benci semua orang yang membuat kami berdua terpisah."
Ketiga anak lainnya terdiam, untuk beberapa lama tak ada yang berani bertanya lebih lanjut. Piri menelan pelan-pelan potongan terakhir rotinya.
Rufio menatapnya.
"Aku harus ke rumah itu," kata Rufio. "Kau harus mengantarku ke sana."
"Aku tidak tahu jalannya," jawab Piri. "Di kereta tadi aku cuma bersembunyi di dalam bagasi."
"Kita bisa ikuti jalan batu yang kita lewati," sahut Kaia sambil tersenyum bangga. "Aku masih ingat apa yang kulihat."
"Tetapi kamu mau apa?" tanya Yara pada Rufio. "Membawa Pofel kabur? Tidak akan mudah, apalagi jika Tuan Bumer sudah menceritakan kejadian tadi kepada Nyonya Kulip. Mereka pasti lebih waspada sekarang."
"Dan mungkin Nyonya Kulip akan memanggil Tuan Rodik lagi." Kaia bergidik.
"Jika mau mendatangi Rumah Merah, kenapa kamu tidak meminta bantuan Tuan Bartok?" sambung Piri.
Rufio menggeleng. "Aku tak yakin ia mau membantu. Bartok selalu menghitung untung rugi jika mau melakukan sesuatu. Jika menurutnya pergi ke Rumah Merah tidak akan memberikan keuntungan apa-apa, dia tidak akan pergi. Lagipula dia sudah punya rencana sendiri."
"Kamu belum coba bilang, jadi bagaimana kamu bisa tahu?" kata Piri.
"Ya, tolonglah," kata Kaia dengan suara memelas. "Tolong bicara pada Tuan Bartok."
"Kenapa sekarang kalian memaksaku?" balas Rufio ketus.
"Kami hanya minta tolong," kata Yara. "Teman-teman di sana banyak yang ingin pergi, tidak cuma Pofel, dan kamu bisa membantu kami."
"Aku tidak yakin Bartok mau membantu."
Rufio memalingkan wajah, memandang sejenak ke luar rumah kayu.
"Tapi, baiklah," akhirnya ia berkata lagi. "Aku akan bicara dengannya besok, pagi-pagi sekali. Malam ini mungkin dia sudah mulai minum-minum, dan jika dia sedang mabuk tak ada gunanya bicara dengannya. Kalian tidur di sini saja dulu. Rumah ini cukup untuk kalian."
"Kamu sendiri, tidur di mana?" tanya Piri.
"Aku bisa tidur di bawah pohon."
"Mmm ... terima kasih atas rotinya."
Rufio mengangguk sebagai balasan. Ia turun dari rumah pohon dengan cekatan, dan dalam waktu singkat sudah sampai di bawah.
Piri melongok, memperhatikan bagaimana anak itu menjatuhkan tubuhnya di atas setumpuk dedaunan tebal, lalu telentang di sana. Apakah Rufio langsung memejamkan mata, atau justru balas menatap Piri, Piri tidak tahu.
Piri menoleh. Yara dan Kaia sudah berbaring, rapat di sebelah kiri, menyisakan sedikit ruang kosong di kanan. Piri ikut berbaring.
Namun walau mengantuk ia tidak langsung tertidur. Ia teringat, kemarin malam ia, Yara dan Kaia masih tidur di Rumah Merah, lalu mulai tadi pagi semuanya berubah. Betapa keadaan bisa berubah sedemikian cepatnya. Sejak ia meninggalkan Dunia Mangkuk, selalu ada yang baru di setiap harinya.
Kedua matanya terpejam.
Lalu, tiba-tiba ia terbangun. Sepertinya lama sesudah ia mulai tertidur, walaupun langit masih tampak gelap.
"Bangun, Piri! Bangun! Yara! Kaia!"
Piri terduduk, sementara Yara dan Kaia baru membuka mata. Di pintu lantai rumah kayu tampak Rufio melongok. Tangannya berpegangan di lantai kayu, dan sepertinya kakinya masih menjejak di batang pohon.
"Ada apa?" tanya Piri.
Rufio menatapnya tanpa berkedip. "Markas Bartok diserang."
"Diserang? Maksudnya? Oleh siapa?" tanya Piri lagi.
Di belakangnya napas tertahan Yara dan Kaia terdengar. Keduanya ikut terduduk.
"Para prajurit. Prajurit Kerajaan Mallava."
"Kenapa mereka menyerang?" tanya Yara.
"Kita harus bagaimana?" ganti Kaia bertanya, panik.
"Kalian ... di sini saja."
"Kamu sendiri?" tanya Piri.
"Aku akan ke sana, mengintip dari balik semak."
Rufio sepertinya tak ingin dibantah. Dalam sekejap dia turun dan menghilang lagi.
Piri dan kedua temannya saling memandang. Selama beberapa lama ketiganya terdiam. Piri yakin Yara dan Kaia pasti juga sedang bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi di luar sana, tetapi masih terlalu kaget, atau takut, untuk berkata.
Yara berbisik, "Kalau Rufio menyuruh kita tinggal, kenapa dia membangunkan kita?"
"Mungkin dia juga bingung harus berbuat apa," kata Piri.
"Aku jadi teringat ucapan Kakek."
"Yang mana?"
"Tentang Dunia Mangkuk," kata Yara. "Dia cerita soal dunia yang punya batas, dan lalu kupikir dia justru sebenarnya ingin bilang bahwa dunia kita tidak seperti itu. Tidak punya batas. Jadi ... bisa jadi Rufio juga begitu. Dia ingin kita berpikir sebaliknya. Mungkin lebih baik kalau kita turun, menyusulnya, dan melihat apa yang terjadi. Ayo, Piri, kita turun."
"Itu bukan ide bagus," Kaia menahan. "Rufio bilang tadi ada prajurit. Itu artinya akan ada perkelahian dengan memakai senjata! Berbahaya! Kita bisa ikut terluka kalau dekat-dekat dengan mereka!"
"Senjata? Senjata apa?" tanya Piri.
"Macam-macam senjata tajam! Pedang, pisau, tombak. Lebih baik kita di sini, seperti kata Rufio," ucap Kaia.
Yara dan Piri terdiam. Mereka menunggu dengan gelisah. Dada berdebar kencang. Piri mendengar sayup-sayup suara di kejauhan. Sesekali terdengar teriakan putus-putus, lalu menghilang.
Dari sela-sela rimbun pepohonan mulai tampak garis-garis cahaya, yang semakin lama semakin terang. Pagi telah menjelang.
Tiba-tiba suara semak tersibak, dan langkah kaki terdengar tak jauh dari bawah pohon. Piri dan kedua temannya merapat.
"Apa itu Rufio?" tanya Kaia gelisah.